Pertempuran Lade
Pertempuran Lade (bahasa Yunani: Ναυμαχία τῆς Λάδης, Naumachia tēs Ladēs) adalah pertempuran laut yang terjadi dalam peristiwa Pemberontakan Ionia, pada tahun 494 SM. Pertempuran ini berlangsung antara persekutuan negara kota Ionia (dibantu oleh Lesbos) melawan Kekaisaran Persia pimpinan Darius yang Agung, dan berakhir dengan kemenangan telak bagi Persia. Pemberontakan Ionia dipicu oleh ketidakpuasan kota-kota Yunani di Asia Kecil terhadap para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka. Pada tahun 499 SM, tiran Miletos, Aristagoras, melancarkan ekspedisi gabungan bersama satrap Artaphernes untuk menaklukkan Naxos, dengan tujuan meningkatkan posisinya di Miletos. Misi ini berujung bencana, dan merasa bahwa dia akan dipecat, Aristagoras memilih untuk menghasut seluruh Ionia supaya memberontak terhadap raja Persia Darius yang Agung. Pada awalnya, pihak Ionia melakukan ofensif, dengan didukung oleh pasukan dari Athena dan Eretria, menaklukkan Sardis, sebelum akhirnya menderita kekalahan pada Pertempuran Ephesos. Pemberontakan kemudian menyebar ke Karia dan Siprus. Persia pun melakukan kampanye di seluruh Asia Kecil selama tiga tahun tanpa hasil yang bagus, sebelum akhirnya pasukan dan armada Persia dikumpulkan ulang pada tahun 494 SM dan dikirim langsung ke pusat pemberontakan di Miletos. Pasukan Ionia berniat untuk mempertahankan Miletos melalui laut dan menyerahkan pertahanan kota kepada rakyat Miletos sendiri. Armada Ionia berkumpul di pulau Lade, lepas pantai Miletos. Persia tidak yakin akan memenangkan pertempuran di Lade, jadi mereka membujuk beberapa kontingen Ionia untuk membelot. Meskipun usaha ini pada awalnya tidak berhasil, ketika Persia menyerang pasukan Ionia, armada Samos menerima tawan Persia. Ketika armada Persia dan Ionia bentrok, armada Samos langsung pergi dari pertempuran, menyebabkan jatuhnya barisan tempur Ionia. Meskipun kontingen Khios dan beberapa kapal lainnya tetap bertempur melawan Persia, mereka tetap dikalahkan. Dengan kekalahan di Lade, Pemberontakan Ionia pun mulai berakhir. Setahun kemudian, Persia mengalahkan pertahanan terakhir pemberontak, dan memulai proses pengembalian perdamaian ke daerah tersebut. Pemberontakan Ionia menjadi konflik besar pertama antara Yunani kuno melawan Persia, dan merupakan tahap pertama dalam Perang Yunani-Persia. Meskipun Asia Kecil berhasil dikuasai kembali oleh Persia, Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan Eretria atas keterlibatan mereka dalam pemberontakan. Selain itu, dia melihat bahwa negara-negara kota Yunani dapat membawa ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk menaklukkan seluruh Yunani. Pada tahun 492 SM, invasi pertama Persia ke Yunani dilaksanakan, yang merupakan tahap berikutnya dalam Perang Yunani-Persia, yang terjadi akibat Pemberontakan Ionia. SumberSecara praktis, satu-satunya sumber primer untuk Pemberontakan Ionia adalah sejarawan Yunani Herodotos.[1] Herodotos, yang disebut sebagai 'Bapak Sejarah',[2] lahir pada tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu dikuasai oleh Persia). Dia menulis karyanya yang berjudul Historia sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal usul Perang Yunani-Persia, yang ketika itu merupakan peristiwa yang belum terlalu lama berlalu (perang itu berakhir pada tahun 450 SM).[3][4] Pendekatan Herodotos sepenuhnya baru, dan setidaknya di masyarakat Barat, dia tampaknya menciptakan 'sejarah' seperti yang kini diketahui.[4] Seperti dinyatakan oleh Holland:[4]
Banyak sejarawan kuno di kemudian hari yang, meskipun mengikuti jejak penulisan Herodotos, mengkritiknya, bermula dari Thukydides.[5][6] Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai catatan sejarahnya pada peristiwa dimana Herodotos menyelesaikan catatannya sendiri, yaitu pada Pengepungan Sestos, dan dengan demikian Thukydides mungkin merasa bahwa tulisan Herodotos sudah cukup akurat sehingga tak perlu dikoreksi atau ditulis ulang.[3][6] Plutarkhos mengkritik Herodotos dalam esainya "Mengenai Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar), karena menurutnya Herodotos kurang memihak Yunani. Ini menunjukkan bahwa Herodotos kemungkinan telah melakukan penulisan sejarah yang cukup netral dan tidak terlalu berat sebelah.[7] Pandangan negatif tentang Herodotos berlanjut hingga Eropa Renaisans, meskipun karyanya tetap banyak dibaca.[8] Akan tetapi, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis mengalami perbaikan akibat temuan-temuan arkeologis yang berulang kali menunjukkan bahwa catatan sejarahnya memang akurat.[9] Pandangan modern yang kini berlaku adalah bahwa Herodotos secara umum melakukan pekerjaan yang baik dalam karyanya Historia, tetapi beberapa rincian spesifiknya (terutama mengenai jumlah pasukan dan tanggal kejadian) harus dicermati dengan skeptisisme.[9] Meskipun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang menganggap bahwa banyak bagian dari catatan Herodotos dikarang oleh dirinya sendiri.[10] Latar belakangPada Zaman Kegelapan Yunani yang berlangsung setelah runtuhnya peradaban Mykenai,[11] banyak orang Yunani yang beremigrasi ke Asia Kecil dan bermukim di sana. Para pemukim ini berasal dari tiga kelompok suku: suku Aiolia, Doria, dan Ionia.[12][13] Orang Ionia bermukim di pesisir Lydia dan Karia, mendirikan dua belas kota yang membentuk daerah Ionia.[13] Kota-kota ini antara lain Miletos, Myos dan Priene di Karia; Ephesos, Kolophon, Lebedos, Teos, Klazomenai, Phokaia dan Erythrai di Lydia; serta pulau Samos dan Khios.[14][15][16] Kota-kota Ionia merupakan negara-negara yang merdeka hingga mereka ditaklukkan oleh Raja Lydia, Kroisos, sekitar tahun 560 SM.[17][18][19] Setelah selama beberapa waktu dikuasai oleh Lydia, kota-kota Ionia berpindah tangan kepada Kekaisaran Persia pimpinan Koresh Agung, setelah kekaisaran itu mengalahkan Lydia.[20][21][22] Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di wilayah lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elit penduduk pribumi untuk membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok kependetaan Yudea.[23] Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa itu; meski biasanya ada aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada golongan-golongan yang saling bermusuhan.[23] Persia kemudian menempatkan seorang tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka ke dalam konflik internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan untuk merdeka dan harus diganti.[23] Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang sulit, mereka mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia, sambil tetap mengabdi kepada Persia.[23] Sekitar 40 tahun setelah penaklukan Persia atas Ionia, dan pada masa pemerintahan raja Persia keempat, Darius Agung, tiran Miletos saat itu, Aristagoras, mendapati dirinya berada dalam permasalahan seperti di atas.[24] Pada tahun 500 SM, Aristagoras didekati oleh beberapa aristokrat yang terusir dari Naxos. Mereka meminta Aristagoras untuk menyediakan pasukan agar dapat membantu mereka kembali berkuasa di Naxos.[25] Melihat kesempatan untuk memperkuat posisinya di Miletos dengan cara menaklukkan Naxos, Aristagoras memutuskan untuk mendatangi satrap Lydia, Artaphernes, dan mengajukan ekspedisi kerja sama untuk menyerang Naxos. Artaphernes setuju dan ikut menyediakan pasukan.[26] Ekspedisi itu dilaksanakan pada musim semi tahun 499 SM dan berakhir dengan kegagalan.[27] Pasukan Persia mengepung Naxos selama empat bulan, tetapi lama-kelamaan mereka kehabisan uang sehingga pada akhirnya mereka harus berlayar pulang dan meninggalkan Naxos.[28] Aristagoras mendapati dirinya berada dalam keadaan yang sulit. Dia cemas dirinya akan dipecat dari jabatannya oleh Artaphernes. Dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Aristagoras memilih untuk menghasut rakyatnya, yakni penduduk Miletos, untuk memberontak melawan kekuasaan Persia,[1][29][30][31] yang dengan demikian mengawali dimulainya Pemberontakan Ionia.[31] Meskipun Herodotos menyebutkan bahwa pemberontakan itu sebagai akibat dari motif pribadi Aristagoras, tetapi jelas bahwa rakyat Ionia sendiri memang sudah ingin memberontak, terutama karena mereka merasa kesal dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka.[1] Dengan demikian tindakan Aritagoras bisa dibilang menjadi pemicu bagi keinginan orang Ionia yang sudah bertumpuk. Pemberontakan itu menyebar ke seluruh Ionia,[29] bahkan hingga ke Aiolis dan Doris. Di berbagai kota Yunani di sana, rakyat menggulingkan kekuasaan para tiran dengan menggantinya dengan pemerintahan demokrasi.[32] Setelah berhasil menghasut seluruh Asia Kecil untuk memberontak, Aristagoras jelas menyadari bahwa orang Ionia masih membutuhkan sekutu lainnya untuk menghadapi Persia.[30][33] Pada musim dingin tahun 499 SM, dia berlayar ke Yunani daratan untuk mencoba mencari sekutu. Dia gagal mengajak Sparta, tetapi kota Athena dan Eretria bersedia mendukung pemberontakan.[3][29][33] Pada musim semi tahun 498 SM, Athena mengirim dua puluh trireme, dan Eretria mengirim lima trireme, sehingga totalnya menjadi dua puluh lima trireme, untuk berlayar ke Ionia.[34] Mereka bergabung dengan pasukan Ionia utama di dekat Ephesos.[35] Pasukan ini kemudian dipandu oleh orang Ephesos melalui pegunungan menuju ke Sardis, ibu kota kesatrapan Artaphernes.[34] Setibanya di Sardis, pasukan Yunani mampu mengejutkan orang Persia, yang saat itu sedang tak waspada. Mereka berhasil merebut kota bawahnya namun kota itu kemudian terbakar habis, dan pasukan Yunani, yang kehilangan semangat, memilih untuk mundur dari kota. Mereka berjalan kembali ke Ephesos.[36] Pasukan Persia di Asia Kecil menyusul pasukan Yunani, memergoki mereka di dekat Ephesos. Jelas bahwa pasukan Yunani, yang kelelahan dan kehilangan semangat, bukan tandingan bagi pasukan Persia, dan memang pada akhirnya pasukan Persia berhasil sepenuhnya mengalahkan pasukan Yunani melalui pertempuran di Ephesos.[34] Tentara Ionia yang selamat dari pertempuran melarikan diri ke kota masing-masing, sedangkan pasukan Athena dan Eretria berhasil tiba di kapal-lapal mereka untuk kemudian berlayar kembali ke Yunani.[34][37][38][39] Meskipun mengalami kegagalan, pemberontakan terus menyebar. Orang Ionia mengirim pasukan ke Hellespontos dan Propontis, dan merebut Byzantion serta kota-kota lain di sekitarnya.[39][40] Mereka juga membujuk Karia untuk ikut memberontak.[40] Lebih jauh lagi, melihat pemberontakan yang semain menyebar, kerajaan Siprus juga ikut memberontak meski tanpa ajakan dari pihak luar.[41] Selama tiga tahun berikutnya, pasukan dan armada Persia sibuk bertempur untuk menghentikan pemberontakan di Karia dan Siprus, sedangkan Ionia tampaknya mengalami masa damai yang tak tenang pada masa-masa tersebut.[42] Pada puncak serangan balasan Persia, Aristagoras, yang merasa bahwa posisinya sudah tak dapat lagi dipertahankan, memutuskan untuk meninggalkan jabatannya sebagai pemimpin Miletos sekaligus pemimpin pemberontakan, lalu dia pun pergi dari Miletos. Herodotos, yang jelas memiliki pandangan buruk terhadap Aristagoras, berpendapat bahwa dia telah kehilangan keberaniannya dan melarikan diri.[43] Setelah meninggalkan Ionia, Aristagoras pergi ke Thrakia dan terbunuh di sana ketika berusaha menaklukkan sebuah kota.[39][44] Pada tahun keenam pemberontakan (494 SM), pasukan Persia dikumpulkan ulang. Semua tentara darat yang tersedia digabungkan ke dalam satu pasukan, dan diiringi oleh armda, yang diambil dari Siprus, yang telah dikuasai kembali, juga dari Mesir, Kilikia, dan Fenisia.[45] Pasukan Persia langsung menuju Miletos, tidak terlalu memedulikan pertahanan pemberontakan di tempat lainnya, kemungkinan berniat untuk menghentikan pemberontakan langsung di pusatnya.[39] Jenderal Persia asal Media, Datis, seorang ahli mengenai urusan Yunani, jelas dikerahkan ke Ionia oleh Darius pada masa ini. Dengan demikian mungkin dia memegang komando penuh atas pasukan Persia dalam serangan ini.[1] Setelah mengetahui bahwa armada Persia akan segera tiba, orang Ionia berkumpul di Panionion (tempat pertempuran suci), lalu memutuskan untuk tidak berusaha bertempur di daratan, dan menyerahkan pertahanan kota Miletos kepada orang Miletos sendiri. Alih-alih bertempur di daratan, mereka memilih untuk mengumpulkan setiap kapal yang mereka miliki, dan bersiap-siap di pulau Lade di lepas pantai Miletos, untuk kemudian menghadapai pasukan Persia dalam suatu pertempuran laut.[45] PasukanPersiaHerodotos mengatakan bahwa armada Persia memiliki 600 kapal,[46] yang disediakan oleh orang Fenisia (yang paling ingin bertempur), selain juga diambil dari Mesir, Kilikia, dan Siprus, yang tidak lama sebelumnya ikut memberontak juga namun telah dihentikan.[45] Armada Persia kemungkinan dipimpin oleh jenderal veteran asal Media, Datis. Catatan Persia menunjukkan bahwa dia dikirim oleh Darius ke Ionia pada masa konflik tersebut.[42] Akan tetapi, Herodotos tampaknya tidak menyebutkan nama komandan Persia lainnya dalam kampanye ini. IoniaDalam pertempuran ini, kota-kota Ionia dibantu oleh orang-orang Aiolia Lesbos. Herodotos menyebutkan jumlah kapal yang dikerahkan oleh tiap kota negara:[47]
Herodotos memberikan urutan barisan tempur Ionia sebagai berikut, dari timur ke barat: Miletos—Priene—Myos—Teos—Khios—Erythrai—Phokaia—Lesbos—Samos.[47] Kejadian awalKetika pasukan Persia tiba di pesisir Lade dan melihat jumlah kapal Ionia, mereka mulai khawatir bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan orang Ionnia, dan takut Darius akan marah kepada mereka.[46] Para tiran Ionia yang diusir pada awal pemberontakan hadir di sana, dan menurut Herodotos, mereka diberikan instruksi oleh Persia:[46]
Para tiran lalu mengirimkan pesan itu kepada bangsanya masing-masing. Secara kritis, tiap-tiap kelompok merasa bahwa hanya mereka yang memperoleh tawaran ini; tidak tampak adanya pembicaraan mengenai tawaran ini antara kontingen yang berbeda, dan tidak terlihat adanya kemungkinan pembelotan.[46] Akan tetapi pasukan Ionia menggelar pertemuan untuk membahas pertempuran yang akan dilaksanakan. Dionysios, jenderal Phokaia, menawarkan diri untuk melatih dan memimpin pasukan Yunani:[48]
