Share to:

 

Moksa

Moksa (Sanskerta: mokṣa) juga disebut vimoksha, vimukti, dan mukti adalah sebuah konsep agama Hindu, Buddha, Jainisme, dan Sikhisme untuk segala bentuk emansipasi, pencerahan, kebebasan, dan pelepasan. Dalam pengertian soteriologi dan eskatologi, ini merujuk pada kebebasan dari samsara, putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. Dalam pengertian epistemologi dan psikologi, moksa adalah kebebasan dari penolakan: realisasi diri, aktualisasi diri, dan pengetahuan diri.

Dalam tradisi Hindu, moksa merupakan sebuah konsep pusat dan tujuan utama hidup manusia yang sepenuhnya; tiga tujuan lainnya yaitu dharma (kehidupan yang berbudi luhur, pantas, dan bermoral), arta (kemakmuran materi, keamanan pendapatan, sarana hidup), dan kama (kesenangan, sensualitas, kepuasan emosional). Secara bersamaan, empat konsep ini disebut sebagai Caturpurusarta dalam agama Hindu.

Di beberapa mazhab agama India, moksa dianggap sama dan digunakan secara bergantian dengan istilah-istilah lain, seperti vimoksha, vimukti, kaivalya, apavarga, mukti, nihsreyasa, dan nirwana. Namun, istilah-istilah seperti moksa dan nirwana punya arti yang berbeda dan merujuk kepada keadaan yang berbeda dalam ajaran Hindu, Buddha, dan Jainisme. Istilah nirwana lebih umum dalam mazhab Buddha, sementara moksa lebih lazim dalam agama Hindu.

Etimologi

Moksa diturunkan dari akarnya, muc, yang berarti membebaskan, membiarkan, melepas, dan memerdekakan.

Pengertian dan Makna

Pengertian dan makna moksa bervariasi antara berbagai mazhab agama India. Moksa berarti kebebasan, pembebasan; dari apa dan bagaimana perbedaan mazhab tersebut. Moksa juga merupakan sebuah konsep yang berarti pembebasan dari reinkarnasi atau samsara. Pembebasan ini dapat dicapai ketika seseorang berada di bumi (jivanmukti), atau secara eskatologis (karmamukti, videhamukti). Beberapa tradisi India menekankan pembebasan pada tindakan konkret dan etis di dunia. Pembebasan ini adalah sebuah perubahan epistemologi yang mengizinkan seseorang untuk melihat kebenaran dan realita di balik kabut penolakan.

Moksa didefinisikan tidak hanya sebagai ketidakhadiran penderitaan dan pelepasan dari ikatan samsara. Beberapa mazhab Hindu juga menjelaskan konsepnya sebagai kehadiran keadaan paripurna-brahmanubhava (pengalaman kesatuan dengan Brahman, Diri Yang Maha Esa), keadaan sastra, kedamaian, dan kebahagiaan. Sebagai contoh, Vivekachudamani – sebuah buku kuno moksa, menjelaskan salah satu banyak langkah meditasi menuju moksa sebagai:

जाति नीति कुल गोत्र दूरगं
नाम रूप गुण दोष वर्जितम्।
देश काल विषया तिवर्ति यद्
ब्रह्म तत्त्वमसि भाव यात्मनि॥ २५४ ॥

Melampaui kasta, keyakinan, keluarga, atau garis keturunan,
Yang tanpa nama dan bentuk, melampaui kelebihan dan kekurangan,
Yang melampaui ruang, waktu, dan obyek-obyek indra,
Anda adalah Dewa itu sendiri; Renungkan ini dalam diri Anda. ||Ayat 254||

— Vivekachudamani, Abad ke-8 [1]

Pengertian Eskatologis

Moksa adalah konsep yang diasosiasikan dengan samsara (putaran reinkarnasi). Samsara berasal dari gerakan keagamaan pada milenium pertama sebelum masehi. Gerakan-gerakan seperti Buddha, Jainisme, dan mazhab baru dalam agama Hindu, memandang kehidupan manusia sebagai belenggu proses kelahiran kembali yang berulang. Keterikatan pada kelahiran kembali dan kehidupan yang berulang-ulang, setiap kehidupan mengalami cedera, penyakit, dan penuaan, dipandang sebagai siklus penderitaan. Dengan terbebas dari siklus ini, penderitaan yang terlibat dalam siklus ini juga berakhir. Pelepasan ini disebut dengan moksa, nirwana, kaivalya, mukti, dan istilah-istilah lainnya dalam tradisi religius India. Sebuah hasrat untuk lepas dari rasa sakit dan penderitaan ini tampaknya merupakan akar dari perjuangan mencapai moksa, dan umumnya diyakini bahwa moksa adalah dengan kata lain kenyataan, hanya dapat dicapai pada akhir kehidupan, bukan pada saat itu. Bagaimanapun, ada juga anggapan bahwa moksa dapat dicapai selama hidup dalam bentuk pencerahan yang disebut jivan-mukti, meskipun hal ini masih bergantung pada upaya pribadi dan spiritual yang dikaitkan dengan pencapaian moksa.

Gagasan eskatologis berkembang dalam Hinduisme. Dalam sastra paling awal Weda, surga dan neraka sudah mencukupi keingintahuan soteriologis. Seiring berjalannya waktu, para cendekiawan zaman dahulu mengamati bahwa setiap orang memiliki kualitas hidup berbudi luhur atau berdosa yang mereka jalani berbeda-beda, dan mulai mempertanyakan bagaimana perbedaan puṇya (pahala, perbuatan baik) atau pāp (keburukan, dosa) setiap orang sebagai manusia memengaruhi kehidupan mereka di akhirat. Pertanyaan ini mengarah kepada konsepsi sebuah kehidupan setelah kematian di mana orang tersebut tinggal di surga atau neraka, sebanding dengan kelebihan atau kekurangannya, lalu kembali ke bumi dan dilahirkan kembali, putaran ini terus berlanjut tanpa henti. Ide kelahiran kembali pada akhirnya berkembang menjadi gagasan samsara, atau transmigrasi – di mana keseimbangan karma seseorang menentukan kelahiran kembali seseorang. Seiring dengan gagasan samsara ini, para cendekiawan zaman dahulu mengembangkan konsep moksa, sebagai keadaan yang melepaskan seseorang dari putaran samsara. Menurut van Buitenen, pelepasan moksa dalam pengertian eskatologis di sastra-sastra kuno Hinduisme, datang dari pengetahuan diri dan kesadaraan akan keesaan Yang Mahatinggi.

