Panaetius
Panaetius (bahasa Yunani: Παναίτιος) dari Rhodes adalah filsuf, penulis, dan pewarta gagasan Stoa pada abad ke-2[1][2] Bersama muridnya, Posidonius, Panaetius dikelompokkan menjadi tokoh Stoa pertengahan yang berkarya setelah Stoa awal yang dipimpin oleh Zeno dari Citium, Cleanthes dari Assos, dan Chrysippus dari Soli.[1].[3] Panaetius tidak diragukan sebagai tokoh Stoa, namun dengan menggabungkan pemikiran Aristoteles dan Plato, ia dianggap sebagai orang yang eklektis[3] Sejarah Hidup RingkasPanaetius belajar filsafat Stoa di Athena, kemudian pada tahun 146 SM pergi ke Roma dan memperkenalkan gagasan Stoikisme kepada orang awam di sana selama kurang lebih lima belas tahun.[1] Setelah itu, pada tahun 129 SM kembali ke Athena dan menjadi kepala sekolah di sana.[1] Ia adalah murid dari Diogenes dari Babilonia dan Antipater dari Tarsus di Athena.[3][4] Sumbangan PemikiranPanaetius dianggap sebagai pemikir Stoa dalam bidang etika, ia memodifikasi dan membuat gagasan etika begitu original, yaitu dengan menekankan sisi praksis, tindakan bagi orang bijak.[3] Gagasan Panaetius yang lain dapat ditemukan dalam buku Cicero yang berjudul De Officiss, yaitu tentang sistem negara (state) yang ia sebut sebagai sebuah sistem terbaik kedua setelah sistem Stoa sendiri.[2][3] Selain itu, gagasannya juga terdapat dalam buku On Appropriate Actions, dan On Duties.[5] Sistem negara dengan hukum-hukumnya, menurut Panaetius penting untuk mengatur orang-orang yang belum mampu hidup dengan mempraktikkan sistem berpikir Stoa, yaitu bijak dan merdeka dalam hidup ketika melakukan hidup bajik dan menyelaraskan diri dengan keteraturan ilahi.[3] Panaetius menyadari bahwa setiap wilayah, setiap kondisi memiliki kebudayaan yang berbeda, sehingga menyamaratakan ide Stoa bagi semua orang tidak tepat.[1] Pada pemikiran Stoa Awal, prinsip-prinsip filsafat dilandasi pada tiga elemen: logika, fisika, dan etika.[3] Dalam elemen logika, Panaetius kurang setuju dan menambahkan pada elemen logika dan fisika dengan sistem (hukum).[3] Menurutnya hidup berdasarkan keteraturan alam yang diyakini diatur oleh ilahi terlalu lemah untuk dijadikan sistem masyarakat.[3] Dalam hal ini, ia menolak gagasan astrologi sebagai dogma Stoa menjadi dasar etika bagi manusia yang berpikir.[3][5] Alasannya, misalnya pengetahuan tentang bintang-bintang yang diatur oleh ilahi terlalu jauh berjarak dari pemikiran manusia di bumi.[3] Pemikiran ini diperolehnya setelah ia hidup bersama orang-orang yang tidak berada dalam lingkungan para sophis (orang bijaksana).[3] Adanya emosi dan jiwa yang ada di dalam diri manusia menyebabkan manusia tidak bijaksana tidak boleh dianggap tidak bijaksana, karena setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing.[3] Adanya relasi dengan manusia lain, adanya keinginan untuk memiliki, adanya rasa kasih sayang antara anak dan orang tua, menyebabkan manusia ingin belajar dan mengetahui kebenaran.[5] Referensi
|