PascastrukturalismePascastrukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Pascastrukturalisme lahir sebagai dekonstruksi dari strukturalisme.[1] Yang termasuk sebagai tokoh-tokoh pascastrukturalisme misalnya Michel Foucault, Jacques Derrida, Gilles Deleuze, Jean-François Lyotard, Roland Barthes, Jacques Lacan, Louis Althusser, Jean Baudrillard, Slavoj Žižek, Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith Butler dan Hélène Cixous. Beberapa pemikiran pascastrukturalismeJacques DerridaJacques Derrida adalah tokoh pascastrukturalis yang sangat berpengaruh. Ia menamai metodenya dengan dekonstruksi (ia sendiri menyebutnya dengan istilah "Praksis"). Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan pascastrukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekadar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).[2] Pascastrukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya, pascastrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.[3] Jacques LacanSigmund Freud, sang bapak psikoanalisa, memiliki pemikiran yang tak jarang menginspirasi peneliti lainnya. Salah satunya ialah filsuf pascastrukturalisme, Jacques Lacan. Konsep alam-bawah-sadar, ego, ketakutan akan kastrasi oleh ayah, dan proses identifikasi dari Freud mendasari buah pemikiran Lacan. Dalam upaya meninjau kembali teori tentang subjektivitas yang diturunkan dari karya Sigmund Freud, Lacan membaca ulang Freud untuk memperjelas dan menghidupkan sekumpulan konsep, khususnya konsep ketidak sadaran.[4] Teori tentang ego dalam diri manusia yang memunculkan ketidaksadaran manusia itu meluas ke berbagai bidang sosial dan kemanusiaan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris lainnya berkembang pesat di bawah pengaruh Heinze Hartman. Pada masa setelah perang besar, gerakan humanisme menjadi penting, dan muncul pemahaman betapa pentingnya kesadaran manusia, suatu keyakinan bahwa ego itu, baik maupun buruk- berada di pusat kehidupan psikis manusia. Dengan penekanan strukturalis pada bahasa sebagai suatu sistem perbedaan tanpa pengertian positif, Lacan menonjolkan pentingnya bahasa dalam karya Freud. Akan tetapi sebelum pendekatan strukturalis menjadi populer, pada tahun 1936 Lacan telah mengembangkan teori bayangan cermin yang bicara tentang kemampuan bayi berumur 6-18 bulan (belum punya suara), dapat mengenali bayangannya sendiri di cermin.[5] Tindak pengenalan diri tidak menjadi jelas dengan sendirinya, ini karena sang bayi akan melihat gambaran tersebut baik sebagai dirinya sendiri maupun bukan dirinya (hanya imaji yang terpantul).[6] Pada usia itu, bayi belum memiliki konsep kesadaran diri, kemudian pada usia setelahnya -setelah ia mulai berbahasa, disebut sebagai penanda adanya kesadaran diri.[7] Dengan demikian, pembentukan ego terjadi, itulah pusat kesadaran.[8] Pada tahun 1953, Lacan dalam Diskursus Roma mengatakan, "Manusia berbicara,.... tetapi simbollah yang membuatnya menjadi manusia."[9] Michel FoucaultFoucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori pascastrukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori poststrukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang pascastrukturalis Foucault tertarik pada cara di mana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara di mana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.[10] Salah satu karya Foucault adalah 'Archeology of Knowledge' yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucault juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucault adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan jaringan diskursus.[11] Lihat jugaTokoh-tokohBeberapa tokoh berikut ini sering sekali disebut sebagai pascastrukturalist, atau paling tidak yang berkarya pada periode pascastrukturalis: 3
Literatur
Pranala luar
Referensi
|