Ouw, Saparua Timur, Maluku Tengah
Ouw adalah salah satu dari 10 negeri yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Saparua Timur, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Sebelumnya negeri ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Saparua hingga pada tahun 2015 Saparua Timur dimekarkan menjadi kecamatan sendiri berdasarkan Perda Maluku Tengah Nomor 11 Tahun 2015. Berdasarkan catatan BPS, Ouw tergolong sebagai negeri .[1] Sebagai sebuah negeri atau negeri adat, Ouw dipimpin oleh seorang raja yang berkedudukan layaknya kepala desa. Apabila raja belum terpilih, tampuk kepemimpinan dijabat oleh pejabat negeri. Jabatan raja di Ouw dipangku oleh fam (matarumah parentah) Pelupessy (teun Sopariu). Negeri Ouw tergolong sebagai negeri pesisir[2] dan terletak di Jazirah Tenggara Pulau Saparua bersama dengan Sirisori Amalatu, Sirisori Islam, dan Ullath. Kondisi wilayahLetak dan batas-batasOuw terletak di bagian tenggara Pulau Saparua dan secara geografis menempati ujung tenggara pulau itu. Ouw adalah negeri di Saparua yang paling dekat letaknya dengan Pulau Nusalaut. Berikut adalah batas-batas Negeri Ouw.
KelembagaanSoaSoa Mayawa
Soa Salahitu
Soa Salahalu
Soa Peletimu
Soa Lesiama
DemografiPenduduk Ouw berjumlah 1.483 jiwa yang terbagi ke dalam 463 KK. Terdapat 728 jiwa penduduk laki-laki dan 712 jiwa penduduk perempuan. AgamaSemua penduduk asli Negeri Ouw beragama Kristen Protestan. Ada lima buah gereja di Ouw, menjadikan negeri ini sebagai negeri dengan rumah ibadah (gereja) terbanyak di Kecamatan Saparua Timur, Maluku Tengah. Lima buah gereja tersebut, antara lain sebagai berikut.
PendidikanTerdapat tujuh buah lembaga pendidikan (sekolah) di Ouw yang terdiri dari empat buah TK, dua buah SD, dan satu buah SMP. PerekonomianMayoritas penduduk Ouw bermatapencaharian sebagai petani atau pekebun (70%) dan nelayan tangkap (20%). Cengkih adalah tanaman utama yang ditanam oleh masyarakat. Pala dan kenari juga merupakan komoditas perkebunan yang penting. Sebagian kecil bekerja sebagai PNS, dosen, serta perajin sempe, gerabah, dan tembikar. Ouw dikenal sebagai satu-satunya tempat penghasil gerabah dan tembikar di Kepulauan Maluku. Masyarakat Ouw dikenal sejak lama sebagai pedagang ulung yang memasarkan sempe, gerabah, dan tembikar produksi mereka ke negeri-negeri yang jauh di Pulau Seram dan Ambon. Beberapa keluarga membuka bisnis warung kelontong, jumlah ada 29 buah. Warung-warung tersebut menjual bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Hubungan sosialPelaOuw memiliki hubungan pela dengan Negeri Sirisori, baik Sirisori Islam maupun Sirisori Amalatu. Hubungan pela dengan Sirisori dimulai saat kedua negeri yang dahulunya merupakan musuh bebuyutan memutuskan untuk berdamai. Pertikaian Ouw dan Sirisori terjadi sejak waktu yang lama dan pada tanah yang menjadi perbatasan keduanya, VOC memindahkan penduduk dari Gunung Momolono. Mereka diperintahkan untuk membuat permukiman di antara Ouw dan Sirisori. Permukiman itu merupakan cikal-bakal Negeri Ullath. Setelah berdirinya Ullath, konon Ouw dan Sirisori yang belum terpecah menjadi dua negeri melakukan perdamaian dan mengangkat pela tampa siri. Selain itu, Ouw disebut memiliki hubungan pela dengan semua negeri di pesisir utara Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, kecuali Seith yang merupakan gandong. Ouw juga mengangkat pela dengan semua negeri di Seram bagian selatan dan Lease yang menjadi langganannya,[3] dalam hal ini Ouw merupakan produsen gerabah seperti sempe, porna, taloi, tajela, balanga, dan sebagainya, dan negeri-negeri pela merupakan pembeli produk-produk tanah liat tersebut. Selain itu, Ouw juga tercatat ber-pela dengan Laimu[4] dan Kaibobo dilatarbelakangi saling membantu dalam peperangan. Oleh karenanya, tergolong sebagai pela keras. GandongOuw memiliki hubungan gandong dengan Negeri Seith yang beragama Islam di Pulau Ambon. Walaupun berbeda agama, hubungan keduanya sangat erat. Bahkan, selama konflik horizontal yang meluluhlantakkan Ambon dan Maluku Bagian Tengah pada 1999 tak membuat masyarakat Ouw takut mengunjungi Seith. Bahkan ada tak kurang dari 60 orang Ouw yang ditampung di Seith selama konflik, karena negeri gandong menjamin keamanan mereka.[5] Seith turut menjadi tujuan pengungsian bagi minoritas Kristen di Leihitu yang berjumlah 300 orang,[5] yang umumnya berasal dari Hila. Pada 2005, kedua negeri ini mengadakan panas gandong di Ouw. Acara seperti ini merupakan salah satu yang pertama diadakan di seluruh Maluku Bagian Tengah sejak konflik horizontal 1999 terjadi. Sebelumnya, kedua negeri juga mengadakan panas gandong tahun 1956 dan 1997 di Seith. Asarate dan Asapate menurut ceritera lokal merupakan nenek moyang bagi Seith dan Ouw. Mereka adalah seorang pendekar beradik kakak yang memutuskan hidup dan menetap di pulau yang berlainan, dan nanti dalam sejarah, keturunan Asarate di Seith menerima agama Islam, sementara keturunan Asapate di Ouw menjadi pemeluk Kristen Protestan. Selain Seith, Wakasihu dan Asilulu yang juga terletak di Leihitu disebut-sebut menganggap Ouw sebagai gandong karena ada sebagian masyarakat Ouw yang dipercaya berasal dari sana. Namun, hal ini dibantah oleh Negeri Seith yang menyebutkan bahwa hanya merekalah yang merupakan gandong bagi Ouw. Dalam tuturan masyarakat di Tihulale, nenek moyang orang Seith mendiami wilayah yang sama dengan nenek moyang mereka, yakni di lokasi sekitar Tihulale yang sekarang. Mereka adalah orang basudara, hingga pada akhirnya nenek moyang Seith menyeberang ke Pulau Ambon dan mendirikan negeri baru di sana. Atas dasar inilah masyarakat Tihulale mempercayai bahwa Seith dan nantinya Ouw (yang sebagian penduduknya berasal dari Seith) adalah negeri gandong mereka. Namun, hubungan ini belum diikrarkan. Walaupun demikian, dalam pelantikan Raja Seith, Penjabat Pemerintahan Negeri Tihulale selaku orang basudara turun diundang dan menghadiri acara tersebut.[6] Referensi
Daftar pustaka
|