Mortimer J. Adler
Mortimer Jerome Adler (28 Desember 1902 – 28 Juni 2001) adalah seorang penulis populer, pendidik, dan filsuf Amerika Serikat. Sebagai seorang filsuf, ia berkarya di dalam tradisi Aristotelian dan Thomistik. Ia tinggal untuk waktu yang lama di Kota New York, Chicago, San Francisco, dan San Mateo, California.[1] Adler berkarya di Universitas Columbia, Universitas Chicago, Encyclopædia Britannica, dan Institute for Philosophical Research yang ia dirikan. BiografiKota New YorkAdler lahir di Kota New York pada tanggal 28 Desember 1902 dari keluarga imigran Yahudi. Ia keluar dari sekolah pada usia 14 tahun demi menjadi seorang copy boy untuk New York Sun, dengan cita-cita utama menjadi seorang jurnalis.[2] Tidak lama kemudian Adler kembali ke bangku sekolah untuk mengikuti kelas menulis pada malam hari, dan menemukan karya-karya sejumlah tokoh yang kelak ia sebut para "pahlawan": Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Locke, John Stuart Mill dan lain-lain.[3] Ia melanjutkan studi di Universitas Columbia dan berkontribusi pada majalah literer kemahasiswaan The Morningside (sebuah puisi berjudul "Choice" pada tahun 1922 ketika Charles A. Wagner[4] bertugas sebagai editor utama dan Whittaker Chambers sebagai editor-rekan).[5] Kendati ia menolak untuk menjalani ujian renang yang disyaratkan untuk mendapatkan gelar sarjana (suatu persoalan yang diralat ketika Columbia memberinya gelar kehormatan pada tahun 1983), ia tetap di universitas tersebut, menerima suatu pengajaran, dan akhirnya memperoleh gelar doktor dalam bidang psikologi.[6] Saat masih di Universitas Columbia, Adler menulis buku pertamanya, Dialectic, yang diterbitkan pada tahun 1927.[7] ChicagoPada tahun 1930, Robert Hutchins, presiden Universitas Chicago yang baru diangkat, yang telah menjalin pertemanan dengan Adler sejak beberapa tahun sebelumnya, bermaksud menariknya menjadi profesor filsafat hukum di sekolah hukum Chicago. Para filsuf di Chicago (termasuk James H. Tufts, E.A. Burtt, dan George H. Mead) sempat memiliki "keraguan besar mengenai kompetensi Dr. Adler dalam bidang [filsafat]"[8] dan menolak penunjukan Adler untuk Departemen Filsafat di universitas itu.[9][10] Adler adalah "non-pengacara" pertama yang bergabung dengan tim pengajar sekolah hukum tersebut.[11] Adler juga mengajar filsafat kepada para eksekutif bisnis di Aspen Institute.[7] "Great Books" dan seterusnyaAdler dan Hutchins kemudian memulai program Great Books of the Western World dan mendirikan Great Books Foundation. Ia mendirikan dan menjabat sebagai direktur Institute for Philosophical Research pada tahun 1952. Ia juga duduk dalam Dewan Editor Encyclopædia Britannica, dan menggantikan Hutchins sebagai ketuanya sejak tahun 1974. Sebagai direktur perencanaan editorial untuk Britannica edisi ke-15 sejak tahun 1965, ia juga berperan penting dalam melakukan reorganisasi besar pengetahuan yang terkandung dalam edisi tersebut.[12] Ia memperkenalkan Paideia Proposal yang membuatnya menetapkan Paideia Program, suatu kurikulum sekolah dasar yang berpusat pada diskusi dan pembacaan terpandu karya-karya sulit (dengan penilaian tersendiri untuk masing-masing kelas). Pada tahun 1990, bersama dengan Max Weismann, ia mendirikan Center for the Study of The Great Ideas di Chicago. Daya tarik populerAdler berusaha keras untuk memperkenalkan filsafat kepada masyarakat luas, dan sejumlah karyanya (misalnya How to Read a Book) menjadi buku-buku terlaris yang populer. Ia juga salah seorang pendukung demokrasi ekonomi dan menulis suatu kata pengantar yang dipandang berpengaruh dalam The Capitalist Manifesto karya Louis O. Kelso.[13] Adler sering mendapat bantuan dalam penulisan dan pemikirannya oleh Arthur Rubin, seorang teman lama dari masa kuliahnya di Columbia. Ia mengatakan:
