Share to:

 

Muhammadiyah di Sumatera Barat

Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930

Muhammadiyah di Sumatera Barat adalah bagian dari sejarah yang meliputi usaha dan pengaruh organisasi ini dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Di Indonesia, Sumatera Barat terkenal sebagai basis utama Muhammadiyah bahkan melahirkan banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah di tingkat nasional. Bagi Muhammadiyah, daerah ini dianggap penting karena dari sinilah Muhammadiyah besar hingga punya banyak cabang di Indonesia.

Paham Muhammadiyah berasal dari Yogyakarta, kemudian dibawa ke Minangkabau oleh Sutan Mansur dan Haji Rasul. Pada 29 Mei 1925, keduanya membuka cabang Muhammadiyah di Nagari Sungai Batang, Maninjau dan menjadi cabang Muhammadiyah pertama di luar Jawa.[1][2] Dari cabang inilah, organsasi Muhammadiyah menyebar ke seluruh Sumatera Barat.

Sejarah

Masuknya paham Muhammadiyah

Saalah Yusuf Sutan Mangkuto

Paham Muhammadiyah dibawa ke Sumatera Barat oleh perantau Minang yang pergi ke Jawa Tengah. Sutan Mansur, yang juga murid dari Haji Rasul, merantau ke Pekalongan, Jawa Tengah untuk pergi berdagang kain batik pada tahun 1922. Hal ini dilakukannya karena mengajar bukanlah pekerjaan yang sesuai untuknya. Dalam urusan niaganya, Sutan Mansyur pergi ke Yogyakarta dan bertemu dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Dari pertemuan inilah Sutan Mansur belajar tentang Muhammadiyah yang akhirnya turut serta untuk mengembangkan Muhammadiyah di Pekalongan. Dia mengadakan tabligh Muhammadiyah di Pekalongan hingga mempunyai murid-murid. Perantau Minangkabau lainnya tertarik pula dengan ajaran yang disampaikannya sehingga dibentuklah Nurul Islam, organisasi untuk perantau Minangkabau yang turut mengembangkan dakwah Muhammadiyah.[3][2]

Pada tahun 1925, Haji Rasul pergi berkunjung ka Pekalongan untuk bersilaturahmi dengan Sutan Mansur yang juga menantunya. Dari kunjuangan ini, Haji Rasul tertarik dengan ide Muhammadiyah, apalagi melihat perantau-perantau Minangkabau yang turut serta mengembangkan usaha dakwahnya. Kemudian, Haji Rasul pulang ke Sungai Batang, Maninjau dan mulai mendirikan cabang Muhammadiyah.[3][2] Waktu itu, Haji Rasul telah membuat perkumpulan bernama Sendi Aman Tiang Selamat. Karena Haji Rasul merasa tujuan perkumpulannya bersesuaian dengan misi Muhammadiyah, dia mengubah dan melebur nama Sendi Aman Tiang Selamat menjadi Muhammadiyah, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1925. Muhammadiyah di Sungai Batang dicatat sabagai cabang Muhammadiyah pertama di luar Pulau Jawa.[4]

Pada bulan Juni 1926, Haji Rasul membuka cabang Muhammadiyah di Padang Panjang, tepatnya di Gatangan. Berbeda dengan yang di Sungai Batang, Muhammadiyah Padang Panjang telah punya amal usaha berupa sekolah. Muhammadiyah Padang Panjang diresmikan pada 2 Juni 1926 dan diketuai oleh Saalah Yusuf Sutan Mangkuto. Sesudah Muhammadiyah berdiri di Padang Panjang, berangsur-angsur daerah di Sumatera Barat lainnya membuka cabang, seperti Simabua pada 1927, Bukittinggi dan Payakumbuh pada tahun 1928, Kuraitaji dan Kubang pada tahun 1929, serta Padang pada 1930.[4]

Kongres Muhammadiyah 1930

Aktif dan berkambangnya Muhammadiyah di Minangkabau membuat daerah ini ditunjuk menjadi tempat acara besar Muhammadiyah. Di Solo, Haji Fakhruddin mengusulkan agar Minangkabau ditunjuk sebagai pelaksana kongres Muhammadiyah pada tahun 1930. Dia beralasan, Minangkabau merupakan negeri yang mampu memenuhi cita-cita Muhammadiyah, sekaligus pelopor pengembangan persyarikatan di seluruh Sumatera, bahkan seluruh Hindia Timur.[5]

Acara Kongres Muhammadiyah diadakan pada tanggal 14-21 Maret 1930 di Bukittinggi. Jelang kongres, para pimpinan Muhammadiyah bekerja keras untuk menambah jumlah ranting atau cabang. Salah seorang aktivis Muhammadiyah, Hamka berkeliling nagari-nagari di Maninjau dan Bukittinggi untuk membuka Muhammadiyah. Hasilnya, telah berdiri ranting Muhammadiyah di Tanjung Sani, Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, Sigiran, Airikir Koto Panjang, dan semua nagari-nagari di Bukittinggi. Kemudian, pengurus Muhammadiyah Cabang Bukittinggi membantu membuka cabang Sibolga dan Sipirok, sementara Hamka sendiri bekerja keras membuka cabang di Lakitan, Pesisir Selatan bersama Samik Ibrahim. Sampai tiba masanya kongres, Muhammadiyah di Minangkabau telah tersebar di 27 daerah.[5]

Pada 15 Maret 1930, Kongres Muhammadiyah ka-19 resmi dibuka di Lapangan Rookmakerplein, dekat Ngarai Sianok. Jumlah utusan yang tiba di acara pembukaan diperkirakan mencapai 20.000.[5]

Sumbangsih

Masjid Taqwa Muhammadiyah, Padang, merupakan masjid yang menjadi pusat dakwah Muhammadiyah di Sumatera Barat.

Dalam bidang agama, Muhammadiyah di Sumatera Barat giat melakukan pembaruan keagamaan yang pada masa itu didominasi oleh tarekat.[4]

Semenjak bedirinya, Muhammadiyah di Sumatera Barat menunjukkan perhatian yang besar dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dibuktian dari persyaratan yang diberikan kapada setiap ranting atau cabang yang ingin mendapatkan pengesahan, mesti terlebih dahulu mendirikan sekolah. Tersebarnya berbagai sekolah-sekolah yang dibuat oleh Muhammadiyah menunjukkan sumbangsih Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.[4]

Di bidang pendidikan, Muhammadiyah membawa sistem modern. Sebelum Muhammadiyah ada di Sumatera Barat, lembaga pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam masih tradisional dan belum sesuai dengan tuntutan zaman. Sistem pembelajaran dilaksanakan tanpa kurikulum, tahun ajaran, serta administrasi. Mata palajaran pengajian kitab terdiri dari ilmu sharaf/nahwu (gramatika bahasa Arab), ilmu fikih, dan ilmu tafsir. Model pendidikan, pengajaran dan basis utama nilai-nilai keagamaan ini serupa mirip pesantren. Muhammadiyah mencoba merombak sistem tradisional ke modern. Sekolah agama atau madrasah punya kelas, kurikulum, tahun ajaran, serta administrasi yang rapi. Kurikulum disesuaikan dengam perkembangan ilmu pengetahuan.[4]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Abdullah 2018, hlm. 94.
  2. ^ a b c "Mengembangkan Muhammadiyah di Sumbar". Republika Online. 2009-02-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-17. Diakses tanggal 2019-11-30. 
  3. ^ a b Abdullah 2018, hlm. 83.
  4. ^ a b c d e Kayo 2015.
  5. ^ a b c Seno 2015, hlm. 44-46.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya