Nikah mutahNikah mutah, nikah kontrak (bahasa Arab: نكاح المتعة, translit. nikāḥ al-mut'ah, har. 'pernikahan kesenangan')[1] atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak adalah haram[2]. Pernikahan ini dalam tempo masa tertentu. Menurut mazhab Syiah, nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut. Nikah Al-Mut’ah secara harfiah mempunyai arti dengan pernikahan kesenangan atau lebih dikenal dengan kawin kontrak. Dalam pengertian lainnya Nikah Mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu dengan sesuatu pemberian kepadanya, baik itu berupa harta, pakaian, makanan, atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa perlu ada wali maupun saksi. Kemudian mereka saling membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya dalam kurun waktu 3 hari atau lebih atau bisa juga kurang. Biasanya tidak lebih dari 45 hari dengan ketentuan tidak adanya mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan, dan tidak ada iddah kecuali istibra’ (yaitu satu kali haid bagi wanita yang monopouse, dan dua kali haid bagi wanita biasa, serta empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan. Beberapa penyebab kemunculan praktik ini pada masa jahiliah adalah kehidupan nomaden, perjalanan jauh, dan peperangan. Biasanya, anak-anak hasil perkawinan ini diserahkan kepada ibu.[3] Pandangan Hukum IslamMenurut Sayyid Sabiq semua ulama madzhab kecuali dari golongan syiah telah sepakat mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah ialah haram dan kalau itu terjadi maka hukumnya batal. Mereka beralasan dikuatkan dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil Aqli. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari beberapa kalangan sahabat Ibn’ Umar dan Ibn’ Abi ‘Umrah Al-Anshari. Tentunya pendapat mereka disertai dengan alasan yang pertama bahwa kawin mut’ah tidak sesuai dengan prinsip dan pernikahan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an serta mencederai pokok-pokok tentang pernikahan seperti tidak adanya talak, kewarisan, dan iddah. Jadi dapat dikatakan bahwa nikah Mut’ah ini adalah batil/fasid. Ayat yang mereka jadikan alasan adalah Firman Allah Swt. didalam Q.S Al-Mukminun (23): 6-7. Didalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki hanya boleh melakukan hubungan badan hanya dengan wanita yang berkedudukan sebagai isteri atau jariyahnya. Sedangkan perempuan yang dikawini secara mut’ah bukanlah isteri maupun jariyah. Yang kedua, Hadits-hadits yang menunjukan kebolehan Nikah Mut’ah telah dinasakhkan (dibatalkan, atau dihapuskan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri). Ketiga, Umar Ibn Khattab menjadi khalifah ia telah mengharamkan nikah mut’ah ketika ia berpidato di mimbar dan tentunya para sahabat yang lain menyetujuinya juga. Keempat, al-Khaththabi telah menjelaskan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram kecuali sebagian syiah. Kelima, dilihat dari tujuannya nikah mut’ah hanya untuk pelampiasan syahwat saja bukan untuk mendapatkan keturunan dan memlihara anak-anak. Karena itulah tujuan dari pelampiasan tersebut bisa disamakan dengan zina. Selain itu karena nikah mut’ah bersifat sementara maka akan membuat wanita dengan mudah berpindah dari satu leleki ke lelaki yang lainnya. Hal ini juga akan membuat sengsara bagi anak-anaknya. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukari dan Imam Muslim dari Ibn Mas’ud yang menurut golongan kaum syiah dihalalkannya kawin mut’ah. “Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw. Sedangkan isteri isteri kami tidak ikut bersama kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw. Apakah boleh kami melakukan kebiri? Maka Rasulullah Saw. melarang kami melakukan yang demikian itu dan memberikan rukhsah kepada kami untuk kawin dengan perempuan dengan mas kawinnya baju dalam suatu waktu tertentu.” Pandangan Hukum PositifDidalam hal ini setidaknya dapat dikutip dari 4 peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia, antara lain :Pancasila, tertama sila ke-1, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”,
Berdasarkan empat hal di atas, sudah semakin jelas bahwa arah kebijakan dan kepentingan pemerintah didalam mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia yaitu dengan membuat seperangkat aturan perUndang-Undangan yang bertujuan untuk melindungi seluruh warga Indonesia, dengan salah satu teori bahwa keluarga yang sejahtera lah yang menjadi stabilitas yang kuat didalam tunjangan suatu negara. Dan hal ini akan sulit terwujud jika, pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan secara mut’ah. Maka dari itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah yang lebih tegas lagi untuk para pelaku nikah mut’ah dan juga oknum oknum yang ikut terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya. Pandangan SunniMenurut pandangan Suni, pernikahan ini hanya diperbolehkan pada masa peralihan dari zaman jahiliah ke masa Islam, ketika zina menjadi perkara yang biasa dalam masyarakat.[4] Bagi mazhab Suni, nikah mutah ini adalah tidak sah dan tidak dibolehkan karena dilakukan dengan tanpa wali dan saksi sehingga menjurus pada tindak perzinahan bahkan bisa dibilang sebagai tindakan pelacuran karena memang memerlukan biaya. Rujukan
|