Petition of Right
Petition of Right adalah dokumen konstitusional Britania Raya berisi pembatasan hak raja dan pernyataan atas hak yang dimiliki rakyat beserta jaminannya.[1] Dokumen ini diserahkan kepada raja Charles I oleh Parlemen Inggris pada tahun 1682 sebagai bentuk perjuangan melawan monarki absolut.[2] Petition of Right juga merupakan salah satu dokumen konstitusional paling penting di Britania Raya.
Latar BelakangKepemimpinan Charles IRaja Charles I naik takhta pada bulan Maret 1625, menggantikan raja James I yang meninggal pada tahun yang sama. Pemerintahan Charles dimulai dengan hubungan yang tidak menyenangkan dengan Adipati Buckingham saat itu, George Villiers. Penyebabnya adalah kecendurungannya untuk menggunakan kekuasaan yang berlawanan dengan keinginan para bangsawan.[3] Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Charles I juga tidak populis, di antaranya adalah pengumpulan paksa bea cukai untuk membiayai perang di luar negeri. Parlemen memutuskan pembatasan pungutan ini hanya selama satu tahun pada tahun 1625. Hal ini tidak diindahkan oleh Charles I dengan mengumpulkan uang tanpa persetujuan Parlemen melalui Pinjaman Paksa pada tahun 1626 dan memenjarakan orang yang menolak untuk membayarnya tanpa diadili.[4] Kehidupan PribadiCharles adalah seorang penganut aliran Anglikan Tinggi[5] dan menikahi Henrietta Maria yang beragama Katolik pada 1 Mei 1625.[6] Perbedaan kepercayaan ini menimbulkan kebencian rakyat, terutama kaum Puritan. Pada tahun 1629, Charles I memerintahkan tindakan kekerasan terhadap orang-orang Puritan dan Katolik dan banyak dari mereka yang pindah ke daerah koloni Amerika. Raja Chales juga memaksakan penggunaan buku doa baru di Skotlandia sehingga menimbulkan perlawanan. Dia terpaksa bekerja sama dengan Parlemen untuk mendapatkan dana meredam perlawanan rakyat. Pada November 1641, pemberontakan pecah di Irlandia. Ketegangan semakin meningkat akibat perselisihan mengenai siapa yang harus memimpin pasukan untuk menekan pemberontakan di Irlandia. Charles menyuruh penahanan lima anggota Parlemen pada Agustus 1642 dan menegaskan diri sebagai pemimpin pasukan. Nantinya, hal ini menyebabkan Perang Saudara Inggris terjadi.[3] Pinjaman Paksa (Forced Loan)Untuk membiayai rencana Perang Inggris-Spanyol (1625–30), Charles I mengenakan pinjaman paksa pada rakyatnya yang kaya pada tahun 1626. Para bangsawan ditunjuk sebagai komisaris untuk pengumpulan pinjaman. Lebih dari 250.000 Pound sterling terkumpul dalam setahun. Tujuh puluh enam orang yang menolak atau menghalangi peminjaman uang dipenjarakan. Mereka tidak diadili karena hakim takut menentang raja. Charles I juga berusaha memaksa Gereja untuk mendukung pinjaman paksa. Para pendeta mengkhotbahkan pembenaran terhadap tindakannya atas hak ilahinya.[7] Konflik dengan ParlemenParlemen PertamaKetika Parlemen pertama raja Charles I membahas pengangkatan menteri raja pada bulan Juni 1625, muncul ketidakpercayaan atas dirinya karena kegagalan Perang Spanyol dan Charles tidak memberi penjelasan kepada Parlemen tentang kebijakan luar negerinya atau biayanya. Pertentangan juga muncul antara raja yang baru dan Kaum Puritan yang mendominasi House of Commons. Parlemen membatasi hak untuk memungut bea cukai hanya selama setahun, tidak seumur hidup seperti pada raja-raja sebelumnya.[8] Menyadari ancaman terhadap kekuasaannya, Charles membubarkan Parlemen pertamanya pada 12 Agustus 1625.[9] Parlemen KeduaCharles I menjadikan lawan-lawan politiknya anggota Parlemen kedua menjadi sheriff di daerah asal mereka untuk menghindari perlawanan. Kenyataannya, Parlemen kedua lebih kritis terhadap raja di pertemuan pada Februari 1626. Parlemen menyoroti kegagalan ekspedisi Cádiz di Spanyol. Ajuan raja untuk mendanai armada pasukan melawan Spanyol dan Perancis ditolak. Posisi Charles kembali terancam dan dia memutuskan membubarkan Parlemen pada Juni 1626.[10][11] Parlemen KetigaCharles I mengatur pembentukan Parlemen baru dengan harapan Parlemen akan menyetujui pengiriman pasukan ke La Rochelle, Perancis. Parlemen justru bertindak lebih keras menentang raja dan mengeluarkan resolusi Petition of Right pada pertemuan pada 17 Maret 1628 dan The Tree Resolutions pada 23 Januari 1629.[12][13] PengesahanKekalahan perang melawan Perancis dan Spanyol pada tahun 1627 membuat perpajakan darurat didesak oleh raja Charles I. Dua puluh tujuh anggota Parlemen yang menolak memberi pinjaman dipenjara dan menimbulkan kecemasan di antara anggota yang lain.[14] Parlemen ketiga raja Charles I berkumpul pada 17 Maret 1628. Pada Pidato pembukaannya, raja menyerukan pemungutan pajak segera untuk melanjutkan perang. Parlemen memanfaatkan kegentingan tersebut dengan menyusun Petition of Right dipimpin Sir Edward Coke dan memutuskan akan memberi dana yang dibutuhkan jika dokumen tersebut ditandatangani.[15][16] Awalnya, Charles menolak untuk memberikan persetujuannya kepada Parlemen, tetapi dia sangat membutuhkan uang. Dia berkonsultasi dengan Coke tentang status hukum Petition of Right. Dengan harapan dapat kembali menegakkan kekuasaannya, Charles menyetujui Petition of Right pada tanggal 7 Juni 1628.[17] Parlemen kemudian memberikan dana yang dibutuhkan raja. Pada saat Parlemen keempat bertemu pada Januari 1629, pihak kerajaan tidak punya banyak wewenang. House of Commons sekarang berkeberatan atas munculnya praktik-praktik ibadah baru di gereja-gereja dan pengadaan bea cukai dan penangkapan orang oleh para pejabat raja tanpa persetujuannya. Raja ingin memerintahkan penangguhan Parlemen di pertemuan pada 2 Maret 1629, tetapi sebelum dia berbicara, pembesar suara di kursinya diturunkan. Charles menyadari bahwa perilaku itu adalah gerakan revolusi. Selama 11 tahun berikutnya ia memerintah kerajaan tanpa melibatkan Parlemen.[11] IsiKutipan Petition of Right berbunyi:
Inti dari Petition of Right adalah empat tuntutan:
Hak-hak ini juga dilindungi oleh hukum dan undang-undang Magna Carta dan hukum Edward I, Edward III dan Richard III. Tuntutan ketiga dan keempat memperlihatkan dampak kebijakan luar negeri Charles I yang suka berperang.[12] StatusBritania Raya tidak memiliki konstitusi tertulis, tetapi menjalankan sejumlah instrumen dalam proses bernegaranya. Di antaranya adalah Magna Carta, Petition of Right, dan khusus di Skotlandia berlaku Claim of Rights Act 1689, Act Settlement 1701, dan Act of Union 1707.[19] Akibat ketiadaan konstitusi tertulis, berbagai interpretasi mengenai keabsahan Petition of Right muncul. Sejarawan memberikan dua kemungkinan terhadap masalah ini. Pertama, pengakuan terhadap Petition of Right merupakan ketentuan yang bersifat pribadi, yudikatif, sehingga tidak mengikat Raja atau Parlemen; kedua, Petition of Right memiliki kekuatan undang-undang, legislatif, dan dengan demikian mengikat secara hukum.[20] Keabsahan Petition of Right dipertanyakan mulai dari pengesahannya. Pada saat penyusunannya, Parlemen tahu bahwa raja Charles | tidak akan menerima ketentuan yang telah mereka persiapkan untuk membatasi haknya. Namun, raja telah mengumumkan kesediaannya untuk menerima berlakunya Magna Carta bersama dengan enam ketentuan lain tetapi penafsiran hukum tersebut masih di tangan raja. Raja Charles didesak untuk memberi kejelasan atas pernyataan tersebut. Sir Edward Coke mendekati raja Charles dan memberikannya sebuah dokumen penjelasan. Usulannya didukung dan komite perancang segera ditunjuk. Gagasan mengajukan Petition of Right diajukan sebelum pidato oleh Sir Edward. Pidato anggota Parlemen, Edward Alford dan Sir John Coke memberikan usul pada pertemuan pertama Parlemen yang tidak menghasilkan ketentuan baru dan gagasan Petition of Right akhirnya diadopsi atas desakan Sir Edward Coke. Proses penyusunan Petition of Right diajukan oleh Edward Alford pada awal debat pada 6 Mei 1629.[21] SignifikansiPetition of Right menandai masa transisi ideologis perpolitikan Britania Raya. Hak-hak ilahi Charles I sebagai raja dipertanyakan dan menimbulkan keraguaan penerimaan tradisional otoritas hukum bersamaan dengan pengakuan raja sebagai penguasa. Parlemen di saat itu berusaha untuk mempertahankan integritas hukum, membatasi absolutisme Charles namun tidak serta merta melepaskan otoritas monarki sehingga menghindari munculnya konflik. Kerajaan Inggris menunjukkan sistem konstitusional dengan hak prerogatif raja dibatasi oleh hukum.[22] Petition of Right dianggap sebagai penanda penting dalam periode Wangsa Stuart.[23] Petition of Right juga disebut-sebut sebagai salah satu dokumen konstitusional paling terkenal di Inggris, dibandingkan dengan Magna Carta dan Bill of Rights 1689.[24][25] Banyak negara yang mengadopsi isi Petition of Right. Negara-negara Persemakmuran banyak yang menerapkannya dalam berbagai undang-undang, terlebih di Australia dan Selandia Baru.[26] Petition of Right juga memengaruhi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konstitusi Amerika Serikat. Amandemen Ketiga Konstitusi Amerika Serikat yang mengatur ketentuan mengenai penugasan perang isinya mirip dengan yang terdapat dalam Petition of Right.[27] Lihat pulaReferensi
Daftar PustakaMaitland, Frederic William (2011). The constitutional history of England : a course of lectures delivered. Barnes & Noble. ISBN 978-1-4114-3794-4. Banaszak, Ronald A (2002). Fair trial rights of the accused : a documentary history. Greenwood Press. ISBN 0-313-30525-0. Hallam, Henry (2009). The Constitutional History of England from the Accession of Henry VII to the Death of George II. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-09448-1. Bailey, J. Magna Charta, the Bill of Rights; with the Petition of Right, Presented to Charles I. by the Lords and Commons, Together with His Majesty's Answer; and the Coronation Oath. With Notes and Illustrations, Etc. England: England (1820). Schachter, Gustav (2005). Cultural continuity in advanced economies : Britain and the U.S. versus continental Europe. Ashgate. ISBN 0-7546-4476-6. OCLC 845863156. Yates, Nigel (1999). Anglican ritualism in Victorian Britain, 1830-1910. Oxford:: Clarendon. ISBN 0-19-826989-7. OCLC 42038502. |