Penguasa monarki
Penguasa monarki (bahasa Inggris: monarch) adalah seorang kepala negara yang jabatannya biasanya diwariskan dan memerintah seumur hidup atau hingga ia turun tahta. Sebuah negara yang dipimpin seorang penguasa monarki disebut monarki. Kata ini berasal dari bahasa Yunani monos archein, artinya "satu pemerintah". Saat ini gelar penguasa monarki di beberapa negara tidak memiliki arti politik karena negara itu telah berubah menjadi republik, namun tetap diwariskan. Gelar penguasa monarki memiliki beberapa tingkatan sesuai dengan adat dan tradisi di setiap wilayah. Beberapa gelar untuk penguasa monarki memiliki versi laki-laki dan perempuan di suatu wilayah sebagaimana di Eropa, tetapi tidak membedakan jenis kelamin di tempat lain, seperti di Asia Timur. Indonesia mengadopsi banyak gelar untuk penguasa monarki dari berbagai kebudayaan dan tradisi, seperti dari India, Islam, atau bahkan Eropa, yang tiap gelarnya memiliki makna masing-masing. Gelar penguasa monarkiTerdapat beberapa gelar yang dikenal di Indonesia yang disandang bagi penguasa monarki, seperti raja, kaisar, maharaja, paus, khalifah, dan sultan, walaupun beberapa di antaranya tidak pernah disandang secara resmi oleh pemimpin monarki di Indonesia. Beberapa gelar memiliki makna masing-masing. RajaRaja adalah gelar penguasa monarki yang paling umum digunakan di Indonesia. Gelar ini diturunkan dari bahasa Sansekerta राजा rājā- dan mulai digunakan penguasa monarki di Indonesia seiring menguatnya pengaruh Hindu Budha dari India. Monarki yang berada di bawah pimpinannya disebut dengan kerajaan. Gelar yang setara dari raja untuk wanita adalah ratu. Ratu dapat disandang oleh seorang wanita yang memimpin kerajaan, ataupun istri dari raja. Pada mulanya, gelar ini digunakan sebagai penguasa monarki di Indonesia. Namun seiring masuknya pengaruh Hindu dan Budha di Indonesia, gelar ini terdesak penggunaannya oleh raja, dan ratu menjadi gelar yang khusus diperuntukkan untuk wanita. Walaupun begitu, peggunaan gelar ratu tak sepenuhnya bergeser menjadi feminim. Keraton, istilah yang sering merujuk pada istana di Jawa, berasal dari kata "ke-ratu-an" yang bermakna tempat tinggal ratu. Beberapa cerita dan hikayat juga masih mempertahankan kedudukan ratu sebagai gelar yang dipegang oleh pria, seperti cerita berjudul Petruk dadi Ratu (Petruk menjadi Ratu), padahal Petruk sendiri adalah tokoh berjenis kelamin pria. KaisarKaisar berawal dari Caesar, nama marga dari Julius Caesar, yang kemudian digunakan menjadi sebuah gelar bagi penguasa Romawi. Gelar ini kemudian diadaptasi dalam berbagai bahasa, seperti "Kaiser" di Jerman dan "Tsar" di Rusia. Gelar yang setara untuk wanita adalah Maharani. Monarki yang berada di bawah pimpinannya disebut kekaisaran atau imperium. Gelar lain yang setara dengan kaisar adalah maharaja yang diturunkan dari bahasa Sansekerta महाराज maharaja.[1] Gelar yang setara untuk wanita dari maharaja adalah maharani. Banyak dari masyarakat yang menyamakan penggunaan gelar raja dan kaisar, baik dalam percakapan maupun dalam penerjemahan gelar asing. Meskipun kaisar dan maharaja memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari raja. Kaisar adalah pemimpin dari sebuah monarki yang besar, berbeda dengan raja yang memimpin monarki yang kekuasaannya lebih kecil pengaruh dan wilayahnya. Dalam beberapa kasus, beberapa raja dapat menjadi bawahan kaisar, baik secara langsung maupun sebagai wilayah protektorat, sebagaimana yang terjadi antara Kerajaan Joseon dan Kekaisaran China. Di kawasan Nusantara, monarki yang sering dianggap sampai tingkatan kekaisaran adalah Majapahit. PausPaus (bahasa Latin: papa, bahasa Inggris: pope) adalah gelar bagi Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katolik dunia.[2] Gelar ini diturunkan dari bahasa Yunani πάππας pappas,[3] yang berarti Bapa. Berdasarkan Annuario Pontificio, gelar ini telah digunakan sejak tahun 33 M oleh Rasul Petrus hingga sekarang. Walaupun normalnya dipegang oleh satu orang dalam satu masa, gelar paus ini beberapa kali diklaim lebih dari satu orang pada satu masa pada rentang abad ketiga sampai kelima belas masehi. Mereka yang mengklaim gelar ini dan menjadi lawan bagi paus yang sah dijuluki "antipaus."[4] Tidak ada gelar resmi yang setara untuk wanita dari paus, lantaran tidak diperkenankannya wanita menempati kedudukan ini. Walaupun begitu, beberapa bahasa di Eropa memiliki bentuk wanita dari gelar paus (misal popess dalam bahasa Inggris) karena keterkaitannya dengan legenda Paus Yohana. KhalifahKhalifah (bahasa Arab: خَليفة khalīfah) adalah gelar bagi penerus Nabi Muhammad dan pemimpin umat Islam di seluruh dunia.[5] Gelar ini pertama kali disandang oleh Abu Bakar pada tahun 632 M dan terakhir kali oleh Abdul Mejid II pada 3 Maret 1924 M. Wilayah kepemimpinan khalifah disebut kekhalifahan atau khilafah (bahasa Arab: خِلافة khilāfah). Pada awal penggunaannya, khalifah berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan bagi negara Islam yang sangat luas. Namun pada masa pertengahan saat dinasti Abbasiyah menyandang gelar ini, khalifah lebih bermakna sebagai kepala negara dan pemerintahan tiap daerah diserahkan kepada para sultan. Setelah hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol pada tahun 1258 M, khalifah lebih bermakna simbol pemersatu umat Islam dan hanya memiliki kekuatan politik yang terbatas. Normalnya, hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Namun gelar khalifah beberapa kali diklaim oleh lebih dari satu pihak. Pada abad kesepuluh, gelar ini diklaim oleh tiga pihak: Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad; Dinasti Fathimiyyah yang berpusat di Kairo, Mesir; dan Dinasti Umayyah yang berpusat di Kordoba, Spanyol. Semenjak kejatuhan kekhalifahan pada tahun 1924, tidak ada pihak yang diakui oleh dunia Islam sebagai khalifah sampai saat ini, walaupun upaya mengembalikan kekhalifahan terus berlanjut oleh beberapa pihak. Dalam gelar resminya, Sultan Yogyakarta juga menyandang gelar khalifah, tetapi makna khalifah di sini lebih kepada "kepanjangan tangan khalifah di tanah Jawa", dan bukan dalam artian pemimpin bagi seluruh dunia Islam. Khalifah tidak memiliki gelar yang setara untuk wanita, karena tidak diperkenankannya wanita menempati kedudukan ini. SultanSultan adalah gelar bagi penguasa monarki yang memerintah monarki Islam. Gelar ini diturunkan dari bahasa Arab سلطان, sulthaan yang berarti "penguasa" dan "kekuatan". Monarki yang dipimpin oleh seorang sultan disebut kesultanan. Penggunaan gelar ini berkembang di Nusantara seiring semakin meningkatnya kekuatan politik kaum Muslim di Nusantara. Gelar yang setara untuk wanita adalah sultanah. Penggunaan gelar sultanah ini berbeda-beda di tiap kawasan. Sultanah bisa bermakna sultan wanita, atau seorang wanita yang memimpin kesultanan, dan hal ini pernah digunakan pada masa Kesultanan Aceh. Walaupun begitu, tidak setiap wanita yang memimpin kesultanan menyandang gelar sultanah. Shajar al-Durr misalnya, tetap menyandang gelar sultan sebagaimana laki-laki saat dia naik tahta memimpin Mesir pada tanggal 2 Mei 1250 M.[6] Sultanah juga dapat digunakan sebagai gelar bagi istri sultan, sebagaimana yang digunakan pada Kesultanan Mesir yang berdiri pada 1914 sampai 1922 M.[7] Akan tetapi, penggunaan gelar sultanah sebagai istri sultan tidak dikenal di kawasan Nusantara (Indonesia). Banyak kesultanan di kawasan Nusantara menggunakan gelar permaisuri atau ratu untuk istri sultan. Berbeda dengan raja dan kaisar, gelar sultan tidak terikat dengan sebuah tingkatan tertentu (kecuali berada di bawah khalifah, baik secara hierarkis maupun simbolis. Digunakan tidaknya gelar sultan tidak merujuk pada perbedaan tingkatan monarki, tetapi lebih kepada perbedaan ideologi yang disandang. Gelar di luar IndonesiaBenua EropaBenua Eropa memiliki berbagai tingkatan kebangsawanan dan kepemimpinan monarki yang beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini. Kerajaan di EropaDi benua Eropa, para raja menyandang berbagai macam gelar yang diturunkan dari akar bahasa yang berbeda-beda.
Gelar-gelar ini memiliki bentuk yang setara untuk wanita, yang bisa bermakna wanita yang menjadi pemimpin monarki atau istri dari pemimpin monarki pria.
Dalam sandi kerajaan yang digunakan sebagai monogram inisial dari penguasa monarki di Inggris, mereka menggunakan inisial dengan bahasa Latin, meskipun gelar itu tidak digunakan dalam keseharian. Inisial dari Queen Elizabeth II adalah "E II R" yang bermakna Elizabeth II Regina, atau inisial Charles III "C III R" yang bermakna Charles III Rex. Kekaisaran di Eropa
Gelar untuk penguasa monarki di Eropa memiliki versi laki-laki dan perempuan. Gelar untuk wanita (seperti queen dan empress dalam bahasa Inggris) biasanya memiliki makna ganda, yaitu sebagai penguasa monarki wanita atau sebagai istri penguasa monarki pria. Dalam beberapa kasus, hal ini menimbulkan kebingungan karena persamaan gelar yang disandang. Tetapi pada masa belakangan, gelar-gelar tadi diberi imbuhan tidak resmi untuk membedakannya. Imbuhan regnant (menjadi queen regnant dan empress regnant) menandakan bahwa wanita yang penyandang gelar tersebut adalah penguasa monarki dan imbuhan consort (menjadi queen consort dan empress consort) menyatakan bahwa dia hanyalah istri dari penguasa monarki pria. Asia TimurSalah satu gelar paling tinggi yang pernah digunakan di kawasan Asia Timur adalah huángdì (aksara China: 皇帝) yang diterjemahkan dengan kaisar, mengungguli gelar lain seperti wang (aksara China: 王) atau raja. Gelar ini digunakan sejak sejak penyatuan Dinasti Qin pada tahun 221 SM oleh Kaisar Ying Zheng hingga dibubarkannya monarki pada tahun 12 Februari 1912 dengan Puyi sebagai kaisar terakhir. Gelar ini tidak memandang jenis kelamin, berbeda dengan gelar di Barat. Wu Zetian sebagai satu-satunya wanita yang menjadi Maharani sepanjang 4.000 tahun sejarah China juga menyandang gelar huángdì sebagaimana para pria saat naik tahta, bukannya huanghou (皇后) yang merupakan gelar untuk permaisuri kaisar. Pemimpin Jepang menyandang gelar tennō (天皇) yang kerap juga disejajarkan dengan kaisar dan gelar ini masih digunakan sampai sekarang, walaupun kedudukan kaisar sekarang lebih kepada lambang pemersatu belaka. Para wanita yang pernah duduk di tahta juga menyandang gelar ini, bukannya kōgō (皇后) yang merupakan gelar bagi permaisuri kaisar. Di semenanjung Korea, para pemimpinnya kebanyakan setara dengan tingkatan raja. Salah satu gelar yang disandang Raja Korea adalah wang (hanja: 王, aksara hangeul: 왕). Para wanita yang naik ke tahta juga menyandang gelar ini atau yeowang (hanja: 女王, aksara hangeul: 여왕, secara harfiah bermakna "raja wanita". setara dengan ratu dalam bahasa Indonesia), bukannya menyandang gelar wangbi (hangeul: 왕비) yang diperuntukkan bagi permaisuri raja. Saat Gojong mengakhiri masa Kerajaan Joseon dan menyatakan berdirinya Kekaisaran Korea pada 1897 M, dia menyandang gelar hwangje (hanja: 皇帝, hangeul: 황제) yang berarti kaisar, menyatakan dirinya setara dengan Kaisar China. Timur TengahDi wilayah Arab, gelar penguasa monarki setingkat raja biasanya disebut Malik (Fenisia: 𐤌𐤋𐤊; Arab: ملك; Ibrani: מֶלֶךְ),[8] terdapat dalam bahasa Asyur yang bermakna hakim dan bahasa Ibrani malikh yang berarti raja. Dan setelah kedatangan Islam, gelar penguasa lebih sering menggunakan gelar Amirul Mukminin (أمير المؤمنين) gelar dalam tradisi awal Islam yang berarti "Pemimpin Orang-Orang Beriman". Secara umum kaum Sunni berpendapat bahwa