Organisasi Perdagangan Dunia
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 6 April 2019 (Pembicaraan artikel)
Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: World Trade Organization, disingkat WTO) adalah sebuah organisasi internasional yang menaungi upaya untuk meliberalisasi perdagangan. Organisasi ini menyediakan aturan-aturan dasar dalam perdagangan internasional, menjadi wadah perundingan konsesi dan komitmen dagang bagi para anggotanya, serta membantu anggota-anggotanya menyelesaikan sengketa dagang melalui mekanisme yang mengikat secara hukum. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 dengan tujuan untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, yang diharapkan akan memajukan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pendahulu Organisasi Perdagangan Dunia adalah Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan yang ditetapkan pada tahun 1947. Setelah upaya untuk mendirikan Organisasi Perdagangan Internasional kandas akibat penolakan Kongres Amerika Serikat untuk meratifikasi Piagam Havana, perjanjian tersebut menjadi semacam lembaga ad hoc dan berlaku "sementara" selama 47 tahun. Organisasi Perdagangan Dunia menggantikan perjanjian ini setelah diberlakukannya Persetujuan Marrakesh yang juga melampirkan perjanjian-perjanjian utama yang mengatur perdagangan internasional, termasuk Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994 yang menggantikan perjanjian tahun 1947. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Pada tahun 2016, organisasi ini beranggotakan 164 negara dan wilayah kepabeanan yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan melalui Persetujuan Marrakesh. Salah satu aturan tersebut adalah "perlakuan yang sama untuk semua anggota", yang berarti bahwa keistimewaan yang diberikan oleh suatu anggota WTO kepada anggota WTO lainnya juga harus diberikan kepada seluruh anggota WTO. Selain itu, berdasarkan aturan "perlakuan nasional", anggota WTO harus memperlakukan produk asing yang telah memasuki pasar domestiknya sebagaimana produk "sejenis" diperlakukan di negaranya. Sementara itu, dua badan pengambilan keputusan utama di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum. Para anggota WTO mengambil keputusan berdasarkan konsensus, tetapi jika konsensus tidak tercapai, keputusan akan diambil melalui pemungutan suara. Organisasi Perdagangan Dunia juga memiliki sistem penyelesaian sengketa yang mengikat secara hukum. Perkara dagang antar anggota pertama-tama akan dibawa ke Panel yang dibentuk khusus untuk perkara tersebut. Pihak yang tidak puas dengan keputusan Panel dapat membawanya ke Badan Banding. Keberadaan WTO berhasil mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, dan keberhasilan ini dikatakan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan menurunkan harga. Namun, organisasi ini telah menuai kritikan karena dianggap mengesampingkan kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya, seperti hak asasi manusia, hak buruh, dan pelestarian lingkungan hidup. Organisasi ini juga dicap tidak demokratis, terutama akibat kurangnya keterlibatan lembaga swadaya masyarakat dan ketimpangan kekuatan antara negara maju dengan negara berkembang. SejarahPendirian sistem perdagangan modern dilandaskan pada pengalaman selama periode antarperang, ketika negara-negara berupaya memperbaiki keadaan ekonomi mereka dengan mengambil kebijakan yang berdampak buruk terhadap negara lain, seperti protektionisme, devaluasi mata uang, dan pengendalian modal. Contohnya adalah Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930 di Amerika Serikat yang menaikkan tarif dari 38% menjadi 52%. Akibat penetapan undang-undang ini, mitra-mitra dagang Amerika Serikat mengambil tindakan balasan. Kemudian terjadi efek domino setelah perdagangan mulai beralih ke pasar lain, karena negara yang menjadi pasar baru tersebut lalu juga mengambil tindakan proteksionisme, yang lagi-lagi berujung pada tindakan balasan. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara ingin agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, dan oleh sebab itulah mereka berupaya mendirikan organisasi-organisasi internasional yang dapat menanggulangi hal tersebut.[4] Maka digelarlah Konferensi Bretton Woods pada Juli 1944 yang menjadi landasan berdirinya Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, Konferensi Dumbarton Oaks pada Agustus-Oktober 1944 yang akhirnya berujung pada pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Konferensi Havana tentang Perdagangan dan Kesempatan Kerja pada November 1947-Maret 1948 yang melahirkan Piagam Havana.[5] Piagam ini merupakan kerangka hukum bagi sebuah lembaga internasional yang dapat mengurus perdagangan antarnegara, yaitu Organisasi Perdagangan Internasional (bahasa Inggris: International Trade Organization, disingkat ITO).[4] Piagam ini mengatur berbagai hal, seperti penetapan asas perlakuan yang sama untuk semua anggota (bahasa Inggris: most favoured nation, disingkat MFN) tanpa syarat kepada semua negara anggota serta pembentukan prosedur untuk menyelesaikan sengketa.[6] Dengan ini, para pendirinya berharap agar pengurangan hambatan terhadap perdagangan akan meningkatkan pendapatan dan meredakan konflik politik atau sengketa dagang yang ditakutkan dapat memicu konflik yang lebih besar.[4] Sementara itu, di Lake Success, New York, pada awal tahun 1947, ditetapkan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (bahasa Inggris: General Agreement on Tariffs and Trade, disingkat GATT) yang merupakan hasil perundingan antara 23 negara (12 negara maju dan 11 negara berkembang).[4] Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1948 untuk sementara waktu sembari menunggu peresmian Piagam Havana.[7] Namun, Kongres Amerika Serikat menolak meratifikasi Piagam Havana karena mereka merasa ITO akan terlalu membatasi kedaulatan Amerika Serikat.[8] Akibatnya, pada tanggal 6 Desember 1950, Presiden Harry Truman menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat tidak akan meratifikasi Piagam Havana,[8] padahal keterlibatan Amerika Serikat dalam bakal organisasi ini dianggap sangat genting demi keberlanjutan organisasi tersebut.[9] Maka upaya untuk mendirikan ITO pun kandas, dan alhasil GATT memiliki sejarah yang unik karena perjanjian ini diberlakukan "sementara" selama 47 tahun. Walaupun GATT adalah perjanjian yang bersifat substansif dan tidak berurusan dengan pendirian sebuah lembaga khusus, secara perlahan GATT mulai berkembang menjadi lembaga internasionalnya sendiri. Negara-negara anggota berupaya menjawab permasalahan-permasalahan institusional yang timbul dengan pendekatan ad hoc, termasuk dengan mengambil keputusan berdasarkan konsensus. Alhasil, meskipun GATT secara resmi tidak mendirikan sebuah organisasi dagang internasional, negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut bertindak seolah mereka tergabung dalam sebuah lembaga internasional.[7] GATT sendiri juga menjadi landasan bagi pengadaan delapan putaran perundingan perdagangan multilateral yang diadakan secara berkala untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Putaran-putaran tersebut meliputi Putaran Jenewa 1947, Putaran Annecy 1949, Putaran Torquay 1950, Putaran Jenewa 1956, Putaran Dillon 1960–61, Putaran Kennedy 1962–67, Putaran Tokyo 1973–79, dan Putaran Uruguay tahun 1986–94.[10]
Sebelum Putaran Kennedy, negara-negara memusatkan perhatian mereka pada upaya mengurangi hambatan berupa tarif. Namun, semenjak putaran tersebut, mereka juga mulai membahas pengurangan hambatan non-tarif, contohnya adalah perundingan Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan pada Putaran Tokyo dan perundingan kembali perjanjian ini dan perundingan Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari pada Putaran Uruguay. Selain itu, pada Putaran Uruguay, isu tentang kekayaan intelektual dan perdagangan jasa juga dibahas.[12] Semenjak dimulainya Putaran Uruguay, para perunding telah menyadari bahwa mereka membutuhkan mekanisme kelembagaan dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih baik. Salah satu pokok yang dirundingkan selama Putaran tersebut adalah "berfungsinya sistem GATT" (bahasa Inggris: functioning of the GATT system, disingkat FOGS). Banyak negara yang ingin menghindari masalah yang timbul selama Putaran Tokyo, yaitu kemunculan "perjanjian-perjanjian sampingan"[a] yang hanya berlaku bagi negara anggota GATT yang bersedia mengikuti perjanjian tersebut (permasalahan ini disebut "GATT à la carte"). Oleh sebab itu, para perunding di GATT bersedia menjadikan pembahasan FOGS pada Putaran Uruguay sebagai kesempatan untuk mendirikan sebuah organisasi dagang di tingkat global.[13] Kemudian, dalam Rancangan Penetapan Akhir Putaran Uruguay yang dikeluarkan pada tahun 1991, terkandung sebuah usulan untuk mendirikan "Organisasi Dagang Multilateral". Nama yang diusulkan kemudian diubah menjadi "Organisasi Perdagangan Dunia". Persetujuan-persetujuan hasil Putaran Uruguay lalu disatukan ke dalam suatu perjanjian yang menjadi kerangka lembaga baru ini, yaitu Persetujuan Marrakesh (juga disebut "Perjanjian WTO"), termasuk di dalamnya adalah Perjanjian GATT 1994 yang menggantikan GATT 1947 serta perjanjian-perjanjian sampingan yang telah dirundingkan sebelumnya. Perjanjian WTO sudah dapat ditandatangani pada tanggal 15 April 1994. Persetujuan ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, sehingga tanggal tersebut merupakan tanggal resmi pendirian Organisasi Perdagangan Dunia.[14] Pada November 2001, anggota-anggota WTO yang berkumpul selama Konferensi Tingkat Menteri Keempat di Doha, Qatar, memutuskan untuk memulai putaran perundingan baru yang disebut Putaran Pembangunan Doha. Pokok bahasan dari perundingan ini bermacam-macam, seperti pertanian, akses pasar untuk produk yang bukan pertanian, fasilitasi perdagangan, revisi aturan WTO, dan penyelesaian sengketa. Selain itu, putaran pembangunan ini juga sangat mempertimbangkan kebutuhan negara-negara berkembang dan keuntungan yang dapat mereka peroleh dari perdagangan.[15] Namun, para anggota tidak dapat menemukan titik temu dalam berbagai hal. Selama Konferensi Tingkat Menteri Kelima di Cancún, Meksiko, pada tahun 2003, negara-negara berkembang menolak memulai perundingan mengenai "isu-isu Singapura", yaitu isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan kompetisi, investasi, transparansi dalam proyek pengadaan pemerintah, dan fasilitasi dagang.[16][17] Pada saat yang sama, negara-negara maju juga menolak memangkas subsidi pertanian, padahal negara-negara berkembang merasa sangat dirugikan dengan adanya subsidi tersebut karena merusak daya saing produk mereka. Perseteruan ini mengakibatkan kegagalan Konferensi Tingkat Menteri Cancún.[18][17] Kebuntuan ini diakhiri untuk sementara pada pertengahan tahun 2004 setelah Program Kerja Doha yang baru ditetapkan oleh Dewan Umum WTO pada tanggal 1 Agustus 2004, dan salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh dewan tersebut adalah keputusan untuk tidak mencoba memulai perundingan tentang isu-isu Singapura. Kemudian, pada Konferensi Tingkat Menteri Keenam di Hong Kong pada Desember 2005, anggota WTO sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian sebelum tahun 2013. Namun, anggota WTO sama sekali tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain, seperti akses pasar untuk produk pertanian, bantuan domestik untuk produksi pertanian, akses pasar untuk produk non-pertanian, dan liberalisasi perdagangan jasa. Akhirnya, pada akhir Juli 2006, Direktur Jenderal WTO pada saat itu, Pascal Lamy, memutuskan untuk menangguhkan Putaran Perundingan Doha.[19] Setelah itu, perundingan-perundingan yang dilakukan untuk permasalahan-permasalahan yang lebih kecil pun tidak membuahkan hasil,[20] dan akhirnya Pascal Lamy mengumandangkan pada tanggal 31 Mei 2011 bahwa Putaran Pembangunan Doha sudah "mati".[15] Walaupun begitu, selama Konferensi Tingkat Menteri Kesembilan di Bali, Indonesia, pada Desember 2013, anggota-anggota WTO berhasil menyepakati "Paket Bali", dan perjanjian terpenting yang menjadi bagian dari "paket" ini adalah Perjanjian Fasilitasi Perdagangan yang dimaksudkan untuk menyederhanakan prosedur pabean, meningkatkan keefisienan dan kecepatan prosedur, serta mengurangi biaya untuk mematuhi prosedur pabean.[21] Logika ekonomi
— Ekonom Skotlandia Adam Smith.[22][23] WTO pada dasarnya didirikan dengan logika ekonomi bahwa perdagangan bebas akan memperkuat ekonomi dan menguntungkan masyarakat dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dari masing-masing negara. Tokoh yang paling dikenal sebagai pencetus teori keunggulan komparatif adalah David Ricardo. Sebagai contoh, jika negara A adalah penghasil beras terbaik dan negara B adalah produsen laptop yang paling bagus, jelas bahwa keduanya akan diuntungkan apabila A fokus pada beras, B fokus pada laptop, dan kemudian keduanya saling berdagang, alih-alih A membagi sumber dayanya untuk memproduksi laptop dan beras secara mandiri, padahal negara tersebut tidak dapat membuat laptop secara efisien. Namun, permasalahan muncul jika negara A lebih hebat dalam membuat segala hal daripada B. Walaupun begitu, Ricardo menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan bahwa dalam keadaan seperti itu, perdagangan bebas masih akan menguntungkan kedua belah pihak. Bayangkan Kerajaan Britania Raya adalah negara yang dapat memproduksi botol anggur dengan mempekerjakan 120 orang, sementara Kerajaan Portugal dapat memproduksi jumlah yang sama dengan 80 tenaga kerja saja. Pada saat yang sama, Britania Raya dapat menghasilkan pakaian dalam jumlah tertentu dengan 100 tenaga buruh, sementara untuk memproduksi jumlah yang sama, Portugal membutuhkan 90 tenaga kerja.[24]
Walaupun Portugal memiliki keunggulan mutlak terhadap Britania Raya dalam memproduksi pakaian dan botol anggur, menurut Ricardo, perdagangan akan tetap menguntungkan kedua belah pihak. Jika Britania Raya memutuskan untuk memproduksi pakaian dengan 100 tenaga kerja dan mengekspornya ke Portugal untuk mendapatkan botol anggur yang dihasilkan oleh 80 petani Portugis, Britania Raya akan diuntungkan karena untuk membuat botol anggur sendiri, mereka membutuhkan 120 tenaga kerja. Portugal juga diuntungkan, karena alih-alih harus mengerahkan 90 orang untuk membuat pakaian, mereka dapat membelinya dari Britania Raya dengan hanya mempekerjakan 80 orang untuk memproduksi botol anggur.[24] Model Ricardo sendiri merupakan hasil penyederhanaan yang mengasumsikan bahwa biaya dan harga berlaku tetap, tetapi para ekonom modern telah memutakhirkan teori Ricardo dan menyesuaikannya dengan kenyataan dalam ekonomi modern. Contohnya adalah model Heckscher–Ohlin yang telah menemukan bahwa suatu negara akan mengekspor barang yang memiliki faktor produksi murah dan berlimpah di negaranya dan mengimpor barang dengan faktor produksi yang langka.[25][26] Maka dari itu, perdagangan bebas dianggap penting untuk kemajuan ekonomi, karena jika negara memfokuskan diri pada keunggulan komparatif, modal dan tenaga kerja dapat dialokasikan secara efisien, dan produktivitas pun meningkat dan pertumbuhan ekonomi juga terdorong.[27] Hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dapat mengurangi keuntungan dari perdagangan atau bahkan menihilkannya, dan oleh sebab itulah anggota-anggota WTO berusaha memajukan ekonomi dengan mengurangi hambatan-hambatan tersebut.[28] Sebagai contoh, menurut laporan yang disusun oleh Kantor Eksekutif Presiden Amerika Serikat, pengurangan tarif di Amerika Serikat semenjak Perang Dunia II telah menambah produk domestik bruto negara sebesar 7,3% atau sekitar $1,3 triliun pada tahun 2014.[29] Selain itu, perdagangan bebas diyakini juga akan mengurangi kemiskinan dan menambah lapangan pekerjaan, terutama dengan dibukanya pasar baru untuk menjual barang dan jasa ke luar negeri, dan keuntungan lain dari perdagangan bebas adalah harga yang lebih murah dan pilihan yang lebih banyak untuk konsumen karena sudah tidak ada lagi tarif atau pembatasan yang menghambat barang atau jasa dari luar negeri.[30] Tujuan dan fungsiTujuan pendirian WTO dijabarkan dalam mukadimah Perjanjian WTO, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup, mewujudkan lapangan kerja penuh, menambah pendapatan riil dan permintaan, serta memperbesar produksi dan perdagangan barang dan jasa. Mukadimah persetujuan tersebut juga menambahkan bahwa segala upaya untuk mewujudkan angan-angan ini harus mempertimbangkan pelestarian lingkungan dan kebutuhan negara-negara berkembang.[31] Selain itu, mukadimah ini turut menegaskan pentingnya pembangunan berkelanjutan (pembangunan yang juga mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan hidup) serta integrasi negara-negara berkembang (terutama negara-negara terbelakang) dengan sistem perdagangan dunia.[32] Menurut pakar hukum dagang asal Belgia, Peter Van den Bossche, mukadimah ini membantah keyakinan bahwa WTO hanya memperhatikan liberalisasi perdagangan tanpa memedulikan isu kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.[33] Dalam mukadimah yang sama, dikatakan bahwa tujuan-tujuan ini dapat dicapai dengan mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya serta dengan menghapuskan segala tindakan diskriminatif dalam hubungan dagang internasional. Sementara itu, sehubungan dengan dampak hukum dari penjabaran tujuan WTO dalam mukadimah Perjanjian WTO, Badan Banding dalam perkara US–Shrimp menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam mukadimah ini menunjukkan iktikad dari para perunding Perjanjian WTO, sehingga isi mukadimah ini turut "mewarnai" upaya penafsiran terhadap perjanjian-perjanjian yang terlampir dalam Perjanjian WTO.[33] Secara umum, fungsi WTO secara umum seperti yang dijabarkan dalam Pasal II:1 Perjanjian WTO adalah untuk menyediakan "kerangka kelembagaan bersama" yang mewadahi hubungan dagang antaranggota WTO. Pasal III Perjanjian WTO kemudian memperincikan fungsi-fungsi khusus, yaitu untuk memfasilitasi pemberlakuan perjanjian-perjanjian yang terlampir dalam Perjanjian WTO, untuk menyediakan wadah perundingan perjanjian dagang yang baru, untuk melaksanakan Kesepahaman Penyelesaian Sengketa yang berisi tentang prosedur penyelesaian sengketa, untuk melaksanakan Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan, serta untuk bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia agar kebijakan ekonomi global dapat menjadi lebih koheren.[34][35] Perjanjian-perjanjian WTOPerjanjian utama yang melandasi lembaga WTO adalah Persetujuan Marrakesh atau "Perjanjian WTO". Perjanjian ini sendiri sebenarnya merupakan perjanjian singkat yang hanya terdiri dari 16 pasal, tetapi terdapat perjanjian-perjanjian terperinci lainnya yang dilampirkan dalam perjanjian ini. Berdasarkan Pasal II Perjanjian WTO, perjanjian-perjanjian dan instrumen-instrumen hukum yang disebutkan dalam Lampiran 1, 2, dan 3 (disebut "Perjanjian Dagang Multilateral") merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian WTO dan mengikat kepada semua anggota.[36] Sementara itu, perjanjian-perjanjian dan instrumen-instrumen hukum yang disebutkan dalam Lampiran 4 (disebut "Perjanjian Dagang Plurilateral") juga merupakan bagian dari Perjanjian WTO dan hanya berlaku bagi anggota yang telah menerima perjanjian tersebut.[37] Lampiran 1A mengandung perjanjian-perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan barang, yaitu:[38]
Lampiran 1B berisi Perjanjian Umum tentang Perdagangan Jasa (bahasa Inggris: General Agreement on Trade in Services, disingkat GATS), dan dalam Lampiran 1C terdapat Perjanjian tentang Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan ("Perjanjian TRIPS").[37] Sementara itu, Lampiran 2 berisikan Kesepahaman Penyelesaian Sengketa (bahasa Inggris: Dispute Settlement Understanding, disingkat DSU) yang mengatur prosedur penyelesaian sengketa dagang,[41] dan Lampiran 3 mengandung Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan yang menjabarkan prosedur peninjauan kebijakan dagang anggota-anggota WTO.[42] Di Lampiran 4 sendiri terdapat dua perjanjian plurilateral, yaitu Perjanjian tentang Perdagangan Pesawat Sipil (yang disepakati pada Putaran Tokyo tahun 1979) dan Perjanjian tentang Pengadaan Pemerintah (sesuai dengan hasil revisi tahun 2014).[43] Sebelumnya terdapat pula perjanjian plurilateral yang disebut Perjanjian Peternakan Susu Internasional dan Perjanjian Daging Sapi Internasional, tetapi perjanjian-perjanjian plurilateral ini sudah tidak berlaku pada tahun 1997.[44] Di sisi lain, pada tanggal 13 Desember 1996, Perjanjian Teknologi Informasi (bahasa Inggris: Information Technology Agreement, disingkat ITA) telah disepakati oleh 29 anggota WTO melalui "Deklarasi Tingkat Menteri tentang Perdagangan Produk Teknologi Informasi" yang dikeluarkan di Singapura. Perjanjian yang juga bersifat plurilateral ini menghapuskan bea masuk untuk berbagai produk dalam bidang teknologi informasi, seperti komputer, peralatan telekomunikasi, dan semikonduktor,[45] dan secara keseluruhan terdapat sekitar 222 jenis barang. Semenjak itu, jumlah anggota yang turut serta dalam perjanjian ini terus bertambah hingga mencapai 67 negara pada tahun 2015. Kemudian, pada tanggal 28 Juli 2015, setelah sempat tersendat selama beberapa tahun, daftar barang yang masuk ke dalam cakupan perjanjian ini diperluas dengan 201 jenis produk tambahan. Perjanjian yang telah diperbaharui ini juga dijuluki "ITA II".[46] Dalam Perjanjian WTO, terdapat protokol-protokol aksesi dari anggota-anggota WTO yang baru bergabung setelah ditetapkannya perjanjian tersebut, dan protokol-protokol ini dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini. Contohnya adalah Protokol Aksesi Tiongkok.[43] Selain itu, terdapat pula "daftar komitmen" (bahasa Inggris: schedules of commitments) yang berisikan komitmen suatu anggota WTO terhadap produk atau jasa tertentu, dan daftar ini juga dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian WTO.[47] StrukturOrganisasi Perdagangan Dunia adalah sebuah organisasi internasional yang memiliki kapasitas hukum dan juga dianggap sebagai subjek hukum internasional.[48] Struktur kelembagaannya diatur oleh Pasal IV Perjanjian WTO.[49] Terdapat dua badan yang mengambil keputusan di WTO, yaitu Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Konferensi Tingkat Menteri yang terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Perwakilan-perwakilan ini bertemu setidaknya dua tahun sekali.[48] Di bawahnya, Dewan Umum berperan sebagai badan pengambil keputusan utama sekaligus perumus kebijakan selama rentang waktu antara setiap Konferensi Tingkat Menteri. Dewan Umum terdiri dari para diplomat setingkat duta besar dari semua anggota WTO yang berkumpul di Jenewa setidaknya dua bulan sekali. Dewan ini dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh dewan itu sendiri.[50] Dewan Umum berperan dalam menetapkan anggaran tahunan dan kebijakan keuangan organisasi,[51] serta dalam mengatur kerja sama dengan organisasi internasional lainnya atau dengan lembaga swadaya masyarakat.[48] Pekerjaan Dewan Umum dilengkapi oleh dua badan lainnya, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa dan Badan Peninjauan Kebijakan Perdagangan.[48] Di bawah Dewan Umum, terdapat dewan dan komite khusus yang dibentuk oleh Pasal IV:5 Perjanjian WTO, yakni Dewan Perdagangan Barang, Dewan Perdagangan Jasa, dan Dewan TRIPS. Dewan-dewan ini melapor kepada Dewan Umum WTO, dan wewenang mereka sendiri sangat terbatas dan tidak boleh melebihi apa yang ditetapkan dalam Perjanjian WTO, dalam perjanjian dagang masing-masing (contohnya GATS untuk Dewan Perdagangan Jasa), dan oleh keputusan dari Dewan Umum.[52] Dewan-dewan ini diperbolehkan mendirikan komite-komite atau badan subsider sesuai dengan kebutuhan.