Penjara Bawah Tanah BataviaPenjara bawah tanah Batavia terletak di Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta, di Kota Tua, Jakarta. Sebelum difungsikan sebagai museum seperti saat ini, bangunan tersebut difungsikan sebagai balai kota yang dibangun oleh VOC dengan nama Stadhuis van Batavia sekitar tahun 1707-1710, kemudian diubah menjadi museum sejarah sejak tanggal 30 Maret 1974 oleh gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin.[1] Saat masih menjadi balai kota, di sini dilaksanakan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga, dilakukan persidangan untuk tawanan dan sandera dari pihak pribumi yang dianggap memberontak terhadap mereka. Putusan dari persidangan itu akan membawa para tawanan menjalani beragam hukuman mulai dari hukuman mati hingga penjara. Keputusan terhadap semua tawanan yang dibawa ke sini dari berbagai daerah di Indonesia, akan diputuskan diruang sidang ini. Kemudian, Belanda akan mengumumkan ke khalayak ramai melalui bunyi lonceng yang yang dipukul yang letaknya ada di atap bangunan ini. Apabila sandera tersebut diputuskan hukuman mati, maka lonceng akan berbunyi 3 kali dan akan dilaksanakan hukuman mati tepat di sisi kiri depan bangunan. Sementara yang bunyi loncengnya kurang daripada itu, akan tetap ditawan di dalam penjara atau diasingkan ke berbagai daerah yang ditentukan oleh anggota sidang. Untuk yang akan menjalani hukuman penjara, maka akan dipenjara tepat di bawah bangunan ini dengan sejumlah penjara bawah tanah yang sudah dibangun. Bangunan penjara yang dibuat dipisahkan antara penjara laki-laki dengan penjara perempuan. Beberapa pahlawan nasional pernah menjalani hukuman penjara di sini, diantaranya Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro, dan Untung Surapati. Penjara bawah tanah wanitaPenjara bawah tanah wanita ini dihuni oleh tahanan wanita, salah satu yang pernah mengalaminya adalah Cut Nyak Dhien. Ia dibawa dari Aceh oleh Gubernur Hindia Belanda untuk Aceh, Van Heutsz, untuk menjalani hukuman penjara dalam penjara wanita ini selama beberapa hari. Ia menjalani hukuman penjara di sini sebelum diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, di bawah naungan bupati Sumedang saat itu, Arya Surya Atmadja.[2] Penjara ini terletak di sisi kanan belakang bangunan ini, penjara ini memiliki tinggi 2 meter. Meskipun demikian, letaknya lebih rendah dari permukaan tanah, sehingga saat terjadi banjir seringkali menyebabkan air masuk ke dalam penjara ini.[3] Penjara bawah tanah priaPenjara bawah tanah pria terletak di sisi tengah dan kiri belakang bangunan. Letak dan lokasinya masih bisa dilihat dari luar bangunan karena langsung berhadapan dengan ruang bebas udara. Tingginya berkisar antara 150-160 cm. Di dalam penjara ini diisi 40-60 tahanan dengan kaki dan tangan tahanan diikat pada rantai yang digantung bola-bola batu. Untung Surapati pernah menjalani hukuman penjara di sini.[4] Sementara Pangeran Diponegoro menjalani hukuman di dalam ruangan khusus di dalam bangunan ini. Ruangan itu difungsikan sebagai kamar tamu atau vila. Belanda tidak berani memasukkan Pangeran Diponegoro ke dalam penjara ini, sebab gelar pangeran yang disandangnya dapat memicu pergejolakan rakyatnya bila tahu perlakuan Belanda terhadap Pangeran Diponegoro.[5] Referensi
|