Share to:

 

Pengeboman Tokyo 10 Maret 1945

Pada malam 9 atau 10 Maret 1945, Angkatan Udara Amerika Serikat (United States Army Air Forces, USAAF) melakukan serangan bom api di ibu kota Jepang, Tokyo. Serangan ini diberi nama sandi Operasi Meetinghouse oleh USAAF dan dikenal dengan Serangan Udara Tokyo Raya di Jepang.[1] Bom yang dijatuhkan dari 279 pesawat pengebom berat Boeing B-29 Superfortress membakar sebagian besar wilayah timur Tokyo. Lebih dari 90 ribu atau boleh jadi lebih dari 100 ribu orang Jepang tewas−kebanyakan di antaranya adalah warga sipil−dan sejuta orang kehilangan rumahnya, sehingga pengeboman ini menjadi serangan udara paling merusak dalam sejarah manusia. Sebagian besar pertahanan udara dan sipil Jepang terbukti tidak memadai, sementara 14 pesawat Amerika Serikat dan 96 penerbang hilang.

Serangan di Tokyo merupakan kelanjutan dari serangan udara di Jepang yang bermula pada Juni 1944. Sebelum operasi ini, USAAF telah berfokus kepada kampanye pengeboman terukur melawan fasilitas industri Jepang. Serangan ini umumnya tidak berhasil, yang bersumbangsih terhadap keputusan untuk beralih ke pengeboman api. Operasi pada dini hari 10 Maret adalah serangan bom api besar pertama terhadap sebuah kota di Jepang dan unit USAAF menggunakan taktik yang sangat berbeda dari yang digunakan dalam serangan terukur, termasuk pengeboman pada malam hari dengan pesawat yang terbang dengan ketinggian rendah. Kehancuran meluas yang disebabkan oleh serangan itu menyebabkan taktik ini menjadi acuan bagi B-29 USAAF hingga akhir perang.

Perdebatan mengenai moralitas pengeboman di Tokyo 10 Maret telah berlangsung sejak lama. Serangan ini sering disebut sebagai contoh kunci dalam kritik terhadap kampanye pengeboman strategis Sekutu. Banyak sejarawan dan komentator berpendapat bahwa sasaran warga sipil dengan sengaja oleh USAAF tidak dapat diterima, manakala sejarawan lain menyatakan bahwa USAAF tidak memiliki pilihan selain mengubah ke taktik pengeboman kawasan mengingat kampanye pengeboman terukur telah gagal. Secara umum diakui bahwa taktik yang digunakan dalam menyerang Tokyo dan serangan serupa berikutnya berhasil secara militer. Serangan itu diabadikan lewat beberapa tugu peringatan dan sebuah museum yang dikelola swasta.

Latar belakang

Doktrin USAAF sebelum perang menekankan pada pengeboman terukur terhadap fasilitas industri utama lewat pengeboman wilayah suatu kota. Serangan pengeboman strategis awal Amerika Serikat di Jerman menggunakan taktik terukur dengan awak pengebom berusaha mengidentifikasi sasaran mereka secara visual. Dalam praktiknya, cara ini terbukti sulit dilakukan. Selama 20 bulan terakhir dalam perang di Eropa, serangan nonvisual menyumbang sekitar setengah dari kampanye pengeboman strategis Amerika Serikat melawan Jerman. Serangan ini termasuk serangan pengeboman wilayah yang utama di Berlin dan Dresden, serta serangan di beberapa kota yang dilakukan sebagai bagian dari Operasi Clarion.[2] Serangan Amerika Serikat terhadap Jerman umumnya menggunakan bom berdaya ledak tinggi, dengan bom pembakar menyumbang hanya 14 persen dari bom yang dijatuhkan oleh Angkatan Udara Kedelapan.[3] Komando Pengebom Inggris berfokus kepada penghancuran kota-kota di Jerman sejak awal 1942 hingga akhir perang dan bom pembakar menyumbang 21 persen dari berton-ton bom yang dijatuhkan oleh pesawat.[4] Pengeboman wilayah terhadap kota-kota di Jerman oleh pasukan Sekutu berujung tewasnya ratusan ribu warga sipil dan badai api besar-besaran di kota seperti Hamburg dan Dresden.[5]

Foto hitam putih pengebom pada zaman Perang Dunia II yang sedang meluncurkan bom. Bom itu jatuh dengan pola tersebar.
Sebuah pesawat B-29 menjatuhkan bom konvensional di Jepang. Bom itu terpengaruh oleh angin, kejadian umum yang membuat pengeboman terukur menjadi sulit.

Pasukan Jepang melakukan serangan pengeboman kawasan di kota-kota di Cina selama perang.[6] Beberapa upaya dilakukan untuk menyasar fasilitas industri dengan tujuan kampanye untuk meneror warga sipil dan memutus sumber dari pasukan Tiongkok. Ibu kota sementara Tiongkok, Chongqing, sering diserang oleh pesawat yang menggunakan bom pembakar dan bom berpeledak tinggi. Serangan ini menghancurkan sebagian besar kota.[7]

Serangan Doolittle oleh Amerika Serikat pada 18 April 1942 adalah serangan udara pertama di Tokyo, tetapi hanya menimbulkan kerusakan kecil di sana.[8] Pada Juni 1944, XX Bomber Command USAAF memulai kampanye melawan Jepang dengan pengebom B-29 Superfortress yang terbang dari lapangan udara di Tiongkok. Tokyo berada di luar jangkauan B-29 Superfortress yang beroperasi di Tiongkok sehingga tidak diserang.[9] Keadaan ini berubah pada Oktober 1944, ketika B-29 XXI Bomber Command mulai berpindah ke lapangan udara di Kepulauan Mariana. Kepulauan ini cukup dekat dengan Jepang, sehingga B-29 dapat melakukan kampanye pengeboman berkelanjutan terhadap Tokyo dan sebagian besar kota-kota lainnya di Jepang.[9] penerbangan Superfortress pertama di Jepang terjadi pada 1 November, ketika sebuah pesawat intai mengambil gambar fasilitas industri dan kawasan perkotaan di distrik barat Tokyo.[10][11] Kawasan lainnya diambil gambarnya dalam penerbangan pengintaian berikutnya. Gambar-gambar ini digunakan untuk merencanakan serangan pada 10 Maret dan serangan lainnya di kawasan perkotaan.[12]

Rencana keseluruhan bagi kampanye pengeboman strategis terhadap Jepang ditentukan bahwa kampanye itu akan dimulai dengan serangan bom terukur terhadap fasilitas industri kunci dan kemudian termasuklah serangan pengeboman api di banyak kota.[13] Arahan sasaran pertama yang dikeluarkan untuk XXI Bomber Command oleh unit induknya, Angkatan Udara Kedua Puluh, pada 11 November 1944 menetapkan bahwa sasaran utama adalah pabrik pesawat dan mesin penerbangan Jepang. Sasaran ini akan diserang dengan pengeboman terukur. Kota=kota di Jepang ditetapkan sebagai sasaran sekunder, dengan pengeboman wilayah diizinkan untuk digunakan terhadap kota-kota itu. Perintah itu juga menunjukkan bahwa kemungkinan besar serangan pengeboman api dilakukan terjadap kota-kota untuk menguji keefektifan taktik ini.[14] Angkatan Udara Kedua Puluh memiliki struktur komando yang tidak biasa karena dipimpin secara pribadi oleh Jenderal Henry H. Arnold, komandan militer USAAF.[15]

Serangan B-29 di Tokyo dimulai pada 24 November. Serangan pertama menyasar pabrik mesin pesawat di pinggiran Tokyo dan menyebabkan kerusakan yang kecil.[9] Serangan selanjutnya oleh XXI Bomber Command di Tokyo dan kota-kota lain umumnya menggunakan taktik pengeboman terukur dan bom berdaya ledak tinggi. Serangan tersebut seringkali tidak berhasil karena keadaan cuaca buruk dan berbagai masalah mekanis yang memengaruhi pesawat B-29.[9] Kegagalan ini menyebabkan kepala XXI Bomber Command dibebastugaskan pada Januari 1945 dan digantikan oleh Komandan XX Bomber Command, Mayor Jenderal Curtis LeMay.[9] Henry dan markas Angkatan Udara Kedua Puluh menganggap kampanye melawan Jepang hingga saat itu tidak berhasil dan Curtis memahami bahwa ia juga akan merasa lega jika gagal memberikan hasil. Curtis meyakini bahwa mengganti penekanan dari pengeboman terukur ke pengeboman wilayah adalah pilihan yang paling menjanjikan untuk membalikkan kinerja XXI Bomber Command.[16]

Persiapan

Serangan pembakar awal ke Jepang

Perencana USAAF mulai menilai kelayakan kampanye pengeboman api terhadap kota-kota di Jepang pada tahun 1943. Fasilitas industri utama Jepang rentan terhadap serangan itu karena terkonsetrasi di beberapa kota-kota besar dan sebagian besar produksi berlangsung di rumah-rumah dan pabrik-pabrik kecil di kawasan perkotaan. Para perencana memperkirakan bahwa serangan bom pembakar di enam kota terbesar Jepang dapat menyebabkan kerusakan fisik sebesar hampir 40 persen dari fasilitas industri dan mengakibatkan hilangnya 7,6 juta bulan orang kerja. Diperkirakan juga bahwa serangan ini akan membunuh lebih dari 500 ribu orang, sehingga menyebabkan 7,75 juta orang kehilangan tempat tinggal dan memaksa hampir 3,5 juta orang untuk dievakuasi.[17][18] Rencana serangan pengeboman strategis terhadap Jepang yang dikembangkan pada tahun 1943 menyebutkan bahwa serangan tersebut akan menjadi pergantian dari fokus terhadap pengeboman terukur terhadap sasaran berupa industri ke pengeboman wilayah dari sekitar paruh awal kampanye, yang diperkirakan terjadi pada Maret 1945.[19]

Color photograph of two rusty tubes in a museum case
Dua bom pembakar M69 yang dipajang di Museum Sejarah Prefektur Niigata

Persiapan untuk serangan pengeboman api terhadap Jepang telah dimulai jauh sebelum Maret 1945. Pada tahun 1943, USAAF menguji keefektifan bom pembakar pada kompleks bangunan dalam negeri bergaya Jerman dan Jepang yang berdampingan di Dugway Proving Ground.[20][21] Uji coba ini menunjukkan bahwa pembakar M69 sangat efektif untuk memulai kebakaran yang tak terkendali. Senjata-senjata ini dijatuhkan dari pesawat B-29 secara bertandan, dan menggunakan napalm sebagai pengisi pembakar. Setelah bom menghunjam bumi, sumbu memicu muatan yang pertama-tama menyemburkan napalm dari senjata dan kemudian menyalakannya.[22] Sebelum Maret 1945, tumpukan bom pembakar ditumpuk di Kepulauan Mariana. Tumpukan itu diakumulasikan berdasarkan rencana XXI Bomber Command yang menetapkan bahwa setiap pesawat B-29 akan membawa 4 ton pendek (3,6 t) senjata dalam 40 persen dari serangan mendadak mereka secara bulanan.[23] Henry dan Staf Angkatan Udara ingin menunggu untuk menggunakan pembakar hingga program pengeboman api berskala besar dapat dilaksanakan untuk menghantam pertahanan kota di Jepang.[24]

Beberapa serangan dilakukan untuk menguji keefektifan pengeboman terhadap kota-kota Jepang. Sebuah serangan dengan bom pembakar kecil dilakukan di Tokyo pada malam 29/30 November 1944, tetapi mengakibatkan sedikit kerusakan. Bom pembakar juga digunakan sebagai bagian dari beberapa serangan lainnya.[25] Pada 18 Desember, 84 pesawat XX Bomber Command B-29 melakukan serangan pembakar di Hankou, Tiongkok, yang menyebabkan kerusakan parah.[26] Pada hari yang sama, Angkatan Udara Kedua Puluh mengarahkan XXI Bomber Command untuk mengirimkan 100 pesawat B-29 dalam serangan bom api di Nagoya. Serangan awal ini terjadi pada 22 Desember yang diarahkan ke sebuah pabrik pesawat dan melibatkan 78 pengebom menggunakan taktik pengeboman terukur. Beberapa bom pembakar mendarat di daerah sasaran.[25] Pada 3 Januari, 97 pesawat Superfortress dikirim untuk mengebom Nagoya dengan bom api. Serangan ini memicu beberapa kebakaran yang segera dikendalikan oleh petugas pemadam kebakaran. Keberhasilan dalam melawan serangan itu membuat pihak berwenang Jepang menjadi terlalu percaya diri tentang kemampuan mereka untuk melindungi kota dari serangan pembakar.[27] Serangan bom api berikutnya ditujukanterhadap Kobe pada 4 Februari dan bom yang dijatuhkan dari 69 pesawat B-29 memicu kebakaran yang menghancurkan atau merusak 1.039 bangunan.[28]

Pada 19 Februari, Angkatan Udara Kedua Puluh mengeluarkan arah sasaran baru bagi XXI Bomber Command. Sementara industri penerbangan Jepang tetap menjadi sasaran utama, arahan tersebut menempatkan penekanan yang lebih kuat kepada serangan bom api di kota-kota Jepang.[29] Arahan itu juga menyebutkan serangan pembakar percobaan skala besar sesegera mungkin.[30] Serangan ini dilakukan di Tokyo pada 25 Februari. Sebanyak 231 pesawat B-29 dikirim, 172 pesawat di antaranya tiba di Tokyo; ini adalah serangan terbesar XXI Bomber Command hingga saat itu. Serangan itu dilakukan pada siang hari dengan pengebom terbang dalam formasi di ketinggian. Pengeboman ini menyebabkan kerusakan parah dengan hampir 28 ribu bangunan hancur. Serangan ini adalah serangan paling merusak yang pernah dilakukan di Jepang dan Curtis dan Angkatan Udara Kedua Puluh menilai bahwa itu menunjukkan bahwa pengeboman skala besar adalah taktik yang efektif.[31][32]

Kegagalan serangan bom terukur di sebuah pabrik pesawat di Tokyo pada 4 Maret menandai berakhirnya periode ketika XXI Bomber Command utamanya melakukan serangan seperti itu.[33] Korban sipil semasa operasi ini cenderung rendah, misalnya semua serangan di Tokyo sebelum 10 Maret menyebabkan 1.292 jiwa tewas di kota itu.[34][35]

Persiapan menyerang Tokyo

Pada awal Maret, Curtis menilai bahwa pengeboman terukur lebih lanjut terhadap sasaran industri Jepang tidak mungkin berhasil karena keadaan cuaca di negara ini. Rata-rata hanya adalah tujuh hari ketika langit cerah setiap bulan, dan arus jet yang intens menjadikannya sulit mengarahkan bom dari ketinggian. Karena kendala ini, Curtis memutuskan untuk memfokuskan serangan XXI Bomber Command di kota-kota Jepang.[36] Meskipun ia membuat keputusan ini atas inisiatifnya sendiri, petunjuk umum yang dikeluarkan untuk Curtis mengizinkan operasi seperti itu.[37] Pada 5 Maret, personel XXI Bomber Command diberi tahu bahwa tiada serangan besar lebih lanjut yang akan dijadwalkan hingga 9 Maret. Selama periode ini, staf Curtis menyelesaikan rencana penyerangan ke Tokyo.[38] Dalam pertemuan pada 7 Maret, Curtis setuju untuk melakukan serangkaian serangan intens terhadap sasaran di pulau Honshu antara 9 dan 22 Maret sebagai bagian dari persiapan invasi Okinawa pada 1 April.[39]

Curtis memutuskan untuk mengadopsi taktik yang sangat berbeda dalam kampanye ini. Analisis oleh staf XXI Bomber Command terhadap serangan 25 Februari menyimpulkan bahwa bom pembakar telah dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu tinggi dan serangan di tingkat yang lebih rendah akan meningkatkan ketepatan dan memungkinkan pesawat B-29 untuk membawa lebih banyak bom.[Note 1] Analisis ini juga akan mengekspos mereka ke pertahanan udara Jepang, tetapi Curtis menilai taktik pengendalian tembakan Jepang yang buruk berarti risiko tambahannya sedang.[41]

Karena keadaan cuaca di Jepang cenderung lebih baik pada malam hari dan sistem LORAN yang digunakan pesawat B-29 untuk navigasi lebih efektif setelah senja, diputuskan juga untuk melakukan serangan pada malam hari.[42] Hal ini menyebabkan keputusan untuk mengarahkan pesawat menyerang secara sendiri-sendiri daripada dalam formasi karena pesawat B-29 tidak mungkin tetap berada di stasiun pada malam hari. Terbang sendiri-sendiri juga akan mengurangi pemakaian bahan bakar karena pilot tidak perlu terus-menerus menyesuaikan mesin mereka untuk tetap dalam formasi. Penghematan bahan bakar ini memungkinkan Superfortress membawa muatan bom dua kali lipat dari biasanya.[43] Intelijen USAAF telah menentukan bahwa Jepang hanya memiliki dua unit pesawat tempur malam dan ini diyakini hanya menimbulkan sedikit ancaman. Hasilnya, Curtis memutuskan untuk menghilangkan semua senjata pesawat B-29 selain yang ada di bagian belakang pesawat untuk mengurangi berat pesawat dan selanjutnya meningkatkan berat bom yang bisa mereka bawa.[42][44][45] Sementara Curtis membuat keputusan akhir untuk mengadopsi taktik baru, ia mengakui bahwa rencananya itu adalah gabungan gagasan-gagasan yang diajukan oleh banyak perwira.[46] Pada 7 Maret, beberapa awak pesawat B-29 melakukan misi pelatihan ketika mereka berlatih menggunakan radar untuk menavigasi dan menyerang sasaran dari ketinggian rendah. Para penerbang tidak diberitahu tujuan dari pelatihan ini.[47]

Para perwira yang menjadi komandan di tiga sayap terbang XXI Bomber Command setuju dengan taktik baru tersebut, tetapi terdapat kekhawatiran bahwa hal itu dapat mengakibatkan banyak korban jiwa.[42] Kekhawatiran ini dirasakan oleh beberapa staf Curtis. Pegawai intelijen XXI Bomber Command memperkirakan bahwa 70 persen pengebom dapat dihancurkan.[48] Curtis berkonsultasi dengan kepala staf Henry, Brigadir Jenderal Lauris Norstad tentang taktik baru tersebut, tetapi tidak secara resmi meminta persetujuan untuk mengadopsinya. Ia kemudian membenarkan tindakan ini dengan alasan ia ingin melindungi Henry dari kesalahan seandainya serangan itu gagal.[44] Curtis memberi tahu markas besar Angkatan Udara Kedua Puluh tentang taktik yang dimaksudkannya pada 8 Maret, hari ketika dia tahu Henry dan Lauris akan absen. Tidak ada bukti bahwa Curtis berharap Angkatan Udara Kedua Puluh akan keberatan dengan pengeboman wilayah sipil, tetapi ia mungkin khawatir bahwa taktik baru tersebut terlalu berisiko.[49]

Pertahanan Jepang

Militer Jepang mengantisipasi bahwa USAAF akan melakukan serangan malam besar di wilayah Tokyo. Setelah beberapa serangan malam kecil dilakukan di wilayah tersebut selama bulan Desember 1944 dan Januari 1945, Divisi Udara ke-10 Angkatan Udara Kekaisaran Jepang, yang bertanggung jawab untuk mencegat serangan di wilayah Kantō, lebih menekankan pada pelatihan pilot untuk beroperasi di malam hari. Salah satu resimen terbang divisi (Resimen Udara ke-53) juga diubah menjadi unit tempur malam khusus.[50] Pada malam 3/4 Maret, militer Jepang mencegat sinyal radio Amerika yang menandakan bahwa XXI Bomber Command sedang melakukan latihan penerbangan malam besar. Ini ditafsirkan bahwa pasukan sedang bersiap untuk memulai serangan malam skala besar di Jepang.[51] Namun, Jepang tidak mengharapkan Amerika Serikat untuk mengubah taktik pengeboman ketinggian rendah.[52]

The military forces assigned to protect Tokyo were insufficient to stop a major raid. Sektor Pertahanan Udara Kanto dari Angkatan Darat Distrik Timur bertanggung jawab atas pertahanan udara di wilayah Tokyo, dan mendapat keutamaan tertinggi untuk pesawat terbang dan senjata pertahanan udara.[53][Note 2] Divisi Pertahanan Udara Pertama mengendalikan senjata pertahanan udara yang ditempatkan di pusat wilayah Honshu, termasuk Tokyo. Divisi ini terdiri dari delapan resimen dengan total 780 senjata pertahanan udara serta resimen yang dilengkapi dengan lampu sorot.[55] Intelijen militer Amerika memperkirakan bahwa 331 senjata pertahanan udara berat dan 307 senjata pertahanan udara ringan dan berat telah dialokasikan untuk pertahanan Tokyo pada saat penyerbuan.[56] Sebuah jaringan kapal piket, stasiun radar dan pos pengintai bertanggung jawab untuk mendeteksi serangan yang masuk.[57] Karena kekurangan radar dan peralatan kendali tembakan lainnya, penembak pertahanan udara Jepang merasa sulit untuk menyasar pesawat yang beroperasi pada malam hari.[58] Stasiun radar memiliki jarak pendek dan peralatan kendali tembakan untuk baterai pertahanan udara tidak canggih.[59] Hingga Maret 1945, sebagian besar dari 210 pesawat tempur Divisi Udara ke-10 adalah pesawat tempur siang hari, dengan Resimen Udara ke-53 mengoperasikan 25 atau 26 pesawat tempur malam.[60] Resimen itu mengalami kesulitan untuk beralih ke peran petarung malam, termasuk program pelatihan yang terlalu intensif yang membuat pilotnya lelah.[61]

Pertahanan sipil Tokyo juga mengalami kekurangan. Dinas pemadam kebakaran Tokyo terdiri dari sekitar 8.000 petugas pemadam kebakaran yang tersebar di antara 287 balai pemadam kebakaran, tetapi mereka hanya memiliki sedikit peralatan pemadam kebakaran modern.[62] Taktik pemadam kebakaran yang digunakan oleh pemadam kebakaran tidak efektif terhadap bom pembakar.[63] Warga sipil telah diatur menjadi lebih dari 140.000 persatuan pemadam kebakaran lingkungan dengan kekuatan nominal 2,75 juta orang, tetapi ini juga tidak lengkap.[63] Peralatan dasar yang dikeluarkan untuk asosiasi pemadam kebakaran tidak mampu memadamkan api yang dimulai oleh M69.[63] Beberapa perlindungan serangan udara telah dibangun, meskipun sebagian besar rumah tangga menggali lubang perlindungan untuk berlindung di dekat rumah mereka.[64] Penghenti api telah dibuat di seluruh kota dalam upaya untuk menghentikan penyebaran api; lebih dari 200.000 rumah hancur sebagai bagian dari upaya ini. Puing-puing sering tidak dibersihkan dari sekat bakar, yang menjadi sumber bahan bakar. Pemerintah Jepang juga mendorong anak-anak dan warga sipil dengan pekerjaan tidak penting untuk mengungsi dari Tokyo, dan 1,7 juta orang telah meninggalkan Tokyo pada Maret 1945. Namun, banyak warga sipil lainnya telah pindah ke Tokyo dari daerah pedesaan yang miskin selama periode yang sama.[65]

Serangan

Black and white map of Tokyo shaded with the areas of the city which were destroyed in different air raids
Peta yang menunjukkan wilayah Tokyo yang hancur selama Perang Dunia II. Wilayah yang terbakar saat serangan pada 9/10 Maret ditandai dengan warna hitam.

Keberangkatan

Pada 8 Maret, Curtis mengeluarkan perintah untuk serangan bom api besar-besaran di Tokyo malam berikutnya.[66] Serangan itu menyasar kawasan persegi panjang di timur laut Tokyo yang ditunjuk sebagai Zona I oleh USAAF yang berukuran sekitar 4 mil (6,4 km) kali 3 mil (4,8 km). Daerah ini dibagi oleh Sungai Sumida, dan termasuk sebagian besar Kawasan Asakusa, Honjo dan Fukagawa.[67] Bangsal ini merupakan bagian dari distrik Shitamachi yang didefinisikan secara informal di Tokyo, yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang kelas pekerja dan perajin.[68] Dengan penduduk sekitar 1,1 juta jiwa, kota ini adalah salah satu daerah perkotaan terpadat di dunia.[69] Zona I berisi beberapa fasilitas industri yang signifikan secara militer, meskipun ada banyak pabrik kecil yang memasok industri perang Jepang. Daerah tersebut sangat rentan terhadap pengeboman, karena sebagian besar bangunan dibuat dari kayu dan bambu dan jaraknya berdekatan.[52] Karena kerentanan ini, ia menderita kerusakan parah dan banyak korban jiwa akibat kebakaran yang disebabkan oleh Gempa Besar Kantō 1923. Badan intelijen Amerika Serikat menyadari betapa rentannya wilayah itu terhadap kebakaran, dengan Kantor Layanan Strategis menilai itu sebagai berisi distrik yang paling mudah terbakar di Tokyo.[70]

Perintah serangan yang dikeluarkan untuk awak pesawat B-29 menyatakan bahwa tujuan utama penyerangan adalah untuk menghancurkan banyak pabrik kecil yang terletak di dalam wilayah sasaram, tetapi juga dicatat bahwa hal itu dimaksudkan untuk menimbulkan korban sipil sebagai alat untuk mengganggu produksi. di fasilitas industri utama.[71] Masing-masing dari tiga sayap XXI Bomber Command memiliki ketinggian yang berbeda untuk dibom, dalam jarak antara 5.000 kaki (1.500 m) and 7.000 kaki (2.100 m). Ketinggian ini dianggap terlalu tinggi untuk dicapai oleh senjata pertahanan udara ringan Jepang, dan di bawah jangkauan efektif senjata pertahanan udara berat.[56]

Curtis tidak dapat memimpin serangan secara langsung karena ia dilarang menempatkan dirinya dalam situasi ketika ia dapat ditangkap setelah diberi pengarahan tentang pengembangan bom atom.[44] Sebaliknya, serangan itu dipimpin oleh komandan Sayap Pengeboman ke-314, Brigadir Jenderal Thomas S. Power.[72] Curtis menganggap Thomas sebagai perwira komandan sayap terbaik.[73] Taktik baru yang akan digunakan dalam operasi tersebut tidak diterima dengan baik oleh banyak penerbang, yang percaya bahwa lebih aman untuk mengebom dari ketinggian dan lebih suka mempertahankan senjata pertahanan mereka.[45] Meninggalkan penembak yang tidak dibutuhkan juga mengganggu banyak penerbang, karena awak pengebom biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat.[74]

Dalam persiapan penyerangan, staf pemeliharaan XXI Bomber Command bekerja secara intensif selama 36 jam untuk menyiapkan sebanyak mungkin pesawat. Upaya ini terbukti berhasil, dan 83 persen B-29 tersedia untuk tindakan dibandingkan dengan tingkat kemampuan servis rata-rata 60 persen. Awak darat lainnya mengisi pesawat dengan bom dan bahan bakar.[75] Sebanyak 346 B-29 telah disiapkan. Wing Bombardment ke-73 menyumbangkan 169 B-29 dan Bombardment Wing ke-313 121; kedua unit itu didasarkan pada Saipan. Pada saat penyerbuan, Wing Bombardment ke-314 tiba di Guam di Kepulauan Mariana, dan hanya mampu menyediakan 56 B-29.[44] B-29 di skuadron yang dijadwalkan tiba di Tokyo pertama kali dipersenjatai dengan bom M47; senjata ini menggunakan napalm dan mampu menyalakan api yang membutuhkan peralatan pemadam kebakaran mekanis untuk dikendalikan. Para pengebom di unit lain memuat kelompok M69.[66] Superfortress Bomb Wings ke-73 dan Superfortress Bomb Wings ke-313 masing-masing diisi dengan 7 ton pendek (6,4 t). Karena B-29 dari Sayap Pengeboman ke-314 harus terbang lebih jauh, mereka masing-masing membawa 5 ton pendek (4,5 t) bom.[56]

Pasukan penyerang mulai meninggalkan pangkalannya pada 17.35 9 Maret waktu setempat. Butuh dua dan tiga seperempat jam untuk semua 325 B-29 yang dikirim lepas landas.[52][56] Turbulensi terjadi dalam penerbangan ke Jepang, tetapi cuaca di Tokyo bagus. Ada sedikit tutupan awan, dan jarak pandangnya bagus untuk awak bomber pertama yang tiba di Tokyo; mereka dapat melihat dengan jelas sejauh 10 mil (16 km).[52] Kondisi di darat dingin dan berangin, dengan kota mengalami hembusan antara 45 mil per jam (72 km/h) dan 67 mil per jam (108 km/h) bertiup dari tenggara.[76][77]

Pesawat B-29 pertama di Tokyo adalah empat pesawat yang ditugaskan untuk memandu yang lain masuk. Benteng Super ini tiba di atas kota tidak lama sebelum tengah malam pada tanggal 9 Maret. Mereka membawa bahan bakar tambahan, radio tambahan, dan operator radio terbaik XXI Bomber Command alih-alih bom, dan mengitari Tokyo di ketinggian 25.000 kaki (7.600 m) selama serangan. Taktik ini terbukti tidak berhasil, dan kemudian dianggap tidak perlu.[78]

Di Tokyo

Serangan di Tokyo dimulai pada 12.08 10 Maret waktu setempat.[79] Pengebom pemandu militer secara bersamaan mendekati kawasan sasaran dengan sudut siku-siku satu sama lain. Pengebom ini diawaki oleh awak terbaik 73rd Bombardment Wings dan 313th Bombardment Wings.[3] Bom M47 mereka dengan cepat mulai menembak dalam bentuk X, yang digunakan untuk mengarahkan serangan selama sisa pasukan. Masing-masing sayap XXI Bomber Command dan kelompok bawahan mereka telah diberi pengarahan untuk menyerang daerah yang berbeda dalam bentuk X untuk memastikan bahwa serangan itu menyebabkan kerusakan yang meluas.[80] Saat api meluas, pengebom Amerika menyebar untuk menyerang bagian yang tidak terkena dampak dari kawasan sasaran.[52] Pesawat B-29 Thomas mengitari Tokyo selama 90 menit, dengan tim kartografer yang ditugaskan untuk memetakan penyebaran api.[81]

Gambar pengintaian USAAF di Tokyo yang diambil pada 10 Maret 1945. Bagian dari wilayah yang dihancurkan oleh serangan itu terlihat di bagian bawah gambar.

Serangan itu berlangsung kira-kira 2 jam 40 menit.[82] Jarak pandang ke Tokyo menurun selama penyerbuan karena asap luas di atas kota. Hal ini menyebabkan beberapa pesawat Amerika mengebom sebagian Tokyo di luar area target. Panas dari kebakaran juga mengakibatkan gelombang terakhir pesawat mengalami turbulensi yang hebat.[56] Beberapa penerbang Amerika juga perlu menggunakan masker oksigen saat bau daging yang terbakar memasuki pesawat mereka.[83] Sebanyak 279 B-29 menyerang Tokyo, menjatuhkan 1.665 ton pendek (1.510 t) bom. 19 Superfortress lainnya yang tidak dapat mencapai Tokyo mencapai target peluang atau target pilihan terakhir.[84] Pesawat ini berbalik lebih awal karena masalah mekanis atau pilot memutuskan untuk membatalkan misi utama karena mereka takut dibunuh.[85]

Pasukan pertahanan Tokyo berharap adanya serangan, tetapi tidak mendeteksi pasukan Amerika sampai tiba di atas kota. Satuan pertahanan udara di daerah Dataran Kanto telah disiagakan, namun satuan petarung malam diperintahkan untuk tidak menderu-deru pesawat apapun sampai penyerbuan yang masuk terdeteksi. [86] Sementara perahu piket melihat kekuatan penyerang, penerimaan radio yang buruk membuat sebagian besar laporan mereka tidak diterima. Karena kekacauan dalam komando pertahanan, hanya sedikit tindakan yang diambil atas laporan yang tersebar yang datang dari perahu.[76] Sekitar tengah malam pada tanggal 9 Maret sejumlah kecil B-29 terdeteksi di dekat Katsuura, tetapi dianggap melakukan penerbangan pengintaian. Penampakan berikutnya dari B-29 yang terbang pada level rendah tidak dianggap serius, dan stasiun radar Jepang berfokus pada pencarian pesawat Amerika yang beroperasi di ketinggian biasa mereka.[87] Alarm pertama bahwa penyerbuan sedang berlangsung dikeluarkan pada pukul 12.15, tepat setelah B-29 mulai menjatuhkan bom di Tokyo.[79] Divisi Udara ke-10 mengumpulkan semua pencegat malam yang tersedia, dan unit lampu sorot dan pertahanan udara dari Divisi Pertahanan Udara ke-1 mulai beraksi.[87]

Seperti yang diharapkan oleh Curtis, pertahanan Tokyo tidak efektif. Banyak unit Amerika menghadapi tembakan pertahanan udara yang cukup besar, tetapi umumnya ditujukan pada ketinggian di atas atau di bawah pengebom dan intensitasnya berkurang seiring waktu karena posisi senjata diliputi oleh api.[88] Namun demikian, penembak Jepang menembak jatuh 12 B-29. 42 lainnya rusak, dua di antaranya harus dihapuskan.[89] Pejuang Jepang tidak efektif; pilot mereka tidak menerima panduan dari stasiun radar dan upaya dari penembak pertahanan udara dan unit tempur tidak terkoordinasi.[90] Tidak ada B-29 yang ditembak jatuh oleh pesawat tempur, dan penerbang Amerika melaporkan hanya 76 penampakan pesawat tempur Jepang dan 40 serangan oleh mereka selama penyerbuan tersebut.[90] Beberapa pilot Jepang tewas ketika pesawat mereka kehabisan bahan bakar dan jatuh.[91] Lima dari B-29 yang jatuh berhasil dibuang ke laut, dan awaknya diselamatkan oleh kapal selam Angkatan Laut Amerika Serikat.[90] Korban Amerika adalah 96 penerbang tewas atau hilang, dan 6 terluka atau terluka.[92]

Pesawat B-29 yang selamat tiba kembali di pangkalan mereka di Kepulauan Mariana antara pukul 06.10 dan 11.27 10 Maret waktu setempat.[84] Banyak dari pengebom itu terkena abu dari kebakaran yang disebabkan oleh awak mereka.[83]

Di daratan

Reruntuhan Nakamise-dōri di Asakusa setelah serangan

Kebakaran yang meluas dengan cepat berkembang di timur laut Tokyo. Dalam waktu 30 menit sejak dimulainya serangan, situasinya berada di luar kendali pemadam kebakaran.[93] Satu jam setelah serangan, pemadam kebakaran menghentikan upayanya untuk menghentikan kebakaran.[62] Sebaliknya, petugas pemadam kebakaran berfokus pada membimbing orang-orang ke tempat yang aman dan menyelamatkan mereka yang terjebak di gedung yang terbakar.[94] Lebih dari 125 petugas pemadam kebakaran dan 500 petugas sipil yang ditugaskan untuk membantu mereka tewas, dan 96 mobil pemadam kebakaran rusak.[62]

Didorong oleh angin kencang, banyak api kecil yang dipicu oleh bom pembakar Amerika Serikat dengan cepat bergabung menjadi api besar. Ini membentuk badai api yang dengan cepat bergerak ke arah barat laut dan menghancurkan atau merusak hampir semua bangunan di jalurnya.[95][96] Satu-satunya bangunan yang selamat dari kebakaran itu dibangun dari batu.[97] Satu jam setelah dimulainya serangan, sebagian besar Tokyo bagian timur telah hancur atau terkena dampak kebakaran.[98]

Warga sipil yang tinggal di rumah mereka atau berusaha memadamkan api hampir tidak memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. Sejarawan Richard B. Frank telah menulis bahwa kunci untuk bertahan hidup adalah memahami dengan cepat bahwa situasinya tidak ada harapan dan melarikan diri.[95] Segera setelah dimulainya penyerbuan, siaran berita mulai menasihati warga sipil untuk mengungsi secepat mungkin, tetapi tidak semua melakukannya dengan segera.[99] Lubang perlindungan yang telah digali di dekat sebagian besar rumah tidak memberikan perlindungan terhadap badai api, dan warga sipil yang berlindung di dalamnya dibakar sampai mati atau mati lemas.[63]

Black and white photograph of burnt human bodies
Sisa-sisa tubuh warga sipil Jepang yang hangus setelah serangan

Ribuan warga sipil yang dievakuasi tewas. Keluarga sering kali berusaha untuk tetap tinggal dengan asosiasi lingkungan setempat mereka, tetapi mudah untuk dipisahkan dalam kondisi tersebut.[100] Beberapa keluarga berhasil tinggal bersama sepanjang malam.[101] Melarikan diri sering kali terbukti tidak mungkin, karena asap mengurangi jarak pandang hanya beberapa meter dan jalan-jalan dengan cepat dihalangi oleh api.[97][100]Kerumunan warga sipil sering panik saat mereka bergegas menuju kanal yang dianggap aman, dengan mereka yang jatuh tertindih hingga tewas.[102] Banyak dari mereka yang tewas dalam serangan itu tewas ketika mencoba untuk mengungsi.[103] Dalam banyak kasus, seluruh keluarga terbunuh.[95] Salah satu insiden paling mematikan terjadi ketika bom penuh sebuah B-29 mendarat di tengah kerumunan warga sipil yang melintasi Jembatan Kokotoi di atas Sungai Sumida yang menyebabkan ratusan orang tewas terbakar.[104]

Beberapa tempat di kawasan yang disasar memberikan keamanan. Banyak dari mereka yang berusaha untuk mengungsi ke taman besar yang telah dibuat sebagai perlindungan terhadap kebakaran setelah gempa bumi Great Kanto 1923 terbunuh ketika kobaran api bergerak melintasi ruang terbuka ini.[105] Demikian pula, ribuan orang yang berkumpul di halaman kuil Sensō-ji di Asakusa meninggal.[106] Yang lainnya berlindung di bangunan padat, seperti sekolah atau teater, dan di saluran.[105] Ini bukan bukti terhadap badai api, dengan menghirup asap dan panas yang membunuh banyak orang di sekolah.[107] Banyak orang yang berusaha untuk berlindung di kanal terbunuh oleh asap atau ketika badai api yang lewat menyedot oksigen dari daerah tersebut.[82] Namun, badan air ini memberikan keamanan bagi ribuan lainnya.[93] Api akhirnya padam dengan sendirinya pada pertengahan pagi 10 Maret dan berhenti ketika mencapai daerah terbuka yang luas atau Saluran Nakagawa.[90][108] Ribuan orang yang terluka dalam serangan itu tewas pada hari-hari berikutnya.[109]

Setelah serangan, warga sipil di seluruh Tokyo menawarkan bantuan kepada para pengungsi.[34] Petugas pemadam kebakaran, polisi dan tentara juga berusaha menyelamatkan korban yang terperangkap di bawah bangunan yang runtuh.[110] Banyak pengungsi yang sebelumnya tinggal di permukiman kumuh ditampung di bagian kota yang makmur. Beberapa dari pengungsi ini membenci perbedaan dalam kondisi kehidupan, memicu kerusuhan dan penjarahan.[111] Pusat pengungsian juga didirikan di taman dan area terbuka lainnya.[112] Lebih dari satu juta orang meninggalkan kota pada minggu-minggu berikutnya, dengan lebih dari 90 persen ditampung di prefektur terdekat.[34] Karena tingkat kerusakan dan pergerakan dari Tokyo, tidak ada upaya yang dilakukan untuk memulihkan layanan ke sebagian besar kota.[103]

Pascaperistiwa

Korban

Tubuh hangus seorang wanita yang menggendong seorang anak di punggungnya
Tubuh korban pengeboman di Taman Ueno
Tubuh yang mengambang di Sungai Sumida

Perkiraan jumlah orang yang tewas dalam pengeboman Tokyo pada 10 Maret berbeda. Setelah serangan, 79.466 mayat ditemukan dan dicatat.[93] Banyak mayat lain tidak ditemukan, dan direktur kesehatan kota memperkirakan 83.600 orang tewas dan 40.918 lainnya luka-luka.[34] Pemadam kebakaran Tokyo menyebutkan korban tewas 97.000 dan 125.000 luka-luka, dan Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo percaya bahwa 124.711 orang telah tewas atau terluka. Setelah perang, Survei Bom Strategis Amerika Serikat memperkirakan korban tewas sebanyak 87.793 orang dan 40.918 luka-luka. Survei tersebut juga menyatakan bahwa mayoritas korban adalah wanita, anak-anak dan orang tua.[110][113] Frank menulis pada tahun 1999 bahwa sejarawan umumnya percaya bahwa ada antara 90.000 dan 100.000 kematian, tetapi beberapa berpendapat bahwa jumlahnya jauh lebih tinggi.[34] Misalnya, Edwin P. Hoyt menyatakan pada tahun 1987 bahwa 200.000 orang telah terbunuh dan pada tahun 2009 Mark Selden menulis bahwa jumlah kematian mungkin beberapa kali lipat dari perkiraan 100.000 yang digunakan oleh Pemerintah Jepang dan Amerika Serikat. Perpindahan penduduk yang besar dari dan ke Tokyo pada periode sebelum penyerangan, kematian seluruh komunitas dan penghancuran catatan berarti bahwa tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti berapa banyak yang meninggal.[34]

Sebagian besar mayat yang ditemukan terkubur di kuburan massal tanpa diidentifikasi.[34][114][115] Banyak mayat orang yang meninggal saat mencoba berlindung di sungai tersapu ke laut dan tidak pernah ditemukan.[116] Upaya untuk mengumpulkan mayat berhenti 25 hari setelah serangan.[103]

Serangan itu juga menyebabkan kerusakan yang meluas. Catatan polisi menunjukkan bahwa 267.171 bangunan hancur, yang mewakili seperempat dari semua bangunan di Tokyo pada saat itu. Kehancuran ini menyebabkan 1.008.005 orang yang selamat kehilangan tempat tinggal.[93] Sebagian besar bangunan di bangsal Asakusa, Fukagawa, Honjo, Jōtō dan Shitaya hancur, dan tujuh distrik kota lainnya mengalami kehilangan sekitar setengah bangunan mereka. Bagian dari 14 bangsal lainnya mengalami kerusakan. Secara keseluruhan, 158 mil persegi (410 km2) Tokyo terbakar habis.[117] Jumlah orang yang terbunuh dan area yang hancur adalah yang terbesar dari semua serangan udara pada Perang Dunia II, termasuk pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki,[93] ketika setiap serangan dianggap sendiri. Korban dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan dan ketidakhadiran pekerja di Tokyo sangat mengganggu perekonomian perang Jepang.[118][119]

Tanggapan

Curtis dan Henry menganggap operasi tersebut sukses signifikan berdasarkan laporan yang dibuat oleh penerbang yang terlibat dan kerusakan luas yang ditunjukkan dalam foto yang diambil oleh pesawat pengintai pada 10 Maret.[92][120] Henry mengirim pesan ucapan selamat kepada Curtis yang menyatakan bahwa misi ini menunjukkan awak Curtis memiliki nyali untuk apapun.[109] Awak udara yang melakukan serangan juga senang dengan hasilnya.[121] Penilaian pasca-serangan oleh XXI Bomber Command mengaitkan skala kerusakan dengan pengeboman yang terkonsentrasi di kawasan tertentu, dengan pengebom menyerang dalam jangka waktu singkat, dan angin kencang hadir di Tokyo.[122]

Beberapa kekhawatiran muncul di Amerika Serikat selama perang tentang moralitas serangan 10 Maret di Tokyo atau pengeboman di kota-kota Jepang lainnya.[123] Taktik ini didukung oleh mayoritas pembuat keputusan dan warga sipil Amerika. Sejarawan Michael Howard mengamati bahwa sikap ini mencerminkan pilihan yang terbatas untuk mengakhiri perang yang tersedia pada saat itu.[124] Misalnya, baik Henry dan Curtis menganggap serangan 10 Maret dan operasi pengeboman berikutnya diperlukan untuk menyelamatkan nyawa Amerika dengan mengakhiri perang dengan cepat.[125] Presiden Franklin D. Roosevelt mungkin juga memegang pandangan ini.[126] Sementara Sekretaris Perang Henry L. Stimson menyadari taktik Curtis dan terganggu oleh kurangnya reaksi publik di Amerika Serikat terhadap pengeboman Tokyo, dia mengizinkan operasi ini berlanjut hingga akhir perang.[127]

Serangan itu diikuti oleh serangan serupa terhadap Nagoya pada malam 11/12 Maret, Osaka pada dini hari 14 Maret, Kobe pada 17/18 Maret dan Nagoya lagi pada 18/19 Maret.[128] Serangan malam yang tidak berhasil juga dilakukan terhadap pabrik mesin pesawat di Nagoya pada 23/24 Maret. Serangan bom api berakhir hanya karena persediaan pembakar XXI Bomber Command habis.[129] Serangan di Tokyo, Nagoya, Osaka dan Kobe selama bulan Maret membakar lebih dari 31 mil persegi (80 km2) kota-kota.[128] Jumlah orang yang tewas di Nagoya, Osaka dan Kobe jauh lebih rendah dibandingkan dengan serangan 10 Maret di Tokyo dengan kurang dari 10.000 kematian dalam setiap operasi. Korban yang lebih rendah, sebagian, adalah hasil dari persiapan yang lebih baik oleh pihak berwenang Jepang yang dihasilkan dari kesadaran bahwa mereka sangat meremehkan ancaman yang ditimbulkan oleh pengeboman.[130]

Pemerintah Jepang pada awalnya berusaha untuk menekan berita tentang luasnya serangan 10 Maret, tetapi kemudian menggunakannya untuk tujuan propaganda. Sebuah komunike yang dikeluarkan oleh Markas Besar Kekaisaran pada 10 Maret menyatakan bahwa hanya berbagai tempat di dalam kota yang dibakar.[131] Namun, rumor kehancuran dengan cepat menyebar ke seluruh negeri.[132] Terlepas dari praktik biasa yang meremehkan kerusakan yang disebabkan oleh serangan udara, Pemerintah Jepang mendorong media untuk menekankan skala luas kehancuran dalam upaya untuk memotivasi kemarahan terhadap Amerika Serikat.[133] Cerita tentang serangan itu dimuat di halaman depan semua surat kabar Jepang pada 11 Maret. Pelaporan difokuskan pada dugaan amoralitas serangan itu dan jumlah B-29 yang telah dihancurkan.[134] Laporan surat kabar berikutnya tidak banyak merujuk pada skala korban, dan beberapa foto yang diterbitkan menunjukkan sedikit kerusakan fisik.[135] Ketika penyiar resmi Pemerintah Jepang Radio Tokyo melaporkan serangan itu, serangan itu diberi label "pengeboman pembantaian".[93] Siaran radio lainnya berfokus pada kehilangan B-29 dan keinginan warga sipil Jepang untuk melanjutkan perang.[136] Laporan surat kabar Amerika Serikat berfokus pada kerusakan fisik di Tokyo serta tidak menyebutkan banyak korban dan tidak memasukkan perkiraan jumlah korban tewas. Ini dihasilkan dari konten komunike dan laporan USAAF daripada penyensoran.[137]

Serangan itu sangat merusak moral warga sipil Jepang, dengan serangan itu dan serangan bom api lainnya di bulan Maret meyakinkan sebagian besar bahwa situasi perang lebih buruk daripada yang diakui pemerintah mereka. Pemerintah Jepang menanggapi dengan kombinasi penindasan, termasuk hukuman berat bagi orang-orang yang dituduh tidak setia atau menyebarkan desas-desus, dan kampanye propaganda yang difokuskan untuk memulihkan kepercayaan pada langkah-langkah pertahanan udara dan sipil negara itu. Langkah-langkah ini umumnya tidak berhasil.[138]

Beberapa langkah diambil untuk meningkatkan pertahanan Tokyo setelah serangan. Mayoritas perwira senior Divisi Udara ke-10 dipecat atau dipindahkan sebagai hukuman atas kegagalan unit pada 10 Maret.[139] Hanya 20 pesawat dikirim ke Tokyo untuk memperkuat Divisi Udara ke-10, dan ini dipindahkan ke tempat lain dua minggu kemudian ketika tidak ada serangan lebih lanjut yang dilakukan terhadap ibu kota.[91] Sejak bulan April, Jepang mengurangi upaya mereka untuk mencegat serangan udara Sekutu untuk mengawetkan pesawat agar dapat melawan invasi yang diharapkan ke Jepang. Divisi Pertahanan Udara ke-1 tetap aktif sampai akhir perang pada Agustus 1945.[140] Militer Jepang tidak pernah mengembangkan pertahanan yang memadai terhadap serangan udara malam, dengan kekuatan tempur malam tetap tidak efektif dan banyak kota tidak dilindungi oleh senjata pertahanan udara.[141]

Antara April dan pertengahan Mei, XXI Bomber Command terutama berfokus pada penyerangan lapangan udara di selatan Jepang untuk mendukung invasi Okinawa. Dari 11 Mei hingga akhir perang, B-29 melakukan serangan bom terukur siang hari ketika kondisi cuaca mendukung, dan serangan bom api malam hari terhadap kota-kota di waktu lain.[142] Serangan pembakar lebih lanjut dilakukan terhadap Tokyo, dengan final berlangsung pada malam tanggal 25/26 Mei.[143] Pada saat ini, 50,8 persen kota telah hancur dan lebih dari 4 juta orang kehilangan tempat tinggal. Serangan pengebom berat lebih lanjut terhadap Tokyo dinilai tidak berguna, dan itu dihapus dari daftar target XXI Bomber Command.[114][144] Pada akhir perang, 75 persen serangan mendadak yang dilakukan oleh XXI Bomber Command telah menjadi bagian dari operasi pengeboman.[143]

Peringatan

Selepas perang, mayat-mayat yang telah dikubur di kuburan massal digali dan dikremasi. Abunya dikuburkan di sebuah rumah pekuburan yang terletak di Taman Yokoamicho Sumida yang awalnya didirikan untuk menampung sisa-sisa 58 ribu korban gempa 1923. Sebuah kebaktian umat Buddha telah dilakukan untuk memperingati hari jadi penyerangan pada 10 Maret setiap tahunnya sejak 1951. Sejumlah tugu peringatan kawasan kecil juga didirikan di seluruh daerah yang terkena dampak pada tahun-tahun setelah serangan.[145] 10 Maret ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Tokyo oleh Majelis Metropolitan Tokyo pada tahun 1990.[146]

