Pembunuhan jurnalis dalam perang Israel–HamasPembunuhan jurnalis dalam perang Israel–Hamas, bersama dengan tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang lainnya, menandai periode mematikan bagi jurnalis dalam konflik Israel–Palestina sejak tahun 1992 dan konflik paling mematikan bagi jurnalis pada abad ke-21.[1] Per September 2024, Komite untuk Perlindungan Jurnalis mencatat ada 116 jurnalis yang dibunuh (111 orang Palestina, 2 orang Israel dan 3 orang Lebanon),[2] dan Federasi Jurnalis Internasional mencatat ada 134 jurnalis dan pekerja media yang dibunuh (127 orang Palestina, 4 orang Israel dan 3 orang Lebanon),[3] Catatan Juli 2024 oleh kantor media pemerintah Gaza menetapkan jumlah jurnalis Palestina yang terbunuh pada angka 160.[4][5] Pada 30 Januari 2024, kepala Komite untuk Perlindungan Jurnalis menyatakan, "Perang Israel di Gaza lebih mematikan terhadap jurnalis daripada perang manapun sebelumnya".[6][7] Serangan udara Israel juga merusak atau menghancurkan kira-kira 48 fasilitas media di Gaza.[8] Wartawan Tanpa Batas melaporkan bahwa tentara Israel sengaja menargetkan jurnalis Palestina dan Lebanon.[8] The Guardian menyatakan bahwa bertentangan dengan hukum internasional, Israel menargetkan jurnalis Palestina yang berafiliasi dengan Hamas meskipun mereka tidak terlibat dalam pertempuran, hal ini membantah bantahan Israel soal mereka tidak menargetkan jurnalis.[9] Pada 2023, hampir 75% jurnalis yang terbunuh di seluruh dunia adalah jurnalis Palestina yang tewas dalam perang Israel di Gaza.[10][9] KorbanAsosiasi Jurnalis Arab dan Timur Tengah mengutuk serentetan kematian dan menegaskan kembali bahwa: "Menargetkan jurnalis adalah pelanggaran berat terhadap kebebasan pers dan hukum hak asasi manusia internasional".[11] Komite untuk Perlindungan Jurnalis menegaskan, "Lebih banyak jurnalis yang terbunuh dalam tiga bulan pertama perang Israel–Gaza daripada yang pernah terbunuh di sebuah negara selama satu tahun".[12] Pada Agustus 2024, pasukan Israel dilaporkan menembak jurnalis Salma al-Qadoumi di bagian belakang saat dia sedang meliput di Khan Younis.[13] Pembunuhan jurnalis oleh pasukan IsraelPada 7 Oktober, kepolisian Israel merusak peralatan dari kru televisi yang meliput di Ashkelon.[14] Pada hari yang sama, jurnalis bernama Omar Abu Shawish terbunuh di Gaza.[15] Jurnalis Mohammed El Salhi, Ibrahim Mohamed Lafi, Mohamed Jarghoun, Ibrahim Qanan, Nidal Al Wahidi, dan Haitham Abdelwahid juga menghadapi beragam bentuk kekerasan atau menghilang.[16][17][18] Pada 10 Oktober 2023, serangan udara Menara Hajji menghancurkan sebuah blok apartemen yang ditempati kantor jurnalis, menewaskan setidaknya tiga orang jurnalis bersama dengan warga sipil.[19][20][21][22] Salam Khalil, kepala Komite Jurnalis Wanita dari Serikat Jurnalis Gaza, terkubur di bawah reruntuhan rumahnya bersama keluarganya dalam serangan Israel pada hari yang sama dan diduga meninggal. Dia kemudian ditemukan masih hidup bersama anak-anaknya.[23][24] Pada Oktober, jurnalis Reuters bernama Issam Abdallah terbunuh dan enam orang lainnya mengalami luka-luka oleh IDF di Lebanon selatan.[25] Sebuah laporan Februari 2024 oleh Pasukan Sementara PBB di Lebanon menyimpulkan bahwa tank Israel membunuh Abadallah ketika tank tersebut melepaskan tembakan pada "jurnalis dapat dikenali" tersebut, dan bahwa hal ini melanggar hukum internasional.[26] Laporan tersebut "menilai tidak ada baku tembak di sepanjang Garis Biru pada saat insiden tersebut", tidak ada catatan adanya baku tembak lintas perbatasan selama 40 menit sebelum tank melepaskan tembakan.[26] Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menanggapi laporan PBB dengan menyebut bahwa Hizbullah menyerang mereka, sehingga tank melepaskan tembakan sebagai bentuk balasan.[26] Pada 17 November, saluran berita Turki bernama TRT World merilis rekaman yang menampilkan kepolisian Israel menyerang kru berita mereka, kemudian menteri komunikasi Turki Fahrettin Altun mengatakan, “Serangan mengerikan ini telah menambah aib baru pada rekam jejak Israel dalam kebebasan pers."[27] Pada 19 November, enam orang profesional media dibunuh oleh pasukan Israel hanya dalam 24 jam.[28] Pada 3 Desember, Komite untuk Perlindungan Jurnalis menegaskan 54 jurnalis Palestina telah terbunuh dalam perang tersebut sejauh ini.[29] Pada 14 Desember, PBB merilis pernyataan yang menyebut, "Gaza tampaknya telah menjadi tempat paling mematikan bagi jurnalis – beserta keluarganya – di seluruh dunia."[30] Setelah serangan Israel terhadap sebuah tenda jurnalis di Rumah Sakit Al-Aqsa pada 31 Maret 2024, Al Jazeera English menegaskan, "Para jurnalis telah ditargetkan secara sistematis sepanjang konflik ini."[31] Pembunuhan keluarga jurnalisPada 4 Desember, sembilan anggota keluarga dari produser CNN Ibrahim Dahman terbunuh dalam serangan udara Israel di Gaza utara.[32] Pada 11 Desember, serangan udara ke rumah jurnalis Anas al-Sharif menyebabkan ayahnya tewas.[33] Pada 8 Januari 2024, ibu dari jurnalis Al Arabiya bernama Ahmad al-Batta, dan istri dan anak-anak dari jurnalis Sameer Radi, terbunuh dalam serangan udara.[34] Serikat Jurnalis Palestina menegaskan pada 4 Februari bahwa 70 jurnalis telah kehilangan anggota keluarga dekat.[35] Pada 28 Februari, seorang jurnalis Palestina menegaskan bahwa pengeboman oleh Israel telah menewaskan istrinya yang sedang hamil, putranya yang berumur tiga tahun, dan 20 orang lainnya.[36] Hussein Jaber, seorang fotografer UNRWA, menegaskan bahwa putrinya yang berumur lima tahun terbunuh saat keluarganya mengungsi dari Kota Gaza pada Desember 2023, menegaskan, "Terjadi baku tembak sengit, dan saya melihat dengan mata kepala sendiri Salma ditembak di bagian leher".[37][38] Pembunuhan keluarga Wael DahdouhBeberapa anggota keluarga dari kepala biro Al Jazeera Arabic di Gaza, Wael Dahdouh, terbunuh dalam serangan udara Israel pada 25 Oktober di kamp pengungsi Nuseirat, di selatan Wadi Gaza, di mana mereka berlindung setelah mengikuti perintah Israel agar warga sipil Palestina pindah ke selatan dari Gaza utara.[39] Al Jazeera mengutuk pembunuhan tersebut, menyebutnya "serangan tanpa pandang bulu".[40] Dahdouh, berbicara kepada Al Jazeera, menyebut "Sama sekali tidak ada tempat aman di Gaza".[41] Tentara Israel mengkonfirmasi mereka telah melancarkan serangan udara di area dekat di mana keluarga Dahdouh berlindung, menyebut mereka sedang menargetkan "infrastruktur teroris Hamas".[42] Dahdouh sendiri kemudian mengalami luka-luka dalam serangan rudal Israel di Khan Younis saat sedang meliput serangan udara Sekolah Haifa.[43][44][45] Putra dari Dahdouh, yaitu Hamza al-Dahdouh, juga seorang jurnalis, terbunuh bersama rekannya akibat serangan udara Israel saat berada di dalam kendaraan mereka di Khan Younis pada 7 Januari 2024.[46] Wartawan Tanpa Batas menegaskan tampaknya ada satu roket yang jatuh ke mobil Dahdouh.[47] IDF menyebut bahwa dua orang tersebut sedang melakukan perjalanan bersama seorang "operatif teror" yang mengoperasikan drone dan bahwa mereka "mengidentifikasi dan menyerang seorang teroris yang mengoperasikan pesawat terbang dengan cara yang membahayakan pasukan IDF".[48] Menurut Washington Post, IDF mengubah pernyataan mereka pada hari berikutnya, saat juru bicara IDF yaitu Daniel Hagari menyebut bahwa mereka menggunakan drone untuk merekam membuat mereka tampak seperti teroris. Setelah investigasi Maret 2024,The Washington Post menyimpulkan bahwa "tidak ada indikasi" bahwa Dahdouh "mengerjakan sesuatu selain daripada tugas jurnalis pada hari tersebut" karena para pakar menyebut tidak ada bukti "penempatan militer atau aktivitas milisi" di sekitar reruntuhan tempat sebelas orang jurnalis melakukan perjalanan dari Rafah untuk melaporkan setelah serangan udara Israel sebelumnya pada hari tersebut. Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan dia "meminta maaf sebesar-besarnya" untuk "musibah besar" tersebut.[49] Wael Dahdouh menegaskan, "Hamza bukan hanya bagian dari hidupku. Dia adalah segalanya bagiku."[50] Pembunuhan jurnalis oleh IDFSemasa konflik, Wartawan Tanpa Batas (RSF) mengklaim bahwa tentara Israel telah menargetkan para jurnalis secara sengaja.[8][51][52] Sebuah investigasi RSF menyebut bahwa Israel telah menargetkan para jurnalis dalam serangan rudal pada 13 Oktober yang menewaskan wartawan Reuters bernama Issam Abdallah dan melukai empat orang lainnya. Dua serangan rudal Israel tersebut, berbeda 30 detik, mengenai kelompok beranggotakan tujuh orang jurnalis di Lebanon selatan yang sedang melaporkan mengenai pertarungan antara Israel dan Hizbullah. Dalam sebuah video, para jurnalis tampak mengenakan rompi dan pelindung kepala bertuliskan "PERS". Ciri ini juga ada di atas atap mobil mereka, mobil yang meledak setelah dikenai oleh rudal kedua.[53] Menurut Majelis Eropa, penargetan secara sengaja terhadap jurnalis termasuk sebagai kejahatan perang.[54] Pembunuhan para jurnalis oleh pasukan Israel di Gaza telah menjadi masalah yang terus berulang, dengan insiden sebelumnya terjadi pada 2018 dan 2021.[55][56] Sebelumnya pada 2023, Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) merilis laporan yang menegaskan bahwa 20 orang jurnalis telah dibunuh oleh serangan militer Israel sejak tahun 2001, yang "hingga saat ini, belum ada yang bisa dimintai pertanggung jawabannya".[11] Sebuah investigasi oleh The Guardian pada Juni 2024 membantah bantahan Israel mengenai penargetan pegawai media, mengutip bahwa beberapa orang di militer Israel memandang jurnalis Hamas atau atau media afiliasinya sebagai target yang sah.[9] Setidaknya ada 23 orang jurnalis yang telah dibunuh oleh militer Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang bekerja untuk jaringan media Al-Aqsa, menurut ARIJ, sebuah media nirlaba asal Yordania.[9] Juru bicara militer Israel mengkonfirmasi bahwa Israel tidak membedakan antara pegawai media dan milisi yang bekerja untuk Hamas, pernyataan yang menurut The Guardian telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar hukum, karena menurut aturan perang, jurnalis tidak boleh diserang kecuali mereka ikut serta dalam operasi pertempuran.[9] Pelapor khusus PBB untuk perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, Irene Khan, menegaskan bahwa Israel telah "menyebarkan disinformasi tentang jurnalis memiliki kaitan dengan milisi" dan bahwa mereka gagal membuktikan klaim tersebut.[9] ARIJ mensurvei 200 orang jurnalis yang berbasis di Gaza, yang hampir semuanya telah mengungsi, dan melaporkan bahwa rumah mereka telah dibom saat mereka sedang tidur dengan keluarga mereka.[9] Serangan udara Hajji Tower
Pada 10 Oktober 2023, di tengah perang Israel–Hamas, pesawat Israel mengebom sebuah gedung hunian bernama Hajji Tower di Jalur Gaza. Menurut kantor media Gaza yang dioperasikan Hamas, tiga orang jurnalis terbunuh saat sedang meliput evakuasi di gedung terdekat, dan sejumlah orang mengalami luka-luka. Para jurnalis tersebut datang setelah seorang penghuni di gedung sebelah melaporkan telah menerima panggilan telepon dari militer Israel yang memperingatkan adanya serangan dalam waktu dekat, dan gedung tersebut lalu dievakuasi. Serangan mengenai gedung lain yang dekat dengan para jurnalis.[57][59] Hisham al-Nawajha mengalami cedera parah dan kemudian meninggal di Al-Shifa Medical Complex.[60] Dugaan keanggotaan HamasIsmail Abu OmarMenurut Israel, Ismail Abu Omar, seorang jurnalis Al Jazeera, merupakan wakil komandan kompi di sebuah batalion Hamas dan ikut serta dalam serangan 7 Oktober; semasa penyerangan dia membagikan video di mana bisa didengar dia mengatakan "Saudara kita bergerak maju, 'Masya Allah' semoga Allah memberkati".[61] Abu Omar, bersama dengan juru kamera Ahmad Matar, mengalami luka-luka dalam serangan drone pada 13 Februari; Al Jazeera membantah dan mengutuk tindakan Israel, menegaskan "Al Jazeera Media Network menolak upaya pasukan pendudukan Israel untuk membenarkan pembunuhan dan penargetan terhadap jurnalis. Jaringan kami mengutuk tuduhan terhadap jurnalis kami dan mengingatkan catatan panjang Israel yang penuh kebohongan dan pemalsuan bukti yang digunakan mereka untuk menutupi kejahatan kejam mereka".[62][63] Mohamed WashahSemasa operasi di Gaza Utara, Israel menyatakan bahwa mereka menemukan dokumen yang mengungkap bahwa Mohamed Washah, seorang jurnalis Al Jazeera, adalah seorang komandan di sebuah unit anti-tank Hamas, dan melakukan penelitian dan pengembangan untuk unit udara mereka. Israel merilis gambar yang tampak memperlihatkan Washah berlatih dengan persenjataan anti-tank, serta mengoperasikan senjata lainnya dan drone.[64] Pembunuhan jurnalis oleh pasukan PalestinaEmpat jurnalis dan fotografer Israel terbunuh pada 7 Oktober di tengah serangan Hamas ke Israel, salah satunya Yaniv Zohar, seorang fotografer untuk Israel Hayom, terbunuh bersama istrinya dan dua putrinya dalam pembantaian Nahal Oz;[65] Roy Edan, seorang fotografer untuk Ynet, terbunuh dalam pembantaian Kfar Aza;[66] dan dua editor terbunuh dalam pembantaian festival musik Re'im: Shai Regev, seorang editor berita hiburan untuk Ma'ariv,[67] dan Ayelet Arnin, seorang editor untuk KAN.[68] Para wartawan foto Israel yang berkendara dalam konvoi menuju Re'im diserang oleh milisi Hamas, karena mereka mendokumentasikan tempat terjadinya salah satu pembantaian.[69] Para jurnalis diselamatkan oleh pasukan cadangan IDF setelah baku tembak yang berlangsung sekitar setengah jam.[69] Kekerasan lain terhadap jurnalisSelain daripada orang yang terbunuh, menghilang atau ditahan, Komite untuk Perlindungan Jurnalis telah menerima berbagai laporan mengenai kerusakan yang dilakukan terhadap kantor dan rumah jurnalis, dan diperkirakan bahwa "48 fasilitas media di Gaza telah terkena serangan atau dihancurkan".[11] Pada 5 Februari 2024, seorang jurnalis Palestina membagikan rekaman terverifikasi yang menunjukkan sebuah gedung hunian di lingkungan Al-Amal di Khan Younis mengalami kebakaran, menegaskan bahwa Israel telah menargetkan rumah dua orang jurnalis.[70] Di Gaza, Mohammed Balousha, seorang jurnalis yang mengungkap kisah kematian bayi prematur di rumah sakit anak Nasr, ditembak oleh IDF dan mengalami luka-luka.[71] Hossam Shabat menyatakan IDF telah mengancam akan mengebom rumahnya kecuali dia meninggalkan Beit Hanoun, yang benar saja mereka lakukan setelah dia menolak pergi.[72] Pada 29 Desember, dua wartawan Al Jazeera di Tepi Barat diserang dan dipukuli oleh tentara Israel.[73] Pemerintah Kanada mengumumkan bahwa seorang jurnalis berkebangsaan Kanada dan pekerja bantuan Mansour Shouman dilaporkan menghilang dan dikhawatirkan ditahan atau dibunuh saat evakuasi dari Khan Younis ke Rafah.[74][a] Seorang jurnalis diamputasi kakinya setelah ditembak oleh drone penembak jitu pada Februari 2024.[76] Rekaman dari Shehab News Agency menunjukkan para jurnalis menjadi sasaran tembak oleh Israel di Kota Gaza pada 20 Februari.[77] Pada 27 Februari, jurnalis Al Jazeera Tareq Abu Azzoum hampir terkena serangan drone Israel, menegaskan, "Kami tidak tahu alasan dari serangan ini, jika ini dilakukan untuk mencegah kami melaporkan mengenai perang… Ini benar-benar kacau."[78] Ismail al-Ghoul, seorang jurnalis di Rumah Sakit Al-Shifa semasa serangan Israel pada Maret 2024, mengatakan para jurnalis ditelanjangi, dipaksa berbaring tengkurap, ditutup matanya, dan diinterogasi setelah dua belas jam.[79] Di Israel, massa sayap kanan menyerbu rumah jurnalis Israel bernama Israel Frey dan memaksa dia bersembunyi setelah dia mempersembahkan doa untuk para korban perang di Gaza, dan mengancam keluarganya.[11][80] Pada Juni 2024, para jurnalis diserang oleh orang Israel kanan jauh semasa pawai Hari Yerusalem.[81][82] Respons internasional dan investigasiLucciano Zaccara, seorang profesor di Universitas Qatar, mengatakan "Saya rasa tidak ada situasi lain semacam ini di zona konflik manapun".[83] Kementerian Urusan Luar Negeri Yordania menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengakhiri kekerasan Israel terhadap jurnalis.[84] Jeremy Scahill mengatakan Israel "membunuh para jurnalis Palestina secara sistematis".[85] Hadja Lahbib, menteri luar negeri Belgia, mengatakan jurnalis di Gaza perlu dilindungi.[86] Hassan Barari, seorang profesor studi internasional di Universitas Qatar, mengatakan, "Mereka menargetkan koresponden Al Jazeera hanya karena mereka ingin membungkamnya".[87] Anggota DPR AS Ilhan Omar mengkritik Pemerintahan Biden karena gagal mengatasi pembunuhan jurnalis Palestina oleh Israel di Jalur Gaza.[88] Mengomentari pernyataan oleh juru bicara senior IDF bahwa "tidak ada perbedaan" antara bekerja untuk jaringan media Al-Aqsa dan tergabung dengan sayap bersenjata Hamas, Adil Haque, seorang profesor hukum di Universitas Rutgers, mendeskripsikan gagasan yang dikemukakan oleh juru bicara tersebut "kesalahpahaman total atau hanya mengabaikan hukum internasional secara sengaja ... Jika seorang jurnalis bukan bagian dari sayap militer Hamas, jika mereka bukan pejuang menurut peran atau fungsi, maka mereka adalah warga sipil kecuali mereka ikut serta langsung dalam pertempuran." Haque menambahkan, "Sungguh mengejutkan mendengar anggota IDF secara terbuka dan publik mengungkapkan kebodohan mereka atau pengabaian mereka atas prinsip dasar ini."[89] IDF kemudian mengeluarkan pernyataan yang menjauhkan diri mereka dari komentar oleh juru bicara tersebut.[89] Pada Februari 2024, setelah serangan drone Israel yang melukai dengan parah beberapa koresponden Al Jazeera, juru bicara Menteri Luar Negeri AS mengatakan, "Kami terus terhubung dengan pemerintah Israel untuk memperjelas bahwa jurnalis harus dilindungi."[90] Dewan redaksi Financial Times menulis mengenai jurnalis Palestina di Gaza: "Peran para jurnalis pemberani menginformasikan dunia mengenai apa yang sedang terjadi menjadi semakin penting. Namun mereka juga menanggung penderitaan luar biasa dan kerugian besar."[91] Pada 29 Februari 2024, lebih dari 30 organisasi berita, beberapa di antaranya Associated Press, Agence France-Presse, dan Reuters membuat surat terbuka sebagai bentuk solidaritas kepada para jurnalis di Gaza.[92] Sekretaris jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, "Saya sangat prihatin dengan banyaknya jurnalis yang terbunuh dalam konflik ini."[93] Pada Agustus 2024, OHCHR mengutuk pembunuhan jurnalis Al Jazeera yaitu Ismail Al-Ghoul dan Rami Al-Rifi, menegaskan, "Para jurnalis Palestina memainkan peranan penting dalam menginformasikan dunia mengenai kondisi di Gaza, di mana Israel tidak memperbolehkan jurnalis internasional untuk masuk. Pembungkaman atas para jurnalis membuat kondisi memprihatinkan di Gaza menjadi tidak diketahui."[94] LebanonLebanon mengecam pembunuhan jurnalis Reuters yaitu Issam Abdallah, yang terbunuh semasa serangan artileri Israel yang menargetkan sekelompok wartawan. Setelah kematian Abdallah, angkatan bersenjata Lebanon melakukan penilaian di tempat, menegaskan bahwa Israel telah meluncurkan rudal yang membuat dia terbunuh.[95][96] Kementerian Luar Negeri Lebanon telah menginstruksikan misinya kepada PBB di Beirut untuk mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran nyata terhadap kebebasan berpendapat dan pers. Selain itu, Lebanon sedang bersiap untuk mengajukan pengaduan resmi kepada Dewan Keamanan PBB, menuduh Israel sengaja menyebabkan kematian Abdallah.[97][98] PalestinaAbu Omar, seorang jurnalis Al Jazeera terluka parah akibat serangan drone Israel di Rafah, menyatakan pada Februari 2024, "Kami akan melanjutkan liputan. Dan kami akan lanjut mendokumentasikan kejahatan Israel dan memperlihatkan penderitaan dan kekhawatiran rakyat kami di Jalur Gaza."[99] Wael Al-Dahdouh, yang kehilangan banyak anggota keluarganya dan dirinya sendiri terluka akibat serangan militer Israel, menyatakan, "Para jurnalis menghadapi pembantaian dan pertumpahan darah di Gaza" dan menyerukan "agar pembantaian ini dihentikan."[100][101] Motaz Azaiza menyatakan, "Israel tidak akan mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza dan membunuh mereka yang meliput di Gaza. Ini adalah upaya sengaja untuk mengaburkan narasi Palestina dan menghapuskan kebenaran."[102] Tareq Abu Azzoum, seorang koresponden Al Jazeera English di Gaza menyatakan, "Para jurnalis Palestina adalah pahlawan. Terkadang mereka kehilangan anggota keluarga mereka dan dalam waktu dekat mereka kembali berdiri di depan kamera hanya untuk satu tujuan: agar dunia tahu."[103] Berbicara kepada CNN, Abu Azzoum menyatakan para jurnalis "tidak seharusnya diserang".