Piagam 21 Agustus 1981Piagam 21 Agustus 1981 adalah dokumen yang isinya mengemukakan penyimpangan dan pemikiran tentang solusi yang disebut landasan bersama perjuangan rakyat. Piagam ini diterbitkan pada 21 Agustus 1981 di Jalan Borobudur 2, Menteng, Jakarta Pusat dan ditandatangani oleh 61 tokoh sipil dan purnawirawan militer. Latar belakangSetelah Pernyataan Keprihatinan 5 Mei 1980, meski pengucilan dan penutupan pintu-pintu fasilitas serta penghambatan hak-hak perdata bagi kelompok Petisi 50 berjalan terus, agaknya penguasa masih membatasi diri. Mereka menghindari menyentuh dengan tindakan fisik, semisal berupa penangkapan dan semacamnya. Sementara itu para tokoh dalam kelompok itu tetap melanjutkan sikap kritisnya hingga beberapa tahun ke depan. Salah satu di antaranya, tepatnya pada 21 Agustus 1981, Jenderal H.R. Dharsono bersama sejumlah tokoh mengintroduksi Piagam Menegakkan Hukum, Keadilan, dan Kedaulatan Rakyat sesuai dengan Tekad Orde Baru. PenyimpanganDalam piagam itu disebutkan, "Perkembangan kehidupan bernegara pada dasawarsa akhir ini telah menunjukkan kerapuhan-kerapuhan yang sangat memprihatinkan." Piagam menyebutkan apa yang dulu dikritik terhadap Orde Lama, seperti diutarakan Pejabat Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1967 di depan DPR-GR, satu per satu malah diulangi "dalam bentuk dan ukuran yang lebih besar". Disebutkan tentang tidak berfungsinya seluruh perangkat lembaga-lembaga kenegaraan sebagaimana mestinya. Dalam kenyataannya, seluruh kekuasaan negara terpusat pada tangan satu orang. Perkosaan terhadap kedaulatan rakyat yang tercermin dalam UU tentang Pemilu, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR/DPRD, undang-undang tentang partai politik dan golongan karya serta undang-undang tentang pemerintahan di desa. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan makin meluas. Terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam bidang ekonomi yang membawa negara ke dalam pelukan sistem kapitalisme dan mengakibatkan tergantungnya negara pada pihak asing. Bertambah luasnya kemiskinan di kalangan rakyat banyak dan bertumpuknya kekayaan pada sekelompok orang-orang tertentu. Penetrasi kebudayaan asing yang jelas-jelas mengancam kepribadian dan nilai-nilai luhur bangsa. Makin melemahnya daya tahan buruh, tani, nelayan, dan rakyat kecil lainnya dalam menghadapi kekuatan modal, sehingga nasibnya tidak terlindungi. Makin rawannya ketahanan nasional, karena terpecah-pecahnya kekuatan bangsa yang seharusnya terpelihara secara terpadu. Makin meluasnya tindakan-tindakan di luar hukum dan makin tidak adanya kepastian hukum serta perlindungan hukum, sehingga rakyat tercekam oleh rasa takut untuk menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. "Ke semuanya itu tidak boleh dibiarkan terus dan tidak dapat ditanggulangi secara tambal sulam, melainkan perlu diadakan perubahan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara secara fundamental sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, perlu dibina kembali rasa senasib sepenanggungan di dalam masyarakat dan ditumbuhkan kembali solidaritas nasional dan disiplin nasional, sehingga mampu menciptakan pimpinan negara yang kuat dan berwibawa karena adil, amanah, jujur, bijaksana, dan dicintai. Pimpinan negara itu tunduk pada kehendak rakyat melalui pemilihan umum berkala yang langsung, umum, bebas, rahasia, dan berkesamaan dalam arti yang sebenarnya. Kehendak rakyat seperti itulah yang tidak tercermin dalam dua kali pemilihan umum pada dasawarsa akhir ini." SolusiSelain mengemukakan penyimpangan, Piagam Penegakkan Hukum itu juga menyampaikan pemikiran tentang solusi yang disebut landasan bersama perjuangan rakyat. Landasan itu meliputi kehidupan kenegaraan bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
PenandatangananPiagam itu dicetuskan dalam pertemuan di Jalan Borobudur 2, kediaman Ali Sadikin, salah seorang anggota kelompok Petisi 50. Ditandatangani 61 tokoh sipil dan purnawirawan militer, di antaranya Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution, Letnan Jenderal (Purn.) Hartono Rekso Dharsono, Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso, Letnan Jenderal Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Manai Sophian, Kasman Singodimedjo, Mohammad Natsir, Mayor Jenderal (Purn.) dr. Azis Saleh, Dr. Anwar Harjono, Ir. H.M. Sanusi, Burhanuddin Harahap, Marsekal Muda (Purn.) Suyitno Sukirno, Sjafruddin Prawiranegara, dan sejumlah tokoh generasi lebih muda seperti dr. Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Louis Wangge. Piagam dibacakan oleh Letnan Jenderal (Purn.) Hartono Rekso Dharsono. Referensi
|