Beberapa tugu peringatan lainnya didirikan untuk memperingati serangan dalam beberapa dekade setelah perang.[147] Upaya dimulai pada dasawarsa 1970-an untuk membangun Museum Perdamaian Tokyo resmi untuk menandai penyerbuan tersebut, tetapi Majelis Metropolitan Tokyo membatalkan proyek tersebut pada 1999.[148] Sebaliknya, tugu peringatan Dwelling of Remembrance untuk warga sipil yang tewas dalam serangan itu dibangun di Taman Yokoamicho. Tugu peringatan ini didedikasikan pada Maret 2001.[149] Warga yang paling aktif berkampanye untuk Museum Perdamaian Tokyo mendirikan Pusat Serangan dan Kerusakan Perang Tokyo yang didanai swasta, yang dibuka pada 2002.[148][150] Pada 2015, pusat ini adalah gudang utama informasi di Jepang tentang serangan bom api.[151] Sebagian kecil dari Museum Edo-Tokyo juga meliput serangan udara di Tokyo. Akademisi Cary Karacas telah menyatakan bahwa alasan peringatan resmi serangan di Jepang adalah karena pemerintah tidak ingin mengakui "bahwa Jepanglah yang memulai serangan udara pertama kali di kota-kota Asia". Karacas berpendapat bahwa Pemerintah Jepang lebih memilih untuk fokus pada pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki karena peringatan serangan ini memperkuat stereotip Jepang sebagai korban.[152]

Pada tahun 2007, sekelompok orang yang selamat dari serangan 10 Maret dan keluarga yang berduka melancarkan gugatan hukum mencari kompensasi dan permintaan maaf atas tindakan Pemerintah Jepang terkait serangan tersebut. Sebagai bagian dari kasus, disebutkan bahwa penyerbuan tersebut merupakan kejahatan perang dan Pemerintah Jepang telah bertindak salah dengan menyetujui unsur-unsur Perjanjian San Francisco 1951 yang membebaskan hak untuk mencari kompensasi atas tindakan tersebut dari Pemerintah AS. Penggugat juga mengklaim bahwa Pemerintah Jepang telah melanggar konstitusi pascaperang dengan memberikan kompensasi kepada para korban militer dari penyerbuan tersebut dan keluarganya, tetapi bukan warga sipil. Pemerintah Jepang berdalih tidak berkewajiban memberi kompensasi kepada korban serangan udara. Pada tahun 2009, Pengadilan Distrik Tokyo mendukung pemerintah.[153] Sejak saat itu, sebuah kampanye publik telah mengadvokasi Pemerintah Jepang untuk mengesahkan undang-undang untuk memberikan kompensasi kepada warga sipil yang selamat dari serangan itu.[152]

Historiografi

Banyak sejarawan telah menyatakan bahwa serangan 10 Maret di Tokyo merupakan keberhasilan militer Amerika Serikat, dan menandai dimulainya periode paling efektif serangan udara di Jepang. Misalnya, sejarah resmi USAAF menilai bahwa serangan itu sepenuhnya memenuhi tujuan Curtis, dan serangan bom api berikutnya mempersingkat perang.[154] Baru-baru ini, Tami Davis Biddle mencatat dalam The Cambridge History of the Second World War bahwa "serangan Tokyo menandai perubahan dramatis dalam kampanye udara Amerika di Timur Jauh; menyusul frustrasi berbulan-bulan, serangan itu kehilangan beban penuh. kekuatan industri Amerika pada Jepang yang goyah ".[155] Mark Lardas telah menulis bahwa operasi 10 Maret hanyalah serangan kedua yang benar-benar berhasil di Jepang (setelah serangan terhadap pabrik pesawat pada 19 Januari), dan "Keputusan Curtis untuk beralih dari pengeboman terukur ke misi pembakar daerah dan untuk melakukan misi pembakar dari dataran rendah "adalah faktor terpenting dalam keberhasilan akhir kampanye pengeboman strategis.[156]

Pusat Serangan dan Kerusakan Perang Tokyo

Para sejarawan juga telah membahas pentingnya penyerbuan dalam transisi USAAF dari penekanan pada pengeboman terukur ke pengeboman kawasan. Conrad C. Crane telah mengamati bahwa "resor untuk serangan api menandai tahap lain dalam eskalasi menuju perang total dan mewakili puncak dari tren yang dimulai dalam perang udara melawan Jerman".[157] Kenneth P. Werrell mencatat bahwa pengeboman kota-kota Jepang dan serangan bom atom telah melambangkan kampanye pengeboman strategis melawan Jepang. Semua yang lain, beberapa orang mengatakan, adalah pendahuluan.[158] Sejarawan seperti Biddle, William W. Ralph dan Barrett Tillman berpendapat bahwa keputusan untuk mengubah taktik pengeboman dimotivasi oleh keinginan Henry dan Curtis untuk membuktikan bahwa B-29 efektif.[159][160][161] Sejarawan Inggris Max Hastings berbagi pandangan ini, dan telah menulis bahwa keadaan di mana XXI Bomber Command bergeser ke serangan daerah pada tahun 1945 mirip dengan apa yang menyebabkan XXI Bomber Command melakukan hal yang sama dari tahun 1942.[162]

Seperti pengeboman Dresden, pengeboman Tokyo pada tanggal 10 Maret 1945 digunakan sebagai contoh oleh sejarawan dan komentator yang mengkritik etika dan praktik kampanye pengeboman strategis Sekutu.[163] Kekhawatiran yang awalnya muncul mengenai dua penyerangan ini pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II telah berkembang menjadi keraguan yang dipegang luas atas moralitas dan keefektifan kampanye.[164] Misalnya, Selden berpendapat bahwa serangan di Tokyo menandai awal dari "pendekatan perang Amerika yang menargetkan seluruh populasi untuk dimusnahkan".[165] Sebagai bagian dari kritik umumnya terhadap serangan bom Sekutu di kota-kota Jerman dan Jepang, filsuf A. C. Grayling menilai bahwa serangan 10 Maret "tidak perlu dan tidak proporsional".[166] Beberapa komentator percaya bahwa rasisme memotivasi keputusan untuk menggunakan taktik pengeboman, berbeda dengan penekanan USAAF yang lebih besar pada pengeboman terukur dalam kampanye udaranya melawan Jerman.[167] Werrell telah menulis bahwa meskipun rasisme mungkin telah memengaruhi hal ini, "banyak faktor lain yang terlibat, yang, menurut saya, lebih signifikan".[74] Frank telah mencapai kesimpulan yang sama. Dia juga berpendapat bahwa USAAF akan menggunakan taktik pengeboman di Eropa seandainya kota-kota Jerman rentan terhadap tembakan seperti kota-kota Jepang dan intelijen tentang ekonomi perang Jerman sama lemahnya dengan fasilitas produksi perang Jepang.[168] Tillman telah menulis bahwa pengeboman kawasan adalah satu-satunya taktik yang dapat digunakan yang tersedia untuk USAAF pada saat itu mengingat kegagalan kampanye pengeboman presisi.[169]

Setelah pengeboman, Kaisar Hirohito mengunjungi bagian yang hancur pada tanggal 18 Maret.[170] Pandangan sejarawan tentang pengaruh pengalaman ini terhadapnya berbeda. F.J. Bradley menyatakan bahwa kunjungan tersebut meyakinkan Hirohito bahwa Jepang telah kalah perang.[170] Tillman telah menulis bahwa serangan itu tidak berpengaruh pada Kaisar, dan Frank berpendapat bahwa Hirohito mendukung melanjutkan perang sampai pertengahan 1945.[171][172]

Rujukan

Catatan

  1. ^ Karena mesin pesawat B-29 mengalami lebih sedikit tekanan saat terbang di ketinggian rendah, pesawat membutuhkan lebih sedikit bahan bakar. Penghematan besar-besaran yang dihasilkan memungkinkan pesawat membawa muatan bom yang lebih besar.[40]
  2. ^ Jenderal Shizuichi Tanaka adalah komandan Angkatan Darat Distrik Timur.[54]

