Perang Saudara Republik Afrika Tengah (2012–2014)
Pemberontakan Republik Afrika Tengah 2012–2013 adalah sebuah konflik yang berlangsung sejak Desember 2012 sampai Januari 2013 antara Pemerintah Republik Afrika Tengah dan pemberontak, kebanyakan di antaranya pernah terlibat dalam Perang Semak Republik Afrika Tengah. Pihak pemberontak menuduh pemerintahan Presiden François Bozizé gagal mematuhi perjanjian damai yang ditandatangani tahun 2007. Pasukan pemberontak yang bernama Koalisi Séléka (Séléka berarti "aliansi" dalam bahasa Sango[5]) menduduki berbagai kota besar di kawasan tengah dan timur Republik Afrika Tengah (RAT). Aliansi ini terdiri dari dua kelompok besar yang berpusat di RAT timur laut, UFDR dan CPJP, juga CPSK yang kurang terkenal.[6] Dua kelompok lain menyatakan mendukung koalisi ini, yaitu FDPC[7] dan FPR dari Chad,[8] keduanya berpusat di RAT utara. Kecuali FPR dan CPSK, semua faksi wajib mematuhi perjanjian damai dan proses pelucutan senjata. Chad,[9] Gabon, Kamerun,[10] Angola,[11] Afrika Selatan[12] dan Republik Kongo[13] mengirimkan tentaranya untuk membantu pemerintahan Bozizé menahan laju pemberontak di ibu kota negara, Bangui. Gencatan senjataTanggal 11 Januari 2013, sebuah perjanjian gencatan senjata ditandatangani di Libreville, Gabon. Pihak pemberontak menarik permintaan mereka agar Presiden François Bozizé mengundurkan diri, tetapi ia harus menunjuk perdana menteri baru dari partai oposisi pada 18 Januari 2013.[14] Majelis Nasional Republik Afrika Tengah akan dibubarkan dalam kurun seminggu seiring dibentuknya pemerintahan koalisi selama satu tahun dan pemilu legislatif akan diselenggarakan 12 bulan mendatang dan mungkin bisa diundur lagi.[15] Pemerintahan koalisi sementara ini akan memberlakukan reformasi hukum, menggabungkan tentara pemberontak dengan tentara pemerintah Bozizé dan membentuk militer nasional baru, merancang pemilu legislatif baru, serta memperkenalkan reformasi sosial dan ekonomi.[15] Selain itu, pemerintahan Bozizé harus membebaskan semua tahanan politik yang dipenjara selama konflik berlangsung dan tentara asing harus kembali ke negara asalnya.[14] Sesuai perjanjian ini, Koalisi Séléka tidak perlu menyerahkan kota yang telah dicaplok atau diduduki agar Bozizé tidak mengingkari perjanjian ini.[14] Bozizé, yang akan tetap menjadi presiden sampai pemilu 2016 mengatakan, "...ini adalah kemenangan bagi perdamaian karena mulai sekarang penduduk Afrika Tengah di zona-zona konflik akan terbebas dari penderitaan mereka."[16] Pada tanggal 13 Januari, Bozizé menandatangani dekret yang mencabut kekuasaan Perdana Menteri Faustin-Archange Touadéra sebagai bagian dari perjanjian dengan koalisi pemberontak. Meski nama penggantinya tidak segera diumumkan, para pemimpin pemberontak berharap Henri Pouzere dan Nicolas Tiangaye yang menjabat sebagai PM.[17] Referensi
Lihat juga |