[48] Selain itu, terdapat juga berbagai komite dan kelompok kerja yang membantu kerja Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum, seperti Komite tentang Perdagangan dan Lingkungan yang didirikan di Marrakesh pada tanggal 14 April 1994 berdasarkan Keputusan Tingkat Menteri tentang Perdagangan dan Lingkungan, Komite tentang Perdagangan dan Pembangunan yang ditetapkan oleh Pasal IV:7 Perjanjian WTO dan dibentuk oleh Dewan Umum pada tahun 1995, atau Komite tentang Perjanjian Dagang Regional yang juga didirikan oleh Dewan Umum pada tahun berikutnya.[53] Organisasi Perdagangan Dunia juga dilengkapi oleh Sekretariat yang bertugas menyediakan bantuan teknis, profesional, dan kepegawaian kepada badan-badan WTO, menyediakan bantuan teknis kepada anggota yang masih berstatus negara berkembang, mengawasi dan mengkaji perdagangan dunia, memberikan nasihat kepada negara yang ingin bergabung dengan WTO, serta menyediakan informasi kepada masyarakat.[54] Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Konferensi Tingkat Menteri dapat memilih Direktur Jenderal dan menetapkan wewenang serta masa jabatannya. Direktur Jenderal harus bertindak independen dari pemerintahan.[48] Direktur Jenderal berwenang mengangkat pegawai-pegawai, dan mereka bekerja sebagai pegawai negeri internasional.[48][55] Pegawai-pegawai ini kebanyakan berlatar belakang ahli hukum dan ekonom.[55] AnggaranAturan mengenai anggaran WTO dijabarkan dalam Pasal VII Perjanjian WTO. Anggaran tahunan diusulkan oleh Direktur Jenderal WTO kepada Komite mengenai Anggaran, Keuangan, dan Tata Usaha. Komite tersebutlah yang kemudian meninjau usulan dan memberikan rekomendasi.[3] Anggaran ini lalu disahkan oleh Dewan Umum setelah mendapatkan persetujuan dari sekurangnya 2/3 anggota, walaupun pada kenyataannya keputusan ini diambil melalui konsensus. Terkait dengan sumber dananya, Regulasi Keuangan WTO memperincikan kontribusi pendanaan dari setiap anggota. Jumlah kontribusi setiap anggota disesuaikan dengan besarnya persentase perdagangan anggota tersebut (impor ditambah ekspor) bila dibandingkan dengan semua anggota WTO. Sebagai contoh, pada tahun 2016, Amerika Serikat menyumbang 11,2% anggaran, Tiongkok 9,1%, Singapura 2,4%, Malaysia 1,1%, Indonesia 0,9%, dan Norwegia 0,8%. Uni Eropa tidak membayar iuran anggaran, tetapi negara-negara anggotanya tetap harus berkontribusi. Untuk anggota dengan persentase perdagangan di bawa 0,015%, kontribusi anggaran yang harus dibayar tetap 0,015%. Selain anggaran, WTO juga memiliki beberapa dana perwalian dengan pendanaan yang juga bersumber dari anggota. Tujuan dari dana perwalian ini adalah untuk membantu kegiatan yang memberikan bantuan teknis dan pelatihan untuk negara-negara berkembang dan terbelakang. Contohnya adalah Dana Perwalian Global Agenda Pembangunan Doha (bahasa Inggris: Doha Development Agenda Global Trust Fund).[56] AnggotaPada tahun 2016, WTO memiliki 164 anggota yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia.[1] Para anggotanya tidak hanya terdiri dari negara-negara berdaulat, tetapi juga meliputi wilayah kepabeanan, yaitu daerah yang bebas mengatur hubungan dagang mereka sendiri. Contoh wilayah kepabeanan yang menjadi anggota WTO adalah "Hong Kong, Tiongkok", "Makau, Tiongkok", dan "Tionghoa Taipei" (dalam bahasa sehari-hari disebut "Taiwan").[57] Selain itu, WTO juga memiliki kekhususannya sendiri dengan menerima Uni Eropa sebagai anggota. Pada saat yang sama, negara anggota Uni Eropa juga menjadi anggota WTO, sehingga setiap negara ini seolah memiliki keanggotaan ganda. Walaupun begitu, pada kenyataannya Komisi Eropa-lah yang bertindak sebagai perantara Uni Eropa sekaligus semua negara anggotanya dalam pertemuan dan perundingan yang digelar di WTO.[58] Terdapat dua cara bagi negara yang ingin bergabung dengan WTO. Cara pertama yang disebut "keanggotaan awal" (bahasa Inggris: original membership) hanya dapat digunakan oleh negara yang pernah bergabung dengan GATT 1947 dan Komunitas Eropa. Berdasarkan Pasal XI:1 Perjanjian WTO, negara-negara tersebut dapat diterima sebagai anggota WTO jika mereka menerima semua ketentuan Perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral yang berada di bawahnya, dan jika memberikan konsesi dan membuat komitmen dalam perdagangan barang dan jasa yang kemudian dicantumkan dalam daftar masing-masing.[59] Cara kedua adalah melalui prosedur aksesi seperti yang ditetapkan dalam Pasal XII Perjanjian WTO. Negara atau wilayah kepabeanan yang ingin bergabung harus menerima semua ketentuan Perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral yang berada di bawahnya, dan kemudian mereka harus melakukan perundingan aksesi yang mencoba menentukan kesesuaian undang-undang dan praktik dagang calon anggota dengan aturan WTO dan langkah yang dapat diambil untuk menyesuaikannya, serta konsesi akses pasar untuk perdagangan barang dan komitmen perdagangan jasa yang akan diambil oleh calon anggota.[60] Tahapannya secara umum dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
Dalam sejarahnya, proses aksesi ke dalam WTO biasanya memakan waktu yang panjang; walaupun Kirgizstan merupakan negara tercepat yang bergabung ke dalam WTO (hanya memerlukan 2 tahun 10 bulan), perundingan aksesi dengan Aljazair masih belum selesai dari tahun 1987.[63] Republik Rakyat Tiongkok sendiri membutuhkan lebih dari empat belas tahun untuk menyelesaikan proses aksesi, dan mereka secara resmi bergabung pada November 2001.[64] Selain anggota, WTO juga memiliki sejumlah "pengamat". Negara-negara yang baru saja mendapatkan status pengamat harus memulai perundingan untuk bergabung dengan WTO dalam kurun waktu lima tahun. Kewajiban ini tidak berlaku untuk Vatikan yang memiliki status pengamat di WTO. Selain itu, sejumlah organisasi internasional juga memiliki status pengamat permanen, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian, Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia, dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Ada pula organisasi-organisasi internasional yang hanya memiliki status pengamat dalam badan WTO tertentu sesuai dengan mandat mereka, contohnya adalah Komisi Codex Alimentarius (lembaga gabungan Organisasi Pangan dan Pertanian dengan Organisasi Kesehatan Dunia) yang memiliki status pengamat di Komite Tindakan Sanitari dan Fitosanitari WTO.[59] Pengambilan keputusanBerdasarkan Pasal IX:1 Perjanjian WTO, Organisasi Perdagangan Dunia melanjutkan praktik pengambilan keputusan dalam GATT 1947 yang menggunakan sistem konsensus. Prosedur standar ini akan dijalankan apabila tidak ada anggota yang terang-terangan menolak penetapan suatu keputusan. Apabila konsensus tidak dapat tercapai, keputusan akan diambil lewat pemungutan suara dengan sistem mayoritas sederhana. Setiap anggota memiliki satu suara; pengecualiannya adalah Uni Eropa yang jumlah suaranya sama dengan jumlah anggotanya.[65] Selain itu, WTO juga memiliki prosedur-prosedur khusus. Sebagai contoh, Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum berwenang membuat penafsiran yang bersifat otoritatif terhadap perjanjian-perjanjian WTO, dan keputusan untuk menetapkan penafsiran semacam ini harus mendapatkan persetujuan dari sekurangnya 3/4 anggota. Contoh lain berkaitan dengan penerimaan anggota baru. Pasal XII:2 Perjanjian WTO mengatur bahwa keputusan yang berkenaan dengan hal tersebut diambil oleh Konferensi Tingkat Menteri dengan dukungan dari sekurangnya 2/3 anggota. Namun, Dewan Umum bersepakat pada tanggal 15 November 1995 untuk mencoba mengambil keputusan lewat konsensus terlebih dahulu, sehingga pemungutan suara untuk menerima anggota baru baru akan diadakan jika konsensus tidak dapat tercapai.[66] Pada praktiknya, konsensus selalu didahulukan dan keputusan sangat jarang diambil melalui pemungutan suara. Walaupun sistem konsensus dianggap lebih melegitimasi keputusan yang telah ditetapkan, Laporan Sutherland tahun 2004 mengungkapkan kekhawatiran bahwa jumlah anggota WTO yang begitu banyak akan menghambat upaya untuk menetapkan kebijakan baru. Penolakan dari satu anggota saja dapat menggagalkan upaya untuk mencapai konsensus meskipun kebijakan yang diusulkan didukung oleh banyak anggota, sehingga sistem konsensus dianggap dapat melumpuhkan proses pengambilan keputusan di WTO. Laporan Sutherland sendiri menyarankan agar anggota yang ingin memveto suatu keputusan diharuskan menyatakannya dalam bentuk tulisan dengan mencantumkan alasan yang menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut kepentingan nasional yang amat penting bagi anggota tersebut.[67] Dari segi partisipasi, WTO ingin melibatkan semua anggotanya, tetapi pada kenyataannya upaya untuk melibatkan 164 anggota WTO tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka dari itu, muncul mekanisme yang dimaksudkan untuk mempercepat proses perundingan dan pengambilan keputusan, contohnya adalah mekanisme "pertemuan ruang hijau" yang mengumpulkan anggota-anggota besar di WTO (seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Tiongkok) beserta satu anggota lain yang berperan sebagai koordinator atau perwakilan kelompok anggota lainnya (misalnya sebagai perwakilan negara terbelakang) atau yang memiliki kepentingan terhadap perundingan yang akan dilaksanakan. Dalam pertemuan semacam ini, para petinggi atau perwakilan dari sekitar dua puluh anggota diundang untuk membahas permasalahan-permasalahan utama. Pertemuan ini dikepalai oleh Direktur Jenderal WTO atau oleh ketua salah satu dewan atau komite WTO. Dari pertemuan ini akan dihasilkan rancangan kesepakatan yang lalu akan ditunjukkan kepada anggota WTO lainnya untuk kemudian ditetapkan.[68] Upaya untuk menyesuaikan proses pengambilan keputusan di WTO sendiri tidak mudah, karena organisasi ini harus menyeimbangkan antara inklusivitas, transparansi, dan efisiensi. Saat ini, dengan semakin terlibatnya negara-negara berkembang dalam mekanisme ruang hijau, proses pengambilan keputusan menjadi semakin sulit karena negara-negara tersebut juga memiliki kepentingan yang beragam.[69] Aturan-aturan dasarWTO memiliki banyak aturan yang rumit mengenai perdagangan barang dan jasa dan perlindungan hak kekayaan intelektual.[70] Aspek-aspek dagang yang menjadi cakupan dari hukum WTO sendiri bermacam-macam, contohnya adalah tarif, kuota, regulasi di tingkatan nasional, tindakan yang diambil demi keamanan nasional, persyaratan pabean,[70] subsidi,[71] dan dumping (praktik menurunkan harga barang ekspor di bawah harga normal di negara pengekspor).[72] Secara umum, terdapat empat jenis aturan dasar yang bersifat substansif dalam hukum WTO, yaitu aturan yang melarang diskriminasi, aturan mengenai akses pasar, aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil, serta aturan mengenai pengecualian.[70] Non-diskriminasiDalam hukum WTO, terdapat dua aturan utama yang melarang diskriminasi, yaitu "perlakuan yang sama untuk semua anggota" (MFN) dan "perlakuan nasional". Berdasarkan aturan MFN, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk memberikan suatu perlakuan yang menguntungkan atau mengistimewakan salah satu anggota, keuntungan atau keistimewaan tersebut juga harus diberikan kepada semua anggota WTO tanpa terkecuali. Maka dari itu, anggota WTO tidak boleh memilih-milih dalam memberikan konsesi dagang kepada salah satu anggota lainnya. Sebagai contoh, apabila salah satu anggota WTO memutuskan untuk memangkas tarif impor beras dari salah satu anggota, pemangkasan tarif beras tersebut juga harus diberlakukan kepada semua anggota WTO.[73][74] Sementara itu, aturan "perlakuan nasional" menitahkan bahwa anggota WTO harus memperlakukan produk impor sebagaimana anggota tersebut memperlakukan produk sejenis di negaranya. Dalam kata lain, anggota WTO tidak boleh mendiskriminasi produk asing setelah produk tersebut masuk ke dalam pasar domestik. Sebagai contoh, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk menghapuskan pajak rokok buatan dalam negeri, penghapusan pajak tersebut juga harus diberlakukan untuk rokok-rokok impor yang sudah memasuki pasar dalam negeri. Jika mereka hanya memungut pajak tersebut untuk rokok impor, mereka telah melanggar aturan perlakuan nasional.[73][75] Kedua aturan ini terkandung dalam GATT yang menyangkut barang dan GATS yang menyangkut jasa. Namun, kedua perjanjian ini memiliki perbedaan besar dalam hal cakupan penerapan. Aturan MFN dalam GATS berlaku untuk semua jasa secara umum, walaupun anggota-anggota dapat membuat beberapa pengecualian yang terbatas cakupannya. Namun, aturan mengenai perlakuan nasional hanya berlaku untuk anggota yang telah membuat komitmen khusus terhadap sektor-sektor jasa tertentu atau terhadap salah satu dari empat cara untuk memasok jasa (pasokan lintas batas, konsumsi luar negeri, kehadiran komersial, dan kehadiran manusia alamiah atau natural person). Komitmen-komitmen ini dicantumkan dalam daftar komitmen jasa setiap anggota. Oleh sebab itu, dalam membaca peraturan dalam GATS, daftar komitmen jasa dari salah satu anggota yang sedang dikaji juga harus dipertimbangkan, dan mereka tidak harus menerapkan aturan perlakuan nasional untuk sektor jasa atau cara memasok yang belum diliberalisasi. Sementara itu, aturan perlakuan nasional dalam GATT berlaku secara umum.[73][76] Aturan mengenai akses pasarNegara-negara membutuhkan akses pasar agar perdagangan barang dan jasa dapat berjalan lancar, tetapi akses pasar terhadap suatu negara sering kali dihambat oleh berbagai cara, baik itu tarif maupun non-tarif.[77] Secara umum, terdapat empat jenis aturan WTO yang terkait dengan akses pasar, yaitu peraturan tentang bea masuk, peraturan tentang bea dan pungutan-pungutan keuangan lainnya, peraturan tentang pembatasan secara kuantitatif, serta peraturan tentang hambatan non-tarif lainnya.[73] Pada dasarnya, pemungutan bea masuk itu tidak dilarang, tetapi tarif yang dipungut oleh suatu negara tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan dalam daftar konsesi masing-masing.[b] Setiap anggota WTO memiliki daftar konsesinya sendiri kecuali untuk anggota yang menjadi bagian dari suatu serikat pabean (contohnya adalah negara-negara anggota Uni Eropa yang tidak memiliki daftar konsesi mereka sendiri, tetapi mereka mengikuti daftar konsesi yang disusun oleh Uni Eropa). Daftar ini memuat "konsesi dagang", yaitu komitmen yang telah diambil oleh suatu anggota untuk tidak mengangkat tarif mereka di atas angka yang telah disepakati, atau dalam kata lain, mereka telah "mengikat" tarif mereka pada angka tersebut.[c] Hukum WTO sendiri mengajak anggotanya untuk terus melakukan perundingan demi pengurangan tarif yang menguntungkan semua pihak, dan hasil dari perundingan ini juga akan dimasukkan ke dalam daftar konsesi anggota terkait.[78] Walaupun daftar konsesi menetapkan tarif maksimal, batas tarif untuk berbagai produk sering kali lebih tinggi daripada bea masuk yang sesungguhnya ditetapkan; dalam hal ini, Badan Banding dalam perkara Argentina–Textiles and Apparel (1998) menyatakan bahwa anggota diperbolehkan mengenakan bea yang lebih rendah daripada tarif maksimalnya.[79] Sehubungan dengan "bea dan pungutan-pungutan lainnya", Badan Banding dalam perkara India–Additional Import Duties telah mendefinisikan istilah ini sebagai "bea dan pungutan yang bukan bea masuk biasa".[80] Misalnya, Panel dalam perkara Dominican Republic–Safeguard Measures mendapati bahwa "tindakan pengamanan" yang dilakukan oleh petugas pabean Republik Dominika merupakan "bea dan pungutan lainnya", karena kebijakan ini bukanlah "bea masuk biasa".[81] "Tindakan pengamanan" (berdasarkan Pasal XIX GATT) adalah penangguhan konsesi dagang untuk jangka waktu tertentu apabila terjadi lonjakan impor yang tidak terduga sebelumnya sampai-sampai mengancam akan mengakibatkan kerugian serius terhadap produsen dalam negeri,[82] dan tindakan pengamanan yang dipertentangkan dalam perkara tersebut adalah penetapan bea masuk sementara sebesar 38% untuk impor kantong plastik polipropilena.