Catatan kaki

  1. ^ "Legacy of the Great Tokyo Air Raid". The Japan Times. 15 March 2015. Diakses tanggal 25 March 2018. 
  2. ^ Werrell 1996, hlm. 151–152.
  3. ^ a b Werrell 1996, hlm. 152.
  4. ^ Biddle 2015, hlm. 495–496, 502, 509.
  5. ^ Frank 1999, hlm. 46.
  6. ^ Karacas 2010, hlm. 528.
  7. ^ Peattie 2001, hlm. 115–121.
  8. ^ Tillman 2010, hlm. 5.
  9. ^ a b c d e Wolk 2004, hlm. 72.
  10. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 555.
  11. ^ Fedman & Karacas 2014, hlm. 964.
  12. ^ Fedman & Karacas 2012, hlm. 318–319.
  13. ^ Searle 2002, hlm. 120.
  14. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 553–554.
  15. ^ Wolk 2004, hlm. 71.
  16. ^ Searle 2002, hlm. 113–114.
  17. ^ Wolk 2010, hlm. 112–113.
  18. ^ Downes 2008, hlm. 125.
  19. ^ Searle 2002, hlm. 115.
  20. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 610–611.
  21. ^ Frank 1999, hlm. 55.
  22. ^ Frank 1999, hlm. 55–56.
  23. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 621.
  24. ^ Downes 2008, hlm. 126.
  25. ^ a b Craven & Cate 1953, hlm. 564.
  26. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 143–144.
  27. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 565.
  28. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 569–570.
  29. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 572, 611.
  30. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 611.
  31. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 572–573.
  32. ^ Searle 2002, hlm. 113.
  33. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 573.
  34. ^ a b c d e f g Frank 1999, hlm. 17.
  35. ^ Searle 2002, hlm. 114.
  36. ^ Frank 1999, hlm. 62.
  37. ^ Ralph 2006, hlm. 516.
  38. ^ Kerr 1991, hlm. 155.
  39. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 612.
  40. ^ Ralph 2006, hlm. 512.
  41. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 612–613.
  42. ^ a b c Craven & Cate 1953, hlm. 613.
  43. ^ Kerr 1991, hlm. 149.
  44. ^ a b c d Frank 1999, hlm. 64.
  45. ^ a b Dorr 2002, hlm. 36.
  46. ^ Werrell 1996, hlm. 153.
  47. ^ Dorr 2012, hlm. 224.
  48. ^ Dorr 2012, hlm. 22.
  49. ^ Crane 1993, hlm. 131.
  50. ^ Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 34, 43.
  51. ^ Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 72.
  52. ^ a b c d e Craven & Cate 1953, hlm. 615.
  53. ^ Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 33, 61.
  54. ^ Frank 1999, hlm. 318.
  55. ^ Zaloga 2010, hlm. 15.
  56. ^ a b c d e Frank 1999, hlm. 65.
  57. ^ Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 48.
  58. ^ Coox 1994, hlm. 410.
  59. ^ Zaloga 2010, hlm. 23, 24.
  60. ^ Dorr 2012, hlm. 149.
  61. ^ Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 43.
  62. ^ a b c Frank 1999, hlm. 8.
  63. ^ a b c d Dorr 2012, hlm. 161.
  64. ^ Frank 1999, hlm. 4–5.
  65. ^ Hewitt 1983, hlm. 275.
  66. ^ a b Craven & Cate 1953, hlm. 614.
  67. ^ Kerr 1991, hlm. 151–152.
  68. ^ Fedman & Karacas 2012, hlm. 313.
  69. ^ Kerr 1991, hlm. 153.
  70. ^ Fedman & Karacas 2012, hlm. 312–313.
  71. ^ Searle 2002, hlm. 114–115, 121–122.
  72. ^ Dorr 2002, hlm. 37.
  73. ^ Werrell 1996, hlm. 162.
  74. ^ a b Werrell 1996, hlm. 159.
  75. ^ Tillman 2010, hlm. 136–137.
  76. ^ a b Frank 1999, hlm. 3.
  77. ^ Tillman 2010, hlm. 149.
  78. ^ Werrell 1996, hlm. 160.
  79. ^ a b Frank 1999, hlm. 4.
  80. ^ Tillman 2010, hlm. 147–148.
  81. ^ Tillman 2010, hlm. 151.
  82. ^ a b Frank 1999, hlm. 13.
  83. ^ a b Tillman 2010, hlm. 152.
  84. ^ a b Frank 1999, hlm. 66.
  85. ^ Edoin 1987, hlm. 45–46.
  86. ^ Edoin 1987, hlm. 58.
  87. ^ a b Foreign Histories Division, Headquarters, United States Army Japan 1958, hlm. 73.
  88. ^ Dorr 2012, hlm. 150.
  89. ^ Frank 1999, hlm. 66–67.
  90. ^ a b c d Craven & Cate 1953, hlm. 616.
  91. ^ a b Coox 1994, hlm. 414.
  92. ^ a b Frank 1999, hlm. 67.
  93. ^ a b c d e f Craven & Cate 1953, hlm. 617.
  94. ^ Hoyt 1987, hlm. 384.
  95. ^ a b c Frank 1999, hlm. 9.
  96. ^ Selden 2009, hlm. 84.
  97. ^ a b Pike 2016, hlm. 1052.
  98. ^ Edoin 1987, hlm. 77.
  99. ^ Edoin 1987, hlm. 63.
  100. ^ a b Frank 1999, hlm. 111.
  101. ^ Edoin 1987, hlm. 78.
  102. ^ Crane 2016, hlm. 175.
  103. ^ a b c Hewitt 1983, hlm. 273.
  104. ^ Crane 1993, hlm. 132.
  105. ^ a b Frank 1999, hlm. 10.
  106. ^ Hewitt 1983, hlm. 276.
  107. ^ Frank 1999, hlm. 12.
  108. ^ Kerr 1991, hlm. 191.
  109. ^ a b Pike 2016, hlm. 1054.
  110. ^ a b Hoyt 1987, hlm. 385.
  111. ^ Edoin 1987, hlm. 119.
  112. ^ Edoin 1987, hlm. 126.
  113. ^ Selden 2009, hlm. 85.
  114. ^ a b Karacas 2010, hlm. 522.
  115. ^ Kerr 1991, hlm. 203.
  116. ^ Edoin 1987, hlm. 106.
  117. ^ Frank 1999, hlm. 16.
  118. ^ Tillman 2010, hlm. 154, 157.
  119. ^ Kerr 1991, hlm. 208.
  120. ^ Edoin 1987, hlm. 110.
  121. ^ Kerr 1991, hlm. 205.
  122. ^ Bradley 1999, hlm. 35–36.
  123. ^ Dower 1986, hlm. 41.
  124. ^ Crane 2016, hlm. 215.
  125. ^ Ralph 2006, hlm. 517–518.
  126. ^ Ralph 2006, hlm. 521.
  127. ^ Ralph 2006, hlm. 519–521.
  128. ^ a b Haulman 1999, hlm. 23.
  129. ^ Frank 1999, hlm. 69.
  130. ^ Lardas 2019, hlm. 52.
  131. ^ Kerr 1991, hlm. 210.
  132. ^ Frank 1999, hlm. 18.
  133. ^ Kerr 1991, hlm. 211.
  134. ^ Lucken 2017, hlm. 123.
  135. ^ Lucken 2017, hlm. 123–124.
  136. ^ Lucken 2017, hlm. 124.
  137. ^ Crane 2016, hlm. 175–176.
  138. ^ Edoin 1987, hlm. 122–126.
  139. ^ Zaloga 2010, hlm. 54.
  140. ^ Zaloga 2010, hlm. 54–55.
  141. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 656.
  142. ^ Haulman 1999, hlm. 24.
  143. ^ a b Haulman 1999, hlm. 25.
  144. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 639.
  145. ^ Karacas 2010, hlm. 522–523.
  146. ^ Rich, Motoka (9 March 2020). "The Man Who Won't Let the World Forget the Firebombing of Tokyo". The New York Times. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  147. ^ Karacas 2010, hlm. 523.
  148. ^ a b Karacas 2010, hlm. 532.
  149. ^ Karacas 2010, hlm. 521, 532.
  150. ^ "Center of the Tokyo Raids and War Damage". Center of the Tokyo Raids and War Damage. Diakses tanggal 19 April 2019. 
  151. ^ "Deadly WWII U.S. firebombing raids on Japanese cities largely ignored". The Japan Times. AP. 10 March 2015. Diakses tanggal 12 August 2018. 
  152. ^ a b Munroe, Ian (11 March 2015). "Victims seek redress for 'unparalleled massacre' of Tokyo air raid". The Japan Times. Diakses tanggal 10 February 2019. 
  153. ^ Karacas 2011.
  154. ^ Craven & Cate 1953, hlm. 623.
  155. ^ Biddle 2015, hlm. 521.
  156. ^ Lardas 2019, hlm. 88.
  157. ^ Crane 1993, hlm. 133.
  158. ^ Werrell 1996, hlm. 150.
  159. ^ Biddle 2015, hlm. 523.
  160. ^ Ralph 2006, hlm. 520–521.
  161. ^ Tillman 2010, hlm. 260.
  162. ^ Hastings 2007, hlm. 319.
  163. ^ Crane 1993, hlm. 159.
  164. ^ Crane 2016, hlm. 212.
  165. ^ Selden 2009, hlm. 92.
  166. ^ Grayling 2006, hlm. 272.
  167. ^ Werrell 1996, hlm. 158.
  168. ^ Frank 1999, hlm. 336.
  169. ^ Tillman 2010, hlm. 263.
  170. ^ a b Bradley 1999, hlm. 36.
  171. ^ Tillman 2010, hlm. 158.
  172. ^ Frank 1999, hlm. 345.

Daftar pustaka

Bacaan tambahan

35°41′N 139°46′E / 35.683°N 139.767°E / 35.683; 139.767

Kembali kehalaman sebelumnya