semua khalifah di segala zaman dapat menyandang gelar Amirul Mukminin. Sedangkan gelar Khalifah (خَليفة) adalah gelar lain yang juga melekat dengan pemimpin muslim yang dalam sejarahnya hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Penguasa Persia menggunakan gelar Syah (Persia: شاه) yang juga bermakna raja, gelar kekaisarannya disebut Syahansyah (شاهنشاه) atau Padisyah (پادشاه) yang juga digunakan oleh Kesultanan Utsmaniyah, Kesultanan Mughal maupun Kekaisaran Iran-Persia. Di Tanduk Afrika, Penguasa Aksum menggunakan gelar Negus (bahasa Ge'ez: ንጉሥ, nəgueś ; cf. Tigrinya: ነጋሲ? negus) yang berarti raja atau pemimpin tertinggi di daerah Ethiopia kuno sampai tahun 1974. Kata Negus berakar dari turunan bahasa Semit kuno 'N-G-S' yang berarti memerintah. Gelar kekaisarannya disebut (bahasa Ge'ez: ንጉሠ ነገሥት, nəgusä nägäst) yang dipakai oleh Kaisar Etiopia. Gelar GandaPada keberjalanannya, banyak penguasa monarki yang menyandang lebih dari satu gelar dikarenakan berbagai alasan. Penguasa Turki Utsmani misalnya, menyandang beberapa gelar, di antaranya sultan, han, padishah, dan khalifah, yang kesemuanya memiliki makna masing-masing. Gelar "sultan" merupakan pernyataan diri sebagai penguasa atas monarki Muslim yang sah, "han" (pelafalan Turki untuk "khan") merupakan legitimasi diri sebagai pewaris atas moyangnya dari Asia Tengah,[9] "padishah" (پادشاه) merupakan gelar untuk kaisar dalam bahasa Persia, dan khalifah menunjukkan dirinya adalah pemimpin bagi seluruh dunia Islam. Beberapa penguasa monarki di Eropa juga memiliki gelar rangkap. Dalam Kekaisaran Romawi Suci, sebuah kekaisaran yang terdiri dari kumpulan kerajaan dan kadipaten, sang kaisar, selain menjadi pemimpin seluruh kekaisaran, juga menjadi raja atau adipati di salah satu wilayah Kekaisaran Romawi Suci. Pada masa kolonial, penguasa monarki di beberapa negara seperti Inggris Raya, memiliki gelar rangkap sebagai raja (king) atau ratu (queen) sekaligus kaisar (emperor) atau Maharani (empress), menandakan bahwa sang penguasa menjadi raja-ratu di sebuah wilayah dan menjadi kaisar-Maharani di wilayah lain. Saat Inggris Raya menjadikan India sebagai salah satu wilayah kekuasaannya, Victoria sebagai Ratu Inggris Raya (Queen of the United Kingdom) saat itu juga dinyatakan sebagai Maharani India (Empress of India). TinjauanBeberapa gelar yang berkaitan dengan monarki adalah permaisuri dan ibu suri. Permaisuri bukanlah gelar bagi penguasa monarki, tetapi gelar untuk istri dari pemimpin monarki pria, baik itu raja, kaisar, atau sultan. Gelar ini berasal dari bahasa Tamil பரமேஸ்வரி (paramēsvari), dari bahasa Sansekerta परमेश्वरी (parameśvarī). Sebagaimana permaisuri, ibu suri juga bukanlah gelar penguasa monarki, tetapi gelar bagi ibunda penguasa monarki. Gelar ini juga dapat digunakan untuk permaisuri yang telah menjanda. Pada masa belakangan, ibu suri juga kerap disebut dengan ibu ratu, mungkin berasal dari terjemahan harfiah dari kata queen mother, gelar bagi ibu suri di Inggris Raya. Gelar untuk penguasa monarki wanita (seperti ratu dan maharani) biasanya juga digunakan untuk istri penguasa monarki pria, menjadikannya memiliki makna ganda, sebagaimana gelar untuk wanita di Eropa. Penggunaan gelar permaisuri ini menjadi salah satu cara menghilangkan keambiguan gelar. Gelar penguasa monarki di Indonesia juga memiliki versi laki-laki dan perempuan. Lihat jugaDaftar pustaka
Pranala luar |