PerwaraPerwara adalah asisten pribadi perempuan di istana, yang bertugas mengiring seorang sentana putri atau bangsawati.[1] Menurut sejarah, perwara di Eropa adalah bangsawati yang lebih rendah derajat keningratannya daripada bangsawati yang diiringnya. Sekalipun menerima atau tidak menerima imbalan jasa, seorang perwara lebih dipandang sebagai sekretaris, istanawan, atau sahabiyat majikannya ketimbang sebagai pelayan. Di berbagai belahan dunia, para perwara, yang kerap disebut wanita istana, pada praktiknya adalah pelayan atau biti-biti, bukan bangsawati, tetapi tugasnya kurang lebih sama dengan perwara, yaitu menjadi pengiring dan sekretaris majikannya. Di lingkungan istana, tempat poligami diamalkan, wanita istana secara resmi disiapkan untuk diajak raja naik ke ranjang, dan dapat saja menjadi garwa, permaisuri, gendak, atau selir raja. Istilah perwara kerap dijadikan sebutan generik tanpa membedakan pangkat, gelar, maupun fungsi resminya, sering pula hanya sekadar sebutan kehormatan. Seorang sentana putri mungkin saja leluasa dan mungkin pula tidak leluasa memilih perwara, dan sekalipun leluasa, perempuan-perempuan yang layak dijadikan perwara biasanya tidak lepas dari pengaruh raja, orang tuanya, suaminya, atau menteri-menteri (seperti pada peristiwa Kemelut Bilik Peraduan). SejarahDi Eropa, perkembangan jabatan perwara berkaitan erat dengan perkembangan majelis istana. Pada abad ke-9, sastrawan Hinkmar memaparkan seluk-beluk rumah tangga istana Kaisar Karel Gundul dari wangsa Karling di dalam risalah De Ordine Palatii yang ia tulis tahun 882. Ia menyebutkan bahwa selain menjalankan titah raja, para pegawai istana juga menjalankan titah permaisuri. Para permaisuri kulawangsa Merowing diduga sudah memiliki biti-biti pribadi, dan dapat dipastikan bahwa para permaisuri kulawangsa Karling pada abad ke-9 diiring serombongan pengawal dari kalangan bangsawan demi menunjukkan kemuliaan derajatnya, dan beberapa pegawai istana disebut sebagai pegawai permaisuri, alih-alih sebagai pegawai raja.[2] Dapat dipastikan bahwa pada akhir abad ke-12, para Permaisuri Prancis sudah memiliki badan pengurus rumah tangga sendiri, dan para bangsawati disebutkan sebagai para perwara.[2] Meskipun demikian, badan pengurus rumah tangga permaisuri pada Abad Pertengahan biasanya beranggotakan segelintir orang saja, dan jumlah perwara yang sesungguhnya, bukan istri-istri bangsawan yang kebetulan sedang menemani suami bertugas di istana, sangat sedikit. Pada tahun 1286, Permaisuri Prancis hanya dilayani lima orang perwara, dan baru pada tahun 1316 badan pengurus rumah tangga permaisuri dipisahkan dari badan pengurus rumah tangga anak-anak raja.[2] Peran para perwara di Eropa berubah drastis pada masa Renaisans, ketika tata krama baru kehidupan di lingkungan istana, yang juga memberikan peran penting kepada kaum perempuan, dikembangkan sebagai citra kekuasaan di istana-istana Italia. Tata krama baru ini menyebar dari Italia ke Burgundia, dan dari Burgundia menyebar ke Prancis dan semua istana di Eropa.[2] Majelis istana Kadipaten Burgundia adalah majelis istana yang paling rumit tata kramanya di Eropa pada abad ke-15, yang ditiru Prancis ketika majelis istana Prancis diperluas pada akhir abad ke-15, dan memperkenalkan jabatan-jabatan baru untuk laki-laki maupun perempuan sebagai tanggapan terhadap nilai-nilai luhur baru yang tercetus pada zaman Renaisans.[2] Dari segelitir Femmes yang sudah berkeluarga dan Filles yang masih gadis, yang pada Abad Pertengahan berasal dari kalangan berderajat relatif rendah, jumlah perwara Prancis meningkat pesat, ditata ke dalam suatu hierarki yang maju dengan beberapa jabatan, serta diserahi peran berbobot dan bersifat publik untuk dijalankan di dalam lingkungan istana Prancis yang bertata krama baru pada permulaan abad ke-16.[2] Istana-istana lain di Eropa mengikuti jejak Prancis, sehingga sepanjang abad ke-16, terjadi peningkatan pemekaran majelis-majelis istana Eropa, tata kramanya pun semakin muluk, dan pada Awal Abad Kiwari, terjadi peningkatan jumlah jabatan, keanggotaan, maupun visibilitas pegawai istana perempuan.[2] Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan istana Eropa mulai mengurangi jumlah pegawainya, sering kali lantaran keadaan ekonomi dan politik mutakhir ketika itu membuat citra istana menjadi kian dipertanyakan. TugasTugas perwara berbeda-beda dari satu istana ke istana lain, tetapi fungsi-fungsi yang secara historis dijalankan oleh perwara mencakup luwes dalam beretiket, berbahasa asing, menari, menunggang kuda, memainkan alat musik, dan melukis; memastikan majikannya mengetahui segala kejadian dan mengenal semua orang penting di istana; menangani urusan tempat tinggal dan lemari pakaian majikannya; menjalankan tugas-tugas kesekretarisan; mengawasi biti-biti, anggaran, dan belanja; membacakan surat-surat kepada majikannya, dan menulis surat-surat mewakili majikannya; serta mengirim pesan rahasia apabila diperintahkan.[1] Perwara menurut istanaAustriaPada kurun waktu Abad Pertengahan Akhir, manakala majelis istana kaisar tidak lagi berpindah-pindah tempat, badan pengurus rumah tangga permaisuri kaisar, maupun badan pengurus rumah tangga para garwa pangeran di Jerman, mulai mengembangkan suatu tatanan yang kurang luwes dan lebih ketat, lengkap dengan seperangkat jabatan kepegawaian istana. Tatanan majelis istana Kadipaten Burgundia dan tatanan majelis istana Kerajaan Spanyol memengaruhi tatanan majelis istana Kekaisaran Austria pada abad ke-16, manakala Burgundia Tanah Rendah, Spanyol, dan Austria dipersatukan melalui pertalian nasab kulawangsa Habsburg.[3][halaman dibutuhkan] Pada permulaan dan pertengahan abad ke-16, para istanawati yang melayani bangsawati-bangsawati Habsburg di Negeri Tanah Rendah dan Austria terdiri atas satu orang Hofmeesteres (kepala istana perempuan) atau Dame d'honneur yang berkhidmat selaku perwara utama; satu orang Hofdame atau Mere de Filles yang berpangkat lebih rendah satu tingkat di bawah Hofmeesteres dan berkhidmat selaku wakil Hofmeesteres sekaligus membawahi para Eredames (dayang-dayang kehormatan) yang juga dikenal dengan sebutan Demoiselle d'honneur atau Fille d'honneur dalam bahasa Prancis, dan Junckfrauen dalam bahasa Jerman Austria; dan yang terakhir adalah para Kamenisters (pramugraha).[4] Meskipun demikian, semasa Putri Maria de Austria menjadi Permaisuri Romawi Suci pada pertengahan abad ke-16, badan pengurus rumah tangga permaisuri diatur berdasarkan tatanan majelis istana Spanyol. Sesudah Maria de Austria meninggalkan Austria, tidak ada badan pengurus rumah tangga permaisuri sampai dasarwarsa 1610-an.[5] Itulah sebabnya tatanan majelis istana Austria mengandung unsur-unsur adat-istiadat istana Burgundia maupun adat-istiadat istana Prancis. Pada tahun 1619, serangkaian tatanan pada akhirnya dibentuk bagi majelis istana kaisar di Austria. Tatanan inilah yang menjadi ciri khas tatanan majelis istana Austria-Habsburg yang dilanggengkan sejak saat itu.[5] Jenjang tertinggi bagi istanawati adalah Obersthofmeisterin (kepala istana perempuan urusan busana). Pangkat ini hanya setingkat di bawah permaisuri kaisar, dan penyandangnya bertanggung jawab atas semua pegawai istana perempuan.[5] Jenjang kedua ditempati para Aya, yakni para emban anak-anak kaisar sekaligus kepala badan pengurus rumah tangga anak-anak kaisar.[5] Jenjang ketiga ditempati Fräuleinhofmeisterin, istanawati yang menggantikan Obersthofmeisterin bilamana diperlukan, tetapi sehari-hari bertanggung jawab atas para istanawati yang belum berkeluarga, baik tingkah laku maupun pelayanan mereka.[5] Istanawati ningrat selebihnya terdiri atas Hoffräulein (dayang-dayang), yakni anak-anak dara bangsawan yang biasanya bekerja di istana untuk sementara waktu sampai melepas masa gadis.[5] Adakalanya Hoffräulein diangkat menjadi Kammerfräulein (dayang-dayang bilik peraduan).[5] Tatanan majelis istana Austria menjadi pola acuan bagi tatanan majelis istana para pangeran kepala daerah di Jerman.[5] Tatanan majelis istana Jerman pada gilirannya menjadi pola acuan bagi tatanan majelis istana Denmark dan Swedia di Skandinavia pada Awal Abad Kiwari.[6][halaman dibutuhkan] BelgiaKerajaan Belgia berdiri pada tahun 1830. Sesudah kerajaan didirikan, dibentuklah majelis istana, dan diangkatlah para perwara untuk mengiring Putri Louise d'Orléans ketika dijadikan Permaisuri Belgia yang pertama pada tahun 1832. Jabatan-jabatan pegawai perempuan di dalam badan pengurus rumah tangga permaisuri dibentuk mengikuti tatanan majelis istana Prancis, terdiri atas seorang Dame d'honneur yang membawahi Première femme de chambre, ditambah beberapa orang perwara bergelar Dame du Palais yang membawahi Femme de chambre.[7] Menurut sejarahnya, para perwara dipilih langsung oleh permaisuri dari kalangan putri-putri keluarga ningrat Belgia yang beragama Katolik. Fungsi-fungsi utama di istana dijalankan oleh putri-putri bangsawan yang lebih tinggi derajat keningratannya, mengingat mereka akan sering berkontak dengan para sentana putri . Begitu putri-putri Raja Belgia genap berumur 18 tahun, seorang perwara akan ditugaskan mendampinginya. Putri Clementine diserahi seorang Dame oleh ayahnya sebagai lambang pengakuan sang ayah akan kedewasaan putrinya. Bilamana permaisuri menggelar acara jamuan ramah-tamah, para bangsawati bertugas menyambut tamu dan membantu sang empunya hajatan untuk membuat para undangan tidak jenuh bercengkerama. KambojaDi Kamboja, perwara adalah dayang berpangkat tinggi yang bertugas melayani makan minum raja, mengipasi dan mengurut badan raja, dan adakalanya memuaskan berahi raja. Lazimnya perempuan-perempuan tersebut meniti karier di istana mulai dari jenjang biti-biti sampai akhirnya menjadi perwara, selir, bahkan permaisuri. Srey Snom (bahasa Khmer: ស្រីស្នំ) adalah sebutan untuk perwara dalam bahasa Kamboja. Kemungkinan besar enam dayang kesayangan Raja Sri Swasti berasal dari jenjang penari istana yang beranggotakan anak-anak gadis rakyat jelata. Raja Sri Swasti diketahui memperselir hampir semua penari istana. Penari kahyangan, Apsara, adalah salah satunya. Kebiasaan memperselir penari istana mula-mula muncul pada zaman kegemilangan Kerajaan Kmer. KanadaAda pula beberapa orang perwara Kanada yang diangkat menjadi pegawai Rumah Tangga Istana Kerajaan Kanada. Para perwara Kanada biasanya diangkat untuk membantu Kepala Negara Kerajaan Kanada selama menjalankan tugas-tugas resminya di Kanada dan selama beranjangkarya di negara itu. Lima orang perwara Kanada dianugerahi pangkat Letnan Tarekat Kerajaan Victoria.[8] TiongkokKulawangsa HanPerwara di Tiongkok disebut wanita istana. Semuanya secara resmi, jika tidak bisa dikatakan pada praktiknya selalu, merupakan penghuni keputren, apa pun tugas dan kewajibannya, dan berpeluang diangkat secara resmi oleh kaisar menjadi selir, garwa, bahkan permaisuri.[9] Keputren kulawangsa Han (tahun 202 Pramasehi sampai tahun 220 Masehi) dikabarkan dihuni ribuan 'wanita istana', meskipun tidak ada angka pastinya.[9] Kulawangsa SongSetidaknya pada zaman kulawangsa Song (tahun 960–1279), para wanita istanadibedakan menjadi tiga golongan, yaitu golongan istri kaisar (para garwa dan selir kaisar), golongan putri kaisar (para putri dan saudara perempuan kaisar), serta golongan pegawai dan jenang perempuan yang melaksanakan bermacam-macam tugas dan berpeluang menjadi selir atau garwa.[10] Perempuan-perempuan dari keluarga terpandang berpeluang terpilih menjadi permaisuri, garwa, atau selir begitu masuk istana, tetapi kaisar dapat pula mengangkat pegawai istana perempuan ke jenjang yang sama, karena secara resmi mereka semua adalah warga keputren.[10] Para pegawai dan jenang perempuan biasanya diambil dari keluarga baik-baik, kemudian ditatar untuk menjalankan tugasnya.[10] Kulawangsa MingPara wanita istana pada zaman kulawangsa Ming (tahun 1368–1644) juga dibedakan menjadi tiga golongan yang kurang lebih sama dengan penggolongan pada zaman kulawangsa Song.[11] Meskipun demikian, para pegawai dan jenang perempuan pada zaman kulawangsa Ming digolong-golongkan ke dalam enam lembaga pemerintahan yang disebut Enam Jawatan, yaitu Jawatan Umum, Jawatan Kriya, Jawatan Upacara, Jawatan Papan, Jawatan Sandang, dan Jawatan Pangan.[12] Semua lembaga tersebut dipantau oleh Jawatan Pengawasan Pegawai yang dikepalai seorang pegawai perempuan.[13] Para karyawati di istana kaisar digolongkan menjadi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.[14] Golongan pegawai tetap terdiri atas pegawai-pegawai perempuan berkepandaian baca tulis lagi terdidik yang berkhidmat di dalam Enam Jawatan, serta para inang penyusu yang merawat para ahli waris kaisar atau kanak-kanak lain di istana.[14] Perempuan-perempuan ini mendapatkan kekayaan yang besar dan terpandang di tengah masyarakat jika melaksanakan tugasnya dengan baik.[15] Golongan wanita istana musiman atau tidak tetap terdiri atas para bidan, para tabib perempuan, dan para karyawati berperikatan kerja (biasanya perempuan-perempuan berkhidmat sebagai biti-biti para garwa kaisar, para seniwati penghibur, para penatar keterampilan jahit-menjahit, atau para penandu).[16] Perempuan-perempuan ini direkrut untuk dipekerjakan di istana apabila jasa atau keahliannya dibutuhkan dan dibebastugaskan pada akhir masa bakti yang sudah ditetapkan sebelumnya.[17] Selama kulawangsa Ming berkuasa, kerap terjadi pergerakan di antara industri pelayanan istana dan penghuni keputren berpangkat rendah.[18] Meskipun kaisar-kaisar kerap mengangkat biti-biti menjadi garwa berpangkat rendah, hanya segelintir perempuan yang mampu mendaki jenjang kepangkatan garwa kaisar atau menjadi tokoh yang cukup kondang.[19] Seiring bergulirnya waktu, kondisi hidup dan kondisi kerja wanita istana mulai memburuk.[20] Para karyawati rendahan di istana kaisar sering kali diupah kecil dan tidak mampu membeli makanan, sehingga terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan menjual sulamannya ke luar istana melalui para sida-sida.[21] Secara keseluruhan, kondisi hidup dan hukuman atas perilaku yang tidak patut kian lama kian memburuk sampai-sampai pernah ada upaya pembunuhan Kaisar Jiajing oleh sekelompok biti-biti.[22] Pada tahun 1542, beberapa orang biti-biti, dipimpin Yang Jinying, mengendap-endap ke dalam bilik peraduan kaisar, dan berusaha mencekik leher kaisar yang sedang pulas tertidur dengan tali pengikat tirai.[23] Upaya pembunuhan ini pada akhirnya gagal, dan semua perempuan yang terlibat dihukum mati, meskipun pemberontakan disertai tindak kekerasan yang dilakukan oleh biti-biti semacam ini sebelumnya tidak pernah terjadi pada zaman kulawangsa Ming.[23] Akibat warkat-warkat propaganda berisi fitnah yang ditulis dan disebarluaskan oleh para pegawai dan sastrawan Konghucu pria, kekuasaan para pegawai perempuan berpangkat tinggi juga turut melemah pada zaman kulawangsa Ming.[24] Para pegawai lelaki terkemuka ini mulai merendahkan kebijakan pengaryaan perempuan terpelajar sebagai pegawai pemerintah dan pemegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam menanggapi pengaruh kaum wanita istana terhadap negara pada masa lampau.[25] Langkah tersebut mengakibatkan peran-peran yang dipegang perempuan lambat laun dialihkan kepada para sida-sida, yang berlanjut sampai berakhirnya zaman kulawangsa Ming.[26] Kulawangsa QingTatanan wanita istana nyaris tidak mengalami perubahan pada zaman Kulawangsa Qing (tahun 1644–1912), manakala muncul suatu golongan wanita istana berstatus garwa dan selir, yang sebelumnya tidak memegang jabatan lain. Meskipun demikian, semua dayang dapat dinaikkan statusnya menjadi selir atau garwa oleh kaisar.[27] Pada zaman kulawangsa Qing, wanita istana dipilih dari antara anak-anak gadis keluarga pembesar panji Mancu, yang didaftarkan untuk diperiksa sebelum diizinkan berumah tangga.[27] Demikian pula dayang-dayang diambil dari kalangan pejabat rendahan dan kalangan panji rendahan sebelum diizinkan berumah tangga.[28] Jika terpilih, dayang-dayang ditatar menjadi asisten pribadi para garwa kaisar, menjadi pegawai perempuan di bidang upacara atau di bidang-bidang lain, dan juga siap sedia dijadikan garwa atau selir oleh kaisar.[28] Di bawah jenjang dayang-dayang adalah pada biti-biti, yang dipilih dengan cara yang sama dari antara anak-anak gadis prajurit.[28] DenmarkMajelis istana Denmar pada Awal Abad Kiwari diatur mengikuti tatanan majelis istana Jerman, yang terinspirasi dari tatanan majelis istana Austria, sejak abad ke-16.[6] Pangkat tertinggi istanawati yang berkhidmat kepada seorang sentana putri adalah Hofmesterinde (kepala istana perempuan) atau, sejak tahun 1694/1698, Overhofmesterinde (ketua istana perempuan), sejajar dengan kepala istana perempuan urusan busana, biasanya dijabat seorang janda sepuh, yang menyelia semua perwara lain.[29][halaman dibutuhkan] Istanawati selebihnya adalah Kammerfrøken (dayang kehormatan senior), disusul sekelompok Hofdame (istanawati) dan Hoffrøken (dayang kehormatan).[29] Di bawah mereka masih ada biti-biti bukan ningrat yang tidak berpangkat perwara, misalnya biti-biti bilik peraduan. Hierarki semacam inilah yang dipakai sejak abad ke-16 sampai dengan kemangkatan Raja Christian IX pada tahun 1906.[29] Pada abad ke-20, kebanyakan gelar tersebut tidak lagi dipakai, dan semua perwara di istana Kerajaan Denmark sekarang ini hanya disebut Hofdame (istanawati). PrancisPermaisuri Prancis diketahui memiliki badan pengurus rumah tangga sendiri pada akhir abad ke-12, dan sebuah ordinansi dari tahun 1286 menyebutkan bahwa Juana I, Ratu Navara dan Permaisuri Prancis, memiliki satu regu pengiring yang beranggotakan lima orang perwara bersemenda (Dame) maupun perwara gadis (Damoiselle). Pada dasawarsa 1480-an, para perwara Prancis digolongkan menjadi kelompok Femmes Mariées (perwara bersemenda) dan kelompok Filles d'honneur (dayang kehormatan).[2] Meskipun demikian, anggota badan pengurus rumah tangga permaisuri maupun istanawan wanita pada Abad Pertengahan di istana Prancis sangat kecil jumlahnya, sama seperti di istana-istana lain di Eropa. Baru pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 semangat istana-istana Italia zaman Renaisans untuk tampil lebih unggul membuat kehadiran perwara di dalam upacara-upacara istana dan rombongan yang mewakili pihak istana menjadi semacam gaya mutakhir, dan para istanawati menjadi kian canggih dan meningkat jumlahnya di istana Prancis maupun di istana-istana lain di Eropa.[2] Ketika itu jumlah perwara di istana Prancis meningkat pesat, dari hanya lima orang pada tahun 1286 dan hanya 23 orang pada tahun 1490 menjadi 39 orang pada tahun 1498 dan kurang lebih 54 pada abad ke-16.[2] Ekspansi kehadiran kaum perempuan di istana diyakini sebagai jasa dua orang tokoh, yaitu Anna, Adipatni Bretanye, yang mendorong semua istanawan untuk mengirim anak-anak gadis mereka kepadanya, dan François I, Raja Prancis, yang menuai kecaman lantaran meramaikan majelis istana dengan "kehadiran konstan" serombongan besar perempuan, yang bergunjing dan mencampuri urusan-urusan kenegaraan. Raja François I pernah berkata, "istana tanpa wanita adalah istana tanpa istana".[2]
Pada zaman Kekaisaran Prancis Pertama, perwara utama permaisuri adalah Dame d'honneur, disusul 20 sampai 36 orang Dames du Palais.[30][halaman dibutuhkan] Pada zaman Pemulihan Wangsa Bourbon, Putri Marie Thérèse memulihkan hierarki kepegawaian istana prarevolusi.[31] Pada zaman Kekaisaran Prancis Kedua, para istanawati yang melayani permaisuri kaisar terdiri atas Grand Maitresse tingkat satu, Dame d'honneur tingkat dua, disusul enam (kemudian hari dua belas) orang Dames du Palais.[32] JermanIstana-istana di Jerman pada Awal Abad Kiwari ditata mengikuti tatanan majelis istana Kekaisaran Austria.[5] Tatanan majelis istana semacam ini memilah para perwara menjadi seorang perwara ketua yang disebut Oberhofmeisterin (wanita sepuh yang bersemenda atau sudah menjanda) dan bertugas menyelia para Hoffräulein (Dayang Kehormatan), yang satu atau dua di antaranya dapat dipromosikan menduduki jabatan menengah yang disebut Kammerfräulein (dayang-dayang bilik peraduan).[5] Tatanan majelis istana para pangeran Jerman kemudian hari ditiru di Denmark dan Swedia pada abad ke-16.[6] Sesudah riwayat Kekaisaran Romawi Suci bangsa Jerman tamat pada tahun 1806, dan beberapa kerajaan kecil berdiri di Jerman, jabatan Staatsdame (perwara bersemenda) dimunculkan di banyak istana kepangeranan maupun kerajaan. Di istana Kekaisaran Jerman, para perwara terdiri atas seorang Oberhofmeisterin yang membawahi beberapa orang Hofstaatsdamen atau Palastdamen.[33] YunaniPada zaman Kekaisaran Romawi Timur, permaisuri kaisar didampingi oleh rombongan wanita istana (Sekreton Tōn Gunaikōn) yang sebagian besar anggotanya adalah istri-istri istanwan tingkat tinggi. Para istanawati tersebut menyandang gelar yang merupakan bentuk feminin dari gelar suaminya. Satu-satunya jabatan khusus bagi wanita di istana adalah Zoste patrikia, yaitu perwara ketua merangkap pengiring wanita permaisuri kaisar, yang mengepalai rombongan wanita istana dan sering kali masih terhitung kerabat permaisuri. Gelar ini sudah muncul setidaknya sejak abad ke-9. Kerajaan Yunani didirikan pada tahun 1832.Permaisuri Yunani yang pertama, Amalia dari Oldenburg, mengatur jenjang kepangkatan para perwara menjadi 'Grande Maitresse sebagai jenjang utama, Dame d'honneur sebagai jenjang madya, dan Dame de Palais sebagai jenjang pratama.[34][halaman dibutuhkan] ItaliaNapoli dan Dua SisiliaSebelum unifikasi Italia, negara terbesar di Jazirah Italia adalah Kerajaan Napoli, yang kemudian hari disebut Kerajaan Dua Sisilia. Pada tahun 1842, para perwara Permaisuri Dua Sisilia terdiri atas satu orang Dama di Onore (Empuan Kehormatan, setingkat di bawah Cavaliere di Onore), tiga orang Dama di Compagnia (Empuan Pendamping, setingkat di bawah Cavalerizzo), dan banyak Dame di Corte (Istanawati).[35] Kerajaan ItaliaPada tahun 1861, negara-negara di Jazirah Italia dipersatukan menjadi Kerajaan Italia. Para perwara Permaisuri Italia terdiri atas Dama d'Onore pada jenjang utama, Dame di Corte pada jenjang madya, dan Dame di Palazzo pada jenjang pratama.[36] Dama d'Onore adalah ketua nominal para perwara, tetapi pada praktiknya hanya bertugas dalam acara-acara kenegaraan. Dame di Corte adalah perwara yang secara teratur mendampingi permaisuri, sementara Dame di Palazzo adalah para istanawati kehormatan yang erat kaitannya dengan kota-kota tertentu seperti Firenze, Turino, dan lain-lain, dan hanya bertugas untuk sementara waktu bilamana permaisuri sedang melawat kota yang bersangkutan. Hanya Dame di Palazzo dari istana kerjaan di ibu kota Roma yang bertugas lebih dari sekadar sementara waktu.[37] JepangDi Jepang, jabatan-jabatan pegawai istana kaisar biasanya dipercayakan kepada para bangsawan istana, dan yang menjadi perwara atau 'pramugraha istana' lazimnya berasal dari kalangan bangsawan.[38] Pada zaman Heian (tahun 794–1185), kaum wanita berpeluang menduduki jabatan-jabatan istana dengan tanggung jawab yang besar, menangani urusan-urusan Kaisar.[38] Pramugraha wanita istana dipilih dari kalangan bangsawan istana untuk bekerja di istana oleh Jawatan Pramugraha Istana Kekaisaran, tetapi mereka harus cukup terdidik dalam bidang sastra klasik Tionghoa untuk dapat diterima.[39][halaman dibutuhkan] Pada zaman Sengoku (tahun 1467–1603), pangkat tertinggi seorang perwara adalah 'Jenang Penasihat Besar', yang menangani urusan sehari-hari rumah tangga kekaisaran.[38] Jenjang kedua adalah Koto No Naishi, yang bertindak sebagai perantara yang menjembatani kaisar dengan orang-orang yang ingin menghadap, dan mengeluarkan harapan-harapan kaisar secara tertulis.[38] Para perwara bertindak selaku para sekretaris kekaisaran dan mencatat kejadian-kejadian yang berlangsung di istana, para pengunjung, dan hadian-hadiah di dalam buku harian resmi istana.[38] Berbeda dari Tiongkok, yang mengelola keputren Kaisar Jepang adalah biti-biti, bukan sida-sida, dan biti-biti dapat saja mengemban jabatan-jabatan tinggi dalam badan pengurus rumah tangga kekaisaran.[39] Biti-biti terbagi menjadi dua golongan, dan masing-masing golongan terbagi lagi menjadi beberapa jenjang jabatan sesuai dengan tugas yang diembannya.[40] Golongan pertama beranggotakan para nyokan, yakni para perwara pengemban jabatan-jabatan majelis istana, yaitu naishi-kami (shoji), naishi-suke (tenji), dan naishi-no-jo (shoji). The second class were the female palace attendants: myobu, osashi, osue and nyoju.[40] Para perwara bekerja sebagai asisten pribadi, mengurus pakaian kaisar, memandikan kaisar, menyajikan santapan, melaksanakan dan menghadiri upacara-upacara istana.[39] Perwara dapat saja diangkat kaisar menjadi selir, garwa, bahkan permaisuri.[39] Fungsi perwara selaku calon selir dihapuskan pada tahun 1924.[39] KoreaGungnyeo (secara harfiah berarti 'wanita istana') adalah sebutan bagi perempuan-perempuan yang bekerja di istana serta melayani raja dan sentanaraja. Gungnyeo adalah kependekan dari Gungjung Yeogwan, artinya 'pegawai wanita istana kerajaan'. Gungnyeo terdiri atas para perwara, baik dayang-dayang maupun biti-biti (disebut nain) yang bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Gungnyeo menempati jenjang 9 sampai 5 (jenjang 4 sampai 1 diduduki para selir resmi), dan masing-masing peringkat terbagi lagi menjadi dua tingkat (sepuh dan anom). Jenjang tertinggi yang dapat dicapai adalah sanggung (jenjang 5 tingkat sepuh).[41] Gungnyeo juga mencakup golongan-golongan pekerja wanita di luar jenjang tersebut, misalnya musuri (perempuan dari golongan masyarakat paling rendah yang melakukan berbagai pekerjaan kasar, seperti menimba air dan membagi-bagi kayu bakar), gaksimi (juga dikenal dengan sebutan bija dan bangja, yakni pelayan pribadi sanggung), sonnim (secara harfiah berarti 'tamu', yakni pelayan yang dibawa masuk ke lingkungan istana untuk melayani selir, sering kali memiliki hubungan erat dengan keluarga selir yang dilayaninya), dan uinyeo (dipilih dari antara budak-budak perempuan milik negara untuk bekerja di panti husada kerajaan atau balai kesehatan umum, dan mempraktikkan keahlian pengobatan sederhana). Pada umumnya perwara dipilih dari antara anak-anak gadis golongan sangmin (rakyat jelata) dan budak-budak perempuan pribadi golongan sadaebu (priayi). Kemudian hari, perwara juga dipilih dari antara budak-budak milik negara maupun anak-anak gadis yang lahir dari rahim gundik-gundik priayi (para mantan pramuria atau budak). Para nain, yang erat kaitannya dengan lingkungan kediaman khusus bagi raja dan permaisuri, dipilih sendiri oleh wanita-wanita istana berpangkat tinggi, lewat rekomendasi dan koneksi. Para nain yang bekerja di jawatan-jawatan dengan kemahiran khusus semisal jahit-menjahit dan sulam-menyulam berasal dari kalangan jungin (golongan menengah), sementara gungnyeo di jenjang terbawah berasal dari kalangan cheonmin (rakyat kasar). Perwara termuda berumur 4 tahun saat pertama kali masuk istana. Sesudah mempelajari budi bahasa dan tata krama istana, mereka dapat menjadi nain. Sesudah mengabdi di istana lebih dari 15 tahun, mereka akhirnya mendapatkan peluang untuk naik pangkat, tetapi hanya berpeluang naik pangkat menjadi sanggung sesudah mengabdi selama sekurang-kurangnya 35 tahun. Jika disukai raja, perwara dapat saja naik pangkat menjadi selir. Perwara yang demikian akan dinaikkan ke jenjang tertinggi (jejang 5 tingkat sepuh) dan disebut seungeun sanggung ('wanita istana kinasih/istimewa'). Jika melahirkan seorang putra, seugeun sanggung akan menjadi sentanaraja sesudah dinaikkan pangkatnya menjadi sug-won (jenjang 4 tingkat anom), dan sampai dengan abad ke-18 mungkin saja dinaikkan pangkatnya sampai ke jenjang permaisuri (contoh yang paling terkenal adalah Jang Ok-jeong, selir Raja Sukjong dan ibu Raja Gyeongjong). Negeri RendahIstana Kadipaten Burgundia, yang berlokasi di Begeri Belanda pada abad ke-15, terkenal dengan tatanan kehidupan istananya yang menjelimet dan menjadi panutan beberapa istana lain di Eropa.[2] Tatanan hidup di istana Burgundia menjadi panutan majelis istana kekaisaran Austria pada abad ke-16, ketika Negeri Belanda di bawah kekuasaan Kadipaten Burgundia bersatu dengan Austria melalui pertalian darah wangsa Habsburg.[3] Pada abad ke-16, para perwara yang mengabdi kepada para Gubernur Belanda dari wangsa Habsburg, yakni Margareta menak Austria dan Maria menak Hongaria, terdiri atas Hofmeesteres (kepala istana) atau Dame d'honneur selaku perwara utama, satu orang Hofdame atau Mere de Filles selaku perwara madya merangkap deputi Hofmeesteres sekaligus membawahi para Eredames (dayang kehormatan) yang juga dikenal dengan sebutan Demoiselle d'honneur, Fille d'honneur, maupun Junckfrauen, dan yang terakhir adalah Kameniersters (biti-biti bilik peraduan), semuanya menyandang beragam gelar tergantung kepada bahasa yang dipakai di Negeri Belanda yang multibahasa itu.[4] Berdirinya Kerajaan Belanda pada tahun 1815 menyiratkan adanya usaha menata majelis istana. Pada abad ke-19, para perwara di istana Kerajaaan Belanda diketuai oleh Grootmeesteres (perwara besar, sejajar dengan perwara urusan busana). Para perwara tingkat madya adalah Dames du Palais (para perwara bersuami), dan para perwara tingkat pratama adalah Hofdames (istanawati, sejajar dengan dayang kehormatan).[42][halaman dibutuhkan][43] Ratu Beatrix memiliki total tujuh orang Hofdames. Mereka mengiring ratu maupun para sentana putri dalam acara lawatan atau jamuan di istana. Mereka tidak digaji sepeserpun, tetapi biaya hidup mereka ditanggung raja. Tidak semua perwara berasal dari kalangan ningrat Belanda, tetapi masing-masing bersuamikan seorang pria "terkemuka". Pandai bergaul dan cendekia merupakan syarat utama menjadi seorang Hofdame. Para Hofdames pada tahun 2012 adalah Letje van Karnebeek-van Lede, Lieke Gaarlandt-van Voorst van Beest, Julie Jeekel-Thate, Miente Boellaard-Stheeman, Jonkvrouwe Reina de Blocq van Scheltinga, Elizabeth Baroness van Wassenaer-Mersmans, dan Bibi Baroness van Zuylen van Nijevelt, Jonkvrouwe den Beer Poortugael. Ratu Maxima membatasi jumlah Hofdames menjadi tiga orang. Para perwara yang mendampinginya adalah Lieke Gaarlandt-van Voorst van Beest, Pien van Karnebeek-Thijssen, dan Annemijn Crince le Roy-van Munster van Heuven. Sesudah mengundurkan diri secara sukarela, Hofdames diangkat menjadi anggota kehormatan rumah tangga kerajaan. Perwara terkenalBerikut ini adalah daftar perwara kenamaan di negaranya masing-masing. Austria
Kanada
Denmark
Inggris dan Skotlandia
Prancis
Jerman
Hongaria
Jepang
Tiongkok
Usmani
Polandia
Rusia
Swedia
Muangthai
Dalam fiksi
Baca jugaKutipan
Rujukan
Pranala luar
|