Share to:

 

Rekonstruksi bahasa Tionghoa Kuno

Meskipun bahasa Tionghoa Kuno terkenal dari catatan tertulis yang dimulai sekitar tahun 1200 SM, tetapi aksaranya berjenis logogram justru tidak memberikan keterangan tentang cara pengucapan, tidak seperti aksara-aksara yang digunakan di tempat lain pada sezamannya. Beberapa pakar bahasa telah membuat beberapa rekonstruksi fonologi bahasa Tionghoa Kuno yang dimulai oleh pakar Tionghoa dari Swedia bernama Bernard Karlgren pada dasawarsa 1940-an. Cara yang dipakai Karlgren yaitu membandingkan kategori yang tersirat oleh kebiasaan berima kuno dan susunan karakter-karakter dengan penjelasan dalam kitab-kitab sajak yang ditulis pada Abad Pertengahan, walaupun pendekatan yang lebih baru juga memasukkan jenis bukti lain.

Meskipun berbagai notasi tampak sangat berbeda, tetapi tetap bersesuaian satu sama lain di sebagian besar hal. Pada dasawarsa 1970-an, secara umum pakar bahasa sepakat bahwa bahasa Tionghoa Kuno memiliki titik artikulasi lebih sedikit dibandingkan dengan bahasa Tionghoa Pertengahan, sebuah kumpulan sonoran nirsuara, dan awalan labiovelar dan labio-laring.

Sejak dasawarsa 1990-an, sebagian besar penulis telah menyetujui sistem enam vokal dan sistem konsonan likuida. Sistem sebelumnya mengusulkan konsonan letup akhir bersuara untuk menjelaskan kontak antara suku kata akhir dan nada lainnya, tetapi banyak penyelidik sekarang percaya bahwa bahasa Tionghoa Kuno tidak memiliki sistem pembeda nada, yang belakangan muncul pada bahasa Tionghoa Pertengahan yang berasal dari kelompok konsonan di akhir suku kata.

Sumber bukti

Sumber utama bunyi bahasa Tionghoa Kuno (yang mencakup sebagian besar leksikon) adalah sistem bunyi bahasa Tionghoa Pertengahan (sekitar abad ke-7 M), susunan karakter-karakter Tionghoa, dan pola sajak dalam Shijing ("Kitab Lagu"), yang diperkirakan ditulis pada awal milenium pertama SM.[1] Beberapa jenis bukti lain kurang lengkap, tetapi memberikan petunjuk yang berharga. Salah satunya termasuk bahasa-bahasa Min, transkripsi bahasa Tionghoa awal dari nama-nama asing, serapan awal antara bahasa Tionghoa dan bahasa sekitarnya, dan kata-kata kerabat.[2]

Tionghoa Pertengahan

dua halaman kamus bahasa Mandarin, yang terdiri dari akhir indeks dan awal entri
Awalan kelas sajak pertama (東 dōng berarti "timur") dari kamus sajak Guangyun

Bahasa Tionghoa Pertengahan, atau lebih tepatnya bahasa Tionghoa Pertengahan Awal, adalah tahap bahasa Tionghoa yang terdapat dalam sistem fonologi Qieyun, kumpulan kamus sajak yang diterbitkan pada tahun 601, dengan banyak perbaikan dan perluasan selama berabad-abad berikutnya. Kamus-kamus tersebut bertujuan untuk mengumpulkan cara pengucapan karakter yang akan digunakan saat membaca sumber-sumber klasik. Kamus-kamus tersebut menunjukkan pengucapan menggunakan cara fanqie, membagi suku kata menjadi konsonan awal dan sisanya, yang disebut bagian akhir. Dalam penelitiannya berjudul Qièyùn kǎo (1842), pakar bahasa Kanton bernama Chen Li melakukan analisis terencana dari susunan dalam Qieyun, mengenalkan kategori awal dan akhir, meskipun bukan bunyi yang diwakili. Para ahli telah berusaha untuk menentukan isi fonetik dari berbagai perbedaan dengan membandingkannya dengan tabel sajak yang ditulis pada zaman Dinasti Song, pengucapan dalam ragam dan dialek modern serta serapan Tionghoa dalam bahasa Korea, Jepang, dan Vietnam (acuan Sinoxenik), tetapi banyak perincian mengenai fitur akhiran masih diperdebatkan. Menurut kata pengantarnya, Qieyun tidak mencerminkan satu dialek, tetapi menggabungkan perbedaan yang dibuat di berbagai bagian Tiongkok pada saat itu (diasistem).[3][4]

