Oei Tjie Sien
Oei Tjie Sien (Hanzi: 黃志信; Pinyin: Huáng Zhìxìn 1835–1900) adalah seorang hartawan Tionghoa yang tinggal di Indonesia dan mendirikan Kian Gwan, konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.[2] Ia lebih dikenal sebagai ayah Oei Tiong Ham, Majoor-titulair der Chinezen (1866–1924), yang memodernisasi dan mengembangkan bisnis keluarga Oei.[3][4] BiografiAwal mulaLahir pada tanggal 23 Juni 1835 di sebuah keluarga sederhana yang tinggal di Tong'an, Fujian, Kekaisaran Tiongkok, Oei Tjie Sien adalah anak keenam dari Oei Tjhing In.[5][2] Berdasarkan cerita keluarga, Oei Tjhing In adalah seorang pegawai negeri sipil, namun sejarawan kolonial Indonesia, Liem Thian Joe, menyebut bahwa ia adalah seorang petani.[6][5] Walaupun begitu, Oei Tjhing In ingin anak-anaknya mendapat pendidikan tipikal Tiongkok.[2] Oei Tjie Sien sebenarnya dapat bekerja sebagai guru atau pegawai negeri sipil, namun ia lebih memilih untuk berpartisipasi dalam Pemberontakan Taiping (1850-1864) untuk melawan Dinasti Qing.[7] Pada pemberontakan tersebut, ia kemudian diberi tanggung jawab di bidang logistik.[7] Hidup dan karir di Hindia BelandaUntuk menghindari tekanan Dinasti Qing kepada para pemberontak, Oei Tjie Sien pun meninggalkan istri pertamanya di Tiongkok dan kabur ke Semarang, Jawa Tengah pada tahun 1858.[2][7] Saat masih berusia 23 tahun, Oei Tjie Sien memulai karirnya di Hindia Belanda sebagai seorang pedagang berbagai macam barang, mulai dari perabot khas Tiongkok hingga beras.[7] Setelah cukup mapan, Oei Tjie Sien menikahi seorang wanita peranakan, Tjan Bien Nio (1839-1896), yang berasal dari keluarga pedagang kelas menengah.[7] Keduanya kemudian bersama-sama membangun bisnis keluarga, dan memiliki tiga anak laki-laki, yakni Oei Tiong Ham, Oei Tiong Bing, dan Oei Tiong Tjhian.[7][1] Keduanya juga memiliki empat anak perempuan, yakni Oei Siok Nio, Oei Bok Nio, Oei Thiem Nio, dan Oei Koen Nio.[1] Melalui selirnya, Oei Tjie Sien juga memiliki anak laki-laki, yakni Oei Tiong An.[1] Oei Tjie Sien menyekolahkan anaknya ke sekolah Tionghoa, di mana mereka terutama mempelajari klasik Tionghoa dan sejumlah aritmatika dasar.[8][7] Pada tahun 1863, Oei Tjie Sien dan rekan bisnisnya, Ang Thay Liang, telah memiliki cukup modal untuk membentuk sebuah kongsi atau kemitraan bisnis, yang akhirnya diberi nama 'Kian Gwan', dan kemudian didaftarkan ke otoritas terkait.[8] Kian Gwan memperdagangkan sejumlah produk dari Tiongkok, seperti teh, rempah-rempah, dan sutra, serta produk dari Hindia Belanda, seperti beras, gula, tembakau, dan gambir.[8] Kian Gwan sukses besar selama ledakan ekonomi yang terjadi berkat Hukum Agraria tahun 1870, yang membuka lahan pertanian di Pulau Jawa untuk pihak swasta.[8][3] Kekayaan Oei Tjie Sien pun membuatnya diampuni oleh Dinasti Qing pada tahun 1874, dan dapat menjadi tuan tanah pada tahun 1878 dengan membeli tanah partikelir Simongan seluas 1.300 hektar.[8] Sebagai tuan tanah Simongan, tidak seperti tuan tanah sebelumnya, Oei Tjie Sien memperbolehkan masyarakat untuk melewati tanahnya secara gratis jika hendak menuju ke Kelenteng Sam Poo Kong yang terletak di dalam tanahnya.[8][7] Kedermawanan Oei Tjie Sien pun membuatnya dihormati oleh masyarakat Tionghoa di sana.[7] Pada tahun 1880, Oei Tjie Sien juga mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk pindah dari pecinan di Semarang ke Simongan, di mana ia dapat hidup lebih mewah, menata taman dan kuburan keluarganya, serta merawat teratainya saat telah pensiun.[8] Walaupun kaya, Howard Dick mencatat bahwa keluarga Oei 'masih terancam dihapus dari aristokrasi peranakan (cabang atas)'.[8] Pada tahun 1884, Oei Tjie Sien menikahkan anak sulungnya, Oei Tiong Ham, dengan Goei Bing-nio, anak keempat dari sebuah keluarga Cabang Atas yang telah eksis di Semarang selama lebih dari satu abad.[9][7] Oei Tiong Ham pun mengunci kenaikan status sosial keluarganya dengan ditunjuk sebagai Luitenant der Chinezen pada tahun 1886.[3][7] Pangkat tersebut tidak hanya memberi kehormatan pada Oei Tiong Ham, namun juga kedudukan politik dan hukum yang lebih kuat pada sistem aturan tidak langsung yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.[10] Pada pertengahan dekade 1880-an, Oei Tjie Sien telah memberi Oei Tiong Ham peran yang cukup besar di Kian Gwan dan bisnisnya yang lain.[3] Anjloknya harga gula pada pertengahan dekade 1880-an kemudian menghancurkan sejumlah keluarga Cabang Atas, sehingga merusak dominasi mereka di lahan pertanian yang ada di Jawa, terutama lahan opium.[3][8] Oei Tjie Sien dan Oei Tiong Ham pun mengkapitalisasi krisis ekonomi tersebut dan mengambil alih sejumlah lahan dari keluarga Cabang Atas yang hancur.[3][7] Pada tahun 1889, dengan Oei Tjie Sien bertindak sebagai penjamin, Oei Tiong Ham berpartisipasi dalam salah satu lelang pemerintah paling penting pada abad itu, yakni lelang lahan opium di Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, dan Kedu, yang sebelumnya dimiliki oleh kompetitornya, yang dipimpin oleh Luitenant Ho Tjiauw Ing.[11][8] Penyair Boen Sing Hoo dalam Boekoe Sair Binatang menyebut lelang tersebut sebagai 'peperangan di antara raja-raja'.[12][11] Oei Tiong Ham lalu berhasil memenangkan lelang tersebut setelah bersaing ketat dengan kongsi asal Batavia yang dipimpin oleh Kapitein Loa Tiang Hoei dan Kapitein Oey Hok Tjiang.[12][11] Pada tahun 1893, Oei Tjie Sien resmi pensiun, dan akhirnya meninggal pada tahun 1900 di usia 65 tahun.[3][7] Warisan dan keturunanEmpat anak perempuan Oei Tjie Sien menikahi laki-laki dari keluarga Cabang Atas.[1] Kecuali Oei Tiong Tjhian yang meninggal saat masih muda, semua anak laki-laki Oei Tjie Sien berhasil mendapat pangkat.[1] Anak sulungnya, Luitenant Oei Tiong Ham, kemudian naik pangkat menjadi Kapitein der Chinezen pada tahun 1891, dan mendapat pangkat kehormatan Majoor-titulair der Chinezen pada tahun 1901. Pangkat tersebut merupakan pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda.[1] Anak kedua Oei Tjie Sien, Oei Tiong Bing, ditunjuk sebagai Luitenant pada tahun 1892, dan kemudian sebagai Kapitein pada tahun 1901. Pada tahun 1903, ia menjadi Majoor der Chinezen of Semarang, kepala masyarakat Tionghoa di Semarang.[1] Anak Oei Tjie Sien dari selir, Oei Tiong An, juga ditunjuk sebagai Luitenant der Chinezen di Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 1925. Pangkat tersebut tetap ia pegang hingga sistem kepangkatan Tionghoa dihapus pada tahun 1935.[1] Cucu laki-laki Oei Tjie Sien, Oei Tjong Hauw dan Oei Tjong Tjay, kemudian menjadi pemimpin Kian Gwan mulai tahun 1924 hingga 1961, dan memainkan peran penting dalam sejarah ekonomi dan politik Indonesia dan Asia Tenggara.[2][5] Cucu perempuan Oei Tjie Sien, sosialita internasional Oei Hui-lan, menikahi diplomat asal Tiongkok, V. K. Wellington Koo, dan pernah menjadi Ibu Negara Republik Rakyat Tiongkok.[4] Kian Gwan lalu menjadi konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20 hingga dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1961.[2][5] Aset Kian Gwan di Indonesia kemudian dikelola oleh Rajawali Nusantara Indonesia. Sementara aset Kian Gwan di Belanda dan Thailand tetap eksis dengan skala yang lebih kecil.[13][14] Referensi
|