Omon Abdurachman
Omon Abdurachman mengisahkan “perseteruannya” dengan A.H. Nasution pada awal revolusi berkecamuk di Bandung. Omon yang saat itu masih berpangkat letnan kolonel dan merupakan komandan Resimen ke-8 TRI (Tentara Republik Indonesia) membawahi Bandung dan sekitarnya, sempat melakukan aksi desersi karena merasa tidak setuju dengan keputusan Komandan Divisi III TRI Kolonel A.H. Nasution untuk mundur dan membakar kota Bandung. “Ya waktu itu saya yang masih muda tak habis pikir, mengapa komandan divisi mau menyerahkan begitu saja kota Bandung kepada Inggris,” kenang lelaki yang pernah memimpin kompi pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Pandeglang tersebut. Dalam buku “Kisah di Balik Bandung Lautan Api” yang dikisahkan oleh Mohammad Rivai sejawat Omon di Divisi Siliwangi. Kedua Maung Ngora (artinya: harimau muda, sebutan untuk anggota Divisi Siliwangi era revolusi) sempat berdebat keras dan saling gebrak meja. Bahkan kata Rivai, Omon sempat mencopot tanda pangkatnya sendiri di depan Nasution. “Baik Kolonel, kalau kami harus mundur, menyerahkan Bandung dan melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan, “ demikian seperti dikisahkan Rivai dalam otobiografinya, “Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.” Dua Perintah bertentangan tentang nasib Bandung pada tanggal 23 Maret 1946 yang dikeluarkan secara bersamaan oleh pusat dari Jakarta dan MBT di Yogya yang Menimbulkan konflik internal di kalangan TRI Jawa Barat. Sebuah pesawat angkut milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) melayang-layang di atas Kota Bandung. Alih-alih melemparkan bom, justru dakota tersebut menurunkan ribuan surat ultimatum yang langsung ditandatangani oleh Panglima Tentara Inggris untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali Mayor Jenderal D.C. Hawtorn. Isinya, ancaman agar orang-orang Bandung bersenjata harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan wajib mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol, ungkap John RW Smail dalam “Bandung Awal Revolusi 1945-1946”. Terkait dengan ultimatum tersebut, Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerintahkan agar TRI mengikutinya. Kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan Kolonel A.H. Nasution, Sjahrir menyatakan agar TRI bersikap taktis dan tidak menghambur- hamburkan kekuatan untuk melawan Inggris yang sebenarnya bukan musuh Republik Indonesia. “Kerjakan saja. TRI kita adalah modal yang harus dipelihara, jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” ujarnya seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III: Diplomasi Sambil Bertempur. Hal sebaliknya justru diserukan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Lewat MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta, diserukan agar TRI Jawa Barat menolak ultimatum Inggris tersebut. “Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan,” demikian bunyi kawat dari MBT itu. Sebagai bawahan, Nasution menghadapi dilema. Sementara waktu terus berjalan, para komandan di lapangan secepatnya meminta dia untuk membuat keputusan. Didi Kartasasmita dan Markas Besar Tentara vs Nasution Sekira jam 14.00 pada 24 Maret 1946, Nasution membuat suatu keputusan yang berisi empat perintah Panglima Divisi III TRI. Perintah itu adalah: 1. Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum jam 24.00. 2. TRI harus menjalankan aksi bumihangus terhadap semua bangunan yang ada. 3. Sesudah matahari terbenam, Bandung Utara harus diserang dari utara dan sedapat mungkin harus pula dijalankan aksi bumi hangus di sana. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara. 4. Pos komando dipindahkan ke Kulalet (Dayeuhkolot)
Sementara Nasution memerintahkan pelaksanaan empat klausul itu, Didi Kartasasmita secara tegas menolak perintah Hawtorn. Kepada Letnan Kolonel van der Post, ajudan Hawtorn) yang sempat mengancam dengan pamer kekuatan alat militer di sepanjang kota Bandung, Didi menyatakan bahwa mundur dari kota Bandung adalah sebuah kemustahilan bagi TRI. “Tidak bisa….! Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari kota Bandung!” ungkap Didi seperti dikisahkan dalam biografinya Didi Kartasasmita Pengabdian bagi Kemerdekaan, karya Tatang Sumarsono. Kekecewaan Didi kepada Nasution Sejarah mencatat, justru perintah Nasutionlah yang dilaksanakan di lapangan. Soal itu sempat membuat berang Didi. Usai pembumihangusan Bandung, Didi memerintahkan Kolonel Hidajat Martaatmadja untuk “mengadili” Nasution. “Panglima Komandemen dan MBT harus tahu… Saya tak mungkin mengorbankan 4 batalyon saya dengan persenjataan tak lebih dari 1000 pucuk senapan untuk menangkis sebuah divisi Inggris berjumlah 12.000 prajurit itu ,” demikian tangkis Nasution kepada Hidajat. Perseteruan Didi dan MBT dengan Nasution kemudian ditengahi oleh Kepala Staf TRI Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Dalam suatu kunjungan ke markas Komandemen Jawa Barat di Purwakarta pada Mei 1946, Oerip menyatakan bahwa keputusan yang telah diambil Nasution terkait Bandung adalah keputusan terbaik. Nasution mengambil tindakan sesuai kondisi pada saat itu. Seorang prajurit harus mampu menyesuaikan keadaan sekalipun bertentangan dengan perintah atasan. Baca juga : Apatah Sejarah Terulang pada tahun 1628 masehi kembali terjadi di Bandung tahun 1946, ketika Dipati Ukur yang dijanjikan akan dibantu oleh Mataram untuk menyerang VOC di Batavia. Malah berbalik dikejar-kejar dan dihukum mati oleh Mataram?! Batalyon yang paling bersenjata itu hanya Batalyon Bandung Utara letkol Sukanda Brata Manggala yang kreatif melakukan Barter senjata dengan Jepang! Nasution memang terkenal sebagai panglima yg belum pernah terlibat langsung memimpin operasi pertempuran di garis depan. Peran terbesar nya dalam sejarah militer adalah membereskan administrasi ketentaraan dan posisi militer di bidang politik. Pengalaman perangnya dalam memimpin perang gerilya di Jawa adalah menulis instruksi2 gerilya (bukan instruksi teknis operasi tempur) dan kucing2an hit and run dgn patroli Belanda. Konon Dia tidak pernah menembakkan sebutir peluru pun di medan tempur.
|