Pakubuwana XIII
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII (disingkat sebagai PB XIII, bahasa Jawa: ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤꦏꦥꦶꦁꦠꦶꦒꦮꦺꦭꦱ꧀; lahir 28 Juni 1948) adalah Susuhunan Surakarta kedua belas yang bertakhta sejak tahun 2004. Gelar Pakubuwana XIII awalnya diklaim oleh dua pihak, setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII tanpa putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki permaisuri, maka dua putra Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui takhta ayahnya. Putra yang tertua, KGPH. Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton dan KGPH. Tejowulan menyatakan keluar dari keraton; dua-duanya mengklaim pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Pakubuwana XIII. Konflik Raja Kembar tersebut berlangsung selama sekitar delapan tahun, hingga pada tahun 2012 dualisme kepemimpinan di Kasunanan Surakarta akhirnya usai setelah KGPH. Tejowulan mengakui gelar Pakubuwana XIII menjadi milik KGPH. Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan KGPH. Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (kemudian mahamenteri) dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.[1][2] KehidupanDalam buku Mas Behi: Angger-Angger dan Perubahan Zaman yang diterbitkan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta tahun 2004 menyebutkan, dari seorang garwa ampil Susuhunan Pakubuwana XII bernama KRAy. Pradapaningrum, telah lahir seorang anak lelaki tertua pada Senin, 28 Juni 1948, dengan nama GRM. Suryadi. Karena sakit-sakitan, neneknya yang permaisuri Susuhunan Pakubuwana XI bernama GKR. Pakubuwana, mengganti nama sang cucu menjadi GRM. Suryo Partono (bahasa Jawa: Gusti Raden Mas Surya Partana) seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah spiritual dalam adat Suku Jawa. Ketika sudah dewasa dan Pakubuwana XII bersama seluruh komunitas keraton berada di alam republik, pada tahun 1979 paugeran atau pranata adat lalu menetapkan GRM. Suryo Partono yang merupakan putra laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya. Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan menjadi calon penerus takhta. Dalam pemerintahan Kasunanan Surakarta, KGPH. Hangabehi pernah menjabat sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta dan berbagai jabatan penting lainnya. Ia juga mendapat anugerah Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985. Dari seluruh putra-putri Pakubuwana XII, hanya Hangabehi yang pernah memperoleh bintang kehormatan tersebut.[3] Untuk karier di luar keraton, Hangabehi pernah bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta.[3][4] Selain menerima beberapa anugerah tertinggi dari beberapa lembaga institusi dalam negeri maupun negara asing, Hangabehi juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat). Kegemaran kesehariannya pun tak berbeda dengan orang kebanyakan di luar keraton. Hangabehi, selain hobi bermain keyboard dan berbagai alat musik lainnya, juga pernah aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia.[4] Naik Takhta sebagai RajaSetelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII pada 11 Juni 2004, terjadi ketidaksepakatan di antara putra-putri Pakubuwana XII mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukan raja. Pada 31 Agustus 2004, salah satu putra Pakubuwana XII, KGPH. Tejowulan, dinobatkan sebagai raja oleh beberapa putra-putri Pakubuwana XII di Sasana Purnama, Badran, Kottabarat, Surakarta, yang merupakan salah satu rumah milik pengusaha BRAy. Mooryati Sudibya.[5] Padahal, sebelumnya dalam rapat Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) Pakubuwana XII yang berlangsung 10 Juli 2004, menetapkan bahwa putra tertua Pakubuwana XII, KGPH. Hangabehi, yang berhak menjadi raja selanjutnya, dan memilih tanggal penobatan Hangabehi sebagai raja pada 10 September 2004.[6] Namun pada awal September 2004, secara tiba-tiba KGPH. Tejowulan bersama para pendukungnya menyerbu dan mendobrak pintu Keraton Surakarta. Keributan ini bahkan sempat menimbulkan beberapa orang luka-luka, termasuk para bangsawan dan abdi dalem yang saat itu berada di dalam keraton. Atas kejadian tersebut, K.P. Edy Wirabumi (suami GKR. Wandansari) selaku ketua Lembaga Hukum Keraton Surakarta didampingi beberapa orang kuasa hukum bahkan melaporkan para pendukung Tejowulan ke Polresta Surakarta atas dasar perusakan cagar budaya di lingkungan keraton.[7] Akhirnya pada 10 September 2004, KGPH. Hangabehi tetap dinobatkan sebagai raja oleh para pendukungnya di Keraton Surakarta. Kehadiran tiga sesepuh keraton, yaitu Brigjen. Prof. GPH. Harya Mataram, S.H., BKPH. Prabuwinata, dan GRAy. Panembahan Bratadiningrat, yang merestui KGPH. Hangabehi menjadi Pangeran Adipati Anom di Dalem Ageng Prabasuyasa, merupakan salah satu legitimasi bertakhtanya Hangabehi sebagai raja baru Kasunanan Surakarta. Ketiga sesepuh keraton tersebut juga berkenan mengawal Hangabehi ketika berjalan menuju ke Bangsal Manguntur Tangkil di Kompleks Sitihinggil Lor untuk menyaksikan dan merestui penobatan Hangabehi sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII, berikut disaksikan oleh sejumlah putra-putri dalem, para cucu Susuhunan Pakubuwana XII (wayah dalem), para bangsawan dan pejabat keraton (sentana dalem), para abdi dalem, para duta besar negara asing, utusan-utusan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia, serta masyarakat.[8] Riwayat PemerintahanRekonsiliasi dengan KGPH. TejowulanRekonsiliasi damai antara KGPH. Hangabehi dan KGPH. Tejowulan berlangsung pada tahun 2012, atas prakarsa wali kota Surakarta saat itu, Joko Widodo.[9] Penandatanganan rekonsiliasi dilakukan di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, 4 Juni 2012. Rekonsiliasi itu disaksikan berbagai pihak seperti Ketua DPR-RI Marzuki Alie, pimpinan Komisi II, IV, dan IX DPR-RI, perwakilan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Wali Kota Surakarta Joko Widodo, dan lainnya.[10] Rekonsiliasi menyepakati bahwa KGPH. Tejowulan bersedia melepas gelar Pakubuwana XIII. Selanjutnya, Tejowulan mendapat gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung,[1] dan gelar Susuhunan Pakubuwana XIII secara tunggal menjadi milik KGPH. Hangabehi. Pada awalnya, rekonsiliasi damai tersebut sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari (Gusti Moeng).[11] Saat pelaksanaan upacara Tingalan Dalem Jumenengan (peringatan kenaikan takhta) Susuhunan Pakubuwana XIII yang ke-8 pada 15 Juni 2012, kubu LDA yang terdiri dari beberapa orang putra-putri Pakubuwana XII dan Pakubuwana XIII bahkan sempat menghalangi rombongan kubu Tejowulan yang hendak memasuki Sasana Sewaka, hingga menyebabkan terjadinya keributan dan adu mulut antara putri tertua Pakubuwana XIII bersama salah seorang bibinya yang tergabung dalam kubu LDA, dengan salah satu pangeran dari kubu pendukung rekonsiliasi.[12] Meski demikian, upacara dapat dilangsungkan dengan kondusif dan KGPH. Tejowulan yang secara resmi diundang untuk menghadiri upacara tersebut diperkenankan duduk bersila di sebelah singgasana Pakubuwana XIII, yang selanjutnya ia melakukan sungkem di hadapan Pakubuwana XIII sebagai bentuk permohonan maaf.[11] Konflik kembali terjadi pada 26 Agustus 2013. GKR. Wandansari dan beberapa kerabat keraton yang tergabung di LDA memaksa masuk ke dalam Sasana Putra di kawasan Keraton Surakarta dan membuat kekacauan dengan membubarkan secara paksa acara halal bihalal sekaligus pengukuhan Tejowulan sebagai mahamenteri yang diadakan oleh Pakubuwana XIII.[2] Bahkan, pada malam harinya terjadi keributan susulan yang mengakibatkan pendobrakan pintu gerbang Sasana Putra oleh massa pendukung Pakubuwana XIII dan sebagian warga Baluwarti.[13] Usai mendobrak pintu Sasana Putra, massa berusaha menyelamatkan Pakubuwana XIII dan keluarganya yang dicurigai telah disandera oleh pihak LDA.[14] Setelah peristiwa tersebut, Pakubuwana XIII tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediamannya di Sasana Narendra menuju kawasan inti keraton.[15] Setelah TNI dan Kepolisian turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,[16][17] pada bulan April 2017 akhirnya Pakubuwana XIII dan Tejowulan bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara Tingalan Dalem Jumenengan yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.[18] Peran sebagai raja SurakartaSejak dinobatkan menjadi raja Kasunanan Surakarta pada 10 September 2004, Susuhunan Pakubuwana XIII telah berperan dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting, khususnya mengenai posisinya sebagai kepala keluarga keraton dan yang dipertuan pemangku takhta adat, yang merupakan simbol dan pemimpin informal kebudayaan Jawa khususnya budaya Jawa gagrag (gaya) Surakarta. Selain menyelenggarakan berbagai upacara adat dan acara besar keraton seperti labuhan, grebeg, sekaten, kirab malam 1 Sura, dan lain-lain,[19] Pakubuwana XIII juga melanjutkan tradisi pemberian gelar kebangsawanan atau kepangkatan (selain yang diberikan untuk keluarga keraton dan abdi dalem setara honoris causa kepada pejabat pemerintahan, anggota TNI dan Kepolisian, politisi, pengusaha, ulama, tenaga kependidikan, seniman dan budayawan, maupun masyarakat umum dari berbagai kalangan yang dianggap berprestasi, mempunyai perhatian terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, atau memiliki jasa terhadap Keraton Surakarta dan Republik Indonesia.[20] Sebagai raja Kasunanan Surakarta yang secara tradisional dianggap sebagai figur pelindung kebudayaan Jawa, pada tahun 2014 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dari Kesultanan Yogyakarta dan perwakilan dari Kesultanan Kasepuhan Cirebon turut menghadiri kirab dan sarasehan kebudayaan dalam rangka hari jadi Kabupaten Batang.[21] Dalam bidang pelestarian kebudayaan, Pakubuwana XIII beberapa kali menghadiri dan berpartisipasi dalam berbagai pameran keris dan tosan aji serta mengadakan pergelaran wayang kulit.[19] Pada peringatan Hari Wayang Nasional dan Dunia di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana XIII bersama KPA. Begug Purnomosidi (mantan bupati Wonogiri) turut menerima penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai pemrakarsa pergelaran wayang kulit dengan kelir terpanjang di dunia.[22] Di tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana XIII selaku pemimpin tertinggi keluarga besar Keraton Surakarta memberikan kekancingan dan surat silsilah kepada keluarga keturunan Mr. RAA. M. Sis Cakraningrat dan GKR. Pembayun (putri tunggal Susuhunan Pakubuwana X dengan permaisurinya, GKR. Hemas) yang menjadi bukti pengesahan bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah seluas beberapa hektar di Temon, Kulon Progo yang akan dipergunakan untuk bangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, yang kepemilikannya sempat diklaim oleh orang lain.[23][24] Susuhunan Pakubuwana XIII aktif memimpin langsung pelaksanaan upacara-upacara adat dan menghadiri peresmian perkumpulan abdi dalem di berbagai daerah.[25][26] Selain itu, Pakubuwana XIII bersama para kerabat Keraton Surakarta juga terus menjaga hubungan baik dengan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta, serta daerah-daerah lain.[27] Seperti yang pernah dilakukan kepada beberapa wali kota Surakarta sebelumnya, pada 20 September 2021 Pakubuwana XIII secara langsung memberikan gelar kebangsawanan kepada Wali Kota Gibran Rakabuming Raka.[28] Pada bulan Oktober-November 2021, Pakubuwana XIII dan Keraton Surakarta turut membantu program vaksinasi pencegahan Covid-19 di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan dengan memberikan 20.000 dosis vaksin gratis untuk warga.[29] Dalam hubungannya dengan pemimpin dan kerabat Kadipaten Mangkunegaran, pada 12 Maret 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dan Adipati Pakualam X secara resmi menghadiri upacara pengukuhan Adipati Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran Surakarta.[30] Melantik putra mahkotaDalam upacara Tingalan Dalem Jumenengan yang ke-18 pada 27 Februari 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII mengangkat KGPH. Purubaya, yang merupakan putra laki-lakinya yang lahir dari permaisuri, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA. (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram.[31] Pengukuhan Purubaya sebagai putra mahkota tersebut disaksikan oleh kakak dan beberapa adik Pakubuwana XIII, kakak perempuan Purubaya, keluarga besar Keraton Surakarta yang hadir, para abdi dalem, dan para tamu undangan yang terdiri dari beberapa pejabat tinggi pemerintahan serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia dan masyarakat umum, termasuk Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto dan Addatuang Sidenreng XXV Faisal Andi Sapada.[31][32] Rekonsiliasi dengan GKR. Wandansari dan Lembaga Dewan AdatSetelah Susuhunan Pakubuwana XIII bisa kembali memasuki kawasan inti Keraton Surakarta pada bulan April 2017, beberapa bulan kemudian terjadi peristiwa pengusiran terhadap beberapa anggota keluarga keraton, termasuk GKR. Wandansari, GKR. Timoer, serta para kerabat yang tergabung dalam organisasi masyarakat Lembaga Dewan Adat (LDA), yang diduga dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan perintah raja.[33][34] Insiden itu diikuti oleh penutupan dan penguncian kawasan inti keraton, termasuk pelataran Kedhaton dan Perpustakaan Sasana Pustaka yang selama bertahun-tahun telah menjadi kawasan yang terbuka untuk wisatawan atau masyarakat umum, khususnya para budayawan, pelajar dan akademisi. Tindakan penutupan keraton dan pengusiran kerabat tersebut mengakibatkan sebagian besar bangunan keraton menjadi terbengkalai dan rusak.[35][36] Usai keluar dari keraton selama sekitar lima tahun, di bulan Desember 2022, GKR. Wandansari bersama Lembaga Dewan Adat dan beberapa putra-putri Susuhunan Pakubuwana XIII yang terusir akhirnya bisa masuk kembali ke dalam keraton; mereka terpaksa menerobos masuk ke keraton karena terjadi insiden pencurian di kompleks Keputren, pada 17 Desember 2022.[37][38] Pasca peristiwa tersebut, sempat terjadi konflik fisik antara beberapa kerabat keraton yang tergabung dalam LDA dan beberapa orang yang mengaku diutus oleh Susuhunan Pakubuwana XIII untuk menutup beberapa pintu utama keraton, hingga menyebabkan Polresta Surakarta turun tangan.[39] Meski pelaku pencurian pada akhirnya belum pernah berhasil ditangkap, GKR. Wandansari selaku ketua Lembaga Dewan Adat mengatakan bahwa tindakannya untuk kembali memasuki keraton adalah legal, serta bertujuan untuk kembali melaksanakan pelestarian adat dan kebudayaan di keraton yang sempat terhenti selama penutupan.[34][40] Karena mendapati banyak bangunan keraton yang terbengkai serta rusak parah, selain memperbaikinya secara swadaya, Lembaga Dewan Adat sempat menginisiasi gerakan Save Kraton yang diikuti oleh masyarakat umum dari berbagai kalangan, dengan banyak dari mereka mendaftarkan diri menjadi relawan untuk membersihkan dan memperbaiki lingkungan keraton yang terbengkalai.[41] Selanjutnya, kawasan pelataran Kedhaton juga kembali dibuka untuk wisatawan, usai ditutup selama beberapa tahun.[42][43] Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII dengan GKR. Wandansari dan Lembaga Dewan Adat akhirnya terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, usai kedua pihak berhasil dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari (cucu dari R.P. Suroso, gubernur Jawa Tengah pertama) dan Polresta Surakarta.[44][45][46] Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung di Sasana Narendra tersebut, hadir pula GKR. Pakubuwana dan putra mahkota.[44] Menindaklanjuti rekonsiliasi tersebut, Wali Kota Gibran Rakabuming Raka mengundang Susuhunan Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat keraton di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota Surakarta), pada tanggal 4 Januari 2023.[47] Pada pertemuan itu, GKR. Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan serta adat istiadat keraton.[48] Wali Kota Gibran juga menyatakan bahwa proses revitalisasi Keraton Surakarta dapat direalisasikan dan meminta seluruh kerabat keraton untuk berkomitmen dengan kesepakatan damai.[49][50] Silsilah
Pranala Luar
Referensi
Lihat Pula
|