Share to:

 

Prostitusi di Prancis

Pekerja seks dan klien sedang berbincang di Palais Royal, Paris, pada tahun 1800. Gambar tinta dan cat air. Koleksi Bibliothèque nationale de France.

Prostitusi di Prancis, yang mengacu pada pertukaran layanan seksual dengan imbalan uang, memiliki status hukum yang kompleks dan berubah seiring waktu. Pada tahun 2016, Prancis mengesahkan undang-undang yang melarang pembelian jasa seksual dengan ancaman denda hingga €1.500, yang meningkat untuk pelanggaran berulang, sementara penjualan jasa seksual tetap dianggap legal.[1] Kebijakan ini bertujuan melindungi pekerja seks dengan menghilangkan risiko kriminalisasi bagi mereka, tetapi tetap melarang aktivitas seperti kepemilikan rumah bordil, mengambil keuntungan dari jasa prostitusi (muncikari), atau memaksa seseorang menjadi pekerja seks.[1]

Selain itu, undang-undang ini mencakup program bantuan untuk mendukung pekerja seks yang ingin keluar dari pelacuran serta memberikan izin tinggal kepada pekerja seks asing, yang sebagian besar berasal dari Eropa Timur dan Afrika.[1] Meski pekerja seks diwajibkan membayar pajak seperti pekerja di bidang lainnya, kriminalisasi klien menuai kritik karena dinilai memaksa pekerja seks bekerja di tempat-tempat terpencil yang meningkatkan risiko keselamatan mereka.[1] Serikat pekerja seks seperti Strass menyebut undang-undang yang diberlakukan memiliki dampak sangat merugikan terhadap keamanan dan kesehatan para pekerja seks, sehingga dampak efektifitas undang-undang ini terus menjadi bahan perdebatan.[1]

Sejarah

Sejarah pelacuran di Prancis serupa dengan negara-negara Eropa lainnya, ditandai oleh siklus toleransi dan represi yang bergantian (tolérance générale, répression occasionnelle). Masa ketika rumah bordil diterima secara sosial dan diatur secara hukum di Prancis, yang dimulai pada era Napoleon, menjadi salah satu periode penting dalam sejarah regulasi prostitusi yang menandai pendekatan negara terhadap pengendalian moralitas dan kesehatan masyarakat.[2][3] Napoleon Bonaparte memperkenalkan sistem regulasi prostitusi yang dikenal sebagai maisons de tolérance atau rumah bordil resmi. Rumah bordil ini beroperasi di bawah pengawasan ketat negara, termasuk registrasi pekerja seks, pemeriksaan medis rutin, dan penegakan aturan untuk menjaga "kesopanan" publik.[3] Sistem ini bertujuan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular seksual seperti sifilis, yang menjadi perhatian besar di Eropa abad ke-19.[3]

Model regulasi prostitusi di Prancis menyebar ke seluruh Eropa, dimulai dengan ekspansi Napoleon.[3] Sistem ini diadopsi secara bebas oleh negara-negara dengan sistem politik yang berbeda dan berlangsung lama meski mendapat kritik dari gerakan abolisionis.[3] Pendekatan ini mulai dipertanyakan setelah Revolusi Rusia dan akhir Perang Dunia II.[3] Pada tahun 1946, dengan pengaruh gerakan abolisionis, rumah bordil resmi dilarang di Prancis dan regulasi ini digantikan oleh kebijakan yang lebih ketat terhadap perdagangan seks secara umum.[3]

Periode awal

Setelah berakhirnya kekuasaan Romawi, Raja Visigoth, Alarik II (memerintah 485–507 M), adalah salah satu penguasa awal yang tercatat mengambil tindakan terhadap prostitusi di wilayah yang kini dikenal sebagai Prancis.[4][5] Alarik II menerapkan sistem hukum berdasarkan tradisi Romawi dan Visigoth yang dirangkum dalam Breviarium Alaricianum.[4][5] Kode ini menjadi landasan dalam mengatur hubungan masyarakat Romawi yang tinggal di bawah kekuasaan Visigoth, termasuk aturan moral yang kemungkinan mencakup pengawasan terhadap prostitusi.[4]

Abad Pertengahan

Arondisemen Paris ke-1 dalam sorotan, dengan Arondisemen ke-2 dan ke-3 berada di utara, serta Arondisemen ke-4 di timur

Pada abad pertengahan, prostitusi menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan kehidupan perkotaan seperti Paris.[2] Praktik ini diatur dan diawasi oleh otoritas kota, dengan keberadaan rumah bordil berlisensi dan pemandian umum yang dikenal sebagai stews.[2][6] Upaya untuk memberantas prostitusi selama periode ini jarang dilakukan, bersifat sementara, dan sering kali tidak efektif.[2][6] Di Paris, aktivitas ini dibatasi di wilayah tertentu yang kini meliputi bagian Arondisemen ke-1 Paris hingga ke-4, dengan jalan-jalan sempit bernama mencolok, seperti la rue Poil-au-con dan la rue Gratte-Cul, yang mencerminkan kata yang bermakna bagian tubuh vital, tindakan seksual, atau sindiran terhadap institusi keagamaan. Penamaan tersebut menunjukkan keberanian masyarakat pada masa itu untuk menggunakan istilah yang eksplisit atau mengandung unsur humor satir.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e Pearson, Emma (25 Juli 2024). "Explained: What is the law in France on prostitution". The Local France. Diakses tanggal 25 Desember 2024. 
  2. ^ a b c d e Rodríguez García, Magaly; Heerma van Voss, Lex; van Nederveen Meerkerk, Elise, ed. (28 Agustus 2017). Selling Sex in the City: A Global History of Prostitution, 1600s-2000s. Leiden, The Netherlands: Brill. doi:10.1163/9789004346253. Diakses tanggal 25 Desember 2024. 
  3. ^ a b c d e f g Ripa (22 Juni 2020). "Regulating Prostitution". Encyclopédie d'histoire numérique de l'Europe [online]. ISSN 2677-6588. Diakses tanggal 25 Desember 2024. 
  4. ^ a b c Mathisen, Ralph W., ed. (18 Oktober 2021). Law, Society, and Authority in Late Antiquity (edisi ke-1). Oxford University Press. ISBN 0199240329. 
  5. ^ a b Britannica, The Editors of Encyclopædia (12 Februari 2024). "Alaric II king of Visigoths". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 25 Desember 2024. 
  6. ^ a b Rossiaud, Jacques (1988). Medieval Prostitution. Basil Blackwell. ISBN 0631151419. 


Kembali kehalaman sebelumnya