Muhammad Daeng Patompo
Kolonel (Purn.) H. Muhammad Daeng Patompo adalah seorang politikus dan tentara Indonesia. Ia lahir pada 17 Agustus 1926 di Polewali Mandar. Pada awal Januari 1947, ia menuju daerah Polewali-Mandar, untuk mengambil senjata ditemani seorang anggota laskar Gonggawa, Ismail Badu.[1] Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, ia sudah menjadi perwira dengan pangkat letnan, dijuluki sebagai Bung Peco dan dianggap mudah panik tapi punya nyali untuk menyerang posisi tentara Belanda.[2] Revolusi Nasional IndonesiaSetelah sebuah serangan yang menewaskan seorang tentara Belanda, Patompo dan dua kawannya menyerahkan diri karena kawannya terluka. Mereka pun jadi tawanan Belanda dan akhirnya Patompo dikirim ke Nusakambangan di Jawa Tengah. Dia tidak lama di sana. Setelah bebas dia bergabung dengan TNI. Dia kembali menjadi letnan di bawah komando Andi Mattalata. Sekitar 1953, waktu gerombolan DI/TII masih merajalela di luar kota Makassar, Patompo nyaris menjadi komandan batalyon Oosterling berkat rekomendasi dari Kapten Andi Abdul Lathif. Namun sebelum mengisi jabatan itu, Patompo diuji dengan cara memimpin satu kompi pasukan di sekitar Taman Nasional Bantimurung. Selama dua bulan Patompo dan pasukannya itu bertahan di Camba. Setalah dua bulan berlalu, Patompo dan pasukannya diperintahkan Mattalata memasuki kota Makassar yang berjarak sekitar 70 kilometer. Bantuan kemudian datang dan kemudian mencari Patompo dan pasukannya yang tercerai-berai. Seminggu kemudian barulah Patompo ditemukan. Dia lalu dibawa ke oditur militer untuk diadili. Beruntungnya Patompo tak dipecat. Pangkatnya, yang masih Letnan Dua, harus turun satu tingkat. Baru di tahun 1960-an, dia berhasil menjadi kapten. Setelah menjadi Komandan Kodim di Polewali Mandar, daerah asalnya, dia dipanggil Kolonel M Jusuf ke Makassar. Kejayaan Patompo ternyata tak di militer, tapi setelah dikaryakan ke Departemen Dalam Negeri di lingkup Sulawesi Selatan. Wali kota MakassarPada tanggal 8 Mei 1965, dia diangkat sebagai Wali Kota Makassar di hadapan Sidang Pleno DPRD. Di zamannya, kota Makassar mengalami perluasan wilayah. Sebagian daerah kabupaten Maros masuk ke dalam daerah Makassar yang menjadi ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Patompo dikenal sebagai Wali Kota yang suka turba (turun ke bawah) untuk bergotong-royong dengan masyarakat. Tak segan dia pegang alat bersih-bersih seperti layaknya komandan yang memimpin pasukannya. Perkembangan kota Makassar di awal Orde Baru membuat Patompo dipadankan dengan Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Patompo adalah Wali Kota Makassar yang “membangun kota ini dengan program pokok Kota 5 Dimensi.”[3] Maksud dari 5 Dimensi itu adalah upaya menjadikan Makassar sebagai kota dagang, kota budaya, kota industri, kota akademik, dan kota pariwisata. Makassar punya modal untuk menjadi kota 5 dimensi. Di zaman Sultan Hasanuddin saja, Makassar sudah jadi kota dagang. Di Makassar juga sudah ada kampus dan banyak sekolah. Makassar pun kota yang ramai, tak hanya etnis Makassar-Bugis saja di dalamnya. Kota ini termasuk yang paling cepat berkembang di Indonesia Timur. Apalagi setelah modal asing dibuka di Indonesia. Patompo melakukan hal yang wajib dilakukan para Wali Kota di negara berkembang: perbaikan kampung. Ada Gerakan Masuk Kampung (GMK), misalkan. Patompo dianggap berhasil membuka isolasi kampung-kampung, pelosok dan pinggiran yang disatukannya dengan pusat kota. Patompo punya kemiripan dengan Ali Sadikin, yakni melegalkan judi lotto.[4] Patompo telah “membuka judi lotto dan berhasil memperoleh dana inkonvensional untuk pembangunan fisik kota pantai itu. Argumentasi-argumentasinya tak berbeda jauh dengan argumentasi Ali Sadikin.”[5] Patompo pun dijuluki Ali Sadikin-nya Ujung Pandang. Suatu kali dengan penuh percaya diri, Patompo berkelakar, “Ali Sadikin adalah Patompo-nya Jakarta.”[6] Sama seperti Ali, Patompo juga dikritik keras oleh para pemuka agama karena melegalkan judi. Perkembangan Makassar kala itu mirip perkembangan Jakarta. Majunya perekonomian dan berkembangnya kota diikuti dengan perkembangan dunia hiburan di kota yang bersangkutan. Rum Aly menyebut “Revolusi dunia hiburan metropolitan ini, tak memakan waktu yang lama untuk menjalar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia.”[5] Makassar menjadi salah satunya. Hingga saat ini, Patompo menjadi salah satu Wali Kota Makassar yang masih dikenang. Nama dan kenangan Patompo, setidaknya tercatat di gedung bekas balai kota Makassar yang bersejarah. Selain itu ada juga nama atau tempat bahkan sekolah dasar bernama Patompo di Makassar.[7] Referensi
|