[104] IsraelMiliter Israel mengatakan mereka menggunakan tank dan tembakan artileri untuk mencegah potensi penyusupan dari Lebanon pada saat Issam Abdallah terbunuh. Mereka menyatakan bahwa tindakan mereka adalah respons dari tembakan Hizbullah di sepanjang perbatasan Israel–Lebanon, dan insiden tersebut saat ini sedang ditinjau.[95] Angkatan darat Israel juga memulai investigasi terhadap keadaan saat kematian Abdallah.[98] Pada 9 November, setelah sebuah artikel diterbitkan oleh HonestReporting, pejabat Israel berpendapat bahwa beberapa fotografer lepas Palestina yang telah mendokumentasikan serangan 7 Oktober secara real time pasti sudah tahu sebelumnya.[105][106] Outlet yang memperoleh foto-foto tersebut, antara lain AP, Reuters, CNN dan The New York Times, membantah telah menyusupkan para wartawan mereka ke kelompok penyerang atau mengetahui sesuatu apapun sebelum penyerangan terjadi.[106][105][107] Salah satu fotografer lepas, yang sebelumnya menerbitkan foto dirinya dicium di pipi oleh pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, kemudian diberhentikan oleh CNN dan AP.[106] Namun demikian, Anggota Knesset, Danny Danon berpendapat bahwa para jurnalis "yang terlibat dalam merekam penyerangan" harus "dieliminasi."[108] Gil Hoffman, direktur eksekutif HonestReporting, mengakui bahwa kelompok tersebut tidak mempunyai bukti untuk mendukung klaim mereka, dan bahwa mereka merasa puas dengan penjelasan jurnalis bahwa mereka tidak mengetahui tentang serangan itu sebelumnya.[109] Pada Februari 2024, Al Jazeera menyatakan, "Bahaya yang dihadapi jurnalis visual di Gaza telah diperkuat oleh upaya Israel untuk membenarkan penargetan mereka".[110] Badan pers internasionalKomite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) secara aktif menyelidiki semua kasus jurnalis yang terkena dampak—yang terbunuh, cedera, ditahan, atau menghilang—akibat konflik tersebut.[111] CPJ menyatakan ini adalah konflik paling mematikan bagi jurnalis dalam 30 tahun terakhir.[112] Mereka telah mendesak Israel untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap kematian jurnalis Palestina, Mohammad El-Salhi, mempublikasikan hasil investigasi, dan segera mengambil tindakan untuk menjamin keamanan awak media yang meliput konflik tersebut.[113] Presiden CPJ mengatakan pembunuhan jurnalis di Gaza "tampaknya telah diatur."[114] Reuters telah meminta Israel untuk melakukan investigasi yang komprehensif dan transparan terhadap keadaan saat kematian Abdallah.[95] Pada 1 November, Wartawan Tanpa Batas meminta Pengadilan Kriminal Internasional untuk memulai investigasi kejahatan perang prioritas terhadap kematian sembilan jurnalis.[115] RSF mencatat ada 41 jurnalis yang terbunuh selama bulan pertama terjadinya konflik, mengatakan banyak jurnalis dibunuh oleh Israel di rumah mereka.[116] Israel menyimpan catatan tempat dan kediaman semua orang di Gaza.[117] RSF mengklaim Israel menggunakan serangan yang ditargetkan untuk membunuh jurnalis di Gaza.[118] Direktur Democracy for the Arab World Now mengatakan jurnalis internasional dipandang oleh pemerintah Israel sebagai bias terhadap rakyat Palestina, dan akibatnya, tentara menganggap jurnalis sebagai "perwakilan dari musuh mereka" dan dengan demikian tidak ada hukuman untuk membunuh media.