Share to:

 

Prasasti Raja Sankhara

Prasasti Raja Sankhara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan di Sragen, Jawa Tengah. Prasasti ini kini hilang tidak diketahui di mana keberadaannya.[1] Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum Adam Malik, tetapi diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini dijual begitu saja tanpa sepengetahuan pemerintah dan Direktorat Permuseuman, termasuk prasasti ini. Foto prasasti ini ditampilkan di buku Sejarah Nasional jilid 2.

Asal Usul

Prasasti Sankhara sebenarnya ditulis di atas dua batu. Namun batu pertama yang memuat permulaan prasasti belum ditemukan.Dengan demikian tidak diketahui dengan pasti kapan prasasti itu dikeluarkan. Dari segi paleografi (ilmu yang mempelajari perbandingan huruf), diperkirakan Prasasti Sankhara berasal dari pertengahan abad ke-8 Masehi.

Melihat bagian belakang prasasti yang tidak rata dan ada bagian yang merupakan tonjolan, diduga kuat dulu prasasti ini ditempatkan dalam sebuah bangunan.

Isi prasasti

1. twam widitwā swakam api dadataḥ saṭsuwarnaṃ vyayā rtham dharmyaṃ yan māttha vakyan tad iha sa karavāniti kṛtvā pratijnaṃ prityā pratyagrahit tad gatakapatmanās tātadattam pṛahsṭaḥ aitvā

2. tuṣṭo pi śṛnvan vacanam iti gurus satyabhāvaṃ vijānan kālenai vācirena glapitatanuvalas tivradāhajvarena duḥkḥaṃ so sto dināni jvarakṛtam avaśas sodavān svarggato ait tāte yaś ca prana ṣṭe punar api vimanā dhairyya ruddhāśrunetraḥ

3. so yan tyaktānya bhaktir jagadasivaharāc chaṃkarāc chaṃkarākhyaḥ*dhātuḥ putryāḥ pra sādan tuṭivad anutamaṃ svalpapunyo dhigamya sancintyātma pratijnam anrtagurubhayas satyatān netum icchan prāsādaṃ svā tmabuddes susadṛsam akarot sarddham ebhih pravandhaiḥ śreyo mokṣan na param adhikan kathyate jnanavidohir mokṣā s so pi vratibhir anaghair labhyate jnanahetoḥ tac ca jna naṃ vratibhir amalaṃ labhyate yat praśādād dhātuh putri janaya tutarāṃ vanditā -ah kavitvam

4. iha sudṛdayaśostu bhiksu saṃghaḥ kulapatir agryasukhi cinotu dharmam jagad apaga damāyi dasyu rakṣanṛpatir arātir ihāciraṃ sa jivyāt

Terjemahan sementara

... Setelah mengetahui....(?), ia memberi untuk dikeluarkan juga "emas yang enam" kepunyaannya sendiri; setelah berjanji "saya harus mengerjakan kata-kata yang benar yang telah dikatakan kepada saya itu" Ia menerima dengan senang hati apa yang telah diberikan oleh ayahnya, dengan hati yang bersih dari pikiran-pikiran yang jahat. Sang guru pergi dengan puas, mendengar perkataan itu, (karena) mengetahui sifatnya yang benar. dalam waktu yang lama karena sakit panas, badannya lemah, lemas dan kehabisan tenaga, setelah menderita karena sakit panas dengan sedih selama delapan hari, ia masuk surga Dan ia, setelah ayahnya meninggal, lagi-lagi tidak sadarkan diri, (sambil) dengan ketabahan hati membendung air mata di matanya. Ia, yang bernama Sankara, setelah meninggalkan kebaktian kepada (dewa) yang lain, dari Sankara yang melenyapkan ketidaktentraman di dunia,(dan) dari Putri Dhatr (?), menjadi puas, setelah menyadari jasanya sendiri yang sedikit, yang tidak berarti sebagai buah cardamom yang kecil,setelah merenungkan janjinya sendiri, karena takut akan gurunya yang tidak benar, bermaksud hendak melaksanakannya,Dengan kemauannya sendiri ia membuat prasada (candi) yang indah disertai dengan syair ini.Tiada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada moksa, demikian dikatakan oleh mereka yang tahu akan jnana (kennis (pengetahuan)) moksa diperoleh oleh para vratin yang suci berdasarkan ilmunya, semoga Putri Dhatri, yang dipuja-puja, dengan perkenan siapa ilmu yang suci itu diperoleh oleh para vratin, amat memperkembangkan 'kesusasteraan'. Semoga samgha para Bhiksu tetap teguh berjasa, semoga kulapati dengan kebahagiaan tertinggi mengumpulkan kebajikan (dharma),semoga musuh, raja pelindung para Dasyu, yang merupakan bukan rintangan (?) di dunia ini, tidak panjang hidupnya...

Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari. Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur.[2]

Penafsiran

Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya. Ditafsirkan bahwa raja Sanjaya menjalankan ritual yang sangat berat atas saran sang guru, resi brahmana pemuja Siwa. Akibat ritual ini dalam 8 hari raja Sanjaya sakit keras yang berakibat pada kematiannya. Putranya, Rakai Panangkaran yang khawatir akan ajaran guru Siwa yang dianggapnya tidak benar ini, kemudian berpindah keyakinan menjadi penganut agama Buddha Mahayana.

Oleh Poerbatjaraka Panangkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahyangan. Isi prasasti Raja Sankhara ini secara garis besar sesuai benar dengan kisah dalam Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa Raja Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban (Rakai Tamperan) untuk berpindah agama, karena agama Siwa yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Nusantara, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana.[3]

Namun pendapat berbeda di kemukakan oleh Arlo Griffiths, menurutnya Sankhara bukanlah raja, tapi kemungkinan adalah rohaniawan yg memelihara tempat ibadah atau bangunan suci, yang menuliskan sajak, syair, atau ajaran dan nasihat pada tempat ibadah. Griffiths berpendapat Prasasti Sankhara merupakan prasasti non kerajaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan maupun dengan wangsa sailendra.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Bambang Budi Utomo: Menghargai Cagar Budaya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-01. Diakses tanggal 2012-02-02. 
  2. ^ Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984:109)
  3. ^ Poerbatjaraka (1975:25-38)
Kembali kehalaman sebelumnya