Pelayanan kesehatan di IndonesiaDi Indonesia, pelayanan kesehatan (disingkat yankes) dikelompokkan menjadi pelayanan kesehatan primer, rujukan, tradisional, dan komplementer. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan instansi yang bertanggung jawab merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pelayanan kesehatan. Belanja pemerintah untuk layanan kesehatan sekitar 2,9% dari total produk domestik bruto pada 2014.[1] FasilitasFasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia (disingkat faskes) dikelompokkan berdasarkan tingkat pelayanannya, yaitu faskes tingkat pertama (memberikan pelayanan kesehatan dasar), faskes tingkat kedua (memberikan pelayanan kesehatan spesialistik), dan faskes tingkat ketiga (memberikan pelayanan kesehatan subspesialistik).[2] Jenis faskes di Indonesia meliputi tempat praktik mandiri tenaga kesehatan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik, rumah sakit, apotek, unit transfusi darah, optikal, fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, dan faskes tradisional.[3] Puskesmas merupakan faskes yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota paling sedikit satu buah pada setiap kecamatan.[4] Pada 2018, jumlah puskesmas di Indonesia yaitu 9.993 unit dan 3.623 unit (36%) di antaranya memiliki fasilitas rawat inap.[5] Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan, puskesmas juga didukung oleh jaringan pelayanan puskesmas yang meliputi puskesmas pembantu (pustu), puskesmas keliling, dan bidan desa.[6] Selain itu, terdapat pula pos pelayanan terpadu (posyandu) yang dikelola dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan dasar, terutama terkait kesehatan ibu dan bayi, gizi, imunisasi, keluarga berencana, dan penanggulangan diare.[7] Pada 2018, jumlah posyandu berjumlah 283.370 unit, tetapi hanya 173.750 unit (61,32%) yang berstatus aktif atau melaksanakan kegiatan utamanya secara rutin setiap bulan.[8] Di Indonesia, rumah sakit (RS) dibagi menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum (RSU) adalah RS yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, sementara rumah sakit khusus (RSK) adalah RS yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, atau jenis penyakit,[9] antara lain RSK ibu dan anak, RSK jantung, dan RSK kanker.[10] Selain itu, RS juga dikelompokkan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya. Berdasarkan hal ini, RSU dikelompokkan menjadi kelas A, B, C, dan D,[11] sedangkan RSK dikelompokkan menjadi kelas A, B, dan C.[12] Pada 2019, ada 2.813 rumah sakit di Indonesia, dengan 63,5% di antaranya dijalankan oleh organisasi swasta.[13] Jumlah tempat tidur rumah sakit pada 2018 yaitu 310,7 ribu tempat tidur dengan rasio 1,17 tempat tidur per 1.000 penduduk.[14] DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio tertinggi (2,33 per 1.000 penduduk) sedangkan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan rasio terendah, yaitu 0,77 per 1.000 penduduk.[15] Sementara itu, data pada 2019 menunjukkan rasio sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk serta 2,1 perawat per 1.000 penduduk.[16] Persebaran dokter terbanyak berada di Pulau Jawa (DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.[17] Tenaga kesehatanDalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, tenaga kesehatan didefinisikan sebagai setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan sendiri dikelompokkan menjadi
Setiap kelompok tenaga kesehatan pada umumnya membentuk asosiasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI),[19] Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI),[20] Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia),[21] Ikatan Bidan Indonesia (IBI),[22] Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),[23] Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),[24] Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia (PORMIKI),[25] Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia (PALTEKI).[26] Asosiasi profesi digunakan sebagai wadah berhimpun rekan sejawat serta meningkatkan kompetensi profesionalisme dari profesi tersebut. Cakupan kesehatan semestaPada 2010, diperkirakan 56% orang Indonesia, terutama pegawai negeri sipil, penduduk berpenghasilan rendah, dan mereka yang ditanggung oleh swasta memiliki beberapa bentuk asuransi kesehatan. Angka ini diharapkan mencapai 100% pada tahun 2019, setelah BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diluncurkan pada tahun 2014. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan gratis untuk semua pelayanan rawat inap di rumah sakit dasar (kelas 3).[27] Secara tradisional, penyediaan pelayanan kesehatan di Indonesia terbagi-bagi, dengan asuransi swasta tersedia bagi mereka yang mampu membayarnya, cakupan kesehatan dasar bagi masyarakat yang paling miskin, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) memberikan layanan kepada mereka yang tidak dicakup oleh program publik atau swasta. Pada Januari 2014, pemerintah meluncurkan JKN, sebuah program untuk menerapkan pelayanan kesehatan menyeluruh. Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan kesehatan diharapkan akan meningkat menjadi 12% per tahun dan mencapai US$ 46 miliar per tahun pada 2019.[28] Pada Maret 2015, Kartu BPJS Kesehatan berubah nama menjadi Kartu Indonesia Sehat (KIS).[29] Semua penduduk diwajibkan menjadi peserta JKN-KIS yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Pesertanya dibagi menjadi empat kelompok, yaitu pekerja penerima upah (PPU), penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PD Pemda), pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP), serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (PBI JK).[30] Peserta mandiri terdiri atas PPU, PBPU, dan BP, dengan iuran peserta mandiri pada bulan Juli-Desember 2020 yaitu kelas 1 sebesar Rp150.000, kelas 2 sebesar Rp100.000, dan kelas 3 sebesar Rp25.500 (Rp42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp16.500).[31] Sejak awal didirikan, JKN mengalami defisit sebesar Rp1,9 triliun (tahun 2014), kemudian Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).[32] Sebagai tanggapan, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang meningkatkan iuran bulanan. Namun, beberapa pihak memandang langkah tersebut akan membebani masyarakat, terutama penduduk berpenghasilan rendah.[33] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Lihat pulaPranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Pelayanan kesehatan di Indonesia.
|