Pengertian Epistemologis dan Psikologis

Para cendekiawan menyediakan berbagai penjelasan makna dari moksa dalam pengertian epistemologis dan psikologis. Sebagai contoh, orang-orang Jerman melihat moksa sebagai kesadaran transendental, keadaan sempurna, realisasi diri, kebebasan dan "menyadari seluruh alam semesta sebagai Diri".

Moksa dalam agama Hindu, menurut Klaus Klostermaier, menyiratkan terbebasnya kemampuan-kemampuan yang selama ini terbelenggu, dihilangkannya hambatan-hambatan menuju kehidupan yang tidak terbatas, memungkinkan seseorang menjadi pribadi yang lebih sejati dalam arti seutuhnya; konsep ini mengasumsikan sebuah potensi kreativitas, kasih sayang, dan pemahaman manusia yang tak terpakai yang telah ditutup dan dimatikan. Moksa itu lebih dari pelepasan dari sebuah penderitaan putaran reinkarnasi (samsara); mazhab Weda memisahkannya menjadi dua bagian: jivanmukti (pembebasan semasa hidup) dan videhamukti (pembebasan setelah mati). Moksa dalam hidup ini menyertakan pembebasan psikologi dari adhyasa (ketakutan dalam hidup seseorang) dan avidya (penolakan atau apapun yang bukan pengetahuan sejati).

Sebagai Keadaan Sempurna

Banyak mazhab Hinduisme yang menurut Daniel Ingalls, melihat moksa sebagai keadaan sempurna. Konsep ini dipandang sebagai tujuan alamiah yang melampaui dharma. Moksa, dalam sastra kuno dan epos agama Hindu, dipandang dapat dicapai dengan teknik yang sama yang diperlukan untuk mempraktikkan dharma. Disiplin diri merupakan jalan menuju dharma, moksa adalah disiplin diri yang begitu sempurna hingga menjadi sifat alamiah yang tidak disadari. Dharma dengan demikian adalah jalan menuju moksa.

Mazhab Samkhya dalam ajaran Hindu, sebagai contoh, menyarankan bahwa salah satu jalan menuju moksa adalah untuk memperbesar sattvam seseorang. Untuk memperbesar sattvam seseorang, seseorang harus mengembangkan dirinya di mana sattvam-nya menjadi sifat nalurinya. Banyak mazhab Hindu dengan demikian memahami dharma dan moksa sebagai dua titik dari satu perjalanan hidup seseorang, sebuah perjalanan yang viaticum-nya adalah disiplin dan pelatihan mandiri. Sering kali, gagasan-gagasan tentang moksa ini ditentang.

Tantangan Nagarjuna

Dharma dan moksa, menurut Nagarjuna pada abad ke-2, tidak dapat menjadi tujuan dalam perjalanan yang sama. Ia menunjuk ke perbedaan antara dunia yang kita huni dengan kebebasan yang tersirat dalam konsep moksa. Mereka sangat berbeda sehingga dharma dan moksa tidak dapat dikaitkan secara intelektual. Dharma membutuhkan pemikiran duniawi, moksa merupakan pemahaman surgawi, sebuah kebahagiaan abadi. "Bagaimana alur-pikir duniawi mengarah ke pemahaman surgawi?", tanya Nagarjuna. Karl Potter menjelaskan bahwa jawaban untuk pertanyaan ini sebagai salah satu konteks dan kerangka kerja, kemunculan prinsip umum yang lebih luas dari pemahaman dari prosedur yang terbatas dalam satu kerangka kerja.

Tantangan Adi Shankara

Adi Shankara di abad ke-8 Masehi, seperti Nagarjuna sebelumnya, meneliti perbedaan antara dunia yang kita huni dengan moksa, kebebasan dan pelepasan yang diharapkan. Tidak seperti Nagarjuna, Shankara mempertimbangkan karakteristik di antara keduanya. Dunia yang kita huni membutuhkan tindakan dan juga pemikiran; dunia kita, ucap ia, tidak mungkin terjadi tanpa adanya vyavahara (tindakan dan keragaman). Dunia saling berhubungan, satu objek bekerja satu sama lain, masukan diubah menjadi keluaran, perubahan itu berkelanjutan dan ada di manapun. Moksa, ucap Shankara, adalah sebuah akhir sempurna, keadaan bahagia di mana tidak mungkin terjadi perubahan, di mana tidak ada keadaan yang beragam. Ini pasti menjadi pemikiran dan kesadaran yang tidak menyertai tindakan. Ia mempertanyakan: "Bagaimana teknik yang berorientasi pada tindakan yang dapat membuat kita mencapai tiga tujuan pertama manusia (kama, arta, dan dharma) bermanfaat untuk mencapai tujuan terakhir, yang disebut moksa?"

Cendekiawan, menjawab tantangan Shankara terhadap konsep moksa yang sejajar dengan tantangan Plotinus terhadap kaum Gnostik, dengan satu perbedaan penting: Plotinos menuduh kaum Gnostik karena menukar sebuah seperangkat kebajikan antroposentris dengan seperangkat teosentris dalam mengejar keselamatan; Shankara menantang bahwa konsep moksa menyiratkan pertukaran seperangkat kebajikan antroposentris (dharma) dengan keadaan bahagia yang tidak memerlukan nilai-nilai. Shankara melanjutkan jawaban dengan mengatakan bahwa kebajikan antroposentris saja sudah cukup.

Tantangan Waisnawa

Mazhab Waisnawa, salah satu mazhab bhakti yoga dalam agama Hindu, yang dikhususkan untuk beribadah kepada Dewa, menyebutkan namanya, mengurapi gambarnya atau berhala, memiliki banyak banyak sub-mazhab. Pengikut mazhab ini mengatakan bahwa dharma dan moksa tidak bisa menjadi dua tujuan atau keadaan hidup yang berbeda atau berurutan. Alih-alih demikian, mereka mengatakan bahwa Dewa harus selalu diingat untuk secara bersamaan dalam upaya mencapai dharma dan moksa, begitu terus-menerus sehingga seseorang merasa tidak dapat hidup tanpa kehadiran kasih Dewa. Mazhab ini menekankan kasih dan pengaguman terhadap Dewa sebagai jalan menuju moksa (penyelamatan dan pelepasan), daripada pekerjaan dan pengetahuan. Fokus mereka menjadi kebajikan-kebajikan ilahi, dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan antroposentris. Melalui karya Thibaut, Max Müller, dan lain-lain, Daniel Ingalls menganggap pengertian umat Waisnawa tentang moksa mirip dengan pengertian umat Kristen tentang keselamatan, dan mazhab Waisnawa sebagai mazhab yang melihat dharma, karma, dan moksa mendominasi kesan awal dan sastra era kolonial agama Hindu.

Sejarah

Konsep moksa muncul jauh setelah sastra India kuno daripada konsep dharma. Konsep-proto yang muncul pertama di ayat-ayat Sansekerta kuno dan Upanishad awal adalah mucyate, yang berarti dibebaskan atau dilepaskan. Ini adalah Upanishad pertengahan dan selanjutnya, seperti Svetasvatara dan Maitri, di mana kata moksa muncul dan mulai menjadi konsep penting.

Katha Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang bertanggal sekitar 2500 tahun, adalah salah satu eksposisi paling awal tentang samsara dan moksa. Dalam buku I, bagian III, legenda tentang anak laki-laki Naciketa bertanya pada Yama, dewa kematian, apa yang menyebabkan samsara dan apa yang mengarah ke pembebasan. Naciketa bertanya: apa yang menyebabkan kesedihan? Yama menjelaskan bahwa penderitaan dan samsara dihasilkan dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan linglung, dengan ketidakmurnian, dengan tidak menggunakan kecerdasan maupun penyelidikan diri, di mana baik pikiran maupun indra tidak dibimbing oleh atman (jiwa, diri) seseorang. Pembebasan datang dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan kemurnian batin, pikiran yang awas, dibimbing oleh buddhi (nalar, kecerdasan), kesadaran akan Diri Tertinggi (purusha) yang tinggal di semua makhluk. Kathaka Upanishad menegaskan pengetahuan itu membebaskan, pengetahuan adalah kebebasan. Kathaka Upanishad juga menjelaskan peran yoga dalam pembebasan diri, moksa.

Svetasvatara Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang ditulis setelah Kathaka Upanishad, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa manusia dilahirkan, apa penyebab utama di balik semesta, apa yang menyebabkan kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup? Ini kemudian meneliti berbagai teori, yang kemudian ada, tentang samsara dan pelepasan dari belenggu. Svetasvatara mengklaim, belenggu dihasilkan dari penolakan, ilusi atau delusi; pembebasan datang dari pengetahuan. Yang mahatinggi hidup di semua makhluk, ialah penyebab utama, ialah hukum abadi, ialah esensi dari segalanya, ialah alam, ia bukanlah entitas terpisah. Pembebasan datang dari siapa yang mengetahui Yang Mahatinggi hadir sebagai Roh dan Prinsip Semesta, seperi yang mereka tahu kalau mentega hadir dalam susu. Kesadaran seperti itu, klaim Svetasvatara, datang dari pengetahuan-diri dan disiplin-diri; dan pengetahuan serta kesadaran ini adalah pembebasan dari perpindahan, tujuan utama Upanishad.

Dimulai dengan zaman pertengahan Upanishad, moksa – atau istilah yang sama dengan mukti dan kaivalya – adalah gagasan utama dalam berbagai Upanishad. Sebagai contoh, Saraswati dan Rahasya Upanishad, salah satu beberapa Upanishad dari mazhab bhakti Hindu, memulai dengan ibadah kepada dewi Saraswati. Ia adalah dewi pengetahuan, pembelajaran, dan kreativitas seni Hindu, namanya adalah gabungan kata dari sara dan swa, yang berarti "esensi diri". Setelah beberapa ayat ibadah, Upanishad bertanya tentang rahasia menuju kebebasan dan pembebasan (mukti). Saraswati menjawab dalam Upanishad sebagai berikut:

Melalui akulah, Sang Pencipta sendiri memeroleh pengetahuan yang membebaskan,
Akulah, kesadaran, kebahagiaan, kebebasan abadi: tak bercatat, tak terbatas, tak berakhir.
Kesadaran sempurnaku menerangi duniamu, seperti wajah indah dalam sebuah cermin kotor ,
Melihat bayangan itu, aku berharap diriku, dirimu, jiwa individu, seolah-olah saya bisa menjadi terbatas!

Jiwa yang terbatas, Dewi yang tak terbatas – ini adalah konsep yang salah,
dalam pikiran mereka yang tidak kenal kebenaran,
Tanpa jarak, pemujaku terkasih, ada di antara dirimu dan diriku sendiri,
Mengetahui ini dan kamu terbebas. Ini adalah petuah rahasia.

— Sarasvati Rahasya Upanishad, Translated by Linda Johnsen[2]

Evolusi Konsep

Konsep moksa, menurut Daniel Ingalls, digambarkan seperti salah satu dari banyak perluasan gagasan Weda Hindu tentang hidup dan kehidupan setelahnya. Dalam Weda, terdapat tiga tahap dalam kehidupan; belajar, berumah tangga, dan pensiun. Selama era Upanishad, Hinduisme menambahkan tahap keempat dalam hidup: penolakan total. Dalam sastra Weda, terdapat tiga model pengalaman: bangun, bermimpi, dan tidur nyenyak. Era Upanishad memperluasnya hingga mencakup turiyam – tahap setelah tidur nyenyak. Para Weda menyebutkan tiga tujuan manusia: kama, artha, dan dharma. Di dalamnya, era Upanishad menambahkan moksa.

Penerimaan konsep moksa dalam beberapa mazhab filsafat Hindu terjadi secara lambat. Mereka menolak mengakui moksa selama berabad-abad, karena menganggapnya tidak relevan. Mazhab Mimamsa, misalnya, menyangkal tujuan dan relevansi moksa hingga abad ke-8 M, hingga kedatangan seorang sarjana Mimamsa bernama Kumarila. Alih-alih moksa, mazhab Hindu Mimamsa menganggap konsep surga sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut: apa yang ada di luar dunia ini setelah kematian. mazhab Hindu lainnya, seiring berjalannya waktu, menerima konsep moksa dan menyempurnakannya seiring berjalannya waktu.

Tidak jelas kapan gagasan inti samsara dan moksa dikembangkan di India kuno. Patrick Olivelle berpendapat bahwa ide-ide ini kemungkinan besar berasal dari gerakan keagamaan baru di milenium pertama SM. Ide-ide mukti dan moksa, ungkap J. A. B. van Buitenen, tampak dapat dilacak para yogi dalam agama Hindu, dengan rambut panjang, ia yang memilih untuk hidup di pinggiran masyarakat, diberikan pada keadaan mabuk dan ekstasi yang disebabkan oleh diri sendiri, mungkin diterima sebagai dukun dan "sadhus" oleh masyarakat India kuno. Moksa bagi para pengembang konsep awal ini, adalah pengabaian terhadap tatanan yang sudah mapan, bukan demi anarki, namun demi realisasi diri, untuk mencapai pelepasan dari dunia ini.

Dalam perkembangan sejarahnya, konsep moksa muncul dalam tiga bentuk: Weda, yogi, dan bhakti. Di periode Weda, moksa bersifat ritualistik. Moksa dianggap sebagai hasil dari ritual yang diselesaikan dengan benar seperti di hadapan Agni – dewa api. Makna dari ritual-ritual ini adalah untuk mereproduksi ulang dan membaca peristiwa-peristiwa peciptaan kosmis yang digambarkan dalam Weda; penggambaran pengetahuan dalam tingkatan yang berbeda – adhilokam, adhibhutam, adhiyajnam, adhyatmam – membantu individu menuju moksa.

Pengetahuan merupakan alat, ritual adalah penerapannya. Di pertengahan hingga akhir periode Upanishad, penekanan bergeser ke pengetahuan, kegiatan ritual dianggap tidak berhubungan dengan pencapaian moksa. Moksa yoga menggantikan ritual Weda dengan pengembangan dan meditasi personal, dengan penciptaan hierarkis pengetahuan tertinggi dalam diri sebagai jalan menuju moksa. Prinsip-prinsip moksa yoga diterima di banyak mazhab Hinduisme, walaupun terdapat perbedaan. Sebagai contoh, Adi Shankara dalam bukunya tentang moksa mengemukakan:

अर्थस्य निश्चयो दृष्टो विचारेण हितोक्तितः |
न स्नानेन न दानेन प्राणायमशतेन वा || १३ ||

Melalui refleksi, penalaran, dan instruksi para guru, kebenaran diketahui,
Bukan dengan berwudhu, bukan dengan berdonasi, ataupun dengan melakukan ratusan latihan pengaturan nafas. || Ayat 13 ||

— Vivekachudamani, Abad ke-8 Masehi[3]

Bhakti moksa menciptakan jalan historis ketiga, di mana tidak ada ritual maupun pengembangan diri meditatif yang menjadi jalannya, melainkan memang terinspirasi oleh kasih tetap dan kontemplasi Dewa, yang lama kelamaan menghasilkan penyatuan sempurna dengan Dewa. Beberapa mazhab mengembangkan ide-ide mereka di mana Dewa menjadi sarana dan tujuan, melampaui moksa; buah bhakti adalah bhakti itu sendiri. Dalam sejarah tradisi religius India, penambahan ide dan jalan menuju moksa melampaui tiga tahap tersebut, muncul seiring berjalannya waktu.

Sinonim

Kata moksa, nirwana (nibbana) dan kaivalya kadang-kadang digunakan secara sinonim, karena mereka semua merujuk ke keadaan yang membebaskan seseorang dari semua penyebab kesedihan dan penderitaan. Kemudian, dalam literatur di era modern, konsep-konsep ini memiliki premis-premis berbeda dalam berbagai agama. Nirwana, sebuah konsep umum dalam Buddha, disertai kesadaran bahwa semua fenomena yang dialami bukanlah diri; sementara moksa, sebuah konsep umum di berbagai mazhab Hindu, adalah penerimaan Diri (jiwa), realisasi pengetahuan yang membebaskan, kesadaran akan Keesaan dengan Brahman, semua eksistensi dan pemahaman semesta alam sebagai Diri. Nirwana dimulai dengan premis bahwa tidak ada Diri, sebaliknya moksa, dimulai dengan premis bahwa semuanya adalah Diri, tidak ada kesadaran dalam keadaan nirwana, tetapi segalanya adalah Satu kesadaran yang menyatu dalam keadaan moksa.

Kaivalya, sebuah konsep yang mirip dengan moksha, bukan nirwana, ditemukan di beberapa mazhab agama Hindu seperti mazhab Yoga. Kaivalya adalah realisasi sikap acuh tak acuh dengan pengetahuan yang membebaskan tentang diri sendiri dan pelepasan dari pikiran dan peralatan kognitif yang kacau. Misalnya, Yoga Sutra Patanjali menyarankan:

तस्य हेतुरविद्या,
तदभावात्संयोगाभावो हानं तद् दृशेः कैवल्यम् |

Setelah hancurnya avidya (ketidaktahuan),
datang penghapusan persekutuan dengan dunia material,
ini adalah jalan menuju Kaivalyam.

— Yoga Sutra (Sadhana Pada), 2:24–25[4]

Nirwana dan moksa, dalam semua tradisi, mewakili peristirahatan dalam esensi sejati seseorang, bernama Purusa atau Atman, atau disebut sebagai Nirwana, tetapi dijelaskan dengan cara yang sangat berbeda. Beberapa cendekiawan, kata Jayatilleke, menegaskan bahwa Nirwana dalam Buddha sama dengan Brahman dalam Hindu, sebuah pandangan yang tidak disetujui oleh para cendekiawan lain dan dia. Dalam Buddha, nirwana adalah 'meledak' atau 'kepunahan'. Dalam agama Hindu, moksa adalah 'identitas atau kesatuan dengan Brahman'. Realisasi anatta (anatman) sangat penting bagi nirwana Buddhis. Realisasi atman (atta) sangat penting bagi moksa Hindu.

Hindu

Sastra kuno beragam mazhab Hindu kadang-kadang meng gunakan frasa-frasa berbeda untuk moksa. Sebagai contoh, Keval jnana or kaivalya ("keadaan mutlak"), Apavarga, Nihsreyasa, Paramapada, Brahmabhava, Brahmajnana, dan Brahmi sthiti. Sastra modern juga menggunakan istilah Buddha nirwana secara bergantian dengan moksa dalam Hindu. Terdapat perbedaan di antara gagasan-gagasan ini, seperti yang dijelaskan di artikel ini, tetapi mereka semua adalah konsep soteriologis berbadai tradisi religius India.

Enam mazhab ortodoks utama Hindu telah melakukan perdebatan bersejarah, dan tidak menyetujui apakah moksa dapat dicapai semasa hidup, atau hanya setelahnya. Banyak dari 108 Upanishad membahas antara lain tentang moksa. Diskusi-diskusi ini menunjukkan perbedaan di antara mazhab Hindu, kurangnya konsesus, dengan beberapa upaya untuk menyamakan perspektif yang berbeda antara berbagai mazhab. Sebagai contoh, kebebasan dan penyampaian reinkarnasi, pendapat Maitrayana Upanishad, tidak berasal dari doktrin mazhab Wedanta (pengetahuan tentang Diri sendiri sebagai Jiwa Yang Mahatinggi) bukan dari doktrin mazhab Samkhya (membedakan Purusha dari apa yang bukan), tetapi dari studi Weda, pelaksanaan Svadharma (tugas pribadi), berpegang teguh pada Asrama (tahapan dari kehidupan).

Filsafat enam mazhab ortodoks utama Hindu ini menawarkan pandangan-pandangan berikut terhadap moksa, masing-masingnya memiliki alasan sendiri: mazhab Hindu Nyaya, Vaisesika dan Mimamsa menganggap moksa hanya mungkin terjadi setelah kematian. Mazhab Samkhya dan Yoga mempertimbangkan moksa mungkin terjadi semasa hidup. Dalam mazhab Wedanta, sub-mazhab Advaita menyimpulkan moksa mungkin terjadi semasa hidup, sementara tradisi sub-mazhab Dvaita, Visistadvaita, Shuddhadvait yakin bahwa moksa adalah peristiwa yang berkelanjutan, moksa dibantu oleh pengabdian yang penuh kasih terhadap Dewa, yang meluas dari kehidupan saat ini hingga setelah kematian. Di luar enam mazhab ini, beberapa tradisi mazhab heterodoks Hindu, seperi Carvaka, menolak bahwasannya terdapat sebuah jiwa atau kehidupan setelah moksa.

Samkhya, Yoga, dan Moksa

Baik sistem pemikiran keagamaan Sāmkhya maupun Yoga adalah mokshaśāstra, menurut Knut Jacobsen, keduanya adalah sistem pembebasan dan pelepasan yang menyelamatkan. Sāmkhya adalah sistem interpretasi, terutama teori tentang dunia. Yoga adalah teori dan praktik. Yoga memeroleh penerimaan yang luas di India kuno, ide-ide dan praktik-praktik ini enjadi bagian dari beberapa mazhab religius dalam Hinduisme, termasuk mereka yang sangat berbeda dari Sāmkhya. Delapan anggota badan yoga dapat diartikan sebagai jalan menuju pembebasan (moksa).

Dalam sastra Sāmkhya, pembebasan umumnya dirujuk sebagai kaivalya. Dalam mazhab ini, kaivalya berarti realisasi purusa, prinsip kesadaran, sebagai independen dari pikiran dan tubuh, berbeda dari prakrti. Seperti kebanyakan mazhab dalam Hinduisme, dalam mazhab Sāmkhya dan Yoga, penekanannya adalah pada pencapaian pengetahuan, vidyā atau jñāna, sebagaimana diperlukan untuk pembebasan yang menyelamatkan, moksa. Tujuan yoga kemudian dipandang sebagai sarana untuk menghilangkan avidyā – yaitu ketidaktahuan atau pengetahuan yang menyesatkan/salah tentang diri sendiri dan alam semesta. Ia berupaya mengakhiri kesadaran refleksif biasa (cittavrtti nirodhah) dengan kesadaran yang lebih dalam, murni, dan holistik (asamprājñāta samādhi). Yoga, selama mengejar moksa, mendorong latihan (abhyāsa) dengan pelepasan (vairāgya), yang seiring waktu mengarah pada konsentrasi yang dalam (samādhi). Detasemen berarti penarikan diri dari dunia luar dan menenangkan pikiran, sedangkan latihan berarti penerapan upaya seiring berjalannya waktu. Langkah-langkah tersebut diklaim oleh sekolah Yoga sebagai langkah menuju samādhi, suatu keadaan kesadaran mendalam, pelepasan dan kebahagiaan yang disebut kaivalya.

Yoga, atau mārga (berarti "jalan" atau "jalan"), dalam agama Hindu secara luas diklasifikasikan menjadi empat pendekatan spiritual. Mārga pertama adalah Jñāna Yoga, jalan pengetahuan. Mārga kedua adalah Bhakti Yoga, jalan cinta kasih pengabdian kepada Dewa. Mārga ketiga adalah Karma Yoga, cara kerja. Mārga keempat adalah Rāja Yoga, jalan kontemplasi dan meditasi. Mārga ini adalah bagian dari mazhab berbeda dalam agama Hindu, dan definisi serta metode moksa mereka. Misalnya, mazhab Advaita Vedanta mengandalkan Jñāna Yoga dalam ajaran moksa. Marga tidak harus mengarah pada semua bentuk moksa, menurut beberapa mazhab Hindu. Misalnya, Ekasarana dharma menyangkal bentuk sayujya dari mukti, di mana penyerapan sepenuhnya pada Dewa menghilangkan jiva dari manisnya dan kebahagiaan yang terkait dengan bhakti. Madhavadeva memulai Namghoxa dengan menyatakan kekagumannya terhadap penyembah yang tidak menyukai mukti.

Wedanta dan Moksa

Tiga sub-mazhab utama di mazhab Wedanta Hinduisme – Adwaita Wedanta, Wisistadwaita, dan Dwaita – masing-masingnya memiliki pandangan tersendiri terhadap moksa.

