Psikologi olahragaPsikologi olahraga adalah ilmu psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan atlet.[1] Psikologi olahraga merupakan salah satu dari tujuh sub-disiplin ilmu keolahragaan yang telah berkembang selain sport medicine, sport biomechanics, sport pedagogy, sport sociology, sport history dan sport philosophy.[2] SejarahPada awalnya, psikologi olahraga muncul di Amerika Utara pada tahun 1898.[1] Pada saat itu Norman Triplett, seorang psikolog dari Universitas Indiana ingin mengetahui mengapa atlet balap sepeda akan mengendarai sepeda lebih cepat saat bertanding dalam kelompok atau berpasangan, dibandingkan ketika atlet-atlet tersebut bersepeda sendirian.[1][3] Triplett pun menyimpulkan adanya pengaruh psikologis tertentu pada penampilan atlet balap sepeda yang ia sebut sebagai faktor keberadaan orang lain.[1] Triplett juga melakukan penelitian eksperimen terhadap anak-anak yang memancing.[1] Ia menemukan bahwa separuh dari jumlah anak dipengaruhi oleh keberadaan orang lain sehingga ada pengaruh lingkungan sosial sebagai faktor munculnya sikap kompetitif.[1] Sehubungan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan Triplett, maka ia disebut sebagai orang pertama yang melakukan studi di bidang Psikologi Olahraga.[1] Sejarah di IndonesiaPsikologi olahraga di Indonesia merupakan cabang psikologi yang sangat baru meskipun pada praktiknya telah berlangsung kegiatan para psikolog dalam berbagai cabang olahraga di Indonesia selama beberapa tahun.[1] Secara resmi Ikatan Psikologi Olahraga di Indonesia baru dibentuk pada tanggal 3 Maret 1999 dan ditandatangani secara resmi pada tanggal 24 Juli 1999 dan diketuai oleh Monty P. Satiadarma. Akan tetapi, psikolog Singgih D. Gunarsa bersama dengan psikolog Sudirgo Wibowo telah memelopori kegiatan psikologi di dalam cabang olahraga bulu tangkis sejak tahun 1967.[1] Sejak saat itu banyak atlet bulu tangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai prestasi puncak mereka baik nasional maupun internasional.[1] Namun kesadaran mengenai pentingnya faktor psikologis, faktor mental tidak disertai tersedianya tenaga khusus yang telah mempelajari bidang psikologi olahraga secara formal.[1] Hanya beberapa orang yang secara pribadi menyadari bahwa psikologi olahraga dapat dipelajari sendiri dari buku, kepustakaan, seminar dan pertemuan-pertemuan internasional.[1] Tercatat beberapa nama seperti Saparinah Sadli dan Suprapti Sumarmo yang pernah menangani persiapan atlet-atlet bulu tangkis wanita untuk perebutan piala Uber tahun 1970.[1] Nama lain yang tercatat adalah Monty P. Satiadarma, Yohannes Rumeser, Myrna R. Soekasah, Yoanita Nasution, Enoch Markum, Aryati Prawoto, Wismaningsih, Surastuti Nurdadi, Rosa Hertamina, Feisal, Wardhani, Gunawan, dan Latief.[1] Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia di bawah Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan olahraga (Komnas Penjasor) pada bulan Agustus 2007 telah mengambil inisiatif dengan menyelenggarakan Workshop Kajian Disiplin Keilmuan Olahraga.[2] Sub-disiplin keilmuan olahraga yang dibahas adalah manajemen olahraga, kepelatihan olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga, adaptive physical education, dan psikologi olahraga.[2] Dari hasil workshop dikukuhkan gagasan-gagasan dan kesepakatan untuk mendirikan himpunan/ikatan keilmuan masing - masing, yang akan menampung aspirasi dan kontribusi berbagai kalangan masyarakat yang menaruh perhatian terhadap perkembangan, sosialisasi, dan perwujudan keilmuan dari setiap bidang sub-disiplin.[2] Tindak - lanjut kesepakatan tersebut belum tampak hingga kini, meskipun setiap bidang telah diminta untuk mengajukan kerangka program kegiatan masing-masing.[2] Bidang ilmu psikologi olahraga telah mencanangkan kerangka program satu tahun ke depan di bawah nama himpunan yang sementara ditetapkan sebagai Masyarakat Psikologi Olahraga Indonesia.[2] Pada dasarnya himpunan ini terbuka lebar bagi semua orang yang menaruh perhatian besar dan mau terlibat dalam perkembangan psikologi olahraga di tanah air, baik secara teoretis maupun praksis.[2] Selanjutnya, setiap informasi yang diperoleh akan disosialisasikan ke berbagai kalangan, baik di perguruan tinggi maupun di kalangan para praktisi serta masyarakat olahraga pada umumnya.[2] Permasalahan di bidang psikologi olahraga yang mencuat adalah:
Bidang PsikologiPsikologi PerkembanganDasar dan konsep perkembangan memiliki banyak kaitannya dengan olahraga meliputi keturunan, bakat, serta anatomi fisiologis.[1][4] Faktor keturunan merupakan sesuatu yang diturunkan dari orang tua dan dapat berpengaruh terhadap keterampilan, teknik, serta kekuatan.[1] Dalam olahraga, contoh dari faktor keturunan yang cukup dominan dalam menentukan penampilan seorang atlet terlihat dari prestasi khusus yang dicatat oleh keturunan Afrika-Amerika pada banyak cabang olahraga seperti pada basket dan tinju.[1] Dalam psikologi perkembangan dikenal interaksi antara bakat dan lingkungan.[4] Jika bakat sudah ditemukan, usaha mencetak diperlukan.[4] Keberhasilan Korea Selatan, atau Jepang dalam olahraga di tingkat dunia jelas menunjukkan keberhasilan mencetak atlet.[4] Dalam negara maju dan tentunya dengan pengetahuan yang maju serta ditunjang dengan peralatan yang canggih, mereka berhasil mengembangkan para atlet sampai ke puncak penampilannya, sejajar dengan atlet-atlet dunia yang lain.[4] Psikologi BelajarDengan menggunakan pelatihan ketrampilan berolahraga, seorang atlet bisa ditanamkan dan dikembangkan sesuai dengan kekhususan yang diharapkan.[4] Pembina atau pelatih bisa menyusun program yang sistematik untuk mengembangkan keterampilan tertentu.[4] Seorang pelatih tinju memberikan contoh bagaimana memukul yang benar dan baik.[4] Demikian pula pada cabang olahraga lain seperti senam, tenis meja, balap sepeda dan atletik.[4] Tanpa memperhatikan proses belajar yang benar, pelatih tidak akan berhasil mencetak atlet yang baik.[4] Psikologi KepribadianPenelitian mengenai hubungan antara kepribadian dengan penampilan dalam olahraga telah banyak dilakukan.[4] Studi tersebut muncul sejak tahun 1960 yang menyebabkan timbulnya sport personology atau ilmu mengenai kepribadian dalam kaitannya dengan olahraga.[4] Aspek kepribadian yang cukup dominan dalam penampilan atlet ialah motivasi, emosi, dan kognisi. MotivasiMotivasi mengacu pada faktor-faktor dan proses-proses yang bertujuan mendorong orang untuk bertindak atau tidak bertindak dalam berbagai situasi.[5] Ditinjau dari fungsinya, motivasi terdiri dari motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.[5] Motivasi ekstrinisik berfungsi karena ada rangsangan dari luar diri seseorang.[5] Misalnya seseorang terdorong untuk berusaha atau berprestasi sebaik-baiknya karena mendapat iming-iming hadiah, akan dipuja orang dan dapat terkenal.[5] Sedangkan motivasi intrinsik adalah motivasi yang muncul karena ada dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri individu sendiri.[5] Misalnya atlet selalu berusaha untuk semakin meningkatkan keterampilannya karena akan memberi kepuasan dalam dirinya.[5] EmosiBagi para atlet, emosi ketegangan adalah sesuatu yang ditakuti karena pengaruhnya besar terhadap penampilan dan prestasinya.[4] Ketegangan dan kecemasan dirasakan sangat menekan sebelum bermain atau betanding.[4] Kecemasan kompetitif pada atlet merupakan kombinasi kompleks dari tiga komponen, yakni kecemasan jasmani (somatic anixety), kekhawatiran (worry), dan terpecahnya konsentrasi (concentration disruption); ketiganya dapat diprediksikan oleh kesadaran atlet tentang perubahan dirinya, tanggapan atlet terhadap peristiwa perubahan dalam kehidupannya, serta perbandingan sosial yang dilakukan oleh atlet dengan diri orang lain.[6] Reaksi-reaksi emosi tersebut dapat berkurang atau menghilang setelah memasuki pertandingan dan dapat timbul emosi lain yang berkaitan dengan penampilan itu sendiri.[4] Kurang mampu menguasai emosi dapat menyebabkan seorang atlet harus membayar mahal karena tidak bisa melanjutkan pertandingan.[4]Tekanan pada atlet terjadi pada saat mereka memiliki keinginan untuk menang yang tinggi dan tidak ingin mengecewakan berbagai pihak. Hal ini memengaruhi tingkat stres mereka. Psikologi olahraga dibutuhkan untuk membantu menurunkan tingkat stres para atlet ini.[7] Dalam hal ini, peran seorang pelatih yang tangguh atau resilien dalam melakukan pendampingan atau coaching terhadap atlet adalah sangat penting.[8] KognisiAspek ketiga dalam kepribadian yang tidak banyak dibicarakan oleh para psikolog olahraga adala aspek kognitif atau inteligensi.[4] Beberapa cabang olahraga membutuhkan kemampuan kognisi yang lebih besar dalam bentuk taktik dan strategi seperti tenis, bulu tangkis, basket, balap sepeda dan tinju.[4] Dalam suatu pertandingan, seorang atlet memerlukan inteligensi yang memungkinkan tindakan cepat dan tepat, banyak inisatif dan kreasi.[4] Fungsi inteligensi diperlukan untuk menyusun strategi bermain, untuk memahami kekuatan dan kelemahan lawan dan dirinya sendiri, untuk memahami pola permainan yang akan dilakukan agar memenangkan pertandingan.[4] Sebelum hari pertandingan yang dapat dilakukan oleh psikolog olahraga adalah mengumpulkan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawan, membantu atlet menyusun strategi yang efektif dan penerapannya, memantau perkembangan atlet dari segi fisik, mental, konsentrasi, sikap, dan ketepatan waktu. Selain itu tentu yang tidak ketinggalan sebagai seorang psikolog adalah memantau kecemasan atlet dari tingkah laku yang dimunculkan seperti ekspresi wajah, suasana hati dan faktor penghambat missal kondisi badan yang sakit akibat pelatihan yang terlalu berlebihan. Membantu memberikan suasana yang santai dan menyenangkan kepada atlet, memastikan atlet mendapatkan tidur yang cukup dan berkualitas. Hingga memberikan latihan ringan sebelum pertandingan. Hal ini dilakukan untuk mencegah atlet menjadi terlalu letih.[7] Psikologi SosialPada dasarnya atlet tidak bisa dilepaskan dari lingkungannya.[1] Bentuk keterikatan seseorang dengan lingkungan sosial tercermin dari kenyataan bahwa seseorang tidak mungkin melangsungkan kehidupannya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.[1] Ada unsur ketergantungan, kebutuhan, dukungan, kerja sama antara seseorang sebagai individu dan sebagai suatu kelompok.[1] Salah satu faktor terpenting dalam menciptkan kelompok yang diharapkan adalah adanya kesediaan setiap anggota kelompok untuk saling menyesuaikan diri.[1] Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan munculnya faktor kompetisi di antara anggota kelompok.[1] Kompetisi yang dimaksud adalah persaingan dalam satu kelompok, yang dapat mempengaruhi kepaduan kelompok.[1] Rujukan
|