[83] Contoh lain yang dapat ditemui dalam perkara-perkara di Panel dan Badan Banding adalah bea tambahan terhadap suatu barang yang sudah dikenakan bea masuk, pembayaran jaminan keamanan untuk mengimpor barang, atau biaya pabean tanpa batasan maksimal.[84] Pasal II:1(b) GATT sendiri menitahkan bahwa bea semacam ini tidak boleh melebihi bea yang telah diberlakukan pada "tanggal perjanjian ini" atau bea yang diberlakukan dalam undang-undang yang berlaku pada tanggal tersebut. Akibat ketidakjelasan istilah "tanggal perjanjian ini", para anggota WTO telah bersepakat dalam Kesepahaman mengenai Penafsiran Pasal II:1(b) GATT 1994 (bahasa Inggris: Understanding on the Interpretation of Article II:1(b) of the GATT 1994) bahwa setiap anggota dalam hal ini berkewajiban untuk mencatat tarif mengikat maksimal yang akan dikenakan untuk setiap bea atau pungutan lainnya dalam daftar konsesi mereka.[85] Hukum WTO sendiri tidak mengizinkan pembatasan kuantitatif terhadap barang. Oleh sebab itu, secara umum anggota WTO tidak diperbolehkan melarang pengimporan atau pengeksporan barang tertentu, dan mereka juga tidak dapat memberlakukan kuota terhadap barang. Untuk perdagangan jasa, aturan ini hanya berlaku untuk sektor jasa yang telah diliberalisasi oleh anggota tersebut.[78] Sementara itu, peraturan yang keempat merupakan sebuah kategori dengan cakupan yang luas, contohnya adalah kurangnya transparansi hukum dagang, praktik perdagangan yang tidak adil, prosedur pabean, buruknya perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan sanitari dan fitosanitari, atau keberadaan hambatan teknis.[86] Aturan mengenai perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan sanitari dan fitosanitari, dan hambatan teknis diatur oleh perjanjiannya sendiri.[87] Misalnya, regulasi teknis yang diberlakukan oleh suatu negara harus mematuhi asas MFN, dan anggota yang memberlakukan regulasi ini harus memastikan agar tidak timbul hambatan perdagangan yang tidak diperlukan.[88] Aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adilHukum WTO memiliki aturan-aturan khusus mengenai praktik-praktik perdagangan tertentu yang dianggap tidak adil, yaitu subsidi dan dumping. Subsidi diatur oleh Pasal XVI GATT dan juga Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (bahasa Inggris: Agreement on Subsidies and Countervailing Measures, disingkat Perjanjian SCM).[89] Menurut Perjanjian SCM, subsidi adalah kontribusi keuangan dari pemerintah atau badan publik, atau bantuan pendapatan atau harga dalam bentuk apapun sesuai dengan Pasal XVI GATT, yang memberikan keuntungan.[90] Hukum WTO melarang beberapa jenis subsidi, yaitu subsidi ekspor dan substitusi impor.[91] Sebagian besar dari jenis subsidi lainnya tidak dilarang, tetapi subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai "subsidi yang dapat ditindak" (actionable), yaitu subsidi yang dapat ditentang oleh anggota WTO apabila subsidi tersebut menimbulkan "dampak-dampak merugikan" (adverse effects) terhadap kepentingan anggota tersebut. Subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi yang mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik negara lain yang menghasilkan produk sejenis, subsidi yang menyebabkan penghapusan atau pengurangan terhadap keuntungan yang diperoleh secara langsung ataupun tidak langsung dari GATT 1994, serta subsidi yang menyebabkan kerugian serius.[d][92] Jika anggota yang memberikan subsidi semacam itu menolak mencabutnya atau tidak mau mengambil langkah untuk menghilangkan dampaknya yang merugikan, anggota lain yang dirugikan dapat mengambil tindakan balasan yang sebanding dengan dampak dari subsidi tersebut.[89] Di Perjanjian SCM sendiri sebenarnya masih ada jenis subsidi ketiga, yaitu subsidi yang tidak dapat ditindak. Menurut Pasal 8.2 Perjanjian SCM, subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi lingkungan hidup, subsidi penelitian, dan subsidi untuk pembangunan daerah tertinggal. Namun, sesuai dengan Pasal 31 Perjanjian SCM, subsidi ini hanya berlaku lima tahun setelah Perjanjian WTO secara keseluruhan mulai berlaku. Akibatnya, aturan mengenai subsidi yang tidak dapat ditindak hanya berlaku hingga tanggal 31 Desember 1999, dan semenjak itu subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai subsidi yang dapat ditindak.[93] Sementara itu, dumping adalah praktik penjualan produk di pasar negara lain dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang seharusnya di dalam negeri. Secara umum, dumping tidak dilarang oleh hukum WTO, tetapi Pasal VI GATT dan Perjanjian Anti-Dumping mengizinkan anggota WTO untuk memungut bea anti-dumping apabila praktik dumping tersebut mengakibatkan atau mengancam akan mengakibatkan kerugian material terhadap produk sejenis yang diproduksi oleh anggota tersebut.[94] PengecualianUpaya untuk meliberalisasi perdagangan dapat bertabrakan dengan kepentingan masyarakat, contohnya adalah pelestarian lingkungan hidup atau kepentingan ekonomi lainnya. Maka dari itu, hukum WTO memiliki pasal-pasal "pengecualian" yang membenarkan penyimpangan dari aturan-aturan dasar WTO dalam keadaan tertentu demi kepentingan masyarakat. Pengecualian secara umum terkandung dalam Pasal XX GATT dan XIV GATS, contohnya adalah perlindungan moral masyarakat atau perlindungan kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan. Kepentingan untuk melindungi keamanan nasional juga dapat ditemui dalam Pasal XXI GATT dan Pasal XIV bis GATS. Sementara itu, Pasal XII dan XIX GATT serta Pasal X dan XII GATS mencantumkan kepentingan-kepentingan ekonomi, misalnya perlindungan industri dalam negeri dari kerugian serius yang diakibatkan oleh peningkatan impor secara tajam dan tak terduga.[95] Sehubungan dengan pengecualian umum yang terkandung dalam GATT dan GATS, anggota WTO biasanya dapat melewati langkah pertama untuk membenarkan kebijakan tersebut, yaitu pembuktian bahwa kebijakan tersebut benar-benar dimaksudkan untuk melindungi kepentingan terkait. Sebagai contoh, sehubungan dengan Pasal XIV GATS, Panel dalam perkara US–Gambling menerima argumen dari Amerika Serikat bahwa kebijakan yang membatasi judi dapat dibenarkan untuk melindungi moral masyarakat, dan "moral masyarakat" sendiri didefinisikan oleh Panel sebagai "standar tindakan benar dan salah yang dipelihara oleh atau atas perantara suatu komunitas atau bangsa." Badan Banding sepakat dengan keputusan ini.[96][97] Namun, upaya untuk memakai Pasal XX GATT dan Pasal XIV GATS acap kali kandas akibat keberadaan chapeau (mukadimah) dalam kedua pasal tersebut. Chapeau ini menyatakan bahwa tindakan yang diambil oleh anggota WTO untuk melindungi kepentingan tertentu tidak diperbolehkan apabila tindakan tersebut tergolong sebagai diskriminasi yang sembarangan atau tidak dapat dibenarkan, atau jika tindakan tersebut merupakan kedok untuk membatasi perdagangan internasional. Fungsi dari chapeau ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan, tetapi kenyataannya chapeau ini malah menggagalkan banyak upaya untuk membenarkan tindakan perlindungan.[98][99] Contohnya, dalam perkara US–Gambling, pada akhirnya Amerika Serikat dinilai telah melanggar hukum WTO karena mereka mengizinkan jasa taruhan balap kuda yang disediakan oleh beberapa perusahaan Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat dianggap telah berlaku diskriminatif. Sementara itu, dalam perkara US–Shrimp, tindakan perlindungan terhadap penyu sebagai sumber daya alam yang dapat habis (sesuai dengan Pasal XX(g) GATT)[e] juga ditolak karena dinilai bersifat diskriminatif.[98] Hukum WTO juga menyediakan pengecualian dalam bentuk perjanjian dagang regional, yaitu perjanjian yang ditetapkan oleh negara-negara tertentu untuk semakin memperkuat upaya integrasi ekonomi. Contohnya adalah Kawasan Perdagangan Bebas Perbara, Perjanjian Perdagangan Bebas Eropa Tengah, dan Mercosur di Amerika Selatan. Dalam ranah WTO, "perjanjian dagang regional" juga dapat bersifat bilateral, contohnya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Serikat-Kolombia atau Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-Korea Selatan.