Penggundulan hutan di Kalimantan
Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, yang terbagi antara Indonesia, Malaysia dan Brunei, tak hanya memiliki hutan hujan, tetapi juga hutan dataran tinggi dan rendah tropis yang tutupan hutannya telah mengalami deforestasi sejak tahun 1960-an, karena ekonomi penduduk asli di kawasan tersebut mengalami industrialisasi yang cepat. Pada 1980an dan 1990an, hutan-hutan Kalimantan mengalami perubahan yang dramatis. Hutan-hutan tersebut mengalami tingkat yang tak seimbang dalam sejarah manusia, pembakaran, penebangan dan penggundulan, dan umumnya diganti dengan lahan pertanian, atau penanaman kelapa sawit. Setengah akuisisi kayu tropis global tahunan sekarang berasal dari Kalimantan. Selain itu, penanaman kelapa sawit dengan cepat mengancam sisa-sisa hutan hujan utama. Kebanyakan penggundulan hutan bersifat ilegal. Dampak dari penggndulan hutan ini akan sangat merugikan bagi seluruh aspek kehidupan manusia, berkontribusi pada bencana alam, perubahan iklim, peningkatan suhu global, dan penipisan lapisan ozon.[1] World Wildlife Fund membagi Kalimantan dalam sejumlah wilayah ekologi yang berbeda yang meliputi hutan hujan dataran rendah Borneo yang meliputi sebagian besar pulau tersebut, dengan luas 427.500 kilometer persegi (165.100 sq mi), hutan gambut Borneo, Kerangas atau hutan jantung Sundaland, hutan rawa air tawar Barat Daya Borneo, dan mangrove Paparan Sunda. Hutan hujan pegunungan Borneo membentang di dataran tinggi pulau tersebut, di atas ketinggian 1.000 meter (3.300 ft). Kawasan tersebut mewakili habitat beberapa spesies terancam, seperti orangutan dan gajah dan endemik-endemik langka seperti luwak. Selain pengaruh Borneo dalam konservasi keragaman hayati dan penyerapan karbon, hutan-hutan memiliki signifikansi dalam keamanan air dan kedaulatan pangan untuk komunitas lokal penduduk asli.[2] Referensi
Pranala luar
|