Museum Adityawarman
Museum Adityawarman adalah museum budaya yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat.[3] Museum ini diresmikan pada 16 Maret 1977. Nama museum diambil dari nama besar salah seorang raja Malayapura pada abad ke-14, Adityawarman yang sezaman dengan Kerajaan Majapahit.[3][4][5] Museum ini memiliki julukan Taman Mini ala Sumatera Barat.[6] Sebagai museum budaya, Museum Adityawarman menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah, seperti cagar budaya Minangkabau dan sekitarnya beserta beberapa cagar budaya nasional. Salah satu di antaranya adalah bangunan yang berarsitektur Minang, rumah gadang.[3] SejarahMuseum Adityawarman adalah museum umum yang penamaannya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 01/1991 Tanggal 9 Januari 1991. Adanya penggunaan nama Adityawarman untuk mengingatkan kebesaran nama salah seorang Raja Minangkabau yang berkuasa pada abad ke-14. Museum ini mulai dibangun pada tahun anggaran 1974/1975 dan diresmikan pada tanggal 16 Maret 1977 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof. Dr. Syarif Thayeb.[7] Setelah otonomi daerah, tahun 2001 status Museum Adityawarman resmi dikelola Pemerintah Daerah Sumatera Barat di bawah naungan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya yang kini menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Barat. Pada Desember 2016 sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 Unit Pelaksana Teknis Daerah Museum Adityawarman berada dibawah koordinasi Dinas Kebudayaan Sumatera Barat. PembangunanMuseum ini berlokasi di komplek Lapangan Tugu Jl. Diponegoro Padang. Dibangun di atas tanah seluas 2,5 Ha ditumbuhi 100 jenis tanaman berupa pohon pelindung, tanaman hias dan apotek hidup. Lokasi ini dulunya dikenal dengan Taman Melati, sebuah taman tempat bermain warga Kota Padang. Pada zaman penjajahan Belanda di lokasi ini berdiri Monumen Micheils yang dihancurkan pada masa pendudukan Jepang.[8] Konstruksi museum dikerjakan pada tahun 1974. Peresmian museum ditandai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof. Dr. Syarif Thayeb.[9] Sesuai dengan SK Pemda Tingkat II Padang No. 3071/SDTK/XVIII-74 tanggal 8 Agustus 1974. KoleksiKoleksi utama yang terdapat di Museum Adityawarman dikelompokkan ke dalam sepuluh macam jenis koleksi, meliputi geologika/geografika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika/heraldika, filologika, keramologika, seni rupa, dan teknalogika.[3] Koleksi lain yang dimiliki oleh museum ini adalah benda purbakala peninggalan Kerajaan Dharmasraya, yaitu berupa duplikat patung Bhairawa dan patung Amoghapasa.[5] Ruang utama museum menampilkan diaroma yang mempresentasikan sistem adat yang dimiliki oleh masyarakat Minang dengan penjelas terstruktur mengenai hubungan kekerabatan dalam adat Minangkabau. Berbeda dari daerah-daerah lainnya di Indonesia yang pada umumnya memegang sistem kekerabatan patrilineal, Minangkabau sendiri menggunakan sistem matrilineal sehingga perempuan memegang pengaruh kuat di Minangkabau. Aktivitas perempuan Minang dipaparkan dengan apik di area museum. Mulai dari mengasuh anak, memasak untuk keluarga dan lingkungan lebih luas, sampai tradisi lisan yang berupa pantun sebagai sarana ibu menanamkan nilai kehidupan bagi anak. Kesenian banyak ditampilkan dalam upacara-upacara adat, salah satunya adalah upacara pernikahan. Di salah satu sudut museum terdapat ruang peragaan pelaminan pernikahan adat Minang. Tentu saja ruangan ini menjadi salah satu yang paling diminati oleh pengunjung.[3] Selain itu, di bagian ruangan lain terdapat koleksi-koleksi benda bersejarah dan budaya dari Suku Mentawai. Meskipun masih sama-sama dalam satu daerah, yakni Sumatera Barat, Suku Mentawai menerapkan adat istiadat yang sama sekali berbeda yakni menerapkan sistem kekerabatan patrilineal.[3] Ada beberapa koleksi pakaian masyarakat Minangkabau yang dapat kita temui ketika mengunjungi museum Adityawarman. SalendangSalendang digunakan sebagai kelengkapan pakaian adat perempuan Minang yang berupa kain tenunan. Pandai Sikek adalah salah satu daerah penghasil tenun terkenal di Sumatera Barat, terutama untuk jenis kain balapak yaitu kain tenun yang sarat dengan benang emas. Salendang ini terbuat dari benang katun warna merah, bentuk empat persegi panjang dengan teknik ATBM. Hiasan songketan benang emas motif barantai, sajamba makan, belah ketupat dan pucuk rabuang. Pinggir kain bermotifkan batang pinang, atua bada, saluak laka dan bijo antimun. Memakai salendang juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang dijalankan oleh kaum perempuan Minang wanita harus sesuai dengan adat dan agama. Selain itu juga harus sesuai dengan falsafah ABS- SBK.[7] SisampingPenghulu adalah pemimpin kaum/suku di Minangkabau yang banyak mengetahui tentang adat istiadat. Penghulu dipilih dan diangkat oleh kaumnya dan dilewakan upacara pengangkatan penghulu dengan memakai pakaian kebesaran penghulu. Salah satu kelengkapan pakaian penghulu adalah sisamping. Bentuk empat persegi panjang, terbuat dari benang merah dengan teknik ATBM. Permukaan kain penuh dengan hiasan songketan benang emas bermotifkan pucuak rabuang yang didalamnya menggunakan motif bunga, dan saik galamai. Bidang kain bermotifkan saik galamai. Pinggir bemotifkan batang pinang,atua bada, saluak laka. Bagian belakang kain dilapisi tetoron merah. Pemakaian sisampingi bagi penghulu melambangkan bahwa semua tindakan dan pekerjaannya harus ada ukurannya.[7] Tutup KepalaMinangkabau salah satu etnik yang memiliki keragaman budaya, hal ini dapat kita lihat dari bentuk pakaian adatnya. Misalnya tutup kepala yang merupakan salah satu kelengkapan pakaian laki-laki di Minangkabau, ada yang terbuat dari kain polos, batik atau songket. Bentuk kain songket ini beragam sesuai dengan daerahnya. Ada tutup kepala tersebut dikenal saluak, deta bakaruik/bakatak, deta dandan tak sudah dsb. Deta ini berbentuk empat pesegi yang terbuat dari songket Pandai Sikek, warna merah,dengan hiasan songketan benang emas bermotifkan batang pinang, tumpal, bunga dll. Kain ini dapat dibuat saluak atau deta, digunakan sebagai tutup kepala laki-laki di Minangkabau.[7] SalempangBundo kanduang sebutan bagi perempuan Minang sejati yang dituakan serta banyak memahami tentang adat dan budaya Minangkabau. Ia juga memiliki pakaian kebesaran yang dipakai pada upacara adat, salah satu kelengkapan pakaian bundo kandung tersebut adalah salempang sejenis selendang yang dipasangkan / diselempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri. Hal ini melambangkan tanggung jawab yang dibebankan kepada bundo kandung yang harus dilaksanakan dengan baik. Salempang ini terbuat dari benang katun warna merah, bentuk empat persegi panjang. Dihiasi songketan benang emas dengan tehnik ATBM. Bidang kain bermotifkan saik galamai, pucuk rabung dan biku-biku. Pinggir bermotifkan atua bada, batang pinang, dan bijo antimun. Kedua ujung salempang diberi renda benang emas sehingga kelihatan lebih indah.[7] Dalam budaya populerDalam novel Andika Cahaya (2012), sastrawan Darman Moenir meggambarkan susana birokrasi di Museum Andika Cahaya yang dapat dirujuk sebagai Museum Adityawarman.[10] Referensi
0°57′15″S 100°21′21″E / 0.954294°S 100.355723°E Pranala luar |