Persoalan YahudiPersoalan Yahudi (The Jewish Question) adalah nama yang diberikan untuk serangkaian perdebatan di kalangan warga Eropa terkait status dan perlakuan yang pantas bangsa Yahudi di dalam masyarakat. Pembahasannya meliputi status sipil, hukum, dan nasional orang Yahudi selaku kaum minoritas di Eropa. Perdebatan ini dimulai oleh masyarakat, politikus, dan penulis di Eropa Barat dan Tengah yang dipengaruhi Zaman Pencerahan dan Revolusi Prancis. Isu yang diangkat meliputi batasan hukum dan ekonomi Yahudi, kesetaraan, emansipasi Yahudi, dan Pencerahan Yahudi. Istilah ini juga sering digunakan oleh para pendukung antisemitisme sejak 1880-an serta pendukung maupun penentang negara Yahudi. Pada abad ke-20, pemerintahan Nazi di Jerman memutuskan untuk memusnahkan bangsa Yahudi. Heinrich Himmler merupakan perancang rencana ini, dan pemimpin Jerman Nazi Adolf Hitler menyebutnya sebagai "solusi akhir bagi persoalan Yahudi" (bahasa Jerman: die Endlösung der Judenfrage). Rencana ini diwujudkan dengan genosida sistematis enam juta orang Yahudi oleh pemerintah Jerman Nazi dan kolaboratornya pada Perang Dunia II, yang kemudian dikenal sebagai Holokaus. SejarahIstilah "Persoalan Yahudi" pertama kali digunakan di Britania Raya sekitar tahun 1750. Menurut pakar Holocaust Lucy Dawidowicz, "Persoalan Yahudi" yang diperkenalkan di Eropa Barat adalah istilah netral untuk menyebut sikap negatif terhadap singularitas (keeksklusifan) orang Yahudi sebagai kaum di tengah-tengah bangkitnya nasionalisme politik dan negara bangsa baru. Dawidowicz menulis bahwa "sejarah emansipasi Yahudi dan antisemitisme Eropa penuh dengan 'solusi persoalan Yahudi' yang tersedia saat itu.'"[1] Persoalan ini kemudian dibahas di Prancis ("la question juive") pasca Revolusi Prancis tahun 1789, lalu muncul di Jerman melalui tulisan Bruno Bauer, Die Judenfrage. Sejak saat itu, ratusan traktat, pamflet, artikel berita, dan buku yang mengangkat persoalan Yahudi diterbitkan. Banyak yang menawarkan "solusi" seperti pemindahan tempat tinggal (resettlement), deportasi, dan asimiliasi penduduk Yahudi. Sama halnya, ratusan karya tulis pun muncul menentang "solusi" tersebut dan menawarkan solusi lain seperti reintegrasi dan pendidikan. Perdebatan ini tidak menentukan apakah Persoalan Yahudi ada sangkut pautnya dengan masalah yang dialami penentang Yahudi Jerman saat itu, atau sebaliknya, masalah yang dialami penentang justru diakibatkan oleh keberadaan penduduk Yahudi Jerman. Sejak sekitar 1860, istilah ini mulai memberi tendensi yang lebih antisemit. Orang Yahudi dideskripsikan sebagai penghambat identitas dan kepaduan bangsa Jerman sekaligus musuh di dalam negara Jerman. Para antisemit seperti Wilhelm Marr, Karl Eugen Dühring, Theodor Fritsch, Houston Stewart Chamberlain, Paul de Lagarde, dan lainnya menyebut Persoalan Yahudi sebagai masalah rasial yang tak dapat diselesaikan melalui integrasi. Mereka berkata seperti ini agar tuntutan "deyahudisasi" pers, pendidikan, pemerintah, ekonomi, dan budaya terdengar lebih masuk akal. Mereka menuntut penolakan masyarakat terhadap pernikahan campur antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Mereka juga memakai definisi tersebut untuk mencegah orang Yahudi menempati posisi yang lebih mendominasi secara sosial. Istilah ini sangat sering digunakan oleh Nazi pada awal dan pertengahan abad ke-20 yang kemudian berujung pada penerapan "Solusi Akhir untuk persoalan Yahudi" pada Perang Dunia II.[2][3] PenggunaanKata-kata "persoalan Yahudi" diketahui muncul pertama kali saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Yahudi 1753 di Inggris.[4] Menurut Otto Dov Kulka[5] dari Hebrew University, istilah ini mulai meluas penggunannya pada abad ke-19 setelah diskusi emansipasi Yahudi di Jerman (Judenfrage).[4] Bruno BauerDalam buku The Jewish Question yang diterbitkan tahun 1843, Bauer berpendapat bahwa penduduk Yahudi dapat meraih emansipasi politik apabila mereka melepaskan pemikiran agamanya karena emansipasi politik membutuhkan negara sekuler, dan negara sekuler tidak meninggalkan "ruang" apapun untuk identitas sosial seperti agama. Menurut Bauer, tuntutan agama tidak cocok dengan ide yang tertuang dalam "Rights of Man". Kata Bauer, emansipasi politik yang sejati memerlukan penghapusan agama. Karl MarxKarl Marx menulis balasan untuk Bauer melalui esainya tahun 1884, On the Jewish Question. Marx menolak pandangan Bauer bahwa agama Yahudi mencegah asimilasi Judaisme. Marx berfokus pada peran sosial dan ekonomi penduduk Yahudi di Eropa yang lenyap setelah kapitalisme, dasar materi Judaisme, berasimilasi ke seluruh lapisan masyarakat Eropa.[6] Marx menggunakan esai Bauer sebagai bahan analisisnya tentang hak-hak liberal. Marx berpendapat bahwa Bauer keliru saat berasumsi bahwa di sebuah "negara sekuler", agama tidak lagi memainkan peran penting dalam kehidupan sosial serta mengambil contoh pembauran agama di Amerika Serikat yang, tidak seperti Prusia, tidak punya agama resmi. Dalam analisis Marx, "negara sekuler" tidak menolak keberadaan agama, melainkan sudah membayangkannya duluan. Pencabutan syarat agama atau kekayaan untuk warga negara bukan berarti penghapusan agama atau kekayaan, melainkan memperkenalkan cara memandang manusia secara abstrak (tanpa melihat agama maupun kekayaannya).[7] Di catatannya, Marx keluar dari persoalan kebebasan beragama dan mempermasalahkan analisis "emansipasi politik" Bauer. Marx menyimpulkan bahwa meski manusia dapat bebas 'secara spiritual' dan 'secara politik' di suatu negara sekuler, mereka masih bisa mengalami hambatan kebebasan secara material akibat kesenjangan ekonomi. Asumsi tersebut kelak menjadi dasar kritik Marx terhadap kapitalisme. Pasca-MarxWerner Sombart memuji kaum Yahudi karena kapitalismenya dan menyebut kaum Yahudi Pemerintahan (Court Jew) abad ke-17 dan 18 sebagai orang-orang yang berhasil terintegrasi dengan masyarakat sekaligus contoh bagi integrasi masyarakat.[8] Pada pergantian abad ke-20, perdebatan masih berlangsung dan mencuat lagi pasca Skandal Dreyfus di Prancis. Di kalangan elit agama dan politik, beberapa pihak terus mendukung asimilasi dan keterlibatan politik di Eropa,[butuh rujukan] sedangkan pihak lainnya seperti Theodore Herzl mendukung pembentukan negara Yahudi khusus dan perjuangan Zionis.[9] Antara 1880 dan 1920, jutaan warga Yahudi mencari solusinya sendiri untuk kasus pogrom di Eropa Timur dengan cara emigrasi ke tempat lain seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Solusi AkhirDi Jerman Nazi, istilah Persoalan Yahudi (bahasa Jerman: Judenfrage) mengacu pada artian bahwa eksistensi warga Yahudi di Jerman menghadirkan masalah bagi negara. Pada tahun 1933, dua teoriwan Nazi, Johann von Leers dan Achim Gercke, sama-sama mengusulkan bahwa Persoalan Yahudi dapat diselesaikan secara manusiawi dengan merelokasi warga Yahudi ke Madagaskar atau daerah lain di Afrika atau Amerika Selatan. Kedua teoriwan ini mendiskusikan keuntungan dan kerugian mendukung kaum Zionis Jerman, namun von Leers menegaskan bahwa pembentukan tanah air Yahudi di Palestina Britania akan menciptakan masalah kemanusiaan dan politik di kawasan itu.[10] Setelah berkuasa tahun 1933, Hitler dan pemerintahan Nazi mulai menjalankan serangkaian tindakan radikal untuk memisahkan (segregasi) dan mengusir penduduk Yahudi dari Jerman dan seluruh Eropa.[11] Tahap selanjutnya adalah penindasan warga Yahudi dan pencabutan kewarganegaraan penduduk Yahudi melalui Hukum Nuremberg.[12][13] Pada Perang Dunia II, aksi yang diterapkan berubah menjadi penahanan di kamp konsentrasi[14] dan berakhir dengan pemusnahan sistematis kaum Yahudi (Holocaust)[15] yang dilaksanakan sebagai Solusi Akhir bagi Persoalan Yahudi.[2][16][17] PropagandaPropaganda Nazi dibuat untuk memanipulasi masyarakat, terutama yang ditulis oleh orang-orang seperti Eugen Fischer, Fritz Lenz, dan Erwin Baur dalam buku Dasar Ajaran yang Diturunkan dan Kemurnian Ras Manusia, serta buku Die Freigabe der Vernichtung lebensunwerten Lebens ("Menghancurkan Kehidupan yang tak Pantas Hidup") karya Karl Binding dan Alfred Hoche atau beasiswa semu yang dirintis Gerhard Kittel. Lihat pula
Bacaan lanjutan
Referensi
Pranala luar |