Share to:

 

Rencana Aksi FLEGT Uni Eropa

FLEGT atau Aparatur Hukum Hutan, Pengelolaan dan Perdagangan adalah sebuah sistem yang dikembangkan oleh Uni Eropa untuk menjawab isu global tentang dampak buruk penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal. Pada tahun 2003, Komisi Eropa meluncurkan rencana aksi yang bertujuan untuk mengurangi penebangan liar dengan cara menguatkan tata kelola hutan yang berkelanjutan, memperbaiki aturan yang ada dan mensosialisasikan perdagangan kayu legal.

Sejarah FLEGT

Tahun-tahun perjuangan untuk melawan penebangan liar mencapai sebuah titik terang, tetapi di Indonesia, Brazil, Kongo, dan sebagian Afrika Barat produk kayu sebagian besar terpenuhi oleh kayu ilegal. Penebangan dalam skala besar saja sudah merusak hutan dan jika ditebang secara liar pendapatan pemerintah akan menurun, menghancurkan sumber daya masyarakat sekitar hutan dan juga menjadi awal dari sebuah konfilk.

Penebangan liar masih dapat dilakukan karena tidak adanya kejelasan kepemilikