Pranata mangsaPranata Mangsa (bahasa Jawa: ꦦꦿꦤꦠꦩꦁꦱ, pranåtåmångså, berarti "ketentuan musim") merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Kalender Pranata Mangsa disusun berdasarkan pada pada peredaran Matahari. Kalender ini memiliki 1 siklus (setahun) dengan periode 365 hari atau 366 hari. Kalender ini memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu. Penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di Bali dikenal sebagai Kerta Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau "penanggalan untuk petani". DeskripsiPranata mangsa dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, kalender ini bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan.[1][2] Selain itu, pada beberapa bagian, sejumlah keadaan yang dideskripsikan dalam pranata mangsa pada masa kini kurang dapat dipercaya seiring dengan perkembangan teknologi. Pranata mangsa dalam versi Kasunanan (sebagaimana dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu.[3] Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (95 hari), dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (86 hari) . Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktik amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir.[3][4] Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (mangsa) yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku pada saat penanaman padi sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).
Sejarah dan antropologiBentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.[6][7] Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranata mangsa pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranata mangsa dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.[1] Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India.[8] Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion).[9] Di wilayah dengan tipe iklim Am menurut Klasifikasi iklim Köppen ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun.[3][10] Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram pada abad ke-17 sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).[3] Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranata mangsa (dalam bentuk formal versi Kasunanan) kehilangan banyak relevansi.[3][11] Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranata mangsa harus ditinjau kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca".[12] Kosmografi dan klimatologiPranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranata mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis. Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).[9] Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang bayangan. Mangsa pertama berakhir pada saat bayangan menjadi tiga pecak, dan mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir pada saat bayangan tepat berada di kaki, pada saat posisi matahari berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu). Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak pada saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776 secara eksplisit menunjukkan hal ini[13].Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh.[9] Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang dijadikan rujukan bagi pranata mangsa adalah Waluku, Lumbung (Gubukpèncèng, Crux), Banyakangrem (Scorpius), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (alpha- dan beta-Centauri), serta Bimasakti.[3] Batas-batas eksak tanggal pada pranata mangsa versi Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan pada posisi benda-benda langit. Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan informasi mengenai perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta berbagai pertanda fisiknya yang digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata mangsa adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu (misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis.[3] Upaya penggunaan kembaliKarena pranata mangsa dianggap sudah "usang" namun tetap dianggap penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai penghubung petani/nelayan dengan lingkungan,[3] upaya-upaya dilakukan untuk memodifikasi pranata mangsa dengan memanfaatkan informasi-informasi baru. Di bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender semacam pranata mangsa sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.[2] Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan.[1][2] Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani.[14] Kegiatan SLI dimaksudkan untuk membuat petani mampu "menerjemahkan" informasi prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki.[15] Dalam kaitan dengan SLI, pranata mangsa menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim. Pranata mangsa masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan atas gejala alam.[11] Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam.[12] Rujukan
Pranala luarPerhitungan Pranata Mangsa Diarsipkan 2016-11-04 di Wayback Machine. |