Reformasi lahan di ZimbabweReformasi lahan di Zimbabwe secara resmi dimulai pada tahun 1980 setelah ditandatanganinya Perjanjian Lancaster House dengan tujuan untuk memperbaiki masalah ketimpangan pemilikan lahan antara petani subsisten kulit hitam dengan para pemilik lahan kulit putih yang memiliki kedudukan politik dan ekonomi yang lebih unggul. Ketimpangan ini sendiri semakin diperparah oleh jumlah penduduk yang berlebihan, degradasi lahan, dan kemiskinan. Pada saat yang sama, sektor komersial kulit putih juga memberikan penghidupan bagi 30% tenaga kerja yang dibayar dan mewakili sekitar 40% ekspor.[1] Komoditas utamanya meliputi tebu, kopi, kapas, tembakau, dan jagung. Sementara itu, pertanian komersial dan subsisten sama-sama memiliki ternak, tetapi lebih dari 60% daging sapi domestik dipasok oleh pertanian komersial kulit putih.[1] Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah Britania Raya, apabila pemerintah Zimbabwe membeli lahan dari pemilik kulit putih dan sang pemilik bersedia menjualnya, maka pemerintah Britania akan mendanai setengah biayanya. Pada akhir dasawarsa 1990-an, Perdana Menteri Tony Blair mengakhiri kesepakatan ini setelah dana dari pemerintahan Margaret Thatcher sudah habis. Zimbabwe menanggapinya dengan melancarkan program redistribusi secara "cepat", yaitu dengan menyita lahan milik orang kulit putih tanpa diberikan ganti rugi. Pada tahun 2011, 237.858 rumah tangga Zimbabwe telah mendapatkan lahan dari program ini. Lahan seluas 10.816.886 hektare telah diperoleh semenjak tahun 2000, sementara program penjualan secara sukarela dari tahun 1980 hingga 1998 hanya meredistribusikan 3.498.444 hektare lahan.[2] Pada tahun 2013, setiap peternakan milik kulit putih di Zimbabwe telah disita atau akan diredistribusikan.[3] Program penyitaan tanpa kompensasi sudah dihentikan pada tahun 2018.[4] Program ini menuai kritikan tajam karena telah menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk melakukan penyiksaan serta akibat ketiadaan ganti rugi untuk para pemilik yang terkena dampaknya. Selain itu, reformasi lahan ini juga dianggap telah merusak ekonomi Zimbabwe.[5][6] Sektor pertanian di Zimbabwe sebelumnya sedang menikmati masa jayanya, tetapi akibat penyitaan lahan ini, terjadi hiperinflasi yang sangat tinggi, sementara investasi asing tidak lagi masuk dan modal malah dibawa pergi ke luar negeri. Selain itu, terjadi pula kegagalan dalam memanfaatkan lahan secara maksimal atau paling tidak seperti sebelumnya. Akibatnya, sektor pertanian di Zimbabwe pun merosot, dan akhirnya Zimbabwe menjadi negara yang bergantung pada impor pangan dan lebih dari 2/3 penduduknya hidup dalam kemiskinan.[7] Catatan kaki
|