Pengguguran kandungan di BelgiaPengguguran kandungan di Belgia dilegalkan pada tanggal 4 April 1990.[1] Pengguguran kandungan diperbolehkan hingga 12 minggu setelah pembuahan (14 minggu setelah menstruasi terakhir).[2][3] Wanita tersebut juga diwajibkan untuk melakukan konsultasi setidaknya enam hari sebelum menjalani prosedur pengguguran dan untuk melakukan pemeriksaan dengan dokternya untuk memantau kesehatannya beberapa minggu setelah pengguguran. Pengguguran untuk periode setelah 12 minggu diperbolehkan apabila nyawa sang ibu terancam atau jika janin menunjukkan risiko cacat lahir. Pada tahun 2009, tingkat pengguguran kandungan di Belgia diperkirakan sebesar 9,2 pengguguran per 1000 wanita yang berumur 15-44 tahun.[4] Legalisasi aborsi 1990Sebelum tahun 1990, akibat pengaruh Gereja Katolik, Belgia menjadi salah satu dari segelintir negara Eropa yang melarang aborsi. Namun, pengguguran kandungan secara tidak resmi diperbolehkan (dan bahkan diganti oleh asuransi kesehatan) asalkan terdaftar sebagai "kuretase". Diperkirakan terdapat 20.000 pengguguran kandungan yang dilakukan setiap tahunnya (dibandingkan dengan 100.000 kelahiran).[5] Pelegalan pengguguran kandungan di Belgia pada mulanya menjadi isu yang kontroversial.[6] Rancangan undang-undang untuk melegalkan aborsi pertama kali diajukan oleh Senator Lucienne Herman-Michielsens dan Roger Lallemand pada awal 1990. Meskipun ditentang oleh Partai Rakyat Kristen yang termasuk dalam pemerintahan, koalisi partai sosialis dan liberal di Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang untuk melegalkan aborsi di Belgia. Para uskup Belgia mengimbau masyarakat luas bahwa pengguguran kandungan bertentangan dengan ajaran gereja. Mereka memperingatkan umat Katolik Belgia bahwa barangsiapa bekerja sama dengan proses pengguguran kandungan secara efektif mengeluarkan diri mereka sendiri dari komunitas gereja.[7] Pada 30 Maret 1990, Raja Belgia Baudouin memberitahu Perdana Menteri Belgia Wilfried Martens bahwa ia tidak dapat menandatangani undang-undang legalisasi aborsi karena bertentangan dengan hati nuraninya sebagai seorang Katolik.[7] Mengingat undang-undang tersebut baru akan berlaku secara hukum bila sudah ditandatangani oleh raja, penolakannya berpotensi memicu krisis konstitusional.[8] Vatikan sendiri memuji sang raja atas keputusannya yang "mulia dan berani" dan terdorong oleh "hati nurani moral yang sangat kuat".[9] Masalah ini diselesaikan setelah Perdana Menteri Martens membuat kesepakatan dengan sang raja. Pemerintah Belgia akan menggunakan mekanisme konstitusional untuk menyatakan bahwa sang raja sedang tidak dapat memerintah. Setelah itu, undang-undang legalisasi aborsi akan disahkan, dan sehari sesudahnya Dewan Perwakilan Rakyat Belgia memutuskan untuk mengembalikan kedudukan sang raja.[5][10][11][12][13][14] Akibatnya, muncul kritik bahwa tindakan Raja Baudoin hanyalah "isyarat belaka" karena ia diangkat kembali sebagai raja dalam kurun waktu 44 jam setelah dicopot untuk sementara. Referensi
|