Share to:

 

Prosesi Burung Petala

Prosesi Burung Petala
Burung Petala Indera saat puncak prosesi kesultanan, ribuan orang berkumpul untuk melihat sekilas burung yang menjulang tinggi itu.
Nama asli Perarakan Burung Pertala
ڤراراكن بوروڠ ڤرتال
Tanggal1933, 1923, 1919
TempatKota Bharu, Kelantan, Negara Bagian Melayu yang Tidak Berfederasi, Malaya Britania Raya

Prosesi Burung Petala adalah tradisi masyarakat Melayu untuk merayakan upacara kerajaan, khususnya sunatan anak raja, berupa arak-arakan dengan membawa sebuah tandu yang menyerupai burung garuda. Pada tahun 1933, prosesi ini diadakan secara besar-besaran untuk merayakan sunatan putra sulung Sultan Kelantan.[1] Tandu yang digunakan diberi nama Burung Petala Indra.

Sejarah

Perayaan ini memiliki asal usul dari tradisi masyarakat Melayu pra-Islam di pantai utara Semenanjung Malaya. Banyak yang percaya bahwa tandu yang digunakan dalam prosesi tersebut merupakan personifikasi dari Sarung Dewa Purba Raksasa, seekor burung raksasa dari epos Raja Isma Dewa, sebuah cerita lokal di Kelantan. Hal ini didukung dengan adanya patung kera putih bermahkota yang berdiri di bawah Burung Petala Wati tahun 1923, kera putih sendiri merupakan tokoh dari Hikayat Isma Dewa pendamping tokoh utama. Fungsi kera adalah untuk membujuk pangeran muda agar berani seperti pahlawan favoritnya dalam saga tersebut.[2]

Pandangan lain menelusurinya ke mitos garuda yang ada dalam dua epos Hindu India, Mahabharata dan Ramayana. Tindakan burung memakan ular merupakan simbolisme filosofis untuk menghancurkan kejahatan. Berdasarkan pemahaman tersebut, alih-alih Isma Dewa, yang menjadi tokoh utama dalam versi ini adalah Wisnu. Gagasan ini sebagian besar dianut oleh Haji Mubin Sheppard.[3][4][1]

Tandu burung tersebut digunakan untuk keperluan resmi, termasuk pada saat penobatan pangeran, kedatangan delegasi negara, dan pada perayaan sunat kerajaan.[5] Dalam catatan lama dari Chi Tu, ketika duta besar Tiongkok datang ke kerajaan, ia diarak menggunakan prosesi ini. Hal ini sebagian besar berasal dari kebiasaan yang menyatakan bahwa setiap delegasi negara harus dirayakan seperti kembalinya para dewa dari kediaman surgawi mereka. Melalui tradisi ini, kerajaan berhasil memperoleh hubungan diplomatik yang kuat dengan Tiongkok kuno.[2] Ketika tidak digunakan, tandu burung itu akan ditempatkan di ruangan khusus, dengan seorang punggawa yang diberi tugas melakukan ritual untuk menjaga arwahnya.[5]

Desain tandu tersebut mengambil inspirasi dari berbagai figur yang berasal dari mitologi Melayu kuno, kisah-kisah kerajaan, dan dongeng dalam hikayat Melayu. Dalam wawancara Paul J. Coatalen dengan seorang bomoh (dukun) Melayu setempat mengenai tandu kerajaan Kelantan, ia menjelaskan bahwa kendaraan upacara ini melambangkan mistisisme Melayu yang berakar dari janji sakral raja Kelantan dan seorang prajurit setia bernama Isma Dewa Pekerma Raja.[2]

Ada beberapa varian burung di Pattani, antara lain Gagak Suro (gagak), Karawek (kalaviṅka), Merak Mas (merak emas), Garuda dan Burung Singa (burung singa).[6][7] Prosesi tersebut kemudian terekam dengan sangat rinci pada saat kedatangan administrator kolonial Inggris di Kelantan dari tahun 1909.

Referensi

  1. ^ a b Noor, Farish & Eddin Khoo (2012). Spirit of Wood: The Art of Malay Woodcarving. Tuttle Publishing. ISBN 9781462906772. 
  2. ^ a b c PPSK (2017), Pedati & Tandu berkhatan Pertala Indera Sri Kelantan 
  3. ^ Sheppard, Mubin (1965), The Giant Bird, Straits Times Press 
  4. ^ Izmer Ahmad (2008), Tracing the Mark of Circumcision in Modern Malay/sian Art, University of Victoria, CiteSeerX 10.1.1.876.8023alt=Dapat diakses gratis 
  5. ^ a b Persatuan Pencinta Sejarah Kelantan (2016), Perarakan Burung Gagak Suro Kurun ke-18 
  6. ^ Pattani (2017), ประเพณีแห่นก, diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-21, diakses tanggal 2017-11-13 
  7. ^ Janine Yasovant (2016), February 2016, Navaporn Sukumaphan 
Kembali kehalaman sebelumnya