Museum Bikon BlewutMuseum Bikon Blewut adalah museum yang terletak di atas perbukitan desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur[1] dan berada di dalam kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.[2] Saat ini kepemilikan dan pengelolaan museum dipegang oleh Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.[3] Museum ini terletak 4 Km dari Kota Maumere dan bisa dikunjungi setiap hari Senin hingga Jumat dari pukul 09.00 wita hingga 14.00 wita dan tidak ada patokan harga karcis masuk tetapi pengunjung bisa memberi sumbangan secara sukerela.[4] PenamaanNama museum diambil dari bahasa Sikka yaitu dari kata Bikon yang berarti Lampau dan Blewut yang artinya Rusak, sehingga Bikon Blewut dapat diartikan sebagai "sisa-sisa peninggalan masa lampau".[3] Nama museum ini diambil dari sebuah syair adat penciptaan alam semesta versi Krowe Sikka yang berbunyi “Saing Gun Saing Nulun, Saing Bikon Saing Blewut, Saing Watu Wu’an Nurak, Saing Tana Puhun Kleruk, De’ot Reta Wulan Wutu, Kela Bekong Nian Tana”. Syair tersebut memiliki arti sebagai berikut: Sejak zaman dahulu, sejak zaman masih purba, ketika bumi masih rapuh, ketika tanah masih bagaikan buah yang masih muda, Tuhan di angkasa menciptakan langit dan bumi, matahari dan bulan.[5] BangunanMusuem ini selesai direnovasi pada 2022 lalu dan dibuka kembali pada 1 Februari 2023. Sebagian besar pengunjung berasal dari Eropa, Amerika dan Australia yang memiliki tujuan riset dan pengambilan data untuk disertasi dan tesis mereka.[4] Bagian bangunan yang menjadi daya tarik adalah bagian pintu masuk yang berbentuk bulat yang merupakan peninggalan Istana Raja Nita.[5] KoleksiMuseum ini menyimpan beberapa koleksi alat-alat kebudayaan dari era paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, hingga zaman perunggu. Selain koleksi alat-alat kebudayaan, museum ini juga menyimpan fosil fauna dan flora dan koleksi seni budaya masyarakat Flores dan NTT pada era kontemporer. Koleksi di Museum Bikon Blewut dikumpulkan mulai tahun 1965 oleh Pater Verhoeven, misionaris Ordo SVD yang memiliki minat di bidang etnologi, linguistik, dan antropologi budaya setempat.[1] Usaha pengumpulan koleksi kemudian dilanjutkan oleh Pater Piet Petu pada tahun 80-an dan kemudian menjadi kepala museum dari tahun 1983 sampai 1999.[1][6] Adapun koleksi museum yang dipamerkan adalah fosil gajah purba Flores yang ditemukan pada tahun 1922 saat gempa di wilayah Watulemang, Kabupaten Sikka yang diperkirakan berusia 80 ribu sampai dengan 300 ribu tahun lalu. Juga terdapat gading dan gigi gajah yang berasal dari Werang, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka.[7] Selain itu, terdapat pula rangka utuh tikus purba dan ular. Koleksi lainnya adalah peralatan makan dan perkakas rumah tangga dongson Flores dan dari zaman batu, senjata tradisional serta lukisan. Kemudian juga terdapat koleksi uang kertas dan koin dari beberapa negara dan zaman. Lalu terdapat juga fosil manusia purba Flores (Homo floresiensis) yang ditemukan pada tahun 2002 di Gua Liang Bua, Pulau Flores.[8] Referensi
|