Perdagangan internasional zaman Jawa Kuno
Perdagangan bekaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu masyarakat maka makin kompleks pula tata cara perdagangannya.[1] Pada rentang abad ke-7 hingga abad ke-9, kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam Perdagangan Internasional yaitu Kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu Kerajaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.[2][3] Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Tiongkok yang akan berlayar ke Timur Tengah dan India dan sebaliknya. Sementara itu, Kerajaan Medang yang berpusat di pedalaman Jawa juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama. Selanjutnya, pada abad ke-10 hingga abad ke-14 merupakan masa keemasan perdagangan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha di Pulau Jawa yang disebut sebagai periode Jawa kuno. Periode Jawa kuno memiliki berbagai macam kerajaan sejak masa Kerajaan Medang pada abad ke-8 hingga masa Kerajaan Majapahit abad ke-14. Pada rentang abad ke-10 hingga abad ke-13 adalah masa perkembangan perdagangan di Asia yang dipelopori Dinasti Sung di Tiongkok dan Kerajaan Cola di India. Jalur perdagangan antar kedua kerajaan tersebut melewati jalur sutra dan jalur sutra maritim.[4][5] Jalur sutra maritim melewati Asia Tenggara sehingga kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara turut andil dalam perdagangan internasional. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Sejak masa inilah Jawa mulai memperhatikan perdagangan internasional. Pola perdagangan Kerajaan MedangKerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 di daerah Mataram (kini daerah tersebut secara administratif berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta) dan pusat pemerintahannya pindah ke timur pulau Jawa (secara administratif daerah tersebut masuk wilayah Provinsi Jawa Timur) pada abad ke-10. Selanjutnya pusat kerajaan-kerajaan pada masa Jawa kuno berada di Jawa Timur. Kerajaan Medang muncul di pulau Jawa memiliki sistem birokrasi yang kompleks. Prasasti-prasasti Kerajaan Medang memberikan berbagai bukti upaya kerajaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya di berbagai bidang seperti politik, keagamaan dan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada masa ini pula Kerajaan Medang mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. hal itu tertulis dalam berita-berita dari Dinasti Tang (618-906 M).[6][7] Hubungan perdagangan antara Kerajaan Medang dengan Dinasti Tang sangat diperhatikan. Hal itu diwujudkan dengan adanya jabatan Juru Tiongkok yaitu pejabat yang mengurusi orang-orang Tiongkok di Kerajaan Medang.[8] Hasil dari hubungan dengan Tiongkok tersebut dapat dilihat dari tersebarnya keramik-keramik Tiongkok Dinasti Tang di sekitar candi-candi peninggalan Kerajaan Medang yang terl;etak di pedalaman Jawa.[8] Hal ini menunjukkan distribusi barang impor yang sampai ke pedalaman. Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa tentu membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Berita-berita Tiongkok menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Medang, orang-orang Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal di Candi Borobudur yang dibangun pada abad 9 menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe Tiongkok.[9] Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Medang juga didatangi orang-orang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara daratan untuk berdagang seperti mpa, Kli, Haryya, Si ha, Gola, Cwalik, Malyal, Karn nake, R man dan Kmir.[10] Prasasti-prasasti yang menunjukkan adanya pedagang asing di wilayah Kerajaan Medang yaitu Prasati Kuti, Prasasti Kaladi (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927 M) ditemukan di daerah yang kini disebut Jawa Timur. Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Medang Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain. Dalam hal perdagangan, Kerajaan Medang membagi daerahnya menjadi dua bagian yaitu pusat agraria di pedalaman Jawa dan pusat perdagangan di daerah timur Pulau Jawa. Pusat agraria di pedalaman JawaKetika masih berpusat di pedalaman Jawa pada abad ke-7 hingga abad ke-10, Kerajaan Medang merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri dan pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah.[11] Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan internal antar desa. Pemerintah Kerajaan Medang belum mengembangkan perdagangan ke luar pulau secara masif. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang megah. Pusat perdagangan di Jawa TimurPada abad ke-10 pusat pemerintahan Kerajaan Medang berpindah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan ini, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin meningkat. Selama abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, daerah Jawa bagian timur khususnya daerah pantai utara menunjukkan peningkatan aktivitas perdagangan. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan internasional di sekitar Sungai Brantas, terutama di sekitar pantai.[12] Perpindahan itu terjadi pada saat perdagangan di Asia berusaha bangkit dari depresi.[12] Oleh karena itu, Kerajaan Medang mulai memperhatikan perdagangan sebagai aspek ekonomi. Penyebab kebangkitan perdagangan di Pulau JawaSecara garis besar, ada dua penyebab bangkitnya perdagangan di Pulau Jawa yaitu melengkapi komoditas perdagangannya dan mundurnya perdagangan Sriwijaya. Melengkapi komoditas perdaganganPada pertengahan abad ke-10, Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang dipelopori oleh Dinasti Sung (960-1279 M) dari daratan Tiongkok dan Kerajaan Cola di India selatan. Perkembangan ini berpengaruh pada kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara seperti Sriwijaya di Sumatra, Kerajaan Medang, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri hingga Kerajaan Majapahit di Jawa. Masing-masing mempunyai keunggulan. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol perdagangan transit internasional di Selat Malaka dan ekspor dari pedalaman Sumatra serta Semenanjung Malaka. Sementara itu beberapa kerajaan di Pulau Jawa memegang kontrol perdagangan dengan Laut Banda dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.[13] Pada masa selanjutnya dapat diperkirakan bahwa tujuan utama kedatangan pedagang asing tersebut adalah mencari rempah-rempah. Pada saat itu Jawa mulai mengimbangi kekuatan Sriwijaya dalam perdagangan di Asia meskipun letak pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lebih mudah dijangkau oleh pedagang dari Asia daratan. Hal ini disebabkan karena Jawa mempunyai persediaan barang-barang yang lebih lengkap termasuk rempah-rempah dari daerah-daerah timur.seperti Maluku dan Kepulauan Nusa Tenggara. Kitab Ling-wai Tai-ta menyebutkan bahwa She-po mempunyai komoditas yang terlengkap setelah Ta-shih (Arab) sedangkan San-fo-tsi (Sriwijaya) berada di peringkat ketiga setelah She-po (Jawa).[14] Perdagangan Sriwijaya mengalami kemunduranPerdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada kerajaan-kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Medang. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara kedua wilayah tersebut. Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya yang terletak di Sumatra juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman Sumatra dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa.[12] Selain itu, lokasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran Sungai Musi. Hal ini tentu mempermudah akses dari pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan. Untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan, pemerintah Kerajaan Sriwijaya bertindak sangat tegas terhadap penguasa daerah, terutama daerah yang mempunyai pelabuhan. Hal itu disebutkan dalam beberapa prasasti Sriwijaya seperti Prasasti Kota Kapur 608 Saka (686 Masehi) dan Prasasti Karang Brahi yang berisi kutukan yang ditujukan pada keluarga raja bawahan. Hal ini disebabkan sumber devisa kerajaan berasal dari perdagangan dan untuk memastikan hal tersebut berjalan, kerajaan harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan mengawasi pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang-barang sebelum dan sesudah diperdagangkan. Namun mendekati abad ke-12 pengendalian jalur perdagangan dan pengawasan pelabuhan tidak berhasil lagi dan beberapa daerah pelabuhan mulai memisahkan diri dari Sriwijaya. Daerah bawahan Sriwijaya seperti Semenanjung Malaya dan Jambi mulai mengirim utusan sendiri ke Tiongkok.[11] Daerah kekuasaan Kerajaan Siriwjaya yang terpecah tentu berpengaruh terhadap stabilitas politik kerajaan dan perekonomiannya dan menyebabkan Jawa mulai mengimbangi perdagangan Siriwijaya di Nusantara. Mitra dagangData prasasti maupun berita Tiongkok memberi gambaran bahwa sebelum masa Majapahit telah terjadi perdagangan antar desa (lokal), antar wilayah (regional) dan internasional.[15] Dalam hubungan tersebut, jalur darat maupun jalur sungai merupakan sarana penting bagi terlaksananya hubungan antara daerah pedalaman dengan daerah kota, antara kota dan daerah sekitarnya maupun kota satu dengan kota lainnya. Hubungan antar wilayah (regional) dan internasional menggunakan jalur laut sebagai sarana utamanya.[15] Pulau-pulau di NusantaraPara pedagang dari wilayah Nusantara pada umumnya tidak disebutkan asal daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Prasasti Gondosuli II (927 M) yang berbahasa Melayu Kuno menyebutkan seorang tokoh bernama da puhawa Glis. Menurut Zoetmulder, puhawa berarti nakhoda atau kapten kapal. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-10 telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di pedalaman Jawa Tengah.[16][17] Hubungan ini ditengarai berlanjut hingga ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Perdagangan antara Jawa dengan pulau-pulau di sekitarnya digambarkan dalam Prasasti Kamalagyan 959 Ç. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah bendungan di Kamalagyan dibangun, orang-orang di sekitarnya dapat berperahu ke hulu untuk mengambil barang dagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Di pelabuhan ini mereka dapat berdagang dengan para pedagang dari pulau lain (para puh wa para ban ga sa ri dw ntara). Prasasti ini tidak menyebutkan nama daerah asal para pedagang tersebut namun diperkirakan sebagian dari para pedagang tersebut berasal dari pulau-pulau yang terdekat dengan Jawa, antara lain Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Pada saat itu, Pulau Jawa sudah sering didatangi pedagang-pedagang dari Pulau Sumatra. Chau-ju-kua mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya berhubungan dengan daerah Jung-ya-lu (Chung-kia-lu) yang ada di Jawa.[18] Namun letak daerah ini belum diketahui secara pasti. Hubungan Jawa dengan Sriwijaya sudah terjadi sejak lama. Meskipun terjadi hubungan dagang yang berlangsung sejak lama, sumber-sumber tertulis di Jawa lebih memperlihatkan persaingan antara keduanya baik dalam bidang politik maupun perdagangan.[19] Konflik ini dimulai sejak berdirinya kerajaan Sriwijaya dan berlanjut sampai beberapa abad selanjutnya.[12] Hubungan politik tersebut tampak pada temuan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa sebagai bukti intervensi Sumatra ke Jawa. Salah satunya Prasasti Gondosuli 749 Ç (827 M). Prasasti Gondosuli menyebutkan seorang nakhkoda kapal (da puh wa glis) yang memberi persembahan kepada bangunan suci. Isi prasasti tersebut memberikan petunjuk adanya komunitas orang-orang Melayu di Jawa.[11] Jika saat itu pelayaran antara Jawa dan Sumatra sudah biasa dilakukan, hubungan dagang kemungkinan juga sudah terjadi, apalagi mungkin di pelabuhan Sumatra terdapat beberapa barang yang tidak diperoleh di Jawa. Data-data tertulis tidak pernah menyebutkan hubungan dagang antara Jawa dengan Semenanjung Malaka. Namun berdasarkan catatan orang Portugis dari tahun 1511 M, banyak orang Jawa yang tinggal di Malaka, bahkan ada pedagang Jawa yang bisa memiliki ribuan budak.[20] Keadaan seperti ini tentu tidak dapat berlangsung dengan cepat tetapi melalui hubungan yang berlangsung sejak lama. Ada kemungkinan hubungan tersebut sudah berlangsung sebelum masa Majapahit. Sementara itu, Jawa dan Bali mempunyai hubungan yang berlangsung sejak lama, bahkan pada masa Raja Dharmawangsa Tguh, Bali berada di bawah pengaruh Jawa. Selain hubungan politik, Jawa dan Bali juga terlibat dalam hubungan ekonomi yang erat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesamaan sebutan mata uang dari sejumlah prasasti di Jawa dan Bali seperti mas, masaka, pirak dan sebagainya. Dari penemuan uang kuno di Bali diantaranya ada yang sama dengan uang kuno di Jawa.[21] Prasasti Sembiran (1056 M) menyebutkan kedatangan saudagar-saudagar dari seberang yang berkumpul di Manasa (ma kana yan hana banyaga sake sabera jong, camenduk i manasa). Para pedagang Jawa diperkirakan berada di antara para pedagang tersebut. Dengan adanya pengaruh Jawa terhadap Bali, tentu pelayaran antar kedua pulau merupakan hal yang biasa dilakukan. Selain itu, kesamaan ukuran mata uang dapat mempermudah transaksi. Namun tidak ada informasi tentang komoditas yang diperdagangkan. Berita-berita Tiongkok dari Dinasti Sung sering mengatakan bahwa sebagian barang-barang yang diekspor Jawa merupakan produk dari daerah-daerah jajahannya. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa juga berdagang dengan pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain perdagangan rempah-rempah dengan kepulauan Maluku dan kayu cendana dengan Nusa Tenggara.[13] Namun belum ada bukti tertulis tentang bagaimana produk-produk tersebut mencapai daerah Asia Tenggara.[12] Dalam catatan Chau ju-kua disebutkan tentang pala yang dihasilkan di Pulau Huang-ma-chu dan Niu-lun, jajahan Jawa. Pulau-pulau tersebut adalah Maluku.[22] Karena hanya mendengar informasi dari para pedagang, Chau ju-kua tidak mengetahui secara pasti tantang hal itu. Kepulauan Maluku kemungkinan tidak dijajah Jawa, tetapi kapal-kapal dari Jawa datang ke Maluku untuk mengambil rempah-rempah dan ditukar dengan beras. Jadi hubungan yang terjadi adalah hubungan perdagangan. Asia TenggaraNegara-negara Asia Tenggara yang disebutkan dalam prasasti antara lain Khmer, R n, dan Champa. Negara-negara tersebut mempunyai hubungan dagang dengan Jawa seperti yang ditunjukkan dalam Prasasti Taji (901 M). Prasasti Cane 943 Ç (1021 M), Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang dan Prasasti Garaman 975 Ç ( 1053 M) juga menyebutkan komunitas orang-orang dari Khmer, R n, dan Champa yang berada di Jawa. Kerajaan Campa menempati daerah Vietnam tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang. Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad 9 sampai abad 10 sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.[23] Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Champa dengan Jawa antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M hingga 802 M. Selain itu, Jawa juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat di Candi Khu’ong-my berupa hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit.[24] Letak Champa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Tiongkok Utara sampai ke kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks Arab.[25] Selain Champa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer (Kamboja) dan R men (Pegu) yang berada di wilayah Birma. Keberadaan orang Khmer dikisahkan dalam Prasasti Wurudu Kidul 922 M. Prasasti Wurudu Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan.[26] Isi prasasti tersebut menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode Kerajaan Medang ketika masih berpusat di Jawa Tengah. Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditas yang hampir sama, terutama hasil bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama, tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena selain prasasti dari masa Airlangga dan Mapañji Garasakan, tidak terdapat data tertulis lainnya. Asia SelatanKepulauan nusantara membentang di sebelah timur India sebagai kelanjutan dari daratan Asia Tenggara. Dengan teknologi pelayaran yang telah dikembangkan dalam pelayaran ke Asia Barat, tidak terlalu sulit untuk mengembangkan pelayaran pantai sepanjang pesisir Asia Tenggara menjadi pelayaran samudra yang langsung menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatra.[27] Nama-nama negara di Asia Tenggara sering disebut dalam kitab-kitab kuno di India. Beberapa diantaranya yaitu Suvarnabh mi dan Yavadv pa yang mengacu pada nama Sumatra.[28] Sementara itu, prasasti-prasasti di Jawa seperti Prasasti Kuti, Prasati Kaladi dan Prasasti Pal buhan menuliskan berbagai kerajaan di Asia Selatan mulai dari abad ke-9.[29] Daerah-daerah tersebut tertulis lagi dalam prasasti-prasasti Airlangga yaitu ling (Kalingga), rrya (orang-orang India Utara), singhala (Srilanka), pan ikira, rawida (Dravida di India Selatan, malyala (Malayalam, daerah di India Selatan), dan karnnataka (karnnake). Dalam prasasti Garaman yang dikeluarkan tahun 1053 M pada masa pemerintahan Mapañji Garasakan, daftar tersebut bertambah dengan disebutnya daerah Cwalika atau Tamil.[30] Terdapat dua tipe pedagang India di Asia Tenggara. Pertama, pedagang aristokrat yaitu pedagang besar dan berstatus sosial tinggi. Jumlahnya sedikit dan membangun pemukiman di beberapa daerah di Asia Tenggara. Kelompok ini diduga berperan mengembangkan kebudayaan Hindu Budha ke wilayah perdagangannya di Asia Tenggara. Kedua, pedagang keliling yaitu pedagang yang lebih rendah statusnya dan merupakan mayoritas dalam komunitas pedagang India di Asia Tenggara. Kelompok yang merupakan tipe pedagang keliling dan tidak berpendidikan tinggi ini melakukan pelayaran dari Laut India menuju Asia Tenggara dan membentuk pemukiman di sekitar pelabuhan yang dituju.[14] Kelompok kedua inilah yang paling sering disebut dalam prasasti-prasasti masa Airlangga. Sebagian besar wilayah asal dari orang-orang Asia Selatan tersebut adalah wilayah India Selatan, yaitu di sepanjang pantai. Wilayahnya yang strategis untuk berdagang membuat orang-orang India Selatan lebih mudah berlayar dari pelabuhan ke pelabuhan sebagai pedagang keliling daripada pedagang aristokrat yang sangat mementingkan status. Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang dari India bersama dengan pedagang Arab dan Persia, juga berperan menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara termasuk di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan nisan-nisan kuno di Jawa yang gaya tulisannya mirip gaya tulisan dari Gujarat atau Cambay. Contohnya, Nisan kuno pada makam Fatimah binti Maemun menggunakan huruf bergaya kufi yang hanya diperoleh dengan cara impor dari Gujarat atau Cambay karena makam –makam di Indonesia biasanya menggunakan tulisan gaya naskh.[31] Berdasarkan angka tahun yang tercantum pada nisan (1082 M), komunitas pedagang tersebut hidup di Jawa pada masa Kerajaan Kediri. Namun data tertulis lainnya yang dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai komunitas pedagang tersebut tidak ditemukan. TiongkokKetika orang-orang Tiongkok mulai memperhatikan daerah selatan, negara pertama yang dikunjungi adalah bagian utara Annam, menyusuri pantainya kemudian sampai di Kamboja dan diteruskan sampai Teluk Siam. Setelah itu mereka sampai di pantai Semenanjung Malaya. Dari pantai Semenanjung Malaya orang-orang Tiongkok mulai mengetahui jalan ke Sumatra dan Jawa.[6] Berdasarkan data arkeologis, hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara terjadi dalam waktu yang tidak lama setelah hubungan Tiongkok dengan Asia Daratan yang lebih dulu diketahui.[32] Pada awalnya raja-raja Tiongkok kurang berminat terhadap wilayah Asia Tenggara karena wilayah ini dianggap wilayah yang kurang beradab yang terletak jauh dari pusat peradaban Tiongkok di utara. Namun dengan tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Tiongkok Selatan yang melalui Nusantara, peranan hasil Asia Tenggara, termasuk hasil dari Kepulauan Indonesia dalam hubungannya dengan perdagangan Tiongkok ikut berkembang.[33] Kegiatan perdagangan Jawa dengan Tiongkok secara jelas mulai digambarkan dalam berita dari Dinasti Tang. Di Jawa, nama Tiongkok mulai tercantum dalam Prasasti Kancana 782 Ç.[8] Namun ketika perdagangan Asia sedang ramai pada rentang waktu abad ke-10 sampai abad ke-12, tidak ada satupun prasasti-prasasti di Jawa yang menyebut kerajaan di Tiongkok. Bahkan prasasti dari masa Airlangga yang sering menyebut negara-negara lain di Asia tidak mencantumkan kerajaan di Tiongkok.[34] Sumber tertulis yang menyebutkan Tiongkok hanya Serat Pararaton dan Kidung Harsawijaya yang isinya bukan tentang perdagangan melainkan konflik dengan tentara Tiongkok. Sementara itu, data arkeologis juga menunjukkan bahwa hubungan antara Jawa dan Tiongkok secara jelas baru berlangsung sekitar abad ke-9 hingga ke-10 M. Hal ini berdasarkan temuan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Tang (618 – 906 M) di sepanjang daerah pantai utara Jawa.[35] Meskipun sangat sedikit data tertulis di Jawa yang mengungkap hubungan dagang antara Jawa dan Tiongkok, tetapi berita-berita Tiongkok terutama dari Dinasti Sung dapat menggambarkan hubungan kedua negara ini. Bangsa Tiongkok memandang Asia Tenggara secara keseluruhan sebagai Laut Selatan dan sering menyebut Jawa dengan nama She-p o atau Sho-p u sampai pada periode kekuasaan Mongol, sebutan ini berubah menjadi Chau-wa.[36] Chau ju-kua mengatakan bahwa kerajaan Sho-po atau Jawa dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu bulan pelayaran dari Tsuan-chou.[22] Menjelang abad ke-10 pemerintah Tiongkok mulai menganggap negara-negara di Laut Selatan sebagai wilayah yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan keterangan dalam Kitab Sung-shih. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pemerintah Tiongkok mengadakan perombakan birokrasi pejabat perdagangan di pelabuhan dan pengiriman duta ke negara-negara tersebut (Asia Tenggara daratan dan kepulauan) dengan tujuan membujuk pedagang-pedagangnya untuk berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok Selatan.[37] Pada akhir abad ke-10, di samping India dan negara-negara Timur Tengah, Tiongkok merupakan negara yang sangat berpengaruh dalam perdagangan lautan di Asia Tenggara . Bagi perdagangan Jawa, Tiongkok sangat penting karena negara ini merupakan konsumen terbesar produk-produk dari Asia Tenggara khususnya produk dari Jawa.[13] Kedudukan Tiongkok juga sangat penting bagi kelangsungan perdagangan internasional pada masa itu. Oleh karena itu, Jawa sangat memperhatikan hubungan baik dengan negara tersebut. Selain alasan ekonomi, Jawa juga mengharapkan perlindungan dari musuh-musuhnya karena Tiongkok merupakan negara besar yang kuat. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman utusan dan persembahan yang sering dilakukan oleh-raja-raja Jawa kepada Tiongkok. Asia BaratKapal dagang Arab mulai memasuki perairan Asia Tenggara sejak awal abad ke-7 M dan berlanjut beberapa abad kemudian. Para pedagang Arab sampai di daerah Asia Tenggara dalam usahanya untuk mencari rempah-rempah dan obat-obatan.[14] Saat itu belum ada data yang membuktikan kedatangan pedagang Arab di Jawa karena prasasti-prasasti di Jawa tidak pernah memuat nama negara-negara ataupun berbagai dinasti di Timur Tengah. Namun perdagangan antara kedua negara ini diperkirakan sudah terjadi pada masa Jawa Kuno. Para pedagang Arab kemungkinan berada di antara para pedagang asing yang datang ke Jawa seperti yang disebutkan Chau-ju-kua.[22] Berita Tiongkok menunjukkan kedatangan pedagang negara-negara Ta-shi (Arab) ke Pulau Sumatra.[22] Berita dari Arab dari Al-Idrisi juga menyebutkan pulau Sumatra yang disebut dengan Javaga dan juga pulau-pulau di sekitarnya, tetapi tidak ada yang menyebutkan Jawa secara langsung. Namun barang-barang yang sampai ke Jawa dan minat pedagang Arab terhadap rempah-rempah menunjukkan bahwa pedagang Arab juga terlibat perdagangan dengan pedagang Jawa. Mereka bertemu di beberapa pelabuhan besar di Asia Tenggara. Salah satunya pelabuhan milik Sriwijaya. Laporan Chau-ju-kua dan berita Arab tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat komunitas pedagang Arab di pelabuhan Sriwijaya.[22] Oleh karena itu banyak pedagang Jawa yang pergi ke Sumatra untuk berdagang dengan orang Arab. Menurut De Casparis, para pedagang dari Jawa Timur pergi ke wilayah-wilayah di sebelah timur seperti maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi untuk menukarkan beras dan produk lainnya dengan rempah-rempah dan kayu cendana. Barang-barang tersebut dibawa ke Sriwijaya dan ditukarkan dengan keramik dari Tiongkok, kain dari India dan wangi-wangian dari negara-negara Arab.[38]
Komoditas perdaganganLetak Jawa kalah strategis jika dibandingkan dengan Sriwijaya yang merupakan saingan beratnya. Oleh karena itu, Jawa lebih mengandalkan komoditas perdagangan. Catatan Chou-ku-fei (1.178 M) menyebutkan bahwa Jawa lebih kaya dalam barang-barang mewah dan lebih bervariasi meskipun Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang lebih penting dalam hal barang-barang dari barat. Di dalam bukunya Chou-ku-fei mengatakan itu terjadi bukan hanya karena Jawa itu sendiri kaya, tetapi karena itu juga berfungsi sebagai pusat perdagangan bagi pulau-pulau di sebelah timur.[12] Prasasti dan naskah di Jawa hampir tidak ada yang menyebutkan barang-barang yang diperdagangkan dengan negara lain. Namun bukti lengkap tentang barang-barang tersebut bisa didapatkan dalam berita-berita asing. Jawa menghasilkan barang-barang yang dapat diekspor tetapi juga membeli barang-barang dari negara lain untuk dijual kembali. Menurut Chau-ju-kua, barang-barang tersebut juga didapatkan dari negara-negara jajahannya baik yang terdapat di Pulau Jawa maupun di pulau lain. Komoditas eksporBerita-berita Tiongkok banyak yang menyebutkan hasil bumi dari Jawa yang sering ditemui pedagang Tiongkok yang datang ke Jawa. Hasil bumi tersebut antara lain adalah beras, kacang-kacangan dan buah-buahan seperti pepaya, kelapa, pisang, tebu dan talas dan garam. Bahan-bahan makanan tersebut kemungkinan dibeli oleh pedagang-pedagang asing untuk mengisi perbekalan di kapal.[6] Selain bahan makanan, Jawa juga menghasilkan produk alami yang khusus diperdagangkan seperti barang-barang dari emas dan perak, cula badak, gading, kayu gaharu, kayu cendana, minyak adas manis, buah pinang, belerang dan kayu sapan, kulit penyu, kayu laka dan mutiara.[39] Chau ju-kua juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan lada, cengkih, kemukus dan kunyit. Meskipun bukan produk asli Jawa, peran rempah-rempah sangat besar dalam memberi keuntungan. Hal ini disebabkan karena beberapa produk lain seperti kayu gaharu dan kayu laka mempunyai kualitas yang paling rendah jika dibandingkan dengan San-fo-tsi (Sriwiyaya) dan Chen-la (Kamboja). Berita-berita asing menyebutkan bahwa di Jawa ditemukan berbagai macam rempah-rempah dan kayu cendana. Salah satunya, yaitu lada tersimpan dalam jumlah yang sangat banyak dan disimpan di gudang-gudang. Selain produk dari Pulau Jawa, diperkirakan rempah-rempah dan kayu cendana tersebut juga didapatkan dari Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara. Kerajaan Medang di Jawa juga dikenal oleh orang-orang Tiongkok sebagai penghasil barang kerajinan yang berkualitas. Barang-barang tersebut antara lain kain katun, tikar pandan, miniatur rumah dari kayu cendana dan pedang dengan gagang dari cula badak atau emas.[39]
Keterangan: * barang impor yang diekspor kembali Komoditas imporBarang-barang yang diimpor oleh Jawa juga sangat jarang disebut oleh prasasti. Salah satu prasasti yang menyebutkan barang impor yaitu Prasasti Sara an dari masa Sindok. Di dalamnya disebutkan ken bwat lor atau kain buatan daerah utara diantara benda-benda yang dipersembahkan pada pejabat dalam upacara sima. Selain itu dalam prasasti Turyyan disebutkan wdihan bwat kli atau mungkin dapat diartikan suatu kain yang dibuat di India. Jenis-jenis kain tersebut diperkirakan merupakan barang impor yang bernilai tinggi sehingga hanya diberikan kepada pejabat tinggi kerajaan, termasuk raja. Pakaian-pakaian India dan Tiongkok dibeli oleh kalangan elit yang lebih kaya. Kain India disukai karena warnanya yang cemerlang dan pola-polanya yang indah, serta kedudukannya sebagai barang langka.[40] Kadang-kadang kain dari India juga dibawa sebagai persembahan ke negara Tiongkok. Berita-berita Tiongkok tidak menyebutkan secara langsung barang-barang asing yang diperdagangkan di Jawa. Namun Chau Ju-Kua menyebutkan bahwa pedagang-pedagang asing melakukan pertukaran dengan menggunakan barang-barang seperti bejana emas dan perak, kain damask (sejenis kain yang tebal) hitam, sinabar, tawas, boraks, arsenik (warangan), keramik, dan barang-barang dari besi dan tembaga.[22] Pada masa Majapahit, pedagang Jawa mengimpor bahan pakaian terutama jubah untuk pendeta dan alat-alat upacara, kemungkinan hal ini sudah berlangsung pada masa sebelumnya sejalan dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Jawa.[35] Di antara barang-barang impor tersebut, keramik merupakan barang yang banyak disukai di Jawa dan negara di Asia Tenggara lainnya. Permintaan besar-besaran di Asia Tenggara ini tidak hanya dipenuhi oleh Tiongkok saja tetapi juga dari Asia Tenggara sebelah utara (Kamboja dan Vietnam). Pada akhir abad 12, jumlah keramik impor yang semakin meningkat mulai didatangkan dari tempat pembakaran bertemberatur tinggi di Kamboja dan Vietnam utara. Namun keramik campur kaca berkualitas tinggi dari Tiongkok merupakan barang dagangan utama untuk jarak yang lebih jauh lagi karena dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang lebih tinggi daripada tempat pembakaran di Asia Tenggara.[41]
Sistem transaksiDalam masyarakat tradisional, pemimpin atau raja dengan para elit sering bertindak sebagai pedagang. Hal ini terkait tugas diplomatik dan peperangan untuk memperoleh barang atau komoditas yang berasal dari tempat yang jauh.[42] Perdagangan dapat dibedakan menjadi tiga macam:
Selain itu masih terdapat sistem barter dan perdagangan bisu (silent trade) yang merupakan peralihan dari perdagangan resiprokal ke sistem pasar.[43] Berdasarkan data tertulis, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa menggunakan sistem perdagangan resiprokal maupun perdagangan dengan sistem pasar. Perdagangan resiprokal dapat dilakukan dengan model pertukaran pusat redistribusi dan biasanya dilakukan di pusat oleh para penguasa.[44] Hal ini diwujudkan dengan pengiriman utusan, antara lain ke Tiongkok dan India. Sebaliknya, para pedagang asing juga memberikan hadiah kepada raja di Jawa sebagai permohonan izin untuk berdagang di wilayahnya. Perdagangan dengan sistem pasar diperkirakan berlangsung sejak abad ke-3 SM di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan dimanfaatkannya sistem transaksi dengan mata uang pada periode tersebut. Perdagangan ini dapat dilakukan langsung maupun dengan perantara.[44] Perdagangan di Jawa juga sudah menggunakan sistem transaksi dengan uang sejak kerajaan Mataram Kuno masih berpusat di Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan temuan arkeologis dan penyebutan nama ukuran mata uang dalam prasasti. Namun berita Tiongkok juga menyebutkan bahwa sistem barter dalam berdagang masih tetap digunakan dalam transaksi dengan pedagang asing meskipun orang-orang Jawa sudah dapat membuat mata uang dari potongan emas dan perak. Mata uang Tiongkok juga digunakan dalam transaksi. Hal ini dibuktikan dalam Chu-fan-chi yang menyebutkan adanya pedagang yang menyelundupkan mata uang perunggu dari Tiongkok.[22] Lihat pulaReferensi
|