Ratih Hardjono
Ratih Hardjono (lahir 6 Desember 1960) adalah wartawan Kompas, penulis, dan konsultan publik Indonesia. Buku pertamanya, White Tribe of Asia, membahas kebudayaan, sejarah, dan politik Australia[1] dan terbit tahun 1993. Ia menjabat sebagai Sekretaris Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian menjadi Koordinator Program Informasi dan Publikasi UNDP Indonesia pada tahun 2000. Dua tahun kemudian, ia menyunting buku The Poor Speak Up, 17 Stories of Corruption untuk Bank Dunia.[2] Hardjono menikahi Fajrul Falaakh, wakil dekan hukum Universitas Gadjah Mada.[3] BiografiAwalHardjono berasal dari Kramat Jati, Jakarta Timur[4] dan lahir pada tanggal 6 Desember 1960.[5] Bapaknya menganut Kejawen, sedangkan ibunya, Joan Hardjono, lahir di Australia dan menganut Katolik.[6][7] Hardjono kuliah di Universitas Sydney, Australia.[2] Pada tahun 1993,[8] ia menerima Nieman Fellowship (1994) dari Harvard University, Boston.[4] Ia adalah orang Indonesia ketiga yang menerima beasiswa itu setelah wartawan Sabam Siagian dan penyair Goenawan Mohamad.[9] Karier persHarjono bekerja di Kompas selama beberapa tahun. Ia adalah salah satu koresponden Kompas di Australia,[5] tetapi ia juga sering menulis tentang transisi negara dari pemerintahan militer ke demokrasi, pembubaran Uni Soviet, kudeta militer, dan pemilu di Amerika Serikat dan Australia.[2] Karier politikHardjono menjadi asisten Abdurrahman Wahid pada tahun 1998.[10] Setelah Wahid terpilih sebagai presiden, Hardjono menjabat sebagai Sekretaris Presiden pada November 1999.[11] Sebagai Sekretaris Presiden, ia memperjuangkan kebebasan pers dan membangun kantor kepresidenan sipil pertama sejak Sukarno digulingkan 35 tahun sebelumnya.[2][12] Ia juga mempersiapkan acara kenegaraan yang dihadiri presiden dan wakil presiden serta tur-tur kepresidenan. Ia juga menangani hubungan masyarakat dan melakukan tugas administratif, termasuk mengawasi 500 pegawai pengurus kediaman presiden.[11] Namun demikian, menurut The Jakarta Post, sejumlah sumber di Istana Merdeka melaporkan bahwa Hardjono berselisih dengan istri Wahid, Sinta Nuriyah.[10] Selain itu, ia tidak populer di kalangan ulama di tubuh Nahdlatul Ulama, kekuatan politik Wahid. NU mempersoalkan klaim Hardjono bahwa dirinya adalah keturunan kyai abad ke-19.[6] Ia juga dituduh menjadi mata-mata Australia karena memiliki hubungan dekat dengan Australia.[6] Greg Sheridan, koresponden asing The Australian, membantah tuduhan tersebut karena tidak ada buktinya. Sheridan menganggap tuduhan ini akal-akalan orang dalam pemerintah Australia untuk menyerang Kim Beazley.[13] Hardjono menyatakan mundur pada pertengahan Maret 2000 dan resmi berhenti menjabat pada 1 April.[10] Ia ingin mempersiapkan pernikahannya dan "menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme".[5] Ia digantikan oleh Djoko Mulyono.[14] Pasca-politikUsai mundur, Hardjono menjabat sebagai Koordinator Program Informasi dan Publikasi untuk United Nations Development Programme Indonesia. Ia juga menyyunting The Poor Speak Up, 17 Stories of Corruption pada tahun 2002. Ia masih bekerja sebagai penulis lepas.[2] Sejak 2005, Ratih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), LSM yang berkecimpung di bidang pendidikan demokrasi dengan mendirikan sekolah demokrasi di tingkat daerah di seluruh Indonesia. Ia juga menjabat sebagai penasihat senior di Albright Stonebridge Group. Kehidupan pribadiHardjono menikah dengan Fajrul Falakh, wakil dekan hukum Universitas Gadjah Mada, seorang politikus dan mantan wakil ketua Nahdlatul Ulama.[5] Mereka tinggal di Jakarta[3] dan memiliki putra kembar.[2] Suami pertamanya adalah wartawan Australia, Bruce Grant.[6] Karya pilihan
Referensi
|