[119] Federasi Jurnalis Internasional mengatakan, "Saya rasa ini sekarang menjadi masalah kebebasan pers. Saya rasa kita harus mempertanyakan diri kita sendiri, 'Apa yang coba diraih [militer Israel]? Mengapa mereka tidak membiarkan jurnalis asing untuk masuk?'"[120] CJP mengatakan konflik tersebut adalah situasi paling berbahaya yang pernah dihadapi jurnalis.[121] Direktur CPJ di Timur Tengah mengatakan, "Rekor impunitas panjang Israel dalam pembunuhan jurnalis harus menghadapi pengawasan publik".[122] Pada 22 Desember, Wartawan Tanpa Batas mengajukan keluhan kepada Pengadilan Kriminal Internasional terkait pembunuhan tujuh jurnalis Palestina lagi, salah satunya Samer Abu Daqqa.[123] Pada 7 Januari 2024, CPJ menyatakan kematian Hamza Dahdouh dan Mustafa Thuraya harus diinvestigasi dan pembunuhnya harus dimintai pertanggungjawaban.[124] Pada 10 Januari 2024, Human Rights Watch, Freedom House, Knight First Amendment Institute at Columbia University, Komite untuk Perlindungan Jurnalis, dan Wartawan Tanpa Batas mengirimkan surat bersama kepada presiden AS Joe Biden, meminta kepada pemerintahannya untuk melakukan lebih banyak pencegahan serangan udara terhadap jurnalis.[125] Surat tersebut tertulis "laporan terpercaya...mengindikasikan bahwa serangan IDF di Lebanon selatan pada 13 Oktober yang membunuh jurnalis Reuters, Issam Abdallah...adalah tindakan melanggar hukum dan tampaknya disengaja."[126] Pada 25 Januari, International Press Institute mengatakan jumlah jurnalis yang terbunuh di Gaza merepresentasikan "pembunuhan terburuk yang telah kami catat di sebuah zona konflik sejak organisasi kami didirikan 75 tahun lalu".[127] Wartawan Tanpa Batas mengatakan pada 8 Februari, "Jurnalisme Palestina telah dihancurkan oleh pasukan bersenjata Israel dengan impunitas penuh".[128] Pada 29 Februari 2024, CPJ, Reuters, AP, AFP, The New York Times, The Guardian, Der Spiegel, Inquirer, Haaretz, Al-Araby Al-Jadeed, The Asahi Shimbun dan total 36 surat kabar terkemuka mengirimkan « Surat terbuka tentang jurnalis di Gaza » menentang pembunuhan yang sedang berlangsung, menyerukan kepada semua pihak untuk melindungi jurnalis dan hak untuk meliput.[129] Pada Juli 2024, National Union of Journalists mengutuk "pembunuhan setidaknya 117 jurnalis Palestina di Gaza sejak pecahnya perang."[130] Unjuk rasa dan rapat umumBerbagai jurnalis Pakistan berkumpul untuk rapat umum di Karachi untuk mengutuk apa yang mereka anggap sebagai serangan disengaja terhadap media di Gaza. Mereka meminta bantuan PBB untuk mengambil tindakan untuk menghentikan agresi Israel terhadap outlet media. Selama rapat umum, mereka memajang spanduk dan plakat secara mencolok yang menampilkan gambar-gambar jurnalis yang telah terbunuh dalam serangan udara Israel.[131] Jurnalis di lebih dari 100 negara, dan badan pers seperti Federasi Jurnalis Internasional, menetapkan 26 Februari 2024 sebagai Hari Internasional untuk Jurnalis Palestina.[132] Pada Agustus 2024, Melbourne Symphony Orchestra membatalkan penampilan Jayson Gillham setelah dia mendedikasikan karyanya kepada jurnalis yang terbunuh di Gaza.[133] PemakamanPemakaman untuk para jurnalis yang terbunuh dilakukan di negaranya masing-masing. Di Lebanon, sekelompok besar orang menghadiri pemakaman Issam Abdallah di kampung halamannya. Jasadnya dihiasi dengan bendera Lebanon dan dikirim dari kediaman keluarganya ke tempat pemakaman terdekat di kota Khiam yang ada di selatan.[97][98][134] Lihat jugaCatatanReferensi
Pranala luar |