Museum Tenun Ikat
Museum Tenun Ikat merupakan salah satu museum yang terletak di Jalan Soekarno, Ende, Nusa Tenggara Timur. Museum ini memamerkan berbagai tenun ikat. Bangunan dari Museum Tenun Ikat ini merupakan sebuah bangunan tradisional dengan bentuk rumah panggung yang menggunakan papan. Tenun ikat sendiri merupakan salah satu warisan budaya yang perlu dijaga eksistensinya, maka dari itu dengan didirikannya Museum Tenun Ikat di kota Ende merupakan salah satu bentuk cara melestarikan warisan budaya tersebut.[1] Museum Tenun Ikat Ende ini menjadi tempat pelestarian dan pusat edukasi bagi masyarakat terkhusus kawula muda.[2] Museun Tenun Ikat Kabupaten Ende Terletak di jalan Ir. Soekarno, kira-kira 100 meter dari taman kota dan bersebelahan dengan museum bahari dan berbentuk rumah adat suku Lio.[3] Salah satu ciri khas dari kain tentun ikat khas Lio Nggela adalah warnanya yang memiliki kecenderungan gelap kecoklatan karena melewati proses pewarmnaan secara natural atau alami, selain itu kebanyakan dari kain tenun ikat Ende memiliki motif-motif yang menceritakan berbagai adat-istiadat serta kleprcayaan yang ada dalam masyarakat setempat, salah satunya adalah motif gajah yang terdapat pada kain awo Nggaja Soke Mata Mere yang dalam pembuatannya menggunakan dua teknik yang berbeda yaitu memadukan teknik ikat lungsi dan tenun sederhana. Hewan gajah dalam motif tersebut dipercaya sebagai salah satu binatang kesayangan dewa. Maka dari itu tidak heran jika motif-motif dari kain tenun ikat Ende memiliki nilai-nilai religius.[1] Selain itu, terdapat motif seperti aksara atay huruf-huruf kanji. Di dalam kain tersebut menggambarkan jejak para pendatang Indo-China pada saat bertandang ke Tanah Flores. Ciri khas lain yaitu coraknya yang halus namun padat krena terdiri atas berbagai ragam hias atau motif yang beragam. Terlepas dari keistimewaan tersebut, kain Ende terancam punah karena berbagai kendala. Salah satunya datang dari para perajin sendiri. Belakangan banyak desainer yang mulai melirik kain tersebut untuk dipakai sebagai material utama. Namun kain yang tersedia umumnya belum sesuai dengan selera pasar, baik dari segi motif maupun warna. Untuk itu, para perajin diharapkan dapat menghasilkan karya yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.[1] Selain motif di atas pada umumnya di daerah Ende sendiri pada tenun yang dihasilkan memiliki motif kecil dan ada salur hitamnya yang berisikan berbagai ragam hias yang menuntut ketelitian dalam pembuatannya. Karena itu, tenun Ende sangatlah penting untuk dilindungi, digunakan masyarakat, dan diajarkan pada generasi muda untuk melindungi kebudayaan tenun yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya.[4] Museum Tenun Ikat di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini belum mampu menambah koleksi kain tenun sendiri akibat dukungan dana yang sangat minim dari APBD Kabupaten Ende. Meski pada 2011 terdapat alokasi dana operasional sebesar Rp 10 juta, itu belum cukup untuk membeli kain tenun, terutama dari hasil pewarnaan alami, karena selembar kain rata-rata berharga di atas Rp 1 juta, sementara ada begitu banyak jenis motif dan ragam hias tenun ikat di wilayah NTT.[5] Sejak museum ini didirikan pada 2004, sampai saat ini koleksi kain tenun yang tersimpan hanya berkisar 60 lembar yang notabene milik pribadi Ali Abubakar Pae, beliau merupakan salah satu penggagas dari berdirinya museum ini. Pasalnya sejak tahun 2004-2010, Pemerintah Kabupaten Ende hanya membantu dana operasional untuk membayar rekening air dan listrik tiap bulan, tetapi tidak ada anggaran untuk penambahan koleksi museum.[5] koleksi yang bisa dilihat di museum tersebut di antaranya peralatan tenun, proses pembuatan sampai selesai mulai dari memintal kapas menjadi benang, alat-alat yang digunakan untuk membuatan motif (tege), alat-alat yang digunakan untuk tenun dan masih bersifat tradisional seperti Woe, Ogo, Ngewi, kaka, Sisir, Kabhe, Keke, Ngewi dan juga dipajang beberapa jenis sarung yang sudah tua usianya yang proses pembuatannya masih bersifat tradisional baik obat pewarnaan seperti mennggunakan akar/batang mengkudu dan daun tarum.[3] Referensi
|