Pangeran Raja Depati KusumaPangeran Raja Depati Kusuma atau yang dikenal sebagai Raja Kusuma adalah wali dari kesultanan Kanoman yang menjabat antara tahun 1706-1719.
Perwalian oleh Pangeran Raja Depati Kusuma AgungPada tahun 1706 Pangeran Depati Halal Rudin atau Belanda mengenalnya sebagai Pangeran Halirudin[1] meninggal dunia karena sakit yang sudah dideritanya,[2] puteranya yang bernama Alimuddin[1] baru berumur 12 tahun, untuk melaksanakan fungsinya, kesultanan Kanoman diwakili oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung, beliau bertindak atas nama kanjeng Ratu[2] Pada saat Alimuddin dewasa, Alimuddin mengklaim posisi sebagai penguasa Kanoman namun pengambilalihan posisi sebagai penguasa kesultanan Kanoman tersebut menjadi sulit dan timbul perselisihan, pada akhirnya permasalahan tahta kesultanan Kanoman dibawa ke Residen Cirebon dan diputuskan bahwa yang berhak atas jabatan penguasa kesultanan Kanoman adalah Alimuddin[2] Kasus klaim persawahan antara Kanci dengan JapuraPada tahun 1710, Sultan Sepuh Tajularipin Djamaluddin atas nama masyarakat desa Japura melakukan klaim terhadap lahan persawahan yang terletak diantara desa Japura dengan desa Kanci yang merupakan desa dibawah kekuasaan kesultanan Kanoman.[3] Bentrokan bersenjata berkaitan dengan permasalahan tersebut hampir terjadi, dalam sidang perdana, institusi peradilan Cirebon yaitu Jaksa Pepitu menolak menerima kasus tersebut[3] dikarenakan tidak ada cukup bukti untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Sultan Sepuh yang mewakili masyarakat Japura, dengan yakin para jaksa mengetahui para saksi yang akan dipanggil untuk mendukung klaim Japura yang dibuat oleh Sultan Sepuh, tiga dari empat saksi yang diajukan oleh Sultan Sepuh tidak dapat diterima kesaksiannya karena mereka bersaksi atas nama majikan mereka, sebagai akibatnya, nanti para Jaksa memiliki tugas yang mustahil untuk membujuk pihak yang kalah menerima hasil keputusan dikarenakan adanya bukti yang tidak sah[3] Komposisi jaksa pada peradilan di Cirebon setelah disahkannya Pangeran Adiwijaya (putera kedua Sultan Sepuh Martawijaya) sebagai salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Arya Cirebon adalah dua orang jaksa mewakili Kanoman, dua orang jaksa mewakili gusti Panembahan, dua orang jaksa mewakili Kasepuhan dan seorang jaksa mewakili pangeran Arya Cirebon[4] Perintah dari Belanda di Batavia yang memaksa untuk menerima kasus tersebut membuat politisasi dikalangan para jaksa yang semakin besar, dikarenakan penolakan Jaksa Pepitu yang didasarkan kepada kurangnya bukti telah ditolak oleh Belanda maka semakin sedikit alasan para jaksa tersebut untuk tidak mendukung kepentingan dari atasan mereka masing-masing yang merupakan para penguasa Cirebon, hal ini menyebabkan kebuntuan peradilan dikarenakan para jaksa yang mewakili keluarga Sepuh (termasuk didalamnya seorang jaksa yang mewakili pangeran Arya Cirebon yang merupakan anak kedua Sultan Sepuh Martawijaya) kontra terhadap dua orang jaksa yang mewakili keluarga Kanoman, padahal sudah jelas bahwa ada bias dalam kesaksian dan kurangnya bukti yang diajukan oleh Sultan Sepuh pada saat itu. Hal ini menyebabkan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung yang merupakan wakil penguasa kesultanan Kanoman dan masyarakat Kanci merasa bahwa keputusan yang dihasilkan oleh institusi Jaksa Pepitu tersebut tidak sah dan tidak mengikat.[3] Pada akhirnya masalah ini kemudian diseleseikan dengan perintah langsung dari Batavia pada tahun 1711 yang memutuskan bahwa suara mayoritas harus dijalankan, hal ini menyebabkan pada gilirannya keputusan tersebut dapat diterima oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Batavia yang memaksakan penerimaan pengadilan mengakibatkan keputusan itu harus diberlakukan walaupun pada prosesnya merusak wewenang Jaksa Pepitu dalam memutuskan penerimaan sebuah kasus[3] Kasus mantri Anom Surya DitaPada tahun 1715, Pangeran Arya Cirebon telah mengambil Surya Dita yang merupakan seorang mantan mantri di kesultanan Kanoman untuk menjadi bawahannya, peraturan yang dipakai oleh Pangeran Arya Cirebon ialah peraturan berkenaan dengan sentana (keluarga kesultanan) yang diperbolehkan untuk berpindah dukungan ke penguasa yang lainnya dengan kemauannya sendiri.[3] Permasalahan kemudian mengemuka berkenaan dengan lahan persawahan yang dimiliki oleh Surya Dita, haruskah lahan tersebut ikut berpindah ke Pangeran Arya Cirebon atau tetap dibawah kontrol kesultanan Kanoman yang pada masa itu diwakilkan oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Pada persidangan Jaksa Pepitu pada tahun 1717 para jaksa tidak memiliki suara bulat dalam menentukan hasil persidangan, terlebih ketika jaksa yang mewakili Sultan Sepuh menemukan bahwa hasil suara mayoritas tersebut pada keputusannya memiliki unsur yang bertentangan dengan hukum yang berlaku sehingga keputusan tersebut dapat dikatakan tidak sah. Residen Cirebon pada masa itu mendesak agar dicarikan segera solusi atas permasalahan tersebut, kemiripan dengan kasus Japura dengan Kanci pada tahun 1710-1711 terlihat jelas. Para jaksa terlihat bingung dalam menjawab desakan residen Cirebon atas solusi dan menghindari penolakan dari pihak yang kalah seandainya solusi yang ditawarkan berbeda dengan hukum dan kebiasaan yang berlaku, mengingat kebalikan dari pendirian para pangeran dari keluarga Sepuh pada kebulatan suara keputusan jaksa, tampak jelas bahwa prinsip-prinsip hukum tradisional digunakan sebagai alasan yang tepat bagi para pangeran untuk mengejar kepentingan ekonomi.[3] Pada akhirnya dicapailah sebuah solusi bahwa Surya Dita diperbolehkan berpindah menjadi bawahan Pangeran Arya Cirebon namun lahan persawahan yang dimilikinya tetap berada pada kuasa kesultanan Kanoman[3] Referensi
|