Share to:

 

Pemikiran etis Agustinus

Agustinus

Pemikiran Agustinus dari Hippo memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan pemikiran kekristenan selanjutnya.[1] Teologi dan filosofi abad pertengahan berakar di dalam ide-ide Agustinus dari Hippo.[1]

Dasar Etika Agustinus

Dasar etika Agustinus adalah etika yang menekankan pentingnya kehendak bebas dan anugerah Allah sebagai dasar perbuatan etis manusia.[2] Menurut Agustinus, Allah mengetahui segala hal sebelum manusia bertindak.[2] Namun, hal itu bukan berarti segala sesuatu telah terjadi menurut takdirnya (takdir merupakan bentuk penolakan dari kamauan kehendak bebas).[2] Allah memang berkuasa, tetapi Allah tetap memperbolehkan manusia untuk berkehendak.[2]

Manusia tetap mempunyai kuasa untuk berkehendak bebas sama seperti Tuhan yang juga mempunyai kuasa dan kehendak.[3] Agustinus menyebutkan dua buah kehendak, yaitu kehendak bebas Allah dan kehendak bebas manusia.[3] Perbedaannya, kehendak manusia sering kali digunakan dengan cara yang salah, seperti melontarkan kata-kata kotor, kelancangan, dan fitnah.[3]

Tidak ada kejahatan di luar keinginan.[3] Allah sang pencipta menciptakan semuanya dengan baik. Agustinus menolak segala bentuk teologi dualisme metafisik. Allah sendiri yang menjadi sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik.[3] Menurut Agustinus, hal-hal yang jahat bukan diciptakan Allah.[3] Menurut Agustinus kejahatan ditemukan dalam keinginan ciptaan yang memiliki akal budi.[4] Dalam melakukan kejahatan setiap orang dibebaskan dari keadilan dan menjadi hamba dosa. Namun, tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari dosa dengan melakukan hal-hal yang baik.[4][butuh klarifikasi] Seseorang hanya dapat dibebaskan dan lepas dari yang jahat hanya melalui anugerah Allah.[4][butuh klarifikasi] Tanpa anugerah Allah, perbuatan baik yang mereka lakukan tidak ada artinya.[4][meragukan] Allah sendiri yang bekerja dalam diri manusia.[4] Allah yang memberi kesadaran kepada manusia mengapa manusia harus berbuat baik dan tidak berbuat jahat.[4]

Pandangan Agustinus mengenai kehendak bebas dan anugerah ini dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya.[4] Pada masa mudanya ia telah melukai hati ibunya dan hidup bersama dengan seorang perempuan yang tidak pernah dinikahinya.[4] Ia merasa berkali-kali jatuh ke dalam dosa.[4] Ia baru merasakan bebas dari hal-hal yang jahat setelah ia menerima anugerah Allah melalui pertobatannya.[4]

Dua Kota Allah

Konsepsi kehendak bebas dan anugerah Allah ini menjadi dasar bagi etika sosial Agustinus.[5] Konsepsi ini diekspresikan dalam bentuk yang matang dalam karyanya The City of God (Kota Allah).[5] Karya ini ditulis sebagai sebuah apologet dari Agustinus karena orang-orang Kristen dianggap membawa kehancuran bagi Roma.[5] Dalam buku ini, ia mengkritik ketidakadilan dan kebejatan moral orang-orang Roma yang belum Kristen.[5] Menurutnya kecintaan terhadap materi hanya merupakan ilusi.[5]

Agustinus membedakan kota Allah dan kota dunia.[5] Kota Allah berdasarkan cinta kepada Allah dan berujung pada kekekalan.[5] Kota dunia berdasarkan kepada cinta diri serta barang-barang yang dapat hancur dan berujung pada kebinasaan.[5] Menurut Agustinus, cinta yang paling bawah adalah cinta yang diarahkan kepada barang-barang yang dapat hancur.[5] Tingkatan selanjutnya adalah cinta kepada diri sendiri dan sesamanya.[5] Tingkatan yang terluhur adalah cinta kepada Allah.[5] Dalam cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada Allah, manusia menemukan pedoman bagi tindakannya.[5] Itulah sebabnya, Agustinus berkata, "Dilige et quod vis fac" (cintailah dan lakukan apa saja yang kamu kehendaki).[5]

Damai dan Keadilan

Menurut Agustinus, kedamaian adalah tujuan universal seluruh umat manusia.[3] Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kedamaian adalah tujuan dari perang, karena hakikat dasar dari kemenangan dalam perang adalah membawa manusia ke dalam kemuliaan dan kedamaian.[3] Namun, hal itu hanya merupakan bentuk pencarian kedamaian bagi diri sendiri atau kelompok tertentu saja.[3] Menurut Agustinus, yang merupakan norma moral bukanlah kedamaian seperti di atas, melainkan kedamaian yang dihubungkan dengan keadilan.[3] Kedamaian yang seperti ini hanya berasal dari Allah. Keadilan yang terdapat dalam diri manusia bersumber dari Allah.[3]

Namun, Agustinus bukanlah orang yang pasivis (anti perang).[3] Ia mengatakan bahwa perang diperbolehkan hanya sebagai jalan terakhir.[3] Perang diperbolehkan ketika bertahan terhadap serangan lawan dan melawan bidaah. Motivasi dalam berperang itu pun harus berlandaskan cinta kasih, belas kasih dan ketenangan.[3] Agustinus mengatakan bahwa perang boleh dilakukan atas otoritas seorang raja berdasarkan kepentingan rakyat.[3] Perang baginya merupakan suatu pengecualian dalam hal moral karena pembenaran dari perang tersebut hanya terdapat dari sang penyerang bukan dari yang diserang.[3]

Seksualitas Manusia

Pengajaran Agustinus tentang seksualitas dipengaruhi pengalaman hidupnya.[3] Menurut Agustinus, manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya.[3] Agustinus sendiri telah merasakan bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertobat.[3] Ia tidak mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bermoral.[3] Namun ia mengutuk hubungan seksual untuk tujuan apapun selain prokreasi. Ia menolak hubungan seksual di luar masa subur. Menuruti nafsu seksual dianggap sebagai pemberontakan terhadap Allah.[3]

Pandangan Agustinus terhadap Kekayaan

Menurut Agustinus, kekayaan bukanlah kejahatan.[3] Kekayaan juga merupakan ciptaan Allah yang baik adanya.[3] Namun, manusia -dengan kehendaknya- menyalahgunakan kekayaan tersebut.[3] Beberapa orang bahkan ada yang menyembah Allah hanya untuk mendapatkan kekayaan.[3] Padahal seharusnya kekayaan itu yang dipergunakan untuk memuliakan Allah.[3]

Referensi

  1. ^ a b Chedwick, Henry. Agustine. 1986. New York: Oxford University Press.
  2. ^ a b c d Gill,Robin. 1985. A Textbook Of Christian Ethics. Edinburg: T&T Clark Limited.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Wogaman, J. Philip. 1994. Christian Ethics: A Historical Introduction. London: SPCK. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Wogaman" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b c d e f g h i j Forell, George Wolfgang. 1979. History Of Christian Ethics, Minneapolis. Augsburg Publishing.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Tjahjadi, Simon Petrus L., 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta. Kanisius.

Topik berhubungan

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya