Permaisuri Michiko
Michiko (美智子), dahulunya Shōda Michiko (正田 美智子 ); (lahir 20 Oktober 1934) adalah mantan Permaisuri Kaisar Jepang sebagai istri dari Kaisar Akihito, Kaisar Jepang sebelumnya (ke-125). Michiko adalah permaisuri pertama yang berasal dari kalangan non-bangsawan dan kelompok agama minoritas di Jepang. Kehidupan awal dan pendidikanShōda Michiko lahir pada 20 Oktober 1934 di Rumah Sakit Universitas Tokyo di Bunkyō, Tokyo. Dia adalah anak kedua dari Shōda Hidesaburō, presiden dan kepala kehormatan dari Nisshin Flour Milling Company. Dia adalah keponakan Shōda Kenjirō, seorang matematikawan dan presiden Universitas Osaka pada tahun 1954 sampai 1960.[1] Keluarganya sangat memerhatikan pendidikannya, diberi pendidikan tradisional dan Barat seperti bahasa Inggris, piano, melukis, memasak, dan kōdō. Michiko masuk ke sekolah dasar Futaba di Kōjimachi, Chiyoda, Tokyo, tetapi harus keluar saat kelas empat lantaran bombardir Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Dia kemudian dididik secara berturut-turut di prefektur Kanagawa (di kota Katase, sekarang bagian dari kota Fujisawa), Gunma (di Tatebayashi, kota asal keluarga Shōda), dan Nagano (di kota Karuizawa, tempat Shōda punya rumah resor kedua). Dia kembali ke Tokyo pada tahun 1946 dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di Futaba. Michiko menempuh pendidikan SMP dan SMA di yayasan Katholik Sekolah Hati Kudus (聖心女子学院, Seishin Joshi Gakuin) di Minato, Tokyo. Dia lulus dari sekolah tinggi pada tahun 1953. Pada tahun 1957, ia lulus summa cum laude dari Fakultas Sastra di Universitas Hati Kudus (聖心女子大学, Seishin Joshi Daigaku) dengan gelar Bachelor of Arts dalam sastra Inggris. Dia juga mengambil kursus di Harvard dan Oxford.[2] Lantaran berasal dari keluarga kaya, orang tua Michiko sangat selektif dalam mencarikan jodoh untuknya. Ada beberapa nama yang direncanakan akan menjadi calon mempelainya pada pernikahan yang direncanakan akan dilangsungkan pada 1950-an,[3] salah satunya adalah Hiraoka Kimitake (terkenal dengan nama pena Mishima Yukio), seorang penulis dan sutradara. PernikahanPada Agustus 1957, dia bertemu Akihito, saat itu seorang putra mahkota, di lapangan tenis di Karuizawa, dekat Nagano. Badan Rumah Tangga Kekaisaran secara resmi menyetujui pertunangan mereka pada 27 November 1958. Media saat itu menggambarkan hubungan Akihito dan Michiko sebagai "cerita dongeng" yang nyata[3] atau "kisah asmara di lapangan tenis." Upacara pertunangan mereka dilangsungkan pada 14 Januari 1959. Pada masa itu, media beranggapan bahwa Badan Rumah Tangga Kekaisaran akan menjodohkan Akihito dengan wanita dari keluarga bangsawan atau cabang dari klan kaisar sebagaimana tradisi turun-temurun pernikahan istana. Meski berasal dari keluarga kaya, keluarga Shoda tetap dipandang sebagai rakyat jelata lantaran tidak memiliki latar belakang bangsawan. Keluarganya yang menganut Katholik juga menjadi alasan lain pihak tradisionalis untuk menentang perjodohan mereka.[4] Meski tidak pernah dibaptis, Michiko dididik di lembaga Katholik dan tampaknya memiliki keyakinan yang sama dengan orangtuanya. Kabar juga tersiar bahwa salah satu penentang perjodohan itu adalah ibu Akihito sendiri, Nagako, Permaisuri Kōjun. Setelah Nagako meninggal pada tahun 2000, Reuters melaporkan bahwa pada tahun 1960, Nagako membuat menantu perempuan dan cucunya depresi lantaran disalahkan terus-menerus sebagai sosok yang tidak pantas mendampingi putranya.[5] Mishima Yukio yang seorang tradisionalis berpandangan bahwa pernikahan ini akan menjadikan keluarga kaisar kehilangan kewibawaannya.[6] Meski demikian, masyarakat luas mendukung perjodohan mereka, begitu pula para politisi. Michiko kemudian menjadi lambang modernisasi dan demokrasi. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan upacara adat Shinto pada 10 April 1959. Selain diikuti di jalan-jalan Tokyo oleh lebih dari 500.000 orang yang tersebar di jalanan sepanjang 8,8 km, prosesi pernikahan ini juga menjadi pernikahan keluarga istana pertama yang disiarkan di televisi, dengan penonton sekitar 15 juta pemirsa.[6] Akihito dan Michiko kemudian tinggal di Istana Tōgū (東宮御所, Tōgū-gosho), secara harfiah bermakna "Istana Timur", yang merupakan kediaman pewaris takhta. PeranPernikahan Michiko dengan Akihito menjadikannya secara resmi tergabung dengan keluarga istana. Sebagai istri putra mahkota, Michiko menerima gelar kōtaishihi (皇太子妃). Saat Hirohito mangkat pada tahun 1989, Akihito naik takhta menjadi kaisar. Sebagai istri kaisar, Michiko menjadi seorang permaisuri (皇后, kōgō). Dia adalah permaisuri pertama yang berasal dari keluarga non-bangsawan dan kalangan agama minoritas. Sejak menjadi bagian keluarga kaisar, Michiko mendampingi Akihito dalam berbagai kegiatan. Mereka mengunjungi 47 prefektur di Jepang sebagai upaya untuk memudarkan sekat antara keluarga istana dan masyarakat. Mendampingi suami, Michiko turut serta dalam berbagai lawatan kenegaraan, menerima tamu resmi, juga mengunjungi lembaga sosial, amal, dan budaya. Pada tahun 2007, Michiko melakukan tugas dalam kapasitas resminya lebih dari 300 kali.[7] Mereka juga mengunjungi lembaga perawatan anak dan lansia. Setelah Ibu Suri Nagako meninggal pada tahun 2000, Michiko meneruskan perannya sebagai Presiden Kehormatan Palang Merah Jepang.[8] Mengunjungi korban bencana menjadi salah satu upaya mendekatkan keluarga kekaisaran dengan masyarakat. Setelah gempa bumi besar Hanshin terjadi pada 1995 dan mengakibatkan kematian lebih dari 6.000 jiwa, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko mengunjungi wilayah Kobe dan berlutut di hadapan korban yang selamat, mendobrak tradisi istana.[9] Menanggapi gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011 dan bencana nuklir Fukushima Daiichi, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko juga berkunjung ke tempat penampungan sementara pada Rabu, 30 Maret 2011, untuk membangkitkan harapan para korban.[10] Michiko juga bertanggung jawab dalam pertanian sutra di kebun istana. Dia ikut serta dalam panen sutra tahunan, secara pribadi memberi makan ulat sutra dengan daun mulberi. Pembuatan dan panen sutra merupakan salah satu tugas seremonial Michiko sebagai permaisuri yang berkait dengan tradisi Shinto dan Jepang. Dari 1994 hingga 2019, Michiko menyumbangkan sebagian dari sutra yang dipanen dari varietas koishimaru (spesies tertua yang sekarang dijaga di Jepang) ke rumah perbendaharaan Shōsōin di wihara Buddha Tōdai-ji di Nara yang akan digunakan untuk perbaikan rumah perbendaharaannya.[7] Sebagai permaisuri, Michiko juga diharapkan memegang tradisi dan nilai kesantunan dan kesucian. Dia menunjukkan rasa tanggung jawab yang kuat dalam melaksanakan tugas, menjadikannya cukup populer di kalangan rakyat Jepang. Michiko juga ikut serta dalam upacara keagamaan seperti mengunjungi beberapa kuil Shinto. Setelah Akihito turun takhta pada 30 April 2019, Michiko menerima gelar "purna-permaisuri/permaisuri emerita" (上皇后, jōkōgō). Kehidupan pribadiPada 1963, meida melaporkan bahwa Michiko menggugurkan kandungannya yang berusia tiga bulan atas nasihat dokternya, Kobayashi Takashi, dengan alasan bahwa kesehatan Michiko sudah memburuk sejak sebelum kehamilan.[11] Berbeda dengan tradisi lama yang mengharuskan anak-anak di keluarga kaisar hidup terpisah dari orangtuanya dan dididik oleh guru pribadi, Akihito dan Michiko merawat dan mendidik sendiri tiga anak mereka. Michiko bahkan menyusui mereka sendiri.[12] Michiko juga sempat mengalami gangguan syaraf lantaran tekanan media dan, menurut Reuters, juga lantaran tekanan dari ibu mertuanya yang mengakibatkan dia kehilangan suara selama tujuh bulan pada 1960-an dan lagi pada musim gugur tahun 1993. Michiko juga membatalkan banyak tugas resminya pada tahun 2007 saat menderita seriawan, mimisan, dan pendarahan usus lantaran tekanan psikologis, sebagaimana pernyataan dokternya.[13] Rujukan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Empress Michiko.
|