Perang Dayak Desa
Perang Dayak Desa adalah perang antara Suku Dayak Desa dan pasukan Kekaisaran Jepang pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Perang yang berlangsung tahun 1944 hingga 1945 di Sanggau, Kalimantan Barat ini dilatarbelakangi oleh perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa. Pada awal pendudukan Jepang, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan. Akibat romusa yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja pada perusahaan perkayuan ini. Pada 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki. Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan. Rakyat lalu menyiapkan strategi untuk menyerang Osaki, yang kemudian tewas tanpa perlawanan berarti. Hal ini menyebabkan pertempuran pecah di perusahaan kayu. Suku-suku Dayak dari Ketapang hingga Sekadau berkumpul melalui mangkuk merah. Wilayah Meliau berhasil direbut oleh Suku Dayak pada Juni 1945, meskipun kembali dikuasai Jepang antara 17 Juli dan 31 Agustus 1945, hingga pasukan Jepang menyerah pada Sekutu dan meninggalkan wilayah tersebut. Latar belakangSuku Dayak DesaSuku Dayak Desa adalah suku Dayak yang hidup di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terutama di Kecamatan Toba dan Meliau. Ada sekitar 50 kampung yang hidup di sini hingga zaman modern. Jumlah mereka tercatat 11.273 jiwa.[3] Situasi Kalimantan BaratPada masa Kolonial Belanda, ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh Pang Suma, dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga Belanda terpaksa meninggalkan benteng tersebut dan bertahan di Pontianak.[4][butuh sumber yang lebih baik] Pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.[5] Akibat romusa yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja paksa pada perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan orang-orang secara paksa untuk menebang pohon dan merakit kayu, lalu dihilirkan entah ke mana.[5] Begitu juga pada bidang pertambangan. Sekitar 10.000 orang bekerja di lokasi pertambangan dan sekitar 70.000 orang lagi di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, yang terbanyak adalah Orang Dayak.[5] Akibat Peristiwa Mandor, banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat yang ditangkap. Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah sempat dilepaskan, tetapi sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Hal ini membuat warga Dayak membenci Jepang.[2] Sultan Pontianak meninggal dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati, dipenggal kepalanya.[6] Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh Osaki, orang Jepang yang menjadi mandor dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir.[7] Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan.[8] Pada saat itu, orang-orang sedang menjalani kerja paksa, mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam akan memancung kepala Pang Linggan.[7] Daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, para pekerja berpendapat lebih baik membunuh duluan.[8] Rakyat yang tak tahan ditindas Jepang, bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma dan Pang Linggan.[8] Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, Perang Dayak Desa berawal dari Peristiwa Suak Garong. Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.[9] Pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Para mandor ini diperalat dan diperintahkan untuk memata-matai buruh-buruh kasar.[10] Buruh-buruh kasar dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja akibat kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang bernama Yamamoto. Ia digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar.[11] Yamamoto mengetahui hal ini sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Yamamoto bertemu Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia memukuli Pang Rontoi, tetapi Pang Rontoi membalasnya.[11] Perlawanan rakyat DayakPrakemerdekaanBeberapa kejadian ini dilaporkan kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut. Rakyat menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat untuk menyerang Osaki.[12][13] Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, tetapi Osaki meninggal tanpa perlawanan.[14] Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat notong.[15] Pihak Jepang tidak mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.[16] Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku Dayak dari Ketapang hingga Sekadau berkumpul melalui panggilan dari peredaran mangkuk merah. Beredarnya mangkuk merah dijadikan sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang.[15] Keyakinan rakyat ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat.[15] Dua peristiwa pembunuhan ini tersebar ke Pontianak. Tidak ingin perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Pada saat yang bersamaan pula, suku Dayak bermufakat khawatir akan diserang Jepang.[12] Ekspedisi Jepang dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.[16][15] Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan mangkok merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.[15] Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau, ia menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.[17] Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampainya ekspedisi Jepang di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.[16][4][butuh sumber yang lebih baik] Nagatani terbunuh pada saat dia melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kapuas. Terbunuhnya Nagatani tidak diduga oleh pejabat militer Jepang karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, tetapi tidak mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.[18] Meskipun demikian, anak buah Nagatani sempat menembakkan peluru ke arah Pang Suma, yang bersama dengan Djampi, menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau. Wilayah ini berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Bersama dengan Agustinus Timbang dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.[19] Pada 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pun tak terelakkan dan pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.[a] Di Pemura dan Temura, pertempuran pecah; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.[19] Sementara itu, Panglima Kilat berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang.[20] Setelah tiga orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17 Juli hingga 31 Agustus 1945, Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.[21] Sewaktu dan seusai kemerdekaanMeski sebetulnya Indonesia sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan Barat. Dalam usaha mengusir penjajah, Mozez Thadeus Djaman, seorang guru di Nyandang dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut, di antaranya Y.A.M. Linggi, melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.[22] Angkatan Perang Majang Desa (APMD) kembali diaktifkan. Organisasi ini didirikan pada 13 Mei 1944 dan dipimpin oleh Pang Dadan. Pada kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Tiongkok.[b] Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil dan wilayah ini dapat dikuasai. Namun, pimpinan APMD kecewa karena pewaris kekuasaan Kerajaan Sanggau, Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi Jepang.[22] Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban.[23] Meski Jepang menyerah kepada Sekutu, perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki Kota Pontianak untuk memerangi Belanda.[24] Warisan sejarahPada Juni 1980, Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Laksus Pangkopkamtibda) Kalimantan Barat Untung Sridadi bersama Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi dan Agustinus Timbang berupa lima tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah katana milik Takeo Nagatani. Barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang yang diwakili K. Tasima, wakil keluarga Nagatani, serta Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo, Jepang.[24] Catatan
Referensi
Daftar pustaka
|