[100] Pada dasarnya perjanjian-perjanjian semacam ini menjadi pengecualian bagi asas MFN, karena negara yang tergabung dalam perjanjian perdagangan bebas seperti ini memberikan keuntungan tertentu kepada mitra dagangnya, tetapi tidak kepada anggota WTO yang lain.[101] Pasal XXIV GATT dan Pasal V GATS sama-sama mengizinkan penetapan perjanjian dagang regional yang mendirikan serikat pabean atau kawasan perdagangan bebas.[102] Selain itu, pada tanggal 28 November 1979, negara anggota GATT mengeluarkan sebuah keputusan mengenai Enabling Clause yang mengizinkan Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment) untuk negara berkembang. Enabling Clause ini kini menjadi bagian dari GATT 1994.[103] Salah satu contohnya adalah perlakuan yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang walaupun hal ini menyimpang dari asas MFN, pemberian landasan hukum kepada negara berkembang untuk membentuk "perjanjian dagang preferensial" sendiri, serta pemberian preferensi dagang tambahan kepada negara terbelakang.[f][104] Dalam kenyataannya, saat ini terdapat sangat banyak perjanjian dagang di tingkat regional, sampai-sampai Laporan Sutherland pada tahun 2004 mengatakan:
Walaupun begitu, MFN masih tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan oleh semua anggota WTO.[105] Penyelesaian sengketa
— Pasal 3.2 Kesepahaman Penyelesaian Sengketa.[106] WTO memiliki sistem penyelesaian sengketa yang bertindak layaknya pengadilan dagang internasional.[107] Sistem penyelesaian sengketa ini memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction), atau dalam kata lain anggota WTO harus menerima yurisdiksi sistem tersebut.[108] Yurisdiksinya juga bersifat eksklusif dalam artian anggota yang ingin menuntut pelanggaran kewajiban hukum WTO yang dilakukan anggota lain harus membawa perkara ini ke sistem penyelesaian sengketa di WTO.[109] Selain itu, putusan yang dikeluarkan oleh sistem penyelesaian sengketa ini mengikat secara hukum.[107] Tujuan dari sistem ini sendiri ditetapkan oleh Pasal 3.2 DSU, yaitu untuk "memberikan kepastian dan prediktabilitas" terhadap sistem perdagangan multilateral, sehingga badan yang menyelesaikan sengketa akan mengeluarkan putusan yang sama untuk isu hukum yang sama kecuali jika ada alasan yang kuat.[110] Selain itu, sistem ini juga didirikan untuk mempertahankan hak dan kewajiban anggota sesuai dengan yang ditetapkan oleh perjanjian-perjanjian WTO. Maka dari itu, seperti yang tertulis secara gamblang dalam Pasal 3.2 DSU, badan yang menyelesaikan sengketa tidak boleh mengeluarkan putusan yang menambah ataupun mengurangi hak dan kewajiban anggota. Salah satu dampaknya adalah penolakan penggunaan perjanjian di luar WTO sebagai landasan hukum, karena tindakan seperti itu akan "menambah atau mengurangi" hak dan kewajiban anggota.[111] Sistem ini sendiri memiliki dua macam lembaga, yaitu lembaga politik berupa Badan Penyelesaian Sengketa dan lembaga kehakiman seperti Panel dan Badan Banding (bahasa Inggris: Appellate Body). Badan Penyelesaian Sengketa pada dasarnya adalah sesi khusus di Dewan Umum WTO. Badan ini terdiri dari para diplomat yang mewakili semua anggota WTO, dan Pasal 2.1 DSU menyatakan bahwa fungsi dari badan ini adalah untuk menjalankan sistem penyelesaian sengketa, termasuk dengan mendirikan panel, mengesahkan laporan panel dan Badan Banding, mengawasi pemberlakuan isi putusan, serta mengizinkan pengambilan tindakan balasan terhadap anggota yang terbukti melanggar hukum WTO.[112] Badan ini juga dapat mengangkat anggota Badan Banding dan menetapkan aturan perilaku dalam sistem penyelesaian sengketa. Dalam mengambil beberapa keputusan penting (seperti pembentukan Panel, penetapan laporan Panel dan Badan Banding, dan pemberian izin untuk menangguhkan konsesi dagang), Badan Penyelesaian Sengketa memiliki sistem "konsensus terbalik": keputusan akan diambil kecuali jika para anggota WTO telah mencapai konsensus untuk tidak mengambil keputusan tersebut.[113] Untuk lembaga kehakimannya, Panel berperan seperti pengadilan tingkat pertama. Namun, lembaga ini bukanlah sebuah pengadilan permanen, tetapi merupakan sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk oleh Badan Penyelesaian Sengketa untuk sengketa tertentu. Panel akan dibubarkan setelah sengketanya selesai.[114] Untuk memulai perkara di sistem penyelesaian sengketa WTO, anggota yang menuntut harus meminta konsultasi dengan anggota lain terlebih dahulu. Anggota terkait harus membalas permintaan ini dalam waktu sepuluh hari dan juga harus berunding dengan iktikad baik dalam waktu tiga puluh hari setelah permintaan tersebut resmi dilayangkan. Setelah itu, pihak yang menuntut baru dapat melayangkan permintaan resmi untuk mendirikan sebuah Panel kepada Badan Penyelesaian Sengketa.[115] Permintaan ini berfungsi untuk menentukan cakupan sengketa dan yurisdiksi panel, serta untuk memberitahu anggota yang dipermasalahkan dan anggota lain mengenai perkara tersebut. Permintaan ini harus disampaikan dalam bentuk tulisan.[114] Panel biasanya terdiri dari tiga orang, tetapi pihak yang bersengketa dapat memutuskan dalam waktu sepuluh hari setelah pembentukan Panel agar jumlah anggotanya ditambah menjadi lima.[116] Sekretariat WTO mengajukan nama-nama orang yang akan menjadi anggota Panel, dan pihak yang bertikai tidak dapat menentang pencalonan mereka kecuali jika ada "alasan yang mendesak" (sesuai dengan Pasal 8.6 DSU).[117] Pada praktiknya, proses pengangkatan anggota Panel merupakan proses yang panjang dan sulit, dan jika tidak tercapai kesepakatan dalam dua puluh hari, salah satu pihak dapat meminta kepada Direktur Jenderal WTO untuk menentukan anggota Panel. Dalam kenyataanya, Panel yang anggotanya ditunjuk oleh Direktur Jenderal WTO mencapai 92% dari seluruh Panel pada 2014, dan 62,5% pada 2015.[118] Berdasarkan Pasal 11 DSU, tugas Panel adalah untuk meninjau perkara secara objektif.[119] Setelah Panel mengeluarkan putusan, laporannya akan disahkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dalam waktu 60 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota. Keputusan untuk mengesahkan laporan diambil berdasarkan sistem konsensus terbalik.[120] Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara merasa tidak puas dengan putusan Panel, mereka dapat memohon peninjauan dari Badan Banding. Tidak seperti Panel, Badan Banding merupakan sebuah lembaga yang terus berdiri, dan lembaga ini sendiri dibentuk pada Februari 1995.[121] Lembaga ini terdiri dari tujuh anggota yang merupakan pakar hukum, perdagangan internasional, dan subjek yang dibahas dalam perjanjian-perjanjian WTO. Mereka bertindak secara independen dari pemerintah negaranya masing-masing, dan Badan Penyelesaian Sengketa dapat mengangkat anggota Badan Banding untuk masa jabatan selama empat tahun. Masing-masing boleh diangkat satu kali lagi.[122] Menurut Pasal 17.12 DSU, tugas Badan Banding adalah untuk mempertimbangkan permasalahan yang dibawakan selama prosedur banding, dan Pasal 17.13 DSU juga menegaskan bahwa Badan Banding berwenang mengubah, menegakkan, atau membatalkan putusan Panel.[123] Setelah Badan Banding mengeluarkan putusannya, laporannya juga harus disahkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dalam waktu 30 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada anggota WTO. Pengambilan keputusan ini juga memakai sistem konsensus terbalik.[124] Setelah itu, sengketa terkait akan memasuki tahap implementasi dan penegakan. Dalam waktu 30 hari setelah laporan Panel atau Badan Banding disahkan, pihak yang didapati telah melanggar hukum WTO harus memberitahukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa bagaimana mereka akan mengimplementasikan putusan badan tersebut.