Model kesetiaan dalam bisnis
Model kualitas pelayananModel oleh Kay Storbacka, Tore Strandvik, dan Christian Gronroos (1994) lebih terinci, tetapi kesimpulannya sama. Dalam model ini, kepuasan pelanggan adalah yang nomor satu berdasarkan pengalamannya yang terbaru dengan produk atau jasa. Pertimbangan ini bergantung pada pengalaman-pengalaman di masa sebelumnya terhadap kualitas keseluruhan dibandingkan dengan pelayanan yang diterima sesungguhnya. Bila pengalaman yang mutakhir melampaui harapan-harapan sebelumnya, maka kepuasan pelanggan kemungkinan akan tinggi. Kepuasan pelanggan juga bisa tinggi bahkan dengan kualitas pelayanan yang biasa saja bila harapan si pelanggannya rendah, atau bila pelayanan yang diberikan memberikan nilai (artinya, dinilai rendah untuk mencerminkan kualitas yang biasa saja). Demikian pula, seorang pelanggan dapat merasa tidak puas dengan pelayanan yang dijumpainya dan masih menganggap keseluruhan kualitasnya baik. Hal ini terjadi bila sebuah pelayanan dinilai sangat tinggi dan transaksinya tidak begitu penting. Jadi model ini melihat pada kekuatan hubungan bisnis. Model ini mengusulkan bahwa kekuatan ini ditentukan oleh tingkat kepuasan dengan pengalaman yang mutakhir, persepsi keseluruhan terhadap kualitas, komitmen pelanggan terhadap hubungan itu, dan ikatan antara pihak-pihak yang terlibat. Para pelanggan dikatakan mempunyai suatu "zona toleransi" yang setara dengan tingkat kualitas pelayanan antara "nyaris memadai" dan "luar biasa". Sebuah pengalaman yang mengecewakan mungkin tidak secara berarti mengurangi kekuatan hubungan bisnis bila persepsei menyeluruh si pelanggan terhadap kualitasnya tetap tinggi, bila ongkos perpindahannya mahal, bila hanya ada sedikit alternatif yang memuaskan, bila mereka mempunyai komitmen terhadap hubungan itu, dan bila ada ikatan-ikatan yang mempertahankan mereka di dalam hubungan tersebut. Keberadaan ikatan-ikatan ini bertindak sebagai penghalang orang untuk keluar dari kesetiaan ini. Ada beberapa jenis ikatan, termasuk: ikatan hukum (kontrak), ikatan teknologis (teknologi bersama), ikatan ekonomi (ketergantungan), ikatan pengetahuan, ikatan sosial, ikatan budaya atau etnis, ikatan ideologis, ikatan psikologis, ikatan geografis, ikatan waktu, dan ikatan perencanaan. Jadi model ini mengkaji ikatan antara kekuatan hubungan dengan kesetiaan pelanggan. Kesetiaan pelanggan ditentukan oleh tiga faktor: kekuatan hubungan, alternatif yang dipersesepsikan dan kejadian-kejadian kritis. Hubungan dapat berakhir bila:
Kaitan terakhir dalam model ini ialah dampak kesetiaan pelanggan pada keuntungan. Asumsi dasar dari semua model kesetiaan ialah bahwa upaya mempertahankan pelanggan yang ada sekarang itu lebih murah daripada upaya mendapatkan pelanggan yang baru. Reichheld dan Sasser (1990) mengklaim bahwa 5% peningkatan dalam upaya mempertahankan pelanggan dapat menyebabkan peningkatan keuntungan antara 25% dan 85% (dalam pengertian nilai netto sekarang) tergantung pada industrinya. Namun, Carrol dan Reichheld (1992) membantah perhitungan ini, dan mengklaim bahwa semuanya didapatkan dari analisis lintas seksi yang keliru. Menurut Buchanan dan Gilles (1990), keuntungan yang meningkat yang teriat dengan upaya untuk mempertahankan pelanggan terjadi karena:
Agar kaitan terakhir ini dapat bertahan, hubungan itu harus menguntungkan. Berusaha mempertahankan kesetiaan pelanggan yang tidak menguntungkan bukanlah sebuah model bisnis yang dapat bertahan hidup. Itulah sebabnya penting bagi para pemasar untuk mempertimbangkan keuntungan yang dapat diperoleh dari masing-masing kliennya (atau jenis-jenis kliennya), dan mengakhiri hubungan-hubungan yang tidak menguntungkan. Untuk melakukan hal ini, masing-masing "biaya hubungan" pelanggan" dibandingkan dengan "perolehan dari hubungan". Perhitungan yang bermanfaat bagi hal ini adalah rasio konsentrasi langganan. Perhitungan ini dihalangi oleh kesulitan dalam mengalokasikan biaya-biaya kepada hubungan-hubungan individual dan ketidakjelasan dalam hal-hal yang mendorong biaya hubungan. Model yang diperluasSchlesinger dan Heskett (1991) menambahkan kesetiaan pegawai kepada model kesetiaan pelanggan yang dasar. Mereka mengembangkan konsep-konsep tentang "siklus keberhasilan" dan "siklus kegagalan". Dalam siklus keberhasilan ini, investasi dalam diri pegawai ’ kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sangat baik kepada pelanggan dapat dilihat sebagai suatu lingkaran kebaikan. Usaha-usaha yang dihabiskan dalam menyeleksi dan melatih pegawai serta menciptakan budaya perusahaan di mana mereka diberdayakan, dapat mendorong pada peningkatan kepuatasan pegawai dan kompetensi pegawai. Hal ini kemungkinan akan menghasilkan pelayanan yang sangat baik dan kepuasan pelanggan. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan kesetiaan pegawai, meningkatkan level penjualan, dan margin keuntungang yang lebih tinggi. Sebagian dari keuntungan-keuntungan ini dapat diinvestasikan kembali dalam pengembangan pegawai dan dengan demikian mendorong peningkatan lingkaran kebaikan selanjutnya. Fredrick Reichheld (1996) memperluas model kesetiaan dalam bisnis hingga melampaui pelanggan dan pegawai. Ia melihat pada manfaat dari mendapatkan kesetiaan dari pemasok, pegawai, bankir, pelanggan, distributor, pemegang saham, dan dewan direksi. Kesetiaan dan EgoismeModel bisnis kesetiaan mengasumsikan keabsahan filsafati dalam mengejar kepentingan pribadi. Namun, banyak kajian dalam etika mengasumsikan keabsahan dari altruisme (mengupayakan kepentingan orang lain). "Clearing Up the Egoist Difficulty with Loyalty" (Stieb 2006), berupaya memperlihatkan bahwa ketika kepentingan dibagikan maka mengupayakan kepentingan pribadi menjadi tidak berbeda dengan mengupayakan kepentingan orang lain. Ini juga disebut sebagai model "Aristotelian" yang didasarkan pada analisis terkait Aristoteles tentang persahabatan dalam Etika Nikomakeannya. Lihat pulaRujukan
|