Papua
Papua adalah provinsi yang terletak di pesisir utara Papua, Indonesia. Provinsi Papua sebelumnya bernama Irian Barat (1956 – 1973) dan Irian Jaya (1973 – 2000) yang mencakup seluruh Tanah Papua bekas Keresidenan Nugini Barat. Ibu kota Papua berada di Kota Jayapura, yang berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini. Pada tanggal 30 Juni 2022, wilayah provinsi Papua mengalami pemekaran, yang membentuk provinsi baru yakni provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, serta Papua Selatan.[6] Setelah pemekaran provinsi baru, pada pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk provinsi Papua sebanyak 1.093.447 jiwa.[2] GeografiProvinsi Papua memiliki luas sekitar 81.049,30 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa-bangsa asing untuk menguasai pulau Papua.[7] Sebelum dimekarkan, provinsi Papua memiliki luas 312.224,37 km2 dan merupakan provinsi terbesar dan terluas pertama di Indonesia.[7][8] Batas wilayah
EtimologiPerkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa lokal dalam memaknai nama Papua. Asal nama Papua berasal dari Papo Ua yang dalam bahasa Tidore artinya "tidak bergabung", "tidak bersatu", atau "tidak bergandengan". Maksudnya wilayah Papua itu jauh sehingga tidak masuk dalam daerah induk Kesultanan Tidore. Akan tetapi wilayah-wilayah tersebut tetap tunduk dan berada dibawah persekutuan dagang Tidore bernama Uli Siwa. Dalam pembagiannya wilayah di Papua dibagi menjadi Korano Ngaruha atau Kepulauan Raja Ampat, Papo-ua Gam Sio (Papua sembilan negeri), dan Mafor Soa Raha (Mafor Empat Soa).[9] Ada teori lain yang menyatakan bahwa nama Papua berasal dari Bahasa Melayu kuno papuwah, artinya "rambut keriting". Akan tetapi kata ini masuk pada kamus bahasa melayu tahun 1812 ciptaan William Marsden yang tidak ditemukan dalam kamus yang lebih awal.[10] Pada catatan abad ke-16 Portugis dan Spanyol, kata Papua merujuk kepada penduduk Kepulauan Raja Ampat dan pesisir Kepala Burung.[11] Berdasarkan teori lain ini menurut F.C. Kamma nama ini bisa saja berasal dari Bahasa Biak 'Sup i Babwa' yang digunakan untuk menyebut Kepulauan Raja Ampat berarti tanah di-bawah (matahari terbenam), yang kemudian menjadi 'Papwa' lalu 'Papua'.[10] Selain itu, nama Irian Jaya berasal dari pertemuan di Tobati, Jayapura yang diinisiasi Atmoprasojo, kepala sekolah bestuur (pegawai negeri) tahun 1940-an. Frans Kaisiepo, pemimpin komite mencetuskan nama dari legenda Mansren Koreri, Iri-an dari Bahasa Biak yang berarti "tanah panas" karena cuaca lokal yang panas, dan juga dari Iryan yang berarti "proses memanas" sebagai metafora bagi wilayah yang memasuki zaman baru. Kemudian ditemukan dalam Bahasa Serui, Iri artinya "tanah" dan An artinya "bangsa", sehingga arti keseluruhannya "tiang bangsa". Sedangkan dalam Bahasa Merauke, Iri artinya "ditempatkan" atau "diangkat tinggi", dan an artinya "bangsa". Sehingga artinya "bangsa yang diangkat tinggi".[9][12] Provinsi Papua, sebelumnya mencakup seluruh wilayah Indonesia di Pulau Papua. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1963 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi sampai terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan nama provinsi ini untuk diganti menjadi Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Nama Papua Barat (West Papua) masih sering digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), suatu gerakan teroris-separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. SejarahPapua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greenland di Denmark. Luasnya mencapai 890.000 km2 (ini jika digabung dengan Papua Nugini). 200 M–1500 MPada sekitar tahun 200 M, ahli geografi bernama Klaudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios. Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa Tiongkok diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pedagang Tiongkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang Tiongkok saat itu untuk Papua.[13] Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tungki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Tiongkok Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.[13] Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedagang dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.[13] Pada akhir tahun 1300 M, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni "Wanin" dan "Sran". Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak, digunakan dalam beberapa nyanyian dan puisi bahasa lama di Kampung Wersar dan sekitarnya.[14] Sedangkan "Sran" mengacu pada wilayah Kowiai,[15] yaitu kerajaan Sran Eman Muun, kontemporer kerajaan Majapahit,[16] dan Kerajaan Namatota.[17] Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.[13] Pada abad ke-14, kepulauan Papua dikuasai oleh Kerajaan Tidore bermula dari ekspedisi Raja Tidore Ibnu Mansur dengan Gurabesi, Kapitan asal Biak,[9] dan baru pada abad ke-16, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore memiliki wilayah dari Sulawesi dan Papua.[18] Nama Papua sendiri berasal dari kata Papo-Ua, yaitu penamaannya oleh Kerajaan Tidore, di mana dalam bahasa Tidore, itu berarti tidak bergabung atau tidak bersatu, yang artinya di pulau ini tidak ada raja yang memerintah.[18][19] Kerajaan Ternate, memiliki wilayah sebelah Barat; pesisir Timur Sulawesi, termasuk Sule dan Kepulauan Banggai, Seram Barat (jazirah Hoamal) dan Kepulauan Ambon. Sedangkan Kerajaan Tidore menguasai bagian Timur, dari Kepulauan Raja Ampat hingga perbatasan Papua dengan Papua Nugini sekarang.[20][18][21] Peranan kedua kerajaan besar ini mulai menurun dikarenakan mulai masuknya para pedagang dari Eropa ke Nusantara yang menjadikan awal kolonialismenya.[18] Tidore mengorganisir wilayahnya tersebut menjadi, Korano Ngaruha artinya Kepulauan Raja Ampat, Papo-ua Gam Sio ( Papo Ua sembilan negeri) dan Mafor Soa Raha ( Mafor Empat Soa ).[9] Kolonialisme di PapuaPada tahun 1511 M, Antonio d’Arbau pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526 – 1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore. Berikutnya, pada tahun 1528 M, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.[18] Pada tahun 1545 M, pelaut asal Spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinea atau Gova Guinea (Pulau Guinea Baru). Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru, dan dimulailah era kolonialisme Belanda di Papua[18] Pada tahun 1606 M, sebuah ekspedisi Duyfken dipimpin oleh komandan Wiliam Jansen dari Belanda mendarat di Papua. Ekspedisi ini terdiri atas 3 kapal, di mana mereka berlayar dari pantai Utara Jawa dan singgah di Kepulauan Kei, Aru pantai Barat Daya Papua, dan mengenalnya sebagai Papua dari Jorge de Menetes. Seiring dengan meluasnya kekuasaan Belanda, maka tahun 1663, Spanyol meninggalkan Papua.[18] Sebagai usaha untuk memperkuat kedudukannya di Papua, pada tahun 1770, Belanda mengubah nama Papua menjadi Nieuw Guinea yang merupakan terjemahan ke dalam bahasa Belanda atas Gova Guinea atau Nova Guinea dan diterbitkan dalam peta internasional yang diterbitkan oleh Isaac Tiron, seorang pembuat peta berkebangsaan Belanda pada abad ke 18. Dengan dimuatnya ke dalam peta tersebut, maka daerah ini kian terkenal di negara-negara Eropa.[22] Pada tahun 1774, kekuasaan Belanda atas Papua jatuh ke tangan Inggris. Di mana pada tahun 1775, nakhoda kapal La Tartare, Kapten Forrest dari Inggris berlabuh di Manokwari, Teluk Doreri, dan pada tahun 1793, Papua menjadi daerah koloninya yang baru. Berdasarkan perintah Gubernur Inggris berkedudukan di Maluku, mereka mulai membagi garis pulau dan mendirikan Benteng Coronation di Teluk Doreri. Namun Kamaludin Syah, Sultan Tidore yang berkuasa atas seluruh Kesultanan Tidore (di mana pulau Papua bagian Barat klaim masuk dalam wilayah kekuasaannya milik Belanda) menentang pendiriannya, sehingga pada tahun 1814, Inggris meninggalkan Papua.[19][22] Pada 24 Agustus 1828 berdirilah benteng Fort Du Bus di Teluk Triton oleh A.J. van Delden atas nama Raja Willem I, sebagai penanda mulainya kolonialisme Belanda di Papua dengan diwujudkannya kerjasama dalam bentuk penandatanganan surat perjanjian dengan tiga raja yaitu Raja Namatota, Kassa (Raja Lahakia) dan Lutu (orang kaya di Lobo dan Pulau Miwara). Mereka mendapatkan pengakuan sebagai kepala daerah dibawah Sultan Tidore dan tongkat kekuasaannya yang berkepala perak dari Belanda, di mana secara bersamaan juga diangkat 28 kepala daerah bawahannya.[23] Belanda mengangkat Sultan Tidore sebagai penguasa atas wilayah Papua karena menanggap potensi ekonomi yang kecil, hingga pada tahun 1849, batas wilayah kekuasaan Tidore sudah sampai ke perbatasan modern Indonesia dan Papua Nugini.[20] Tahun 1884, Papua Nugini dikuasai oleh Inggris, dan pada tahun yang sama, Timur Laut Papua dikuasai oleh Jerman. Perebutan kekuasaan ini baru berakhir pada 16 Mei 1895 di Den Haag diadakan pertemuan antara Belanda dan Inggris mengenai penetapan batas wilayahnya, dan dikenal sebagai Perjanjian Den Haag (1895), serta termaktub dalam Staatsblaad van Nederlandsch Indie 1895 No. 220 dan 221 tertanggal 16 Mei 1895, di mana garis batasnya adalah Sungai Bensbach. Sungai ini membagi 2 wilayah yaitu, Papua bagian Barat sebagai wilayah Belanda dan Papua bagian Timur atau dikenal sebagai Papua Nugini sebagai wilayah Inggris. Wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. selanjutnya dikenal sebagai Nederlands Nieuw Guinea.[23] 1900–Sampai SekarangSetelah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, Indonesia mencari dukungan baik secara militer maupun diplomasi. Beberapa usaha perjuangan diplomasi oleh pihak RI dilakukan melalui Perjanjian Linggarjati pada 1946, Perjanjian Renville pada 1948, dan Perjanjian Roem-Royen pada 1949. Pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945, berbeda dengan mayoritas anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Mohammad Hatta tidak setuju, “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta. Lanjutnya “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,” walaupun ia menambahkan "Akan tetapi kalau Pemerintah Nippon memberikan Papua yang dulu dibawah Pemerintah Belanda kepada Indonesia, saya tidak berkeberatan, hanya saya tidak menuntutnya, dan kalau sekiranya ditukar-tukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur, karena, seperti yang saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah-air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda, tetapi kalau ditukar memang merupakan satu kedaulatan." yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.[24][25] Dengan demikian, hingga 1956, Papua yang meliputi wilayah jajahan Belanda dan bukan meliputi Papua Nugini yang dijajah Inggris, berada di dalam lingkup Provinsi Maluku. Cikal bakal pemerintahan Provinsi Irian Barat adalah didirikannya lembaga Biro Irian dengan keterlibatan Silas Papare, Machmud Singgirei Rumagesan, dan Wesplat (Van Abubakar Wesplat).[26] Tahun 1945, oleh Residen JP Van Eechoud dibentuklah sekolah Bestuur. Di sana ia menunjuk Atmoprasojo, mantan tahanan diguli, menjadi direktur sekolah Bestuur untuk mendidik kaum terpelajar Papua. Sementara itu Admoprasojo menggunakan posisinya untuk membujuk murid-muridnya bahwa pemerintah Belanda adalah penjajah dan upaya pemerintah Belanda adalah upaya melanjutkan penjajahan di Papua maka ia meminta kaum terpelajar harus ikuti kemerdekaan Indonesia. Beberapa murid yang setuju[9] melakukan pertemuan tertutup di Tobati, Hollandia. Untuk melawan upaya Pemerintah Belanda turut dibicarakan penggantian sebuah nama oleh Frans Kaisiepo selaku ketua panitia kemudian mengambil sebuah nama yaitu Irian dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian. Pada perkembangan selanjutnya nama Irian menjadi akronim untuk "Ikuti Republik Indonesia Anti Nederlands" sebagai kampanye menentang Pemerintah Belanda.[9] Pada Desember 1945, direncanakan pemberontakan terhadap Belanda pada tanggal 25 Desember yang berpusat di Kampung Harapan, yang dipimpin Admoprasojo dan murid-muridnya beserta beberapa anggota KNIL, Batalion Papua, dan mantan Heiho. Namun pemerintah Belanda mengetahui rencana setelah diberi tahu salah satu anggota Batalion Papua. Otoritas Belanda memberi isu penyerangan kampung kristen akan dilakukan oleh anggota pemberontak yang beragama muslim, dan mengerahkan pasukan KNIL yang berpusat di Kloofkamp yang berjarak 40 km dari Kampung Harapan untuk mengepungnya pada tanggal 15 Desember. Kemudian menggunakan pasukan asal Rabaul, Papua Nugini, Belanda menangkap 250 calon pemberontak, dan menangkap Atmoprasojo, Corinus Krey, Marthen Indey dan Silas Papare sebagai pemimpin operasi untuk dibawa ke Hollandia.[27] Pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisiepo yang dipilih untuk mewakili Nieuw Guinea hadir untuk konferensi di Malino-Ujung Pandang, sebelum pergi ke Malino pada 9 Juli 1946, atas saran Corinus Krey, Frans Kaisiepo bertemu dengan Admoprasojo di penjara Abepura, Hollandia yang difasilitasi oleh sipir Elly Uyo dan anggota batalion papua, Johan Aer. Di pertemuan ini mereka setuju untuk menggunakan nama Irian.[28] Di Malino melalui pidatonya dalam penyiaran radio nasional, mengumumkan pergantian nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian dan seharusnya masuk menjadi wilayah Indonesia, nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108). Di saat yang bersamaan pada tanggal 17 Juli 1946, Panggoncang Alam melancarkan pemberontakan untuk melepaskan Atmoprasojo dengan melucuti pasukan KNIL dan menyerang beberapa lokasi walau akhirnya gagal. Silas Papare dianggap memiliki andil dalam peristiwa tersebut diasingkan dari Hollandia ke Serui, di mana dia bertemu dengan Sam Ratulangi yang sudah lebih dahulu diasingkan di sana. Selanjutnya PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) didirikan oleh Papare di Serui bersama Alwi Rachman sebagai wakil, dan Sam Ratulangi sebagai penasihat. Komite Indonesia Merdeka (KIM) organisasi berasal di Melbourne mendirikan cabang Abepura pada Oktober 1946, dipimpin oleh Dr. J.A. Gerungan, yang setelah dipindahkan, dipimpin oleh Marthen Indey. Di Manokwari, Gerakan Merah Putih didirikan oleh Petrus Walebong dan Samuel Damianus Kawab,[29] gerakan ini kemudian menyebar ke Babo, Kokas, dan Sorong.[30] Cabang KIM di Biak diubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM) oleh Lukas Rumkorem, sedangkan di Sorong, Perintis Kemerdekaan didirikan oleh Sangaji Malan.[31] Para tanggal 17 Agustus 1947, para pekerja Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij, mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) yang dipimpin Abraham Koromath. Pada tanggal 19 Maret 1948 terjadi pemberontakan terhadap Belanda di Biak yang dipimpin oleh Stevanus Yoseph dengan Petro Jandi, Terianus Simbiak, Honokh Rambrar, Petrus Kaiwai dan Hermanus Rumere. Para pemimpin pemberontakan ditangkap dan Petro Jandi dihukum mati, dan lainnya dipenjara.[31][32] Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) dilakukan di Deen Hag, Belanda sebagai upaya pengakuan Kemerdekaan Republik Indonesia. Indonesia menuntut Pemerintah Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan permasalahan mengenai status Irian Barat dibicarakan kemudian. Saat itu Kemerdekaan Indonesia diakui Pemerintah Belanda dari Aceh sampai Ambon dengan sistem Pemerintahan Federal yang dikenal dengan Republik Indonesia Serikat. Pemerintah Belanda menginginkan agar daerah masing-masing wilayah Indonesia harus membangun masing-masing wilayah administrasinya dengan pertanggungjawaban kepada pemerintah (RIS) sebagai Negara Bagian. Untuk wilayah Irian, Pemerintah Belanda menolak digabungkannya wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia Serikat karena telah mendaftarkan Wilayah Non Self Government Territory di PBB yang akan didekolonisasi menjadi sebuah Negara Merdeka.[butuh rujukan] Pada tahun 1946, berdasarkan data resolusi 66(I), Daftar Wilayah Non Self Government Territory di PBB mencakup seluruh wilayah Netherlands Indies.[33] Belanda kembali mengubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut sejalan dengan upaya pemerintah Belanda untuk dekolonisasi Nieuw Guinea sesuai dengan Piagam PBB 1945 tentang Penghapusan Wilayah Koloni.[butuh rujukan] Menurut Arend Lijphart, motivasi Belanda memisahkan wilayah Papua didasari oleh letak strategisnya untuk pusat tentara laut kerajaan Belanda di pasifik, memindahkan Indo-eurasian dari wilayah Indonesia lainnya, dan untuk mengontrol kepentingan ekonomisnya di Indonesia.[34] Untuk menghapuskan nasionalisme Indonesia, Van Eechoud melarang PKII dan KIM, dan membuang tokohnya ke Makassar, Jawa, dan Sumatra. Tokoh-tokoh yang dibuang seperti Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Machmud Singgirei Rumagesan. Walau beberapa masih pula berada di Papua seperti, Steven Rumbewas, Corinus Krey, Marthen Indey, Abraham Koromath, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan Elly Uyo.[35] Di tahun 1956, akibat penangkapan terhadap pemimpin PPI dan OPI di Sorong, Organisasi Pemuda Irian tersebut kemudian dipimpin oleh Bastian Samori, Yulius Worabay, Lodewijk Wosiri, Bob Warinusi, dan Elias Paprindey. Pada tanggal 3 November 1956, mereka berupaya untuk mesabotase tanki minyak di Sorong. Terjadi pemberontakan serupa oleh pemuda di Fakfak, di mana mereka menyerang pos polisi belanda.[29] Pemerintah Belanda kemudian menangkap Elias Paprindey, Elimelek Ayoni, dan Franky Kossa pada tahun 1959.[36] Pada tanggal 15 Juni 1960, legislasi New Guinea Organic law diadopsi di parlemen Belanda, dengan demikian Dewan Papua yang dikenal dengan nama Dewan Nugini dibentuk. Di dalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua dengan membentuk Dewan Adat Papua, termasuk pembentukan Partai Politik Papua, serta mengizinkan Keterlibatan Partai Politik Papua dalam Pemilihan Dewan Papua atau Nieuw Guinea Rad, selanjutnya Dewan Nugini menyetujui sebuah simbol bangsa papua yaitu burung mambruk sebagai simbol Bangsa Papua, Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua Barat, lagu Hai Tanahku Papua sebagai lagu Kebangsaan Papua Barat, uang Gulden Papua Barat sebagai mata uang Bangsa Papua Barat mempersiapkan Kemerdekaan Papua di rencanakan penyerahan kemerdekaan Papua secara de facto tahun 1961.[butuh rujukan] Pada tanggal 19 October 1961, Dewan Nugini mengajukan manifesto untuk permohonan izin mendeklarasikan Simbol Bangsa Papua Barat. Maka pada 1 Desember 1961, Pemerintah Belanda mengizinkan simbol tersebut diadopsi sebelah bendera landvlag (bendera tanah atau budaya) dan lagu tersebut menjadi volkslied (lagu rakyat).[37] Pada tahun 1958 sampai 1961, sejumlah pemuda papua melintas ke wilayah Indonesia, mereka diterima dan mendapat pelatihan militer dalam rangka upaya perebutan kembali dari pemerintah Belanda, beberapa tokoh[38] terkenal berikut JA Dimara, Benny Torey, Marinus Imbury, Zadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, dan Metusalim Fimbay.[29][39] Di Jayapura dan Manokwari melaksanakan Upacara Deklarasi kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan secara de jure dipersiapkan tahun 1969 sesuai dengan rencana Pemerintah Belanda memberikan Kemerdekaan bagi Nederlands Nieuw Guinea[butuh rujukan] dalam Daftar Wilayah Dekolonisasi atau Wilayah Non Self Government Territory di PBB dan ditangani oleh Badan Dekolonisasi PBB yang dikenal Tim 24.[butuh rujukan] Pada tanggal tersebut semua masyarakat Papua dan pegawai Pemerintah Belanda mengikuti Acara Deklarasi Simbol Bangsa Papua sekaligus Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.[butuh rujukan] Saat itu Lagu Kebangsaan Papua Barat dan Lagu Kebangsaan Belanda dinyanyikan saat pengibaran Bintang Kejora disamping Bendera Belanda sebagai Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.[butuh rujukan] Tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan Perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat yang berisi penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada Indonesia. Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk mengawasi act free choice di Papua yang pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, yaitu West New Guinea/West Irian. Saat itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Subandrio, dengan perwakilan asal Papua meliputi J.A. Dimara, Albert Karubuy, Frits Kirihio, Silas Papare, M. Indey, dan Efraim Somisu.[40] Pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. 1.025 laki-laki dan perempuan dipilih menjadi delegasi wilayahnya dan secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia, kritik menyebutkan militer Indonesia lah yang memilih dengan paksaan. Berikutnya, nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti menjadi Irian Barat sejak 5 Mei 1963 saat wilayah diserahkan dari Belanda ke dalam Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan oleh Suharto setelah ditolak Sukarno. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, walau secara resmi Papua belum menjadi Provinsi di Indonesia.[41] Dalam Sidang Umum PBB 1969 Agenda Pembahasan Pelaksanaan PEPERA menjadi masalah sengit antara dua kubu dengan pembahasan menjadi tiga hari dari biasanya satu jam. Kelompok Pan African yang terdiri dari Negara-negara Afrika dan Amerika dan Amerika Latin menolak dan menuntut Pelaksanaan Ulang dengan One Man One Vote bukan dengan cara Musyawarah Indonesia yang dipake dalam PEPERA sedangkan Negara-negara Asia mendukung Indonesia. Sidang diskor 1 Minggu dan Indonesia memperoleh dukungan 53%.[butuh rujukan] Papua adalah bagian Negara Indonesia setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya.[butuh rujukan] Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, dia memaklumkan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kesultanan Tidore pada tahun 1800-an. PemerintahanGubernurGubernur Papua bertanggungjawab atas wilayah provinsi Papua. Kepala daerah atau gubernur yang menjabat di provinsi Papua saat ini ialah Ramses Limbong, purnawirawan TNI, yang juga saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republi Indonesia.
Dewan PerwakilanDewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) memiliki 52 orang anggota. Sedangkan untuk melindungi hak politik adat orang Papua dibentuklah Majelis Rakyat Papua (MRP). Berikut ini adalah komposisi anggota DPRP dalam empat periode terakhir.[42][43][44]
Daftar kabupaten dan kotaSebelum menjadi provinsi, pada awalnya Papua (sebelumnya disebut Irian Barat) memiliki 2 kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Merauke dan keduanya menjadi Keresidenan Provinsi Maluku pada 1949. Lalu di tahun 1956, Irian Barat menjadi provinsi dengan nama Provinsi Perjuangan Irian Barat yang terdiri dari 3 kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Merauke. Namun, tahun 1963 provinsi tersebut mengalami pengurangan Kabupaten Halmahera Tengah dan sampai 1993 memiliki 9 kabupaten. Tahun 1993 sampai 1997 memiliki kabupaten/kota baru, yaitu Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Kota Sorong, dan Kota Jayapura. Tahun 1999 dimekarkannya Kabupaten Paniai dan Nama Kabupaten Paniai berganti nama menjadi Kabupaten Nabire dan Irian Jaya Barat (sekarang bernama Papua Barat) menjadi provinsi sendiri dan 2002 sampai 2003 lahirkan sebuah kabupaten lagi yakni Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Mappi. Pada tahun 2008 terjadi pemekaran kabupaten lagi, kali ini yang terbanyak berada di Kabupaten Jayawijaya, kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Yalimo. Lalu ada Kabupaten Puncak (pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya) dan Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura). Pada 30 Juni 2022, Papua mengalami pengurangan 20 kabupaten karena lahirnya provinsi baru yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan dan hingga kini Papua memiliki 9 kabupaten/kota. Berikut ini adalah tabel dari daftar kabupaten dan kota di papua lengkap dari luas wilayah, jumlah distrik, kelurahan, kampung, pusat pemerintahan, peta dan juga logo [45].
PendidikanApresiasi peningkatan dan pemerataan pendidikan untuk masyarakat Nusantara dilakukan di antaranya melalui program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem). Dalam program beasiswa ini Anak asli Papua berkesempatan melanjutkan studinya untuk tahun ajaran 2015 ke jenjang setingkat sekolah menengah atas di sejumlah daerah Tanah Pasundan, Jawa Barat. Pemerintah Kota Bandung akan mendorong program pendidikan bagi para siswa asal Papua dan berencana akan meningkatkan jumlah siswa Papua yang akan bersekolah di Bandung.[48][49][50][51] Program Adem bergulir sejak 2013. Memasuki tahun ketiga atau 2015 ini sudah 1.304 anak Papua menimba ilmu ke tingkat SMA atau SMK di Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Bali. Untuk program ADEM 2015 tercatat 505 anak Papua menempuh pendidikan SMA dan SMK di enam provinsi tersebut.[52] Perguruan TinggiProvinsi Papua terutama Kota dan Kabupaten Jayapura memiliki berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, antara lain:[53] Negeri dan kedinasan
Swasta
InfrastrukturProvinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya lebih tiga kali luas pulau Jawa, ditambah jumlah penduduk yang masih sedikit dengan kekayaan alam begitu kaya dan belum digali seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan pertambangan. Hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan jalan yang memadai yang dapat menghubungkan wilayah-wilayah sentra produksi untuk itu Dinas Pekerjaan umum berupaya melakukan pembangunan infrastruktur jalan yang baik. seperti Pembangunan jalan Jayapura–Wamena yang merupakan status jalan Nasional sebagai kegiatan investasi yang besar bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Jayawijaya yang dibangun dengan tujuan:
EkonomiPotensi ekonomi di Papua sangatlah tinggi, Kekayaan alam papua begitu kaya dan itu semua belum digali. meskipun papua kaya akan sumber daya alamnya, papua masih bergantung pada Freeport.[54] Menurut badan pusat statistik (BPS) ekonomi Papua triwulan pertama terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar minus 13,64 persen. Aktivitas ekonomi pada triwulan pertama 2019 yang tidak sepadat triwulan keempat 2018 menyebabkan hampir seluruh lapangan usaha mengalami pertumbuhan negatif pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian merupakan kategori berkontraksi paling dalam yaitu sebesar minus 25,04 persen,[54] turunnya produksi tambang Freeport. Produksi bijih logam PT Freeport pada triwulan pertama mengalami penurunan produksi diakibatkan masa transisi penambangan dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC). Pemerintah mencanangkan pada 2020 akan meningkatkan infrastruktur di Papua, mulai dari pembangunan jalur transportasi seperti, pembangunan pelabuhan, bandara, dan pembuatan akses jalan ke daerah terpencil, hal ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteran masyarakat di daerah tersebut [55] DemografiSuku bangsaPenduduk provinsi Papua terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 dari 2.780.144 jiwa penduduk 2010 (sebelum dimekarkan 3 provinsi baru yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, pada tahun 2022), jumlah penduduk provinsi Papua dari suku asli Papua sebanyak 2.121.436 jiwa (76,32%). Penduduk dari luar Papua terbanyak yaitu suku Jawa sebanyak 233.145 jiwa (8,39%), kemudian asal Sulawesi (selain Bugis, Makassar, Minahasa) 102.157 jiwa (3,67%), Bugis 88.679 jiwa (3,19%), asal Maluku 82.597 jiwa (2,97%), Makassar 41.239 jiwa (1,48%), asal NTT 26.285 jiwa (0,95%), Minahasa 21.394 jiwa (0,77%), Batak 16.243 jiwa (0,58%), Sunda 13.376 jiwa (0,48%), Madura 3.681 jiwa (0,13%), Tionghoa 3.405 jiwa (0,12%) dan lainnya 0,95%.[56] Berikut ini merupakan komposisi suku bangsa di Papua menurut Sensus Penduduk 2010:[56]
Kelompok suku asli di provinsi Papua termasuk kelompok suku terbanyak di Indonesia, terdapat ratusan suku di provinsi Papua. Berikut suku-suku yang mendiami provinsi Papua, antara lain yakni suku Biak, Enggros, Nafri, Sentani, Serui, Tobati, Waropen, Kurudu, Ambai, dan suku lainnya yang berada di daerah sekitar.[56] Tradisi dan budayaTifaTifa merupakan alat musik khas Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku dan Papua. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas. Tifa mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknya biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki tifa dengan ciri khas nya masing-masing. Tifa biasanya digunakan untuk mengiringi tarian perang dan beberapa tarian daerah lainnya seperti tari Lenso dari Maluku yang diiringi juga dengan alat musik totobuang, tarian tradisional suku Asmat dan tari Gatsi. Alat musik tifa dari Maluku memiliki nama lain, seperti tahito atau tihal yang digunakan di wilayah-wilayah Maluku Tengah. Sedangkan, di pulau Aru, tifa memiliki nama lain yaitu Titir.[57] Jenisnya ada yang berbentuk seperti drum dengan tongkat seperti yang digunakan di Masjid . Badan kerangkanya terbuat dari kayu dilapisi rotan sebagai pengikatnya dan bentuknya berbeda-beda berdasarkan daerah asalnya. NokenNoken merupakan tas tradisional khas asli Papua. Noken berbentuk jaring-jaring yang terbuat dari akar kayu pohon atau daun yang dikeringkan berupa tali-tali yang kuat dan dirajut menjadi tas jaring. Keberadaan Noken Papua telah diakui Dunia dengan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda atau warisan dunia oleh Lembaga Kebudayaan Dunia di Markas UNESCO Paris, Prancis pada 4 Desember 2012. Penetapan Noken sebagai warisan dunia ini diinisasi oleh seorang pemerhati budaya Papua asal Paniai, Titus Pikei yang menyatakan tujuannya untuk menjaga tradisi budaya Papua agar tidak punah. Ia kemudian mendirikan Yayasan Noken Papua guna menjaring semua komponen pengrajin noken dari berbagai komunitas pengrajin noken di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk selalu menjaga kekhasannya. Ia mengajak agar budi daya bahan baku noken dari hutan dan lingkungan dapat dilestarikan melalui pendataan bersama para tetua adat atau kepala suku dengan Pemda setempat, sehingga budi daya bahan baku noken dapat terus terjaga. Kuliner khasPapeda adalah makanan berupa bubur sagu khas Maluku dan papua yang biasanya disajikan dengan ikan tongkol atau mubara yang dibumbui dengan kunyit.[58] Papeda berwarna putih dan bertekstur lengket menyerupai lem dengan rasa yang tawar.[58] Papeda merupakan makanan yang kaya serat, rendah kolesterol dan cukup bernutrisi.[59] Di berbagai wilayah pesisir dan dataran rendah di Papua, sagu merupakan bahan dasar dalam berbagai makanan.[60] Sagu bakar, sagu lempeng, dan sagu bola, menjadi sajian yang paling banyak dikenal di berbagai pelosok Papua, khususnya dalam tradisi kuliner masyarakat adat di Kabupaten Mappi, Asmat, hingga Mimika.[60] Papeda merupakan salah satu sajian khas sagu yang jarang ditemukan.[60] Antropolog sekaligus Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben, menyatakan bahwa papeda dikenal lebih luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani di Danau Sentani, Taikat di Distrik Arso, serta Manokwari.[60] Pada umumnya, papeda dikonsumsi bersama dengan ikan tongkol.[61] Namun, papeda dapat juga dikombinasikan dengan ikan gabus, kakap merah, bubara, hingga ikan kue.[61] Selain kuah kuning dan ikan, bubur papeda juga dapat dinikmati dengan sayur ganemo yang diolah dari daun melinjo muda yang ditumis dengan bunga pepaya muda dan cabai merah.[61] Lihat pulaCatatan
Referensi
Daftar pustakaSaragih, Maylina (2019). Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala. Subdisjarah Dispenau. Pranala luar
|