Fakta bahwa sistem Qieyun mengandung lebih banyak perbedaan daripada bentuk bahasa pada masa itu mana pun berarti bahwa sistem tersebut menyimpan keterangan tambahan tentang sejarah bahasa tersebut. Banyaknya awalan dan akhiran tidak tersebar secara merata, menunjukkan hipotesis tentang bentuk-bentuk bahasa Tionghoa awal.[5] Sebagai contoh, dalam Qieyun mencakup 37 awalan, tetapi pada awal abad ke-20, Huang Kan bahwa hanya 19 dari mereka yang muncul dengan berbagai akhiran, menyiratkan bahwa fitur imbuhan lain dalam beberapa hal merupakan perkembangan sekunder atau belakangan.[6]

Fonetik

page of a Chinese dictionary, with headings in seal script and entries in conventional script
Halam dari salinan kitab Shuowen Jiezi edisi Dinasti Song, menampilkan karakter-karakter dengan elemen 言

Aksara Tionghoa tidak menggunakan simbol untuk bunyi seperti yang terdapat dalam aksara-aksara berjenis silabis, abjad, abugida, dan alfabet.[7] Namun, sebagian besar karakter merupakan majemuk fono-semantik, di mana sebuah kata ditulis dengan menggabungkan karakter untuk kata yang terdengar serupa dengan indikator semantik. Seringkali karakter yang berbagi elemen fonetik (membentuk rangkaian fonetik) masih diucapkan dengan bentuk karakter, seperti pada 中 (zhōng berarti "tengah" atau "pusat"), yang diadaptasi untuk menulis kata chōng (berarti "tuang", 沖) dan zhōng (berarti "setia", "taat", 忠).[8] Dalam kasus lain, kata-kata dalam rangkaian fonetik memiliki bunyi yang sangat berbeda baik dalam bahasa Cina Tengah maupun dalam varietas modern. Karena suara dianggap serupa pada saat karakter dipilih, hubungan seperti itu memberikan petunjuk pada suara yang hilang.[9]

Penelitian sistematis pertama tentang struktur karakter Tionghoa tercantum dalam Shuowen Jiezi oleh Xu Shen (tahun 100 M).[10] Shuowen sebagian besar didasarkan pada aksara segel kecil yang dibakukan pada zaman Dinasti Qin.[11] Jenis karakter-karakter sebelumnya seperti dalam tulang ramalan dan aksara perunggu Zhou mengungkapkan hubungan yang samar dalam bentuk selanjutnya.[12]

Sajak puitis

Sajak telah menjadi fitur yang konsisten dari puisi-puisi Tionghoa. Sementara banyak puisi lama masih sesuai dalam beberapa dialek dan ragam Tionghoa Modern, para pakar bahasa Tionghoa telah lama mencatat beberapa pengecualian. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan sajak yang lemah dari penyair awal sampai para cendekiawan Dinasti Ming seperti Chen Di berpendapat bahwa konsistensi sebelumnya telah dikaburkan oleh perubahan bunyi. Hal tersebut menyiratkan bahwa kebiasaan rima penyair kuno mencatat keterangan tentang cara pelafalan. Para cendekiawan telah mempelajari berbagai kumpulan puisi untuk mengenal kelas kata-kata berima pada masa yang berbeda.[13][14]

Kumpulan karya tertua seperti Shijing, berisi lagu-lagu mulai dari abad ke-10 hingga ke-7 SM. Penelitian sistematis sajak Tionghoa Kuno dimulai pada abad ke-17, ketika Gu Yanwu membagi kata-kata berima dari Shijing menjadi sepuluh kelompok (韻部 yùnbù). Analisis oleh Gu disempurnakan oleh para filolog Dinasti Qing, dengan terus meningkatkan jumlah kelompok sajak. Salah satu cendekiawan tersebut, bernama Duan Yucai, menyatakan kaidah penting bahwa karakter dalam deret fonetik yang sama akan berada dalam kelompok sajak yang sama,[a] memungkinkan untuk menetapkan hampir semua kata ke dalam kelompok sajak. Revisi terakhir oleh Wang Li pada dasawarsa 1930-an menghasilkan kumpulan baku sebanyak 31 kelompok sajak.[16][17] Revisi itu digunakan dalam semua rekonstruksi hingga tahun 1980-an, ketika Zhengzhang Shangfang, Sergei Starostin, dan William Baxter secara tersendiri mengusulkan pemisahan yang lebih dasar menjadi lebih dari 50 kelompok sajak.[18][19][20]

Min

Bahasa-bahasa Min diyakini telah berpisah sebelum tahap Tionghoa Pertengahan, karena mengandung perbedaan yang tidak dapat diturunkan dari sistem Qieyun. Misalnya, awalan konsonan dental berikut telah dikenal dalam rekonstruksi bahasa Proto-Min:[21][22]

Letup (nirsuara) Letup (bersuara) Sengau Lateral
Contoh kata
Awalan Proto-Min *t *-t *th *d *-d *dh *n *nh *l *lh
Awalan Tionghoa Pertengahan t th d n l

Beberapa titik artikulasi lainnya menunjukkan perbedaan yang sama dalam letup dan sengau. Bunyi Proto-Min disimpulkan dari perkembangan nada Min, tetapi nilai fonetis dari imbuhan awal sebaliknya tidak pasti. Suara yang ditunjukkan sebagai *-t, *-d, dan sebagainya dikenal sebagai "letup lunak" karena konsonan refleks di Jianyang dan beberapa dialek Min di Fujian, yang muncul sebagai konsonan frikatif atau hampiran, atau telah hilang sepenuhnya, sedangkan varian non-lunak muncul sebagai konsonan letup. Bukti dari serapan awal ke dalam bahasa-bahasa Mien menunjukkan bahwa letup lunak telah diprasengaukan.[23]

Bukti lainnya

Beberapa naskah awal berisi transkripsi nama dan istilah asing yang menggunakan karakter Tionghoa untuk nilai fonetiknya. Yang terpenting adalah banyak transkripsi keagamaan Buddha dari periode Han Timur, karena pelafalan asli dari bahasa-bahasa sumber, seperti Sanskerta dan Pali, diketahui secara rinci.[24][14][25]

Para pengulas dan penafsir zaman Han Timur dalam karya klasik berisi banyak ulasan tentang pengucapan kata-kata tertentu, yang telah menghasilkan banyak keterangan tentang pengucapan dan bahkan ragam dan dialek pada periode tersebut.[26] Dengan mempelajari glosa, Qian Daxin menemukan bahwa awalan letup labiodental dan retrofleks yang dikenal dalam tradisi tabel sajak tidak ada pada periode Han.[27][28]

Banyak siswa bahasa Tionghoa telah mencatat "keluarga kata", kelompok kata dengan arti terkait dan ragam pelafalan, kadang-kadang ditulis menggunakan karakter yang sama.[29] Salah satu kasus umum adalah "turunan dengan perubahan nada", di mana kata-kata dalam nada angkat kemungkinan berasal dari kata-kata dalam nada lain.[30] Pergantian lain melibatkan kata kerja transitif dengan kata kerja awal dan pasif atau statif yang tidak disuarakan dengan awalan bersuara, meskipun para sarjana terbagi dalam bentuk mana yang paling dasar.[31][32]

Pada periode paling awal, bahasa Tionghoa dituturkan di lembah Sungai Kuning, dikelilingi oleh bahasa sekitarnya, terutama bahasa-bahasa Austroasiatik, Tai–Kadai, Hmong-Mien, dan kerabatnya Sino-Tibet lainnya yang masih dituturkan hingga saat ini. Serapan paling awal di kedua arah memberikan bukti lebih lanjut tentang bunyi Tionghoa Kuno, meskipun diperumit oleh ketidakpastian tentang rekonstruksi bentuk awal bahasa tersebut.[33]

Lihat pula

Catatan penjelas

  1. ^ 同聲必同部 Tóng shēng bì tóng bù.[15]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Baxter (1992), hlm. 2–3.
  2. ^ Baxter (1992), hlm. 12–13, 25.
  3. ^ Baxter (1992), hlm. 32–44.
  4. ^ Norman (1988), hlm. 24–42.
  5. ^ Baxter (1992), hlm. 37–38.
  6. ^ Zhengzhang (2000), hlm. 12–13.
  7. ^ Dong (2014), hlm. 23–24.
  8. ^ GSR 1007a,p,k.
  9. ^ Norman (1988), hlm. 43–44.
  10. ^ Baxter (1992), hlm. 13.
  11. ^ Baxter (1992), hlm. 346–347.
  12. ^ Baxter (1992), hlm. 5.
  13. ^ Norman (1988), hlm. 42.
  14. ^ a b Baxter (1992), hlm. 12.
  15. ^ Baxter (1992), hlm. 831.
  16. ^ Baxter (1992), hlm. 150–170.
  17. ^ Norman (1988), hlm. 42–44.
  18. ^ Zhengzhang (2000), hlm. 42–43.
  19. ^ Starostin (1989), hlm. 343–429.
  20. ^ Baxter (1992), hlm. 180, 253–254, 813.
  21. ^ Norman (1973), hlm. 227, 230, 233, 235.
  22. ^ Norman (1988), hlm. 228–229.
  23. ^ Norman (1986), hlm. 381.
  24. ^ Pulleyblank (1992), hlm. 375–379.
  25. ^ Coblin (1983), hlm. 7.
  26. ^ Coblin (1983), hlm. 4–7.
  27. ^ Norman (1988), hlm. 44.
  28. ^ Dong (2014), hlm. 33–35.
  29. ^ Pulleyblank (1973).
  30. ^ Downer (1959).
  31. ^ Schuessler (2007), hlm. 49.
  32. ^ Handel (2012), hlm. 63–71.
  33. ^ Sagart (1999), hlm. 8–9.

Daftar pustaka

Pustaka lanjutan

Buku ulasan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya