Share to:

 

Pertempuran Cartagena (209 SM)

Pertempuran Cartagena Baru terjadi pada awal tahun 209 SM saat pasukan Romawi yang dipimpin oleh Publius Cornelius Scipio berhasil merebut kota Cartagena Baru (Nova Carthago), ibu kota wilayah Iberia yang dikuasai oleh Kartago. Kota tersebut dijaga oleh garnisun yang berada di bawah komando Mago. Peristiwa ini menjadi bagian penting dalam rangkaian Perang Punik II.

Pada tahun 211 SM, pasukan Romawi di Iberia (kini wilayah Spanyol dan Portugal) mengalami kekalahan telak dalam Pertempuran Baetis Hulu. . Kekalahan ini memaksa Romawi mengirim bala bantuan pada awal tahun 210 SM. Publius Cornelius Scipio mengambil alih komando pasukan pada akhir tahun yang sama dengan membawa pasukan tambahan. Menyadari sulitnya mengalahkan tiga kekuatan utama Kartago yang mendominasi semenanjung Iberia, Scipio mengalihkan strateginya untuk menyerang pusat logistik dan administrasi kekuatan Kartago, yaitu Cartagena Baru. Scipio tiba di depan Cartagena Baru pada awal tahun 209 SM. Setelah mengalahkan pasukan Kartago yang berjaga di luar tembok kota, ia memusatkan serangan ke gerbang timur. Pada saat yang sama, pasukan Romawi dari armada laut mencoba memanjat tembok bagian selatan melalui wilayah pelabuhan. Namun, kedua serangan tersebut berhasil dipatahkan oleh pertahanan Kartago.

Pada sore hari, Scipio memerintahkan serangan baru dengan memanfaatkan kelemahan musuh. Garnisun Kartago, yang dipimpin oleh Mago, memindahkan sebagian besar pasukannya dari tembok utara untuk memperkuat pertahanan di sisi timur. Mengetahui hal ini, Scipio mengarahkan 500 tentaranya untuk melintasi laguna dangkal yang terletak di utara kota. Pasukan ini berhasil memasuki tembok utara tanpa perlawanan berarti, membuka gerbang dari dalam, dan memungkinkan pasukan utama Romawi menyerbu ke dalam kota. Setelah pertahanan kota runtuh, Cartagena Baru dijarah. Mago menyerah dan menyerahkan benteng serta sisa pasukannya. Romawi memperoleh sejumlah besar logam mulia dan persenjataan. Cartagena Baru kemudian menjadi pusat logistik utama bagi kampanye militer Romawi di Iberia. Dalam beberapa tahun berikutnya, yaitu pada 206 SM, Kartago sepenuhnya kehilangan pengaruhnya di semenanjung Iberia.

Latar belakang

Ketika Perang Punik II pecah antara Romawi dan Kartago pada tahun 218 SM, sebagian besar wilayah Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) berada di bawah kendali Kartago atau sekutunya.[1] Sebagai salah satu langkah awal dalam perang ini, Romawi mengirim pasukan ke timur laut Iberia untuk membangun pijakan di wilayah tersebut.[2] Selama tujuh tahun berikutnya, kampanye militer Romawi diwarnai oleh kemenangan dan kekalahan yang silih berganti. Pada puncaknya, Romawi merekrut 20.000 tentara bayaran Keltiberia untuk memperkuat pasukan regulernya dan melanjutkan serangan ke selatan Iberia. Di wilayah selatan, pasukan Romawi dibagi menjadi dua kelompok. Namun, pengkhianatan oleh tentara bayaran Keltiberia menyebabkan kekalahan besar dalam dua pertempuran terpisah pada tahun 211 SM.[2][3]

Untuk mengatasi situasi kritis tersebut, Gaius Claudius Nero, seorang jenderal sekaligus konsul Romawi, tiba di Iberia pada tahun 210 SM dengan membawa bala bantuan. Nero berhasil menstabilkan keadaan dengan mempertahankan pemondokan kecil di timur laut Iberia.[3] Di penghujung tahun yang sama, Publius Cornelius Scipio,[note 1] seorang jenderal muda berusia pertengahan 20-an, tiba di Iberia dengan pasukan tambahan untuk menggantikan Nero sebagai komandan utama semua pasukan Romawi di wilayah tersebut.[5][6] Usia muda Scipio menjadi perhatian karena menurut standar Romawi, ia dianggap terlalu muda dan tidak berpengalaman untuk memegang komando sebesar itu.[7] Meski begitu, ia mengambil alih pasukan sebanyak 31.000 orang, terdiri dari 28.000 infanteri dan 3.000 kavaleri.[8]

Di Iberia, terdapat tiga pasukan Kartago yang masing-masing memiliki kekuatan setara atau bahkan lebih besar dibandingkan pasukan Romawi. Ketiga pasukan ini dipimpin oleh panglima-panglima Kartago yang beroperasi di wilayah yang berbeda, seperi Hasdrubal Barca, panglima utama Kartago di Iberia, memimpin pasukan di wilayah tengah,[note 2] Pasukan kedua ditempatkan di dekat kota Gades Gades (sekarang Cádiz), dan Pasukan ketiga berada di Lusitania (sekarang wilayah Portugal). Pembagian pasukan ini membuat Kartago sulit untuk saling mendukung secara cepat dan efektif. Hal ini memberikan peluang bagi Scipio untuk memfokuskan serangan pada salah satu pasukan Kartago, terutama pasukan di bawah komando Hasdrubal yang berada di wilayah paling dekat dengan pangkalan Romawi di Tarraco (sekarang Tarragona).[12][13][14]

Pada masa itu, sulit untuk memaksa lawan yang enggan bertempur untuk menghadapi pertempuran terbuka. Pertempuran sengit biasanya diawali oleh dua pasukan akan berkemah dalam jarak 2–12 kilometer selama beberapa hari atau minggu, bahkan saling berhadapan dalam formasi perang setiap hari tanpa ada bentrokan. Jika salah satu komandan merasa tidak diuntungkan, mereka dapat memilih untuk mundur tanpa bertempur atau tetap berada di dalam kemah bentengnya.[15][16] Strategi semacam ini dapat menyebabkan kampanye yang tidak menghasilkan kemenangan apapun. Dalam situasi seperti itu, pasukan Romawi harus mundur, yang akan merusak moral sekutu Iberia dan mungkin memicu pembelotan lebih lanjut. Sebaliknya, jika salah satu pasukan Kartago bergabung untuk mendukung Hasdrubal, hal itu bisa menciptakan peluang bagi Kartago untuk mengulangi kemenangan besar seperti pada tahun 211 SM.[17][12] Kekalahan Romawi pada tahun 211 SM telah merusak reputasi mereka di mata suku-suku Iberia. Kemenangan cepat diperlukan untuk memulihkan moral sekutu yang setia kepada Roma dan menarik dukungan dari pihak lain.[18] Di sisi lain, kegagalan untuk menunjukkan kekuatan akan semakin mendorong pembelotan dan melemahkan posisi Romawi di wilayah tersebut.[19]

Persiapan pertempuran

Arca dada marmer Publius Cornelius Scipio dari abad ke-2 SM[20][21]

Ketika tiba di Iberia pada tahun 209 SM, Publius Cornelius Scipio segera mengambil langkah agresif. Daripada menghadapi salah satu pasukan Kartago secara langsung, ia memilih untuk menyerang pusat kekuatan material Kartago di Iberia, yaitu ibu kotanya, Cartagena Baru.[22] Kota ini didirikan sekitar tahun 217 SM oleh Hasdrubal yang Adil,[note 3] penguasa Iberia Kartago kala itu. Cartagena Baru memiliki pelabuhan laut dalam yang luas dengan fasilitas mumpuni, menjadikannya titik strategis untuk perjalanan dari dan ke Kartago.[24][25] Selain itu, kota ini juga dikelilingi oleh tambang-tambang perak yang kaya di pegunungan sekitarnya.[23]

Pelabuhan Cartagena Baru terletak di teluk yang menghadap ke selatan dengan lebar pintu masuk sekitar 600 meter (2.000 ft). Kota ini berada di pesisir utara teluk, di atas dan di antara lima bukit yang membentuk tanjung berbukit. Bukit promontori ini memisahkan teluk dari laguna dangkal yang luas di utara. Satu-satunya akses ke daratan utama adalah melalui tanah genting selebar 300-meter (300 yd) di sisi timur. Laguna di utara terhubung dengan teluk melalui saluran sempit di sebelah barat kota.[26] Letak Cartagena Baru berada sekitar 450 kilometer (280 mi) di selatan pangkalan utama Romawi.[27]

Untuk mempersiapkan serangan, Scipio mengirim mata-mata untuk mengumpulkan informasi tentang geografi, pertahanan, dan garnisun kota tersebut. Mereka melaporkan bahwa Cartagena Baru dilindungi oleh tembok tinggi dan kokoh sepanjang 3.700 meter (12.000 ft), sebagian besar menghadap perairan terbuka. Akses utama ke kota ini adalah melalui gerbang timur yang diperkuat dengan baik.[23][28] Sebagai pusat logistik utama Kartago di Iberia, Cartagena Baru digunakan sebagai tempat percetakan uang, penyimpanan harta, galangan kapal militer, dan gudang peralatan perang. Selain itu, banyak tawanan dari suku-suku Iberia juga ditahan di kota ini sebagai sandera untuk memastikan kepatuhan suku mereka kepada Kartago.

Panglima Kartago di Cartagena Baru, Mago,[note 4] hanya memiliki 1.000 pasukan reguler. Ia kemudian memperkuat garnisunnya dengan 2.000 milisi lokal yang terlatih dan sejumlah pasukan tidak tetap dari penduduk setempat.[note 5][31][32][22] Informasi penting lain yang diperoleh Scipio adalah tentang kondisi laguna di utara, termasuk dampak pasang surut dan angin yang memungkinkan wilayah ini dilalui.[14]

Meskipun serangan terhadap kota berbenteng seperti Cartagena Baru merupakan misi berisiko tinggi, Scipio yakin akan strateginya.[14][33] Kota yang dilindungi dengan baik biasanya hanya dapat direbut melalui pengkhianatan internal atau pengepungan yang memakan waktu berbulan-bulan. Namun, dalam kasus ini, pengkhianatan tidak mungkin terjadi, sementara pengepungan terlalu berisiko karena akan memberikan waktu bagi salah satu pasukan Kartago untuk datang membantu. Scipio tahu bahwa Romawi hanya memiliki waktu satu hingga dua pekan untuk merebut kota ini sebelum bala bantuan musuh tiba.[note 6][33][35]

Pada awal 209 SM, Scipio meninggalkan 3.000 infanteri dan 300 kavaleri untuk menjaga wilayah Romawi di Iberia. Dengan membawa sisa pasukannya, yaitu 25.000 infanteri dan 2.500 kavaleri, ia bergerak ke selatan menuju Cartagena Baru.[36][14] Armada yang terdiri dari 35 galai dipimpin oleh wakilnya, Gaius Laelius, yang akan bertemu dengan pasukan utama di Cartagena Baru.[37] Perjalanan ini dirahasiakan dengan baik sehingga hanya Scipio dan Laelius yang mengetahui tujuan akhir mereka hingga titik tertentu di perjalanan.[38]

Pertempuran

Ilustrasi yang menggambarkan Cartagena Baru serta berbagai serbuan dan gerakan tipuan pasukan Romawi

Serangan pertama

Setelah perjalanan cepat menuju Cartagena Baru, pasukan Romawi mendirikan kemah di atas bukit yang terletak di tengah tanah genting, penghubung antara kota dan daratan utama. Kemah tersebut didirikan tepat di seberang gerbang utama kota. Untuk melindungi posisi mereka, Romawi membangun benteng dan parit di sisi belakang (timur) kemah, namun tidak memperkuat sisi yang menghadap gerbang utama.[39] Komandan Kartago, Mago, menempatkan sebagian pasukan regulernya di benteng, yang berada di sisi barat kota, sementara sisanya berjaga di sekitar tembok selatan. Sebanyak 2.000 milisi dikerahkan di dekat gerbang timur, sedangkan pasukan lainnya yang tidak terlatih dilengkapi dengan proyektil dan ditempatkan di sepanjang perimeter kota. Sebelum serangan dimulai, Scipio menyampaikan pidato yang membangkitkan semangat pasukan Romawi. Keesokan harinya, mereka melancarkan serangan dengan dua strategi utama: armada Romawi menyerang tembok selatan dari arah pelabuhan, sementara 2.000 legiuner terpilih menyerang gerbang timur serta tembok di kedua sisinya menggunakan tangga untuk memanjat tembok.[40][41]

Dalam tradisi Perang Punik, garnisun kota yang dikepung biasanya memilih untuk menghadapi musuh di luar tembok mereka. Kegagalan melakukannya dianggap sebagai tanda kelemahan dan kurangnya kepercayaan diri.[42] Cartagena Baru tidak terkecuali; sebanyak 2.000 milisi Kartago keluar melalui gerbang timur untuk menghadapi pasukan Romawi. Pertempuran awal terjadi lebih dekat ke kemah Romawi daripada kota, dengan jarak sekitar 400 meter (1.300 ft) dari gerbang. Karena sempitnya tanah genting, Romawi tidak dapat memanfaatkan jumlah pasukan mereka yang lebih besar untuk mengepung Kartago.[40] Pada awalnya, milisi Kartago mampu memberikan perlawanan yang efektif. Namun, seiring berjalannya waktu, Romawi memanfaatkan keunggulan mereka dengan menggantikan prajurit yang terluka atau lelah menggunakan pasukan cadangan dari kemah. Sebaliknya, Kartago tidak memiliki cadangan semacam itu. Akibatnya, barisan Kartago mulai tertekan, mundur, dan akhirnya tercerai-berai.[43]

Pasukan Romawi mengejar milisi yang melarikan diri, menyebabkan kerugian besar di pihak Kartago. Ketika pasukan Kartago berusaha kembali melalui gerbang timur,[28][43] Romawi mencoba memanfaatkan momen ini untuk menerobos gerbang sebelum ditutup. Namun, upaya ini gagal.[44][45] Romawi kemudian beralih untuk menyerang tembok di kedua sisi gerbang sebelum pasukan pertahanan dapat berkumpul kembali. Serangan ini melibatkan pemanjatan tangga di tengah tembakan proyektil dari pasukan Kartago yang mempertahankan tembok. Sementara itu, marinir dari armada Romawi melancarkan serangan serupa di tembok selatan. Pada awalnya, pasukan Kartago berhasil menahan kedua serangan tersebut. Setelah milisi yang tersisa bergabung kembali dengan pertahanan di tembok, jumlah korban di pihak Romawi terus bertambah. Kondisi ini membuat keberhasilan tampak tidak mungkin tercapai. Menyadari hal tersebut, Scipio akhirnya memutuskan untuk menghentikan serangan.[46]

Serangan kedua

Setelah serangan pertama gagal, tindakan yang lazim dilakukan adalah menunggu beberapa hari sebelum melanjutkan serangan berikutnya.[47] Namun, Romawi membuat kejutan dengan melancarkan serangan baru pada sore hari di hari yang sama. Mereka menggunakan pasukan segar dan tangga tambahan untuk menyerbu tembok kota. Armada Romawi di bawah komando Gaius Laelius kembali menyerang tembok selatan dari arah pelabuhan. Sementara itu, sebuah unit infanteri bergerak ke arah saluran di barat kota sebagai upaya pengalihan. Serangan utama tetap difokuskan pada gerbang timur dan tembok di sekitarnya. Kartago, yang telah menghabiskan sebagian besar amunisi untuk menangkis serangan pagi hari, kesulitan memberikan perlawanan efektif. Meskipun berhasil mempertahankan tembok dengan susah payah, komandan Kartago, Mago, terpaksa memindahkan pasukan untuk memperkuat wilayah yang terancam. Langkah ini melemahkan pertahanan di tembok utara, yang tidak terancam secara langsung.[47][48] Scipio, yang telah mengantisipasi kemungkinan ini, mengerahkan 500 pasukan cadangan untuk menyerang tembok utara. Namun, untuk mencapai tujuannya, mereka harus melintasi laguna yang luas.[47][45]

Sejarawan Yunani[49][50][51] Polibius mencatat bahwa setiap sore air di laguna utara Cartagena Baru surut, memungkinkan pasukan Romawi untuk melintasinya dengan mudah. Menurutnya, Scipio telah mempelajari fenomena ini selama pengumpulan informasi di Tarraco dan merancang serangan untuk memanfaatkan kelemahan ini. Namun, sejarawan Romawi Livy memberikan penjelasan yang berbeda, menyatakan bahwa penurunan air disebabkan oleh angin utara yang teratur, bukan pasang surut. Kedua catatan ini menimbulkan pertanyaan mengapa pihak Kartago tidak menyadari fenomena ini dan gagal mengambil tindakan pencegahan.[52]

Sejarawan modern menawarkan berbagai teori mengenai penurunan air laguna. Beberapa berpendapat bahwa laguna digunakan sebagai tambak ikan atau kolam penguapan garam, dengan ketinggian air yang dikendalikan oleh pintu air di saluran barat kota seukuran 06 meter (20 ft) di wilayah tersebut. Benedict Lowe menyatakan bahwa manuver ke barat kota bukanlah sekadar pengalihan, melainkan upaya berhasil untuk merebut dan membuka pintu air (sluice) yang mengendalikan ketinggian laguna. J. H. Richardson menolak kedua catatan dari Polibius dan Livy, dan menyatakan bahwa dari sudut pandang hidrologi dan geologi, tidak mungkin air laguna surut akibat pasang atau angin.[53] Richardson berpendapat bahwa laguna itu dangkal secara alami, sehingga tidak membutuhkan perubahan hidrologis untuk dilintasi.[54]

Penggambaran formasi testudo Romawi saat menyerbu gerbang suatu benteng. Perlu dicatat bahwa zirah yang dikenakan dalam ilustrasi ini berasal dari periode yang lebih baru.

Tempat pasti di mana pasukan Romawi melintasi laguna menuju tembok utara masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan modern. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa mereka menggunakan jalur berbatu yang tersembunyi di bawah air di bagian laguna yang lebih dalam.[45] Pendapat lain berargumen bahwa laguna itu dangkal secara keseluruhan dan pasukan Romawi hanya berjalan melintasi dasar berlumpur.[55][56] Ada juga yang menduga mereka mengikuti garis pantai laguna di sisi selatan hingga mencapai tembok utara.[57][48] Dalam setiap skenario, pasukan Romawi yang berjumlah 500 orang berhasil melintasi laguna tanpa terdeteksi oleh pasukan Kartago.[58][59][45]

Di saat yang sama, di gerbang timur, Romawi melancarkan serangan dengan formasi testudo. Para prajurit melindungi diri dengan tameng yang saling bertumpuk. Prajurit garis depan menggunakan kapak untuk merusak gerbang. Di sisi selatan, pasukan yang didaratkan dari armada Romawi terus memberikan tekanan. Salah satu prajurit yang menyerang dari arah ini kemudian mendapatkan penghargaan sebagai orang pertama yang berhasil menaiki tembok kota. Sementara itu, fokus pertahanan Kartago tetap pada tembok timur dan selatan, sehingga serangan dari utara menjadi semakin sulit dibendung.[47][45] Pasukan Romawi yang telah menembus tembok utara membuka gerbang timur dari dalam, memungkinkan rekan-rekan mereka untuk masuk. Pada saat bersamaan, pertahanan Kartago mulai goyah, dan jumlah pasukan Romawi yang berhasil naik ke tembok meningkat dengan cepat. Situasi ini menandai runtuhnya pertahanan Kartago secara keseluruhan.[60]

Di dalam Kartago Baru

Setelah semakin banyak pasukan Romawi berhasil memasuki Cartagena Baru, ancaman dari pasukan Kartago tetap signifikan. Pasukan Kartago, yang terdiri dari prajurit reguler dan warga sipil bersenjata, memanfaatkan jalan-jalan sempit dan tembok kota untuk memberikan perlawanan yang gigih. Kemungkinan serangan balasan semakin besar karena Mago, komandan Kartago, menempatkan sebagian besar dari 1.000 prajurit regulernya di benteng (citadel) di bagian barat kota.[61] Scipio, yang untuk pertama kalinya terlibat langsung dalam pertempuran, memimpin pasukan besar di bawah komandonya memasuki kota. Ia bergerak menuju pasar utama di pusat kota untuk mengonsolidasikan kekuatan. Sementara itu, pasukan Romawi lainnya diperintahkan untuk menjarah kota dengan semangat. Dalam proses ini, seluruh prajurit dan warga Kartago yang melawan dibantai, sedangkan barang-barang berharga disita dan dikumpulkan di pasar utama.[61][57]

Dari pasar, Scipio mengirim pasukan untuk menyerang salah satu bukit kota yang masih menjadi tempat perlawanan Kartago. Ia sendiri memimpin 1.000 prajurit untuk menyerang langsung benteng tempat Mago bertahan. Di sana, Scipio menuntut agar Mago menyerah. Meskipun pada awalnya menolak, Mago akhirnya menyerah setelah menyadari bahwa Romawi telah sepenuhnya menguasai kota. Ia menyerahkan benteng beserta kendali atas pasukannya.[61] Dengan benteng yang berhasil direbut dan perlawanan berakhir, Scipio memerintahkan penghentian penjarahan. Pasukan Romawi, selain 1.000 prajurit di benteng bersama Scipio dan yang berada di kemah, menghabiskan malam di pasar utama. Keesokan harinya, sebagian barang jarahan dilelang kepada pedagang yang mengikuti pasukan Romawi. Hasil penjualan ini, bersama dengan sisa jarahan, dibagi di antara para prajurit legiun, termasuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, dengan jumlah yang disesuaikan berdasarkan pangkat masing-masing.[62][63][27]

Scipio memberikan penghargaan kepada individu yang menonjol selama penaklukan kota. Salah satu penghargaan tertinggi, corona muralis (mahkota yang diberikan kepada orang pertama yang memanjat tembok kota), menjadi perebutan sengit antara Quintus Trebellius, seorang centurion Legiun Keempat dan Sextus Digitius, seorang marinir dari armada Romawi. Setelah penyelidikan mendalam, Scipio memutuskan untuk memberikan penghargaan tersebut kepada keduanya, mengakui bahwa keduanya mencapai tembok pada waktu yang sama.[64][65]

Rampasan dan tawanan

Selain barang-barang berharga yang dijarah selama penyerbuan, Romawi berhasil merebut sejumlah besar perlengkapan perang. Para sejarawan modern menggambarkan rampasan ini sebagai sesuatu yang "kolosal"[30] atau "sangat besar".[59] Rampasan perang tersebut mencakup 63 kapal dagang, sejumlah katapel tempur, persediaan besar zirah dan senjata pribadi,[59] percetakan uang logam yang berfungsi,[66] serta perbendaharaan yang penuh dengan 600 talenta perak.[note 7][68] Selain itu, Romawi juga memperoleh persediaan pangan dalam jumlah besar.[68]

Sekitar 10.000 orang Kartago selamat dari pembantaian yang terjadi selama penjarahan dan ditahan sebagai tawanan perang. Di antara mereka terdapat 15 anggota Senat Kartago dan dua anggota Dewan Dalam Kartago, yaitu Dewan Tiga Puluh.[68][27] Selain itu, lebih dari 300 sandera, yang merupakan kerabat pemimpin suku Iberia yang bersekutu dengan Kartago juga ditahan. Para sandera ini sebelumnya digunakan oleh Kartago untuk memastikan kesetiaan suku-suku tersebut. Scipio dengan sengaja memastikan bahwa mereka diperlakukan dengan baik, terutama wanita, dan menawarkan untuk mengembalikan mereka ke rumah jika suku mereka memilih bersekutu dengan Roma. Beberapa sumber modern menyebutkan bahwa semua sandera akhirnya dipulangkan sebagai tanda niat baik dari pihak Romawi.[27][22][66]

Berbeda dari kebiasaan pada masa itu, Scipio memilih untuk tidak memperbudak warga sipil Kartago di antara para tawanan. Sebaliknya, ia membebaskan mereka dan keluarga mereka untuk kembali ke rumah, meskipun rumah-rumah tersebut telah dijarah. Namun, bagi penduduk non-warga yang kebanyakan bekerja sebagai pengrajin atau pekerja, mereka dijadikan budak. Mereka diperintahkan untuk melanjutkan pekerjaan mereka, tetapi kali ini untuk mendukung upaya perang Romawi. Sebagai imbalannya, mereka dijanjikan kebebasan setelah perang berakhir. Para tahanan yang dinilai kuat dan bugar dipilih untuk mengawaki 18 kapal dagang yang telah direbut dan kemudian diubah menjadi kapal militer. Mereka juga dijanjikan kebebasan setelah perang usai.[27] Dengan cara ini, Romawi berhasil menjadikan upayanya di Iberia sebagian besar mandiri. Pasukan Romawi direkrut secara lokal, diberi makan, dan dilengkapi dengan sumber daya dari wilayah tersebut.[69] Setelah memastikan kendali atas Cartagena Baru, Scipio segera memperbaiki benteng-benteng kota yang rusak. Tak lama kemudian, ia meninggalkan garnisun besar di kota itu untuk menjaga keamanannya. Sisa pasukan utama ditarik kembali ke Tarraco, markas besar Romawi di Iberia.[70][71]

Pasca pertempuran

Penaklukan Cartagena Baru memberikan kendali strategis kepada Romawi atas hampir seluruh pesisir Laut Tengah di wilayah Iberia. Kota ini sebelumnya menjadi penghubung penting bagi Kartago untuk berkomunikasi dengan pasukan dan para pemimpinnya di Iberia.[22] Selama Cartagena Baru berada di bawah kendali Kartago, pangkalan-pangkalan Romawi terus-menerus berada dalam ancaman serangan. Upaya Romawi untuk memperluas kendali di Iberia selalu dihadapkan pada risiko gangguan dari pasukan Kartago yang bermarkas di Cartagena Baru. Namun, setelah kota ini jatuh ke tangan Romawi, ancaman tersebut berhasil dihilangkan.[72] Kejatuhan Cartagena Baru menjadi pukulan berat yang tidak terduga bagi Kartago. Para panglima Kartago terpaksa mundur ke posisi bertahan. Ketidaksepakatan di antara mereka membuat pasukan Kartago gagal menyatukan kekuatan mereka, meskipun secara keseluruhan jumlah mereka jauh lebih besar daripada pasukan Romawi.[30]

Pada musim semi tahun 208 SM, Hasdrubal, salah satu panglima Kartago, memimpin pasukannya untuk menghadapi Scipio dalam pertempuran Baecula.[5] Dalam pertempuran tersebut, pasukan Kartago mengalami kekalahan. Namun, Hasdrubal berhasil menarik sebagian besar pasukannya dan menghindari pengejaran dari Romawi. Kerugian terbesar dialami oleh sekutu Iberia Kartago yang menjadi bagian dari pasukannya. Scipio tidak mampu mencegah Hasdrubal untuk membawa pasukannya melintasi perlintasan barat pegunungan Pirenia menuju wilayah Gaul. Pada tahun 207 SM, setelah melakukan perekrutan besar-besaran di Gaul, Hasdrubal memimpin pasukannya melintasi Pegunungan Alpen untuk masuk ke Italia. Ia bermaksud bergabung dengan saudaranya, Hannibal, yang telah berperang melawan Romawi di Italia. Namun, sebelum dapat bergabung, Hasdrubal dikalahkan dalam pertempuran Metaurus.[5][73][74] Puncak kampanye Romawi di Iberia terjadi pada tahun 206 SM dalam pertempuran Ilipa. Dalam pertempuran ini, Scipio memimpin 48.000 pasukan, yang terdiri dari separuh tentara Italia dan separuh tentara Iberia, untuk menghadapi pasukan Kartago yang berjumlah 54.500 prajurit dan 32 ekor gajah perang. Romawi berhasil meraih kemenangan telak, yang menjadi titik balik akhir bagi kekuasaan Kartago di Iberia.[5][75] Kota terakhir yang dikuasai Kartago di semenanjung tersebut, yaitu Gades, yang akhirnya membelot ke pihak Romawi.[76]

Catatan, kutipan dan sumber

Catatan

  1. ^ Publius Scipio adalah putra kandung mantan rekan panglima Romawi di Iberia, yang juga bernama Publius Scipio, sekaligus keponakan dari rekan panglima lainnya, Gnaeus Scipio.[4]
  2. ^ Hasdrubal adalah adik kandung Hannibal Barca, yang memimpin pasukan Kartago dari Iberia menuju Italia Romawi pada tahun 218 SM.[9][10] Pasukan Kartago tersebut telah berkampanye di wilayah itu selama delapan tahun sebelumnya dengan meraih keberhasilan yang signifikan.[11]
  3. ^ Hasdrubal adalah paman Hannibal dan Hasdrubal Barca melalui ikatan pernikahan.[23]
  4. ^ Tokoh ini berbeda dengan Mago, adik bungsu Hannibal.[29]
  5. ^ Sejarawan modern Dexter Hoyos menggambarkan kecilnya ukuran garnisun ini sebagai "sikap berpuas diri secara strategis yang tidak dapat dibenarkan" oleh Hasdrubal Barca, yang memegang komando tertinggi pasukan Kartago di Iberia.[30]
  6. ^ Ketika Hannibal mengepung Saguntum, yang terletak 350 kilometer (220 mi) di sebelah utara Kartago Baru, pada tahun 219 SM, pengepungan tersebut memerlukan waktu delapan bulan untuk menaklukkannya.[34]
  7. ^ 600 talenta setara dengan kira-kira 16.140 kilogram (16 ton panjang) perak.[67]

Kutipan

  1. ^ Miles 2011, hlm. 220.
  2. ^ a b Zimmermann 2015, hlm. 291.
  3. ^ a b Edwell 2015, hlm. 322.
  4. ^ Miles 2011, hlm. 268, 298–299.
  5. ^ a b c d Edwell 2015, hlm. 323.
  6. ^ Carey 2007, hlm. 78.
  7. ^ Lowe 2000, hlm. 39–40.
  8. ^ Goldsworthy 2001, hlm. 271.
  9. ^ Erdkamp 2015, hlm. 71.
  10. ^ Hoyos 2015, hlm. 107.
  11. ^ Goldsworthy 2001, hlm. 169–170.
  12. ^ a b Lazenby 1998, hlm. 134.
  13. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 271–272.
  14. ^ a b c d Bagnall 1999, hlm. 207.
  15. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 56.
  16. ^ Sabin 1996, hlm. 64.
  17. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 247, 272.
  18. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 57.
  19. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 247.
  20. ^ Coarelli 1981, hlm. 73–74.
  21. ^ Etcheto 2012, hlm. 274–278.
  22. ^ a b c d Zimmermann 2015, hlm. 292.
  23. ^ a b c Bagnall 1999, hlm. 147.
  24. ^ Miles 2011, hlm. 225.
  25. ^ Bagnall 1999, hlm. 206.
  26. ^ Bagnall 1999, hlm. 207–208.
  27. ^ a b c d e Lazenby 1998, hlm. 139.
  28. ^ a b Lowe 2000, hlm. 41.
  29. ^ Carey 2007, hlm. 79.
  30. ^ a b c Hoyos 2003, hlm. 144.
  31. ^ Lazenby 1998, hlm. 134–135.
  32. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 58, 60.
  33. ^ a b Goldsworthy 2004, hlm. 58.
  34. ^ Goldsworthy 2001, hlm. 163.
  35. ^ Lazenby 1998, hlm. 87.
  36. ^ Lowe 2000, hlm. 40.
  37. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 59.
  38. ^ Lazenby 1998, hlm. 135.
  39. ^ Lazenby 1998, hlm. 135–136.
  40. ^ a b Goldsworthy 2004, hlm. 61.
  41. ^ Bagnall 1999, hlm. 208.
  42. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 77.
  43. ^ a b Goldsworthy 2004, hlm. 61–62.
  44. ^ Lowe 2000, hlm. 41, 43.
  45. ^ a b c d e Lazenby 1998, hlm. 138.
  46. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 62–63.
  47. ^ a b c d Goldsworthy 2006, hlm. 274.
  48. ^ a b Lowe 2000, hlm. 42.
  49. ^ Champion 2015, hlm. 96, 98, 102.
  50. ^ Goldsworthy 2006, hlm. 20–21.
  51. ^ Miles 2011, hlm. 16, 510.
  52. ^ Lowe 2000, hlm. 43–44.
  53. ^ Richardson 2018, hlm. 458–474.
  54. ^ Lowe 2000, hlm. 43–47, 49.
  55. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 60.
  56. ^ Carey 2007, hlm. 81.
  57. ^ a b Carey 2007, hlm. 82.
  58. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 64.
  59. ^ a b c Bagnall 1999, hlm. 209.
  60. ^ Lazenby 1998, hlm. 138–139.
  61. ^ a b c Goldsworthy 2004, hlm. 65.
  62. ^ Carey 2007, hlm. 82–83.
  63. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 65–66.
  64. ^ Richardson 2018, hlm. 473 n. 70, citing Livy, 26.48.
  65. ^ Bragg, Edward (2007). From arma to fama: the military record of Roman republican commanders in speech and text (219–19 BC) (Tesis DPhil). Oxford University. p. 18. https://ora.ox.ac.uk/objects/uuid:f3c00a9c-6f6d-4a52-bf1d-da7bbb1b8ff0/. 
  66. ^ a b Goldsworthy 2006, hlm. 276.
  67. ^ Lazenby 1996, hlm. 158.
  68. ^ a b c Hoyos 2015, hlm. 176.
  69. ^ Goldsworthy 2004, hlm. 67.
  70. ^ Bagnall 1999, hlm. 210.
  71. ^ Carey 2007, hlm. 87.
  72. ^ Lazenby 1998, hlm. 140.
  73. ^ Carey 2007, hlm. 86–90.
  74. ^ Bagnall 1999, hlm. 211.
  75. ^ Zimmermann 2015, hlm. 293.
  76. ^ Miles 2011, hlm. 303.

Sumber

Kembali kehalaman sebelumnya