[125] Jika anggota terkait tidak dapat langsung mematuhi putusan Panel atau Badan Banding, mereka diberi tenggat waktu yang "masuk akal" untuk mengimplementasikan putusan tersebut. Menurut Pasal 21.3 DSU, "tenggat waktu yang masuk akal" adalah tenggat waktu yang diusulkan oleh anggota terkait yang disetujui oleh Badan Penyelesaian Sengketa, atau tenggat waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam sengketa dalam waktu 45 hari setelah putusan Panel atau Badan Banding disahkan, atau tenggat waktu yang ditentukan melalui prosedur arbitrase dalam waktu 90 hari setelah penetapan putusan Panel atau Badan Banding.[126] Sebelum tenggat waktu ini habis, pihak yang bersengketa mungkin saja akan berselisih pandang mengenai tindakan implementasi yang patut diambil atau yang sejalan dengan hukum WTO, sehingga Pasal 21.5 DSU menyediakan prosedur khusus untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan meminta peninjauan dari Panel yang dibentuk pada permulaan sengketa.[127] Jika pihak yang telah melanggar hukum WTO menolak untuk mengimplementasikan putusan Panel atau Badan Banding atau tidak mengimplementasikannya dengan benar dalam tenggat waktu yang dianggap masuk akal, pihak yang dirugikan dapat berunding dengan pihak yang melanggar untuk mendapatkan kompensasi. Jika kompensasi tidak dapat diperoleh, pihak yang dirugikan dapat meminta izin dari Badan Penyelesaian Sengketa untuk mengambil tindakan balasan, contohnya dengan menangguhkan konsesi dari pihak yang dirugikan kepada pihak yang merugikan.[128] KritikBerkat GATT dan WTO, tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya telah dikurangi secara signifikan. Namun, janji bahwa perdagangan bebas akan melejitkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan rakyat telah dipertanyakan.[129] Sebagai contoh, El Salvador pada awal dasawarsa 1990-an menghapuskan semua hambatan kuantitatif terhadap impor dan juga memotong tarifnya. Namun, pertumbuhan ekonomi negara ini masih tetap lemah. Sementara itu, Vietnam baru mulai mereformasi ekonominya pada akhir dasawarsa 1980-an dan negara ini tidak terburu-buru untuk bergabung dengan WTO, tetapi malah memutuskan untuk mengikuti model reformasi ekonomi Tiongkok dengan melakukan liberalisasi secara perlahan. Walaupun ada faktor lain yang memengaruhi performa ekonomi kedua negara ini, Vietnam malah berhasil melejitkan pertumbuhan ekonominya dan menekan angka kemiskinan tanpa langsung menghapuskan hambatan perdagangan secara substansial.[130][131] Ekonom Ha-Joon Chang sendiri berpendapat bahwa terdapat sebuah "paradoks" dalam keyakinan neoliberal mengenai perdagangan bebas, karena pertumbuhan ekonomi negara berkembang lebih tinggi pada periode 1960-1980 dibandingkan dengan periode 1980-2000 meskipun kebijakan dagangnya jauh lebih liberal daripada sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa negara baru akan aktif mengurangi hambatan perdagangan setelah menjadi negara kaya. Dari hasil penelitian ini, para pengkritik WTO berpendapat bahwa liberalisasi perdagangan tidak menjamin pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.[132] Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di Republik Rakyat Tiongkok dan India yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.[133] Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi hambatan perdagangan dapat merugikan negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, suatu negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya.[134] Liberalisasi perdagangan yang terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terampil.[135] Saat negara berkembang ingin memajukan ekonominya dengan cara industrialisasi, industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung meroket begitu saja, sehingga sulit bersaing dengan negara lain yang industrinya lebih maju. Konon ekonom terkemuka Adam Smith pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Setelah itu barulah Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.[136] Hal yang sama juga berlaku untuk Macan Asia Timur, dan bahkan muncul dugaan bahwa jika Korea Selatan menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.[137] WTO turut digempur kritikan bahwa lembaga tersebut tidak demokratis. Pertama-tama, aturan WTO membatasi kemampuan negara untuk mengatur ekonominya, dan hal ini menyulitkan upaya negara untuk menegakkan keinginan rakyat. Selain itu, proses pengambilan keputusan di lembaga WTO dianggap kurang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, padahal keputusan yang diambil di lembaga tersebut akan berdampak terhadap penghidupan banyak orang.[138] Ditambah lagi proses perundingan di WTO sering kali dilakukan secara rahasia oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan ekonomi tertentu, dan rakyat sendiri kurang diinformasikan soal kesepakatan-kesepakatan tersebut.[139] Akibatnya, aturan-aturan WTO pun didominasi oleh kepentingan dagang, dan kepentingan lainnya (seperti hak asasi manusia, hak buruh, dan pelestarian lingkungan hidup) cenderung dikesampingkan dan juga tidak terwakilkan dalam proses pengambilan keputusannya.[140] Selain itu, negara-negara maju memiliki kekuatan untuk mendominasi proses perundingan di WTO. Walaupun keputusan diambil lewat konsensus, negara-negara kecil sulit dalam menantang negara-negara maju apabila terdapat ketidaksetujuan. Oleh sebab itu, negara-negara kecil pun sulit untuk mendapatkan perjanjian yang adil untuk kepentingan mereka.[141] Hal ini semakin diperparah dengan kebiasaan perundingan di GATT yang tidak selalu melibatkan semuanya, contohnya keberadaan "ruang hijau" yang hanya melibatkan anggota-anggota yang diundang,[142] walaupun pakar hukum WTO Peter Van den Bossche membantah kritikan bahwa WTO adalah "klub orang-orang kaya" karena saat ini negara-negara berkembang menjadi semakin terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan persetujuan dari mereka sangat diperlukan demi kemulusan prosesnya.[143] Selain itu, dalam proses penyelesaian sengketa, negara maju lebih unggul daripada negara miskin dalam memulai sengketa dan juga dalam menegakkan putusan Panel atau Badan Banding. Sengketa di WTO memakan biaya yang besar dan membutuhkan tenaga-tenaga ahli. Kalaupun ada negara kecil yang berhasil memenangkan sengketa, tindakan balasan yang dapat mereka ambil tidak akan terlalu berdampak terhadap negara maju yang ekonominya jauh lebih besar, dan kadang negara maju bahkan dapat mengabaikan putusan yang tidak mereka sukai.[144] Ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang terlihat jelas dalam sektor pertanian. Hukum WTO menuai kritikan pedas karena Perjanjian tentang Pertanian mengizinkan negara-negara maju untuk mempertahankan subsidi pertanian yang sangat merugikan negara-negara berkembang (contohnya adalah Kebijakan Pertanian Bersama di Uni Eropa). Akibat subsidi tersebut, negara-negara ini dapat menjual hasil yang berlebih ke pasar dunia dengan harga yang jauh lebih rendah, dan pada saat yang sama mereka menuntut agar negara-negara berkembang membuka pasar mereka. Alhasil para petani di negara-negara berkembang tidak dapat bersaing dengan produk pertanian negara-negara maju.[145] Walaupun anggota WTO sudah sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian, negara-negara maju masih mempertahankan subsidi dan melindungi sektor pertanian mereka dengan hambatan-hambatan perdagangan, dan praktik ini menghalangi perkembangan industri pertanian di negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, jika semua subsidi pertanian langsung dihapuskan, harga pangan bisa melejit, dan hal ini juga akan merugikan rakyat dan mengancam ketersediaan pangan. Maka dari itu, pakar hukum yang mengkritik WTO dari sudut pandang hak asasi manusia, Sarah Joseph, menyarankan agar subsidi ini dihapuskan secara bertahap agar pasar dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.[146] Lihat pulaCatatan penjelas
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Sumber daring
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai World Trade Organization.
|