Pembangunan nasional IndonesiaPembangunan nasional Indonesia adalah paradigma Pembangunan yang terbangun atas pengamalan Pancasila yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya.[1] Dari amanat tersebut disadari bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelmaan pula dari proses perubahan politik, sosial, dan budaya yang meliputi bangsa, di dalam kebulatannya.[1] Pembangunan Nasional merupakan cerminan kehendak terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila.[1] Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat dilihat terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik Mekanisme dan kelembagaan politik berdasarkan UUD 1945 telah berjalan.[1] Pelaksanan pemilu secara teratur selama Orde Baru juga sudah menunjukkan kemajuan perkembangan demokrasi.[1] Pembangunan di berbagai bidang selama ini memberikan kepercayaan kepada bangsa Indonesia bahwa upaya pembangunan telah ditempuh, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan keberhasilan.[1] Ini yang ingin dilanjutkan dan akan ditingkatkan dalam era baru pembangunan.[1] PerencanaanSejak tahun 1990-an terdapat suatu kecenderungan baru dalam perencanaan pembangunan yang lebih berorientasi kepada pelaksanaannya. Apabila sebelumnya perencanaan terlalu menekankan kepada berbagai prinsip dan teknik perumusan dalam proses pembangunan maka hal yang harus diperhatikan juga adalah aspek-aspek pelaksanaan pembangunan.[2] Misalnya apakah pembangunan ini telah sesuai dengan aspek proses perencanaan pelaksanaannya. Fungsi Perencanaan
ModelNegara-negara berkembang bukan sosialis dilihat dari kebijaksanaan industrialisasi yang mereka anut pada saat permulaan program pembangunan umumnya dapat digolongkan dalam dua kelompok.[4] Kelompok yang pertama ialah kelompok Negara-negara yang melaksanakan strategi industrialisasi subtitusi impor yang berorientasi pada pemenuhan pasar dalam negeri, dan kelompok yang kedua adalah kelompok Negara-negara yang melaksanakan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor.[4] Dari kedua model tersebut maka sistem atau model pembangunan nasional di Indonesia lebih berorientasi kepada kelompok yang pertama hal ini didasari oleh besarnya pasaran dalam negeri, jika dibandingkan dengan Negara-negara yang menganut model industrialisasi yang berorientasi ekspor seperti Singapura, Korea Selatan dll.[4] Model Pembangunan Memasuki PJP IIBerbagai indikator menunjukkan pula bahwa pada PJP I banyak kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia.[1] yaitu menurunnya tingkat wanita buta aksara dari 50 persen menjadi 21 persen.[1] Meningkatnya partisipasi wanita dalam pembangunan dari 32,7 persen menjadi 37,6 persen.[1] Menurunnya angka kematian bayi dari tahun-ke tahun.[1] Pembangunan pendidikan yang cukup meningkat tajam dinilai dari banyaknya karyawan-karyawan adalah mereka lulusan dari universitas-universitas di Indonesia.[1] Gambaran Masyarakat Indonesia pada Ahkir PJP IIGBHN mengamanatkan bahwa dalam PJP II bangsa Indonesia bukan hanya harus makin maju dan sejahtera tetapi juga makin mandiri. Dalam PJP II ingin dikejar ketertinggalan dari bangsa maju lainnya.[1] Pada akhir PJP II Indonesia sudah bukan lagi hanya negara yang dapat menerima pinjaman lunak.[1] Perdagangan luar negeri akan menjadi sumber perolehan devisa dan sekaligus sebagai pendukung utama bagi kesehatan neraca pembayaran dan tidak lagi bantuan luar negeri.[1] Akan tetapi yang harus diingat bahwa kemajuan ekonomi baru akan ada artinya bagi kesejahteraan rakyat apabila rakyat dapat menikmati dan merasakannya sebagai perbaikan hidup nyata.[1] Dimensi AkhlakAkhlak adalah nilai-nilai dasar yang membimbing seseorang dalam berperilaku.[1] Seorang dikatakan berakhlak atau bermoral, apabila perilakunya mengikuti kaidah-kaidah kehidupan yang dikehendaki atau dibenarkan oleh agama, masyarakat, dan hati nuraninya.[1] Kaidah-kaidah kehidupan itu berisi tuntunan atau petunjuk mengenai baik dan buruk.[1] Akhlak dalam PembangunanDalam kaitan akhlak dengan pembangunan nasional, pertanyaan yang segera muncul adalah, pembangunan bagaimana yang berakhlak? pembangunan pada umumnya adalah untuk memperbaiki keadaan, sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan kebaikan. Namun sejarah tidak menunjukkan hal seperti itu.[1] Pembangunan dapat merupakan perbuatan yang tidak baik, apabila hal-hal berikut terjadi:
Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua IndonesiaDalam PJP II,bangsa Indonesia akan tumbuh dan berkembang dengan mengandalkan ada kemampuan dan kekuatannya sendiri.[1] Dengan demikian, pada akhir PJP II, bangsa Indonesia mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dengan bangsa lain yang telah maju yaitu sebagai bangsa industri.[1] Arahan GBHN 1993 mengenai PJP IIGBHN 1993 menetapkan bahwa PJP II bertujuan mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya terwujudnya tujuan nasional.[1] Sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tentram dan sejahtera lahir batin dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila,dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan antarsesama manusia dengan alam dan lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.[1] Gagalnya Pembangunan di Era Orde BaruKebijakan pemerintah yang bersifat reaktif dengan menitikberatkan pada masalah perbankan selama masa kasak-kusuk mengatasi krisis pada tahun-tahun pertama pemerintahan turut memperkuat opini publik bahwa sistem keuangan dan moneter yang ada telah menjadi sebab utama membawa Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang dalam.[5] Pada Oktober 1988 yang mendorong ekspansi besar-besaran bisnis perbankan, namun tidak diimbangi oleh sistem pengawasasn yang memadai, hampir semua bank nasional di Indonesia beroperasi dengan sistem yang rapuh.[5] Ujung dari kelemahan ini adalah terjebaknya bank-bank tersebut ke dalam kesulitan likuiditas menyusul menumpuknya kredit macet. Situasi perbankan yang menandai krisis di Indonesia, pertama-tama berdampak terhadap dunia bisnis.[5] Kemadetan arus dan mikro di perusahaan akibat goncangan di sektor perbankan mengakibatkan pula pihak swasta kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek mereka untuk membayar cicilan utang kepada lembaga-lembaga keuangan asing, yang sejak tahun 1994 menjadi salah satu sumber dana bagi para pengusaha dalam negeri.[5] Referensi
|