Na AsomiyaNa Asomiya, dikenal pula sebagai Na Asamiya atau Miya adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok migran atau pendatang Muslim di Assam, India yang sudah berasimilasi dengan masyarakat Assam pada umumnya. Leluhur komunitas Na Asomiya umumnya berasal dari bekas wilayah Kepresidenan Benggala.[1] EtimologiIstilah 'Na Asomiya' atau 'Na Asamiya' terdiri dari kata 'na' yang dalam bahasa Assam berarti baru dan 'Asomiya' atau 'Asamiya' yang berarti (orang) Assam.[2] Secara harafiah istilah 'Na Asomiya' atau 'Na Asamiya' berarti 'neo-Assam' atau '(Orang) Assam baru'. Istilah ini diperkenalkan oleh Jyoti Prasad Agarwala, salah seorang tokoh budaya terkenal dalam sejarah Assam yang berlatar belakang pendatang dari luar Assam.[3] Agarwala menuliskan puisi berjudul Axomiya Dekar Ukti (Tanggapan Anak Muda Assam).[3] Dalam puisi tersebut ia menyebut para pendatang sebagai na-Axomiya Mymensinghia (Orang Assam baru dari Mymensingh).[3] Secara tidak langsung Agarwala memberitahukan bahwa para pendatang yang mengadopsi identitas Assam ini adalah orang-orang Bengali karena Mymensingh sendiri adalah salah satu daerah yang kini berada dalam wilayah administrasi Bangladesh. Latar BelakangAssam telah lama menjadi wilayah tujuan migrasi bagi orang Bengali. Migrasi ke wilayah Assam terus meningkat jumlahnya pada masa kolonial Inggris dan kemudian dilarang saat terjadi Pemisahan India pada tahun 1947.[4][5] Daerah yang umumnya ditempati para pendatang adalah lembah, kawasan sedimen lumpur, dan bantaran Sungai Brahmaputra yang secara kolektif dikenal sebagai char chapori (bahasa Assam: চৰ চাপৰি). Dikarenakan banyak menghuni wilayah char, komunitas Na Asomiya sering dipanggil dengan panggilan peyoratif Chorua.[6] Pada tahun 1931, segelintir saja dari penduduk pendatang di Char Chapori yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Assam.[7] Mereka umumnya masih mengidentifikasikan diri sebagai orang Bengali. Pada 1941, beberapa pemuka masyarakat pendatang di Distrik Barpeta memasukkan sebuah memorandum kepada Gopinath Bordoloi yang merupakan pimpinan Kongres setempat, meminta agar diperbolehkan mengidentifikasi diri sebagai orang Assam.[7] Pada 1951, mayoritas pendatang Muslim telah mengadopsi budaya Assam dan berasimilasi. Asimilasi pendatang Muslim meningkatkan jumlah penutur bahasa Assam menjadi 56% dari total populasi Assam tahun 1951.[7] Jumlah tersebut merupakan peningkatan yang cukup tajam karena 20 tahun sebelumnya, penutur bahasa Assam hanya sekitar 31% saja dari total populasi.[5] Na Asomiya dalam Pergerakan di AssamDalam pergerakan bahasa Assam tahun 1950an, komunitas Na Asomiya bergabung dengan kelompok masyarakat Assam lainnya dalam menuntut status bahasa Assam sebagai bahasa resmi satu-satunya. Label Na Asomiya membuat komunitas ini memiliki jarak dengan kelompok Muslim pendatang yang lebih baru yang semata-mata mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Bengali. Dalam tubuh masyarakat Muslim di Assam, Na Asomiya dianggap dan menganggap diri mereka sebagai khilonjia (pribumi), sementara Bengali Muslim adalah pendatang.[8] Pada tahun 1978, Na Asomiya disebut sebagai salah satu kelompok yang penting di Assam.[9] Referensi
|