Dwight Macdonald pernah mengkritik gaya populer Adler dalam menulis dengan mengatakan, "Tuan Adler pernah menulis sebuah buku berjudul How to Read a Book (Bagaimana Membaca Sebuah Buku). Sekarang ia seharusnya membaca sebuah buku berjudul How to Write a Book (Bagaimana Menulis Sebuah Buku)."[14] KontroversiKomposisi etnis dalam daftar Great Books Adler dianggap kontroversial oleh beberapa kalangan akademisi, sebagaimana juga tanggapannya terhadap kritik yang mengiringinya. Henry Louis Gates Jr. menganggap daftar tersebut eksklusif secara etnis, mengatakan bahwa susunan daftar tersebut memperlihatkan suatu "ketidakpedulian yang mendalam terhadap kapasitas intelektual orang-orang kulit berwarna – merah, coklat atau kuning". E. D. Hirsch mengklaim bahwa proyek Great Books of the Western World pada dasarnya tidak perlu, mengatakan bahwa suatu pemahaman tentang nilai-nilai kultural bersama lebih penting daripada membacanya. Pada suatu wawancara tahun 1990 dengan Los Angeles Times, Adler ditanyai mengapa Great Books of the Western World karyanya tidak memasukkan lebih banyak orang yang bukan berkulit putih dan non-Eropa. Ia mengaitkan kurangnya penulis-penulis Latino dengan kurangnya rekomendasi oleh Octavio Paz, seorang penyair Meksiko dan anggota komite penulis, dan kurangnya penulis-penulis kulit hitam dengan kurangnya buku-buku yang cukup baik yang sesuai dengan kriteria. Dalam menghadapi kritik, Adler menyatakan bahwa kuota etnis tidak relevan dengan topik tersebut.[15] Agama dan teologiAdler dilahirkan dalam suatu keluarga Yahudi yang tidak mempraktikkan tradisi dan keyakinannya. Di usia dua puluhan awal, ia menemukan karya-karya tulis Santo Thomas Aquinas, dan khususnya Summa Theologica.[16] Bertahun-tahun kemudian, ia menuliskan bahwa "ketajaman intelektual, integritas, ketepatan, dan kecemerlangan" karya tersebut "menempatkan studi teologi sebagai yang paling utama di antara semua interes filosofis saya".[17] Sebagai seorang Thomis yang antusias, ia sering menjadi kontributor jurnal pendidikan dan filsafat Katolik, sehingga beberapa orang menganggapnya sebagai seorang konver Katolik, sesuatu yang baru ia wujudkan kelak menjelang akhir hidupnya di dunia ini.[16] Pada tahun 1940, James T. Farrell menyebut Adler sebagai "sesama-pelancong Amerika yang terkemuka dari Gereja Katolik Roma". Kata Farrell, apa yang benar bagi Adler adalah apa yang "didalilkan dalam dogma Gereja Katolik Roma", dan ia "menyanyikan lagu yang sama" seperti yang ditegaskan oleh para filsuf Katolik seperti Étienne Gilson, Jacques Maritain, dan Martin D'Arcy. Farrell mengaitkan penundaan Adler bergabung dengan Gereja Katolik dengan keberadaannya sebagai salah satu di antara orang-orang Kristen yang "ingin [tetap memiliki] kue mereka dan... [sekaligus] ingin memakannya juga", serta membandingkan Adler dengan Kaisar Konstantinus, yang menunggu hingga ia terbaring di ranjang kematiannya untuk secara resmi menjadi seorang Katolik.[18] Adler butuh waktu lama untuk mengambil keputusan terkait isu-isu teologis. Pada buku How to Think About God: A Guide for the Twentieth-Century Pagan yang ditulisnya pada tahun 1980, ia menganggap seolah-olah dirinya sendiri seorang pagan jika melihat subjudul buku tersebut. Dalam volume 51 dari Mars Hill Audio Journal (2001), Ken Myers memasukkan wawancaranya dengan Adler pada tahun 1980, yang dilakukan setelah How to Think About God diterbitkan. Myers mengenang, "Selama wawancara itu, saya bertanya kepadanya mengapa dia sendiri tidak pernah memeluk iman Kristen. Dia menjelaskan bahwa meskipun dia telah sangat dipengaruhi oleh sejumlah pemikir Kristen selama hidupnya, ... terdapat hambatan-hambatan moril – bukan intelektual – untuk konversinya. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut."[19] Myers mencatat bahwa Adler akhirnya "menyerah kepada sang Hound of Heaven" ("Pengejar Surga", judul sebuah puisi terkenal karya en ) serta menyatakan suatu "pengakuan iman dan dibaptis" sebagai seorang Episkopalian pada tahun 1984, hanya beberapa tahun setelah wawancara tersebut. Myers menyajikan pandangan terkait konversi Adler, mengutipnya dari sebuah artikel tahun 1990 di majalah Christianity: "Alasan utama saya memilih Kekristenan adalah karena misteri tersebut tidak terpahami. Apa gunanya wahyu apabila kita sendiri dapat menyingkapkannya? Apabila dapat sepenuhnya terpahami, maka itu hanya akan menjadi satu lagi filsafat lainnya."[19] Menurut Deal W. Hudson temannya, Adler "telah tertarik pada Katolisisme selama bertahun-tahun" dan "ingin menjadi seorang Katolik Roma, tetapi isu-isu seperti aborsi serta resistensi keluarga dan teman-temannya" menjauhkannya. Banyak orang yang berpikir bahwa Adler dibaptis sebagai seorang Episkopalian, bukan sebagai seorang Katolik, semata-mata karena ia beristrikan seorang "istri yang luar biasa – dan penganut Episkopal yang penuh antusias", yaitu Caroline. Hudson mengemukakan bahwa bukan suatu kebetulan Adler baru mengambil langkah terakhirnya setelah kemangkatan sang istri pada tahun 1998.[20] Pada bulan Desember 1999, di San Mateo, tempat kepindahannya untuk menghabiskan tahun-tahun terakhirnya, Adler diterima secara resmi dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik oleh seorang teman lama dan pengagumnya, Uskup Pierre DuMaine.[16] "Akhirnya," tulis seorang teman lainnya, Ralph McInerny, "ia menjadi Katolik Roma yang telah ia biasakan seumur hidupnya".[2] Adler menjadi seorang Katolik selama sekitar satu tahun, sebelum ia wafat pada tanggal 28 Juni 2001 di Palo Alto, California. Kendati Adler tidak menjadi seorang Katolik selama sebagian besar hidupnya, ia dapat dianggap sebagai seorang filsuf Katolik karena keterlibatannya sepanjang hidup dalam gerakan Neo-Thomis[19] dan keanggotaannya yang hampir sama panjang dalam American Catholic Philosophical Association (ACPA).[2] FilsafatAdler menyebut Etika Nikomakea dari Aristoteles sebagai "etika akal sehat" dan juga sebagai "satu-satunya filsafat moral yang kukuh, praktis, dan tidak dogmatis". Dengan demikian, etika tersebut dipandangnya sebagai satu-satunya ajaran etis yang menjawab segala pertanyaan yang harus dan dapat dijawab oleh filsafat moral, tidak lebih dan tidak kurang, serta memiliki jawaban yang benar dengan standar kebenaran yang tepat dan berlaku untuk penilaian-penilaian normatif. Sebaliknya, ia meyakini bahwa ajaran-ajaran atau teori-teori lainnya berupaya menjawab lebih banyak pertanyaan daripada yang dapat dijawabnya ataupun lebih sedikit daripada yang seharusnya dijawab, dan jawaban-jawaban tersebut merupakan perpaduan antara kebenaran dan kekeliruan, terutama filsafat moral Immanuel Kant. Adler menyatakan diri sebagai seorang "dualis moderat", serta memandang posisi dualisme psikofisik dan monisme materialistik sebagai sisi-sisi yang berlawanan