Dionysios pun memulai program pelatihan yang intensif, setiap hari memimpin armada untuk melatih para pendayung untuk melakukan manuver tubrukan, dan mealtih para Marinir untuk bertarung. Selama tujuh hari pasukan Ionia menerima kepemimpinanya, tetapi mereka tidak terbiasa bekerja keras, dan lama-lama mereka tak mau lagi mematuhi perintah latihan. Mereka lebih suka berdiam di perkemahan. Herodotos mencatat bahwa muncul keluh-kesah di kalangan pasukan Ionia:[49]
Menurut Herodotos, ketika pasukan Samos melihat ketidakpatuhan dan perpecahan dalam perkemahan Ionia, para komandan mereka mulai mempertimbangkan untuk menerima tawaran Persia untuk membelot, yang disampaikan kepada mereka oleh Aiakes. Orang-orang Samos itu merasa bahwa, dengan adanya kekacauan di dalam pasukan, tidak mungkin untuk mengalahkan armada Persia. Selain itu, mereka memperkirakan bahwa walaupun mereka berhasil menang dalam pertempuran ini, Persia pasti akan mengirim lebih banyak pasukan untuk menaklukkan mereka. Setelah mempertimbangkan bahwa lebih baik mengutamakan keselamatan kota, yang meliputi kuil dan rumah mereka, para komandan Samos memutuskan untuk menerima tawaran Persia dan bersiap untuk membelot.[50] Meskipun demikian, beberapa sejarawan modern menolak gagasan adanya ketidakpatuhan di perkemahan Yunani. Herodotos memperoleh kisah tentang peristiwa di Lade langsung dari orang Samos sendiri, dan diduga bahwa orang Samos berusaha mencari pembenaran atas pembelotan mereka dengan kisah tersebut.[42] Walau bagaimanapun, pasukan Samos tetap bersama pasukan Yunani lainnya menjelang pertempuran.[50] Herodotos menuturkan bahwa sebelum terjadinya pertempuran di Lade, sudah muncul beberapa pertanda buruk terkait kota-kota Ionia yang mengindikasikan bahwa pasukan Ionia akan kalah oleh Persia. Kota Khios pernah mengirim paduan suara, yang terdiri atas seratus orang pemuda, ke Delphi, tetapi hanya dua yang kembali, sedangkan sisanya mati akibat wabah penyakit. Lalu tidak lama sebelum pertempuran, atap sekolah di Khios runtuh dan menewaskan banyak anak, dengan hanya seratus dua puluh pelajar yang berhasil selamat.[51] Selain itu, Herodotos mencatat bahwa Orakel Delphi pernah memberikan suatu ramalan yang menubuatkan kejatuhan Miletos. Ramalan tersebut berbunyi:[52]
PertempuranSegera setelah pemberontakan terhadap Dionysos, armada Persia bergerak menyerang armada Ionia, yang bergerak untuk menghadapi mereka. Pertempuran yang terjadi cukup membingungkan, karena Herodotos mengatakan bahwa "siapakah di antara pasukan Ionia yang merupakan seorang pemberani atau seorang pengecut dalam pertempuran laut itu aku tidak dapat mengatakannya secara pasti; karena mereka saling menyalahkan satu sama lain".[53] Meskipun demikian adalah jelas bahwa sejak saar-saat awal pertempuran, kontingen Samos menahan kapal-kapal mereka. Setelah beberapa lama, seperti yang telah mereka sepakati, armada Samos meninggalkan area pertempuran. Akan tetapi, 11 kapal Samos menolak untuk kabur dan tetap bertempur bersama aramda Ionia lainnya. Di kemudian hari, orang Samos mendirikan tiang di pasar mereka untuk mengenang keberanian dan pengorbanan orang-orang tersebut.[53] Melihat orang-orang Samos pergi, para tetangga mereka, yaitu armada Lesbos, juga ikut kabur. Keseluruhan sayap barat dari barisan tempur Ionia dengan demikian telah runtuh dengan sangat cepat. Kontingen Ionia lainnya juga meninggalkan pertempuran begitu keadaan menjadi semakin sulit.[37][53] Hanya armada Khios yang besar, dengan seratus kapal yang masing-masing kapalnya diisi sempat puluh orang, yang tampaknya tetap bertahan di posisi mereka, kemungkinan disertai oleh beberapa kapal lainnya. Mereka bertempur dengan berani dan tetap berusaha menembus kapal Persia. Armada Khios berhasil menenggelamkan banyak kapal Persia namun mereka juga harus menderita kerugian yang amat besar karena banyak sekali kapal mereka yang ditenggelamkan oleh Persia.[54] Pada akhirnya pasukan Khios merasa bahwa mereka sudah kalah sehingga mereka memutuskan untuk pergi. Kapal-kapal Khios yang masih utuh kemudian berlayar pulang ke Khios. Dengan demikian pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Persia.[55] Sementara itu kapal-kapal Khios yang mengalami kerusakan berat masih terus dikejar oleh armada Persia hingga ke Mykale. Para kru kapal Khios itu berlabuh di pantainya dan meninggalkan kapal-kapal mereka di sana. Mereka melanjutkan pelarian dengan berjalan kaki hingga tiba di wilayah Ephesos, yang pada saat itu para wanitnyanya sedang merayakan festival Thesmophoria. Ketika datang ke sana, orang-orang Khios disangka sebagai perampok dan penculik sehingga dibunuh oleh orang-orang Ephesos, yang tidak mengeahui bahwa yang mereka bunuh adalah orang-orang Khios yang selamat dari Pertempuran Lade.[56] AkibatAkhir pemberontakan IoniaDengan kekalahan armada Ionia, pemberontakan secara efektif berhasil diakhiri. Miletos dengan segera didatangi dan dikepung dari darat dan laut. Pasukan Persia menyerang tembok pertahanan Miletos dan berusaha meruntuhkannya dengan menggunakan berbagai macam alat serta dengan menggalinya. Pada akhirnya pasukan Persia berhasil menghancurkan tembok itu dan menaklukkan Miletos.[57] Menurut Herodotos, sebagian besar pria dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak dijadikan budak.[37][58] Temuan arkeologis cukup mendukung hal ini, menunjukkan tanda-tanda penghancuran yang luas, dan pengabaian sebagian besar kota sebagai akibat atas Pertempuran Lade.[42] Akan tetapi, beberapa orang Miletos tetap bertahan di (atau dengan cepat kembali ke) Miletos, meskipun kota itu tak pernah kembali berkembang seperti sebelumnya.[1] Miletos dengan demikian bisa dibilang "ditinggalkan hingga kosong oleh penduduknya."[59] Persia lalu mengambil kota dan daerah pesisirnya, sedangkan sisa wilayah Miletos diberikan oleh Persia kepada orang Karia dari Pedasos. Para tawanan Miletos dibawa ke hadapan Darius di Susa, yang kemudian mengirim mereka untuk bermukim di kota Ampe di dekat lautan yang disebut Laut Erythra (keumngkinan di pesisir Teluk Persia). Kota ini disebutkan dilalui oleh sungai Tigris.[60] Penghancuran Miletos oleh Persia membuat rakyat Athena amat berduka, karena Miletos pernah menjadi anak kota Athena.[57] Herodotos menyebutkan bahwa suatu ketika di Athea dipentaskan sebuah drama berjudul Penaklukan Miletos gubahan Phrynikhos, dan para penontonnya menangis menyaksikan sandiwara tersebut. Phrynikhos lalu didenda ribuan drakhma akibat mengingatkan rakyat Athena atas tragedi itu. Drama itu juga tidak diperbolehkan untuk dipentaskan lagi.[61] Banyak orang Samos yang terkejut dan tidak senang dengan tindakan para jenderal mereka di Lade, dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah dari Samos sebelum tiran lama mereka, Aiakes, kembali untuk memerintah mereka, karena rakyat Samos tak mau lagi hidup di bawah kekuasaan Persia. Mereka menerima tawaran dari rakyat Zankle untuk bermukim di pesisir Sisilia, dan membawa serta sejumlah orang Miletos yang berhasil kabur dari pasukan Persia.[59] Kota Samos sendiri diampuni oleh Persia karena pembelotan mereka di Lade.[62] Sementara itu, Dionysios dari Phokaia merebut tiga kapal Persia dan berlayar pergi. Dia tidak pergi ke kampung halamannya, Phokaia, karena dia tahu bahwa kotanya itu pasti akan ditaklukkan oleh Persia dan seluruh penduduknya akan dijadikan budak. Dionysios memutuskan untuk berangkat ke Fenisia, di sana dia menyerang kapal-kapal dagang dan merampas banyak barang berhaga. Setelah itu dia berlayar menuju Sisilia dan menjadi seorang bajak laut. Sebagai bajak laut, Dionysisos hanya menyerang kapal dagang Kartago atau Tyrsenia dan tidak menyerang kapal Yunani.[62][63] Sebagian besar Karia menyerah kepada Persia seusai Pertempuran Lade, meskipun beberapa benteng tetap harus ditaklukkan melalui kekerasan.[62] Armada dan pasukan Persia menjalani musim dingin di Miletos, sebelum kemudian berlayar pada tahun 493 SM untuk benar-benar mengalahkan sisa-sisa pertahanan terakhir pemberontak. Mereka menyerang dan merebut pulau Khios, Lesbos dan Tenedos, lalu bergerak menuju Asia Kecil dan menaklukkan tiap kota Ionia yang tersisa.[64] Meskipun kota-kota Ionia tak diragukan lagi mengalami kerusakan akibat pemberontakan mereka, tetapi tampaknya tidak ada yang mangalami nasib seburuk Miletos.[65] Pasukan Persia kemudian menaklukkan kembali permukiman-permukiman di sisi Asia di Propontis, sedangkan armada Persia berlayar menuju pesisir Eropa Hellepontos dan menaklukkan tiap permukiman di sana. Setelah seluruh Asia Kecil berhasil dikuasai kembali oleh Persia, pemberontak akhirnya benar-benar berakhir.[66] Invasi PersiaBagi Persia, satu-satunya urusan yang belum tuntas pada akhir 493 SM hanyalah penghukuman bagi Athena dan Eretria atas bantuan mereka kepada para pemberontak.[37][67] Pemberntakan Ionia telah amat mengancam kestabilan kekaisaran Darius, dan negara-negara di Yunani daratan dapat ikut mengancam kestabilan juga jika tak diatasi. Oleh karena itu Darius memulai upaya untuk menguasai Yunani, yang dia rencanakan untuk dimulai dengan penghancuran Athena dan Eretria.[67] Invasi pertama Persia ke Yunani akhirnya dimulai setahun kemudian, pada tahun 492 SM, ketika itu Mardonios dikerahkan (melalui Ionia) untuk menguasai daerah-daerah yang berdekatan dengan Yunani, dan mendesak Athena dan Eretria jika memungkinkan.[68] Dalam prosesnya, Thrakia diduduki kembali setelah sebelumnya sempat melepaskan diri dari kekuasaan Persia selama pemberontakan, sedangkan Makedonia dipaksa menjadi negara bawahan Persia. Meskipun memperoleh kesuksesan awal, ekspedisi itu terhenti akibat kapal-kapal Persia dihantam badai.[68] Ekspedisi kedua dilancarkan pada tahun 490 SM dengan komandan Datis dan Artaphernes, putra satrap Artaphernes. Ekspedisi amfibi ini berlayar melintasi Laut Aigea, menduduki pulau-pulau di Kyklades, sebelum kemudian tiba di Euboia. Eretria lalu dikepung, ditaklukkan, dan dihancurkan oleh pasukan Persia, yang kemudian bergerak menuju Attika. Berlabuh di pantai Marathon, pasukan Persia dihadang oleh pasukan Athena, dan dikalahkan dalam Pertempuran Marathon yang terkenal. Ini sekaligus mengakhiri upaya pertama Persia untuk menguasai Yunani.[69][70] Catatan kaki
ReferensiSumber kuno
Sumber modern
Pranala luar
|