Mazhab Weda Hinduisme menyarankan langkah pertama menuju moksa dimulai dengan mumuksutva, yaitu hasrat pembebasan. Hal ini berupa pertanyaan tentang diri sendiri, apa yang benar, mengapa melakukan hal-hal atau kejadian-kejadian yang membuat kita bahagia atau menyebabkan penderitaan, dan seterusnya. Kerinduan akan pengetahuan yang membebaskan ini dibantu oleh, diklaim oleh Adhi Shankara Advaita Wedanta, seorang guru, studi pengetahuan historis dan viveka (berpikir kritis). Ini karena seorang guru dapat membantu seseorang mengembangkan pengetahuan maya (sifat ilusi dunia), sebuah tahap kritis di jalan menuju moksa. Shankara memperingatkan bahwa guru dan pengetahuan historis mungkin terdistorsi, jadi tradisi dan asumsi historis harus dipertanyakan oleh seseorang yang mencari moksa. Mereka yang berada di jalan mereka menuju moksa (samnyasin), ucap Klaus Klostermaier, pada dasarnya adalah mereka yang terbebas, tanpa mengidamkan apa pun di kehidupan duniawi, dengan demikian tidak didominasi oleh, atau mendominasi siapa pun.

Vivekachudamani, yang secara harafiah berarti "Mahkota Permata Penalaran Diskriminatif", adalah sebuah buku yang dikhususkan untuk moksa di filsafat Wedanta. Ini menjelaskan perilaku dan pengejaran apa yang mengarah pada moksa, seperti tindakan dan asumsi apa yang menghalangi moksa. Empat keadaan esensial, menurut Vivekachudamani, sebelum seseorang dapat memulai jalan moksa, termasuk (1) vivekah (diskriminasi, penalaran kritis) antara prinsip abadi dan dunia sekilas; (2) viragah (ketidakpedulian, kurangnya keinginan) untuk penghargaan materiil; (3) samah (ketenangan pikiran), dan (4) damah (pengendalian diri, kesederhanaan). Brahmasutrabhasya menambahkan empat persyaratan di atas, yaitu: uparati (tidak adanya bias, objektivitas), titiksa (ketahanan, kesabaran), sraddha (keyakinan), dan samadhana (niat, komitmen).

Tradisi Adwaita mempertimbangkan moksa yang dapat dicapai dengan menghilangkan avidya (penolakan). Moksa terlihat sebagai pelepasan final dari ilusi, dan melalui pengetahuan (anubhava) sifat dasar diri sendiri, yaitu Satcitananda. Advaita berpendapat tidak ada pembedaan wujud/nonwujud antara Atman, Brahman, dan Paramatman. Pengetahuan Brahman mengarah pada moksa, di mana Brahman digambarkan sebagai yang merupakan asal mula dan akhir segala sesuatu, prinsip universal di balik dan sumber segala sesuatu yang ada, kesadaran yang meresap apa pun dan siapa pun. Advaita Wedanta menekankan Jnana Yoga sebagai alat untuk mencapai moksa. Kebahagiaan, menurut mazhab ini, adalah buah ilmu (vidya) dan kerja (karma).

Tradisi Dwaita (dualisme) mendefinisikan moksa sebagai kesatuan yang penuh kasih dan kekal dengan Dewa dan dianggap sebagai kesempurnaan tertinggi dari keberadaan. Mazhab Dwaita menyarankan setiap jiwa menemui pembebasan secara berbeda. Mazhab dualis (seperti Waisnawa) memandang Dewa sebagai objek kasih sayang, seperti konsepsi monoteistik yang dipersonifikasikan tentang Siwa, Wisnu, atau Adishakti. Dengan membenamkan diri dalam kasih sayang Dewa, karma seseorang terkelupas, ilusi seseorang memudar, dan kebenaran dijalani. Baik yang dipuja dan yang memuja secara gradual kehilangan rasa keterpisahan mereka yang ilusif dan hanya Satu di luar segala nama yang tersisa. Ini adalah penyelamatan dualis mazhab Hindu. Dwaita Wedanta menekankan Bhakti Yoga sebagai alat untuk mencapai moksa.

Tradisi Wisistadwaita, yang dipimpin oleh Ramanuja, mendefinisikan avidya dan moksa secara berbeda dari tradisi Advaita. Bagi Ramanuja, avidya adalah fokus pada diri sendiri, dan vidya adalah fokus pada mencintai dewa. Mazhab Vishistadvaita berpendapat bahwa mazhab lain Hindu membuat sebuah kesalahan rasa keagenan yang salah pada individu, yang membuat individu berpikir diri sendiri sebagai dewa potensial atau realisasi diri. Gagasan-gagasan tersebut, ucap Ramanuja, membusuk ke arah materialisme, hedonisme, dan pemujaan diri. Individu melupakan Ishvara (Dewa). Mukti, bagi mazhab Vishistadvaita, adalah pelepasan dari avidya tersebut, menuju intuisi dan persatuan abadi dengan Dewa.

Moksa dalam hidup ini

Di antara mazhab Hindu Samkhya, Yoga, dan Wedanta, pembebasan dan pembebasan yang dicapai dalam kehidupan seseorang merujuk ke jivanmukti, dan individu yang telah mengalami keadaan ini disebut jivanmukta (seseorang yang memahami-diri). Lusinan Upanishads, termasuk mereka dari periode pertengahan Upanishadic, menyebutkan atau menggambarkan keadaan pembebasan, jivanmukti. Beberapa menentang jivanmukti dan videhamukti (moksa dari samsara setelah kematian). Jivanmukti adalah keadaan yang mengubah alam, atribut, dan perilaku seseorang, menurut naskah-naskah filsafat kuno Hindu. Sebagai contoh, menurut Naradaparivrajaka Upanishad, seseorang yang merdeka menunjukkan atribut seperti:

  • ia tidak terganggu oleh kata-kata yang tidak terhormat dan menanggung kekejaman, memperlakukan yang lain dengan hormat tanpa memandang bagaimana yang lain memperlakukannya;
  • saat berhadapan dengan orang yang marah, ia tidak marah, bahkan menjawabnya dengan kata-kata yang baik;
  • bahkan jika sedang tersiksa, ia mengucapkan dan memercayai kebenaran;
  • ia tidak pernah melukai atau menyakiti makhluk hidup apapun (ahimsa), ia berniat demi kesejahteraan semua makhluk;
  • ia nyaman sendiri sama seperti saat di hadapan orang lain;
  • ia nyaman dengan sebuah mangkuk, di kaki pohon dengan jubah compang-camping tanpa bantuan, seperti saat ia sedang berada di sebuah mithuna (kesatuan pengemis), grama (desa), dan nagara (kota);
  • ia tidak peduli tentang atau memakai sikha (jumbai rambut di belakang kepala karena alasan agama), maupun benang suci di sekujur tubuhnya. Baginya, pengetahuan adalah sikha, pengetahuan adalah benang suci, pengetahuan sajalah yang tertinggi. Penampilan luar dan ritual tidak menjadi masalah baginya, hanya pengetahuan yang penting;
  • baginya, tidak ada doa atau pemberhentian dewa-dewa, tidak ada mantra atau non-mantra, tidak ada sujud atau pemujaan terhadap dewa, dewi atau leluhur, tidak lain hanyalah pengetahuan tentang Diri;
  • ia ramah, bersemangat, dan memiliki pikiran yang jernih dan stabil, terus-terang, penyayang, sabar, acuh tak acuh, berani, bicaranya tegas dan dengan kata-kata manis.

Ketika seorang Jivanmukta mati, ia menerima Paramukti dan menjadi Paramukta. Jivanmukta mengalami pencerahan dan pembebasan saat hidup dan setelah mati, yang mana setelah menjadi paramukta, ketika Videhmukta mengalami pencerahan dan pembebasan hanya setelah mati.

Dada Bhagwan mengungkapkan:

Tahap pertama Moksa adalah saat kamu mengalami rasa netral terhadap masalah dan kesengsaraan. Di tahapan pertama Moksa, seseorang mengalami ketidakpedulian terhadap ketidakbahagiaan duniawi apa pun. Bahkan di ketidakbahagiaan duniawi, seseorang tetap tidak terpengaruh. Di tengah penderitaan dikenakan pada Anda oleh orang lain atau faktor eksternal, kamu mengalami samadhi (bebas dari penderitaan, untuk mengalami keadaan kebahgiaan orang itu sendiri). Itulah tahap pertama Moksa. Tahap kedua Moksa, Moksa permanen, dicapai setelah kematian. Tahap pertama Moksa seharusnya dicapai di sini dan sekarang!



Moksa dalam Hindu Bali

Hindu Bali menggabungkan moksa sebagai satu dari lima tattva. Empat lainnya yaitu: brahman (satu-satunya kepala dewa tertinggi, berbeda dengan Brahmana), atma (jiwa atau roh), karma (tindakan dan timbal balik, kausalitas), dan samsara (prinsip kelahiran kembali, reinkarnasi). Moksa, dalam kepercayaan Hindu Bali, adalah kemungkinan kesatuan dengan sang ilahi; kadang-kadang dirujuk sebagai nirwana.

Pencapaian

Dalam Hinduisme, atma-jnana (kesadaran akan "sang diri") adalah kunci untuk meraih moksa. Umat Hindu boleh melakukan suatu bentuk (atau lebih) dari beberapa macam Yoga - Bhakti, Karma, Jnana, Raja - dengan menyadari bahwa Dewa bersifat tak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun impersonal.

Diyakini bahwa ada empat Yoga (pengendalian) atau marga (jalan) untuk mencapai moksa. Hal ini meliputi: berbakti demi Yang Mahakuasa (Karma Yoga), memahami Yang Mahakuasa (Jnana Yoga), bermeditasi kepada Yang Mahakuasa (Raja Yoga), dan melayani Yang Mahakuasa dengan bakti yang tulus (Bhakti Yoga). Tradisi Hinduisme yang berbeda-beda memiliki kecenderungan antara jalan yang satu dengan yang lainnya, beberapa yang terkenal di antaranya adalah tradisi Tantra dan Yoga yang berkembang dalam Hinduisme.

Pendekatan oleh tradisi Wedanta terbagi menjadi non-dualitas (adwaita), non-dualitas dengan kualifikasi (misalnya wisistadwaita), dan dualitas (dwaita). Cara mencapai moksa yang dianjurkan oleh tiga tradisi tersebut bervariasi.

  1. Adwaita Wedanta menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa. Tradisi ini fokus kepada sastra tentang Brahman yang disediakan oleh literatur tradisional Wedanta dan ajaran pendirinya, Adi Shankara.[5] Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tak nyata, sadhaka (praktisi spiritual) akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa dunia yang teramati sesungguhnya merupakan dunia ilusi, fana, dan maya, dan "kesadaran" tersebut merupakan satu-satunya hal yang nyata. Pemahaman tersebut merupakan moksa, saat atman (percikan Dewa dalam diri) dan Brahman (esensi alam semesta) saling memahami sebagai substansi dan kehampaan akan dualitas eksistensial.
  2. Tradisi non-dualis memandang Dewa sebagai objek kasih sayang yang paling patut disembah, misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu. Tidak seperti tradisi agama Abrahamik, Adwaita/Hinduisme tidak melarang aspek Dewa yang berbeda-beda, seperti berbagai sinar yang berasal dari sumber cahaya yang sama.

Seseorang harus mencapai moksa dengan bimbingan seorang guru. Seorang guru atau siddha hanya membimbing namun tidak campur tangan.

Surga (svarga) diyakini sebagai tempat bagi karma sementara yang mesti dihindari oleh orang yang menginginkan moksa demi bersatu dengan Dewa melalui Yoga.

Buddha

Dalam mazhab Buddha, istilah "moksa" itu tidak umum, tetapi sama dengan istilah vimutti, "melepas". Dalam sutta disebutkan dua bentuk pelepasan, yaitu ceto-vimutti, “pembebasan pikiran,” dan panna-vimutti, “pembebasan melalui kebijaksanaan” (pandangan terang). Ceto-vimutti terkait dengan praktik dhyana, sementara panna-vimutti terikat dengan pengembangan pengetahuan. Menurut Gombrich, pembedaannya mungkin merupakan perkembangan selanjutnya, yang mengakibatkan perubahan doktrin, mengenai praktik dhyana tidak cukup untuk pembebasan akhir.

Dengan pelepasan datanglah Nirwana (Pali: Nibbana), "meniup", "memadamkan", atau "mematikan" api nafsu dan pandangan diri. Ini adalah "keadaan abadi" di mana tidak ada lagi yang sengsara.

Nirwana mengakhiri putaran Dukkha dan reinkarnasi di enam alam samsara (Buddhisme). Ini adalah bagian dari doktrin Empat Kebenaran Mulia mazhab Buddha, yang memainkan peran penting dalam Buddhisme Theravada. Nirwana digambarkan sebagai keadaan pelepasan yang ditandai dengan "kekosongan" dan realisasi tanpa Diri. Deskripsi seperti itu, kata Peter Harvey, dibantah oleh para cendekiawan karena nirwana dalam mazhab Buddha pada akhirnya digambarkan sebagai keadaan "kesadaran yang terhenti (meledak), tetapi bukan berarti tidak ada", dan "tampaknya mustahil untuk membayangkan seperti apa kesadaran tanpa objek apa pun".

Jainisme

Dalam mazhab Jainisme, moksa dan nirwana adalah satu dan sama. Naskah Jainisme terkadang menggunakan istilah Kevalya, dan menyebut jiwa yang terbebaskan sebagai Kevalin. Seperti halnya semua mazhab di India, moksa adalah tujuan spiritual utama Jainisme. Ini mendefinisikan moksa sebagai pelepasan spiritual dari semua karma.

Jainisme adalah filsafat non-teistik Sramana yang percaya pada diri atau jiwa metafisik permanen yang sering disebut jiva. Jaina percaya bahwa jiwa ini adalah apa yang berpindah dari satu ke lainnya pada waktu kematian. Keadaan moksa dicapai ketika jiwa (atman) terbebas dari siklus kematian dan reinkarnasi (samsara), berada di puncak, mahatahu, menetap di sana selamanya, dan dikenal sebagai siddha. Di Jainisme, ini diyakini sebagai tahap melampaui pencerahan dan kesempurnaan etika, kata Paul Dundas, karena mereka dapat melakukan aktivitas fisik dan mental seperti mengajar, tanpa menimbulkan karma yang mengarah pada reinkarnasi.

Tradisi Jaina percaya bahwa Abhavya (tidak mampu), atau golongan jiwa yang tidak pernah bisa mencapai moksa (pembebasan) itu ada. Keadaan jiwa Abhavya dimasuki setelah tindakan jahat yang disengaja dan mengejutkan, tetapi naskah Jaina juga menerapkan kondisi Abhavya secara polemik kepada mereka yang termasuk dalam tradisi India kuno yang bersaing yang disebut Ājīvika. Seorang pria dianggap yang paling dekat dengan puncak moksa, dengan potensi mencapai pembebasan, khususnya melalui asketisme. Kemampuan wanita untuk mencapai moksa masih menjadi perdebatan, dan subtradisi Jainisme tidak mendukungnya. Di dalam tradisi Digambara Jainisme, wanita harus hidup secara etis dan memeroleh pahala karma untuk terlahir kembali sebagai seorang pria, karena hanya pria yang dapat mencapai pembebasan spiritual. Sebaliknya, tradisi Śvētāmbara memercayai bahwa wanita juga dapat mencapai moksa seperti pria.

Menurut Jainisme, pemurnian jiwa dan pembebasan dapat dicapai melalui jalan tiga permata: Samyak darśana (Pandangan Benar), artinya keyakinan, penerimaan kebenaran jiwa (jīva); Samyak jnana (Pengetahuan yang Benar), artinya pengetahuan yang tidak diragukan lagi tentang tattva; dan Samyak charitra (Perilaku Benar), artinya perilaku yang sesuai dengan Lima Sumpah. Naskah Jaina kadang-kadang menambahkan samyak tap (Pertapaan yang Benar) sebagai permata keempat, menekankan keyakinan pada praktik pertapaan sebagai sarana menuju pembebasan (moksa). Keempat permata tersebut disebut moksa marg. Menurut naskah Jaina, jiwa murni yang terbebaskan (Siddha) naik ke puncak alam semesta (Siddhashila) dan berdiam di sana dalam kebahagiaan abadi.

Sikhisme

Konsep Sikh mukti (Gurmukhi: ਮੁਕਤੀ) serupa dengan mazhab India lainnya dan merujuk kepada pembebasan spiritual. Dijelaskan dalam Sikhisme sebagai keadaan yang memutus siklus reinkarnasi. Mukti diperoleh berdasarkan Sikhisme, kata Singha, melalui "rahmat Dewa". Menurut Guru Granth Sahib, pengabdian kepada Dewa dipandang lebih penting daripada keinginan untuk Mukti.

Saya tidak menginginkan kekuatan duniawi maupun kebebasan.
Aku tidak menginginkan apa pun selain melihat Tuhan.
Brahma, Shiva, Siddha, orang bijak yang diam dan Indra
Aku hanya mencari Visi Terberkahi dari Tuhanku dan Darshan Guruku.
Aku datang, tanpa daya, ke PintuMu, ya Tuhan Yang Maha Esa;
Saya kelelahan – saya mencari Tempat Suci Para Suci.
Ucap Nanak, Aku telah bertemu dengan Tuhanku yang Memikat; pikiranku menjadi sejuk dan tenteram –
pikiranku berkembang dalam kegembiraan.

Sikhisme merekomendasikan Naam Simran sebagai jalan menuju Mukti, yang berarti meditasi dan mengulang Naam (nama-nama Dewa).

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Many verses from Vivekachudamani expound on “Tat tvam asi” phrase such as the verse above. For other verses, and translation, see:
  2. ^ Linda Johnsen (2002), The Living Goddess: Reclaiming the Tradition of the Mother of the Universe, ISBN 978-0936663289, pp 51–52; for sanskrit original see: सरस्वतीरहस्योपनिषत् sarasvatIrahasya
  3. ^ See:
  4. ^ For Sanskrit version: Sadasivendra Sarasvati (1912), Yoga Sutra; For English version: Charles Johnston (1912), yogasutrasofpata00pata Yoga Sutra of Patanjali; For secondary peer reviewed source, see: Jeffrey Gold, Plato in the Light of Yoga, Philosophy East and West, Vol. 46, No. 1 (Jan., 1996), pp. 17–32; A. Sharma, The Realization of Kaivalya, in Explorations in Australian Literature, ISBN 978-8176257091, Chapter 18
  5. ^ Anantanand Rambachan, The limits of scripture: Vivekananda's reinterpretation of the Vedas. University of Hawaii Press, 1994, pages 125, 124: [1].
  6. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama hssingha54
  7. ^ Guru Granth Sahib P534, 2.3.29


Kembali kehalaman sebelumnya