dari dua ekstrem. Mengenai dualisme, ia menolak bentuk ekstrem dualisme yang berasal dari filsuf-filsuf seperti Plato (tubuh dan jiwa) dan Descartes (pikiran/budi dan materi), serta teori monisme ekstrem dan teori identitas budi-otak. Setelah menyingkirkan ekstrem-ekstrem tersebut, Adler menganut suatu bentuk dualisme yang lebih moderat. Ia meyakini bahwa otak manusia semata-mata merupakan suatu kondisi yang dibutuhkan untuk pemikiran konseptual, namun tidak mencukupi; bahwa "intelek imaterial" juga diperlukan sebagai suatu kondisi;[21] dan menurutnya perbedaan antara perilaku manusia dan hewan merupakan suatu perbedaan radikal dalam hal jenis. Adler membela posisi tersebut dari banyaknya tantangan terhadap teori-teori dualistik. Kebebasan dan kehendak bebasMakna dari "kebebasan" dan "kehendak bebas" telah dan masih diperdebatkan, dan perdebatan tersebut dianggap membingungkan karena tidak terdapat definisi "kebebasan" ataupun "kehendak bebas" yang diterima secara umum.[22][23][24] "Institute for Philosophical Research" yang didirikan Adler menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk mempelajari "gagasan kebebasan" karena kata tersebut digunakan oleh ratusan penulis yang telah membahas dan memperdebatkan kebebasan.[25] Studi ini dipublikasikan pada tahun 1958 sebagai Volume 1 The Idea of Freedom, memiliki subjudul A Dialectical Examination of the Idea of Freedom dengan komentar-komentar tambahan dimuat dalam Adler's Philosophical Dictionary. Studi Adler menyimpulkan perlunya suatu penggambaran atas tiga jenis kebebasan untuk kejelasan tentang subjek ini:[26][27]
AgamaMeningkatnya minat Adler dalam bidang agama dan teologi menyebabkan ia menyinggung Alkitab dan kebutuhan untuk menguji pasal-pasalnya yang mengandung keimanan demi kesesuaian dengan kepastian-kepastian dari bidang pengetahuan alam (atau kodrati) seperti sains dan filsafat.[28] Dalam buku karyanya tahun 1981 yang berjudul How to Think About God, Adler berupaya untuk menunjukkan Allah sebagai "exnihilator" (pencipta sesuatu yang ada dari tidak ada).[3] Adler menekankan bahwa, dengan kesimpulan ini, keberadaan Allah tetap tidak dapat dibuktikan ataupun ditunjukkan selain sekadar ditetapkan sebagai benar adanya tanpa suatu keraguan yang masuk akal. Bagaimanapun, dalam suatu tinjauan ulang baru-baru ini atas argumen Adler, John Cramer menyimpulkan bahwa perkembangan terakhir dalam kosmologi tampaknya mendukung dan berpadu dengan argumen tersebut, dan dengan mempertimbangkan teori-teori seperti multiversum, argumen tersebut tampaknya tetap berlaku dan saat ini dapat dinilai agak lebih memungkinkan daripada awalnya.[29] Adler meyakini bahwa, apabila teologi dan agama adalah hal-hal hidup, tidak ada yang salah pada hakikatnya sehubungan dengan upaya-upaya untuk memodernisasi keduanya. Keduanya harus terbuka terhadap perubahan dan pertumbuhan sebagaimana hal-hal lainnya. Selanjutnya, tidak alasan untuk terkejut ketika diskusi-diskusi seperti tentang "kematian Allah" – sebuah konsep yang diambil dari Nietzsche – menimbulkan antusiasme luas sebagaimana terjadi di masa lalu, dan dapat saja terjadi lagi di masa kini. Menurut Adler, dari semua great ideas ("gagasan-gagasan besar"), gagasan akan Allah tetap selalu menjadi satu gagasan yang membangkitkan perhatian yang paling besar di antara kelompok terbesar manusia. Bagaimanapun, ia menentang gagasan mengubah ateisme menjadi suatu bentuk baru agama ataupun teologi. Karya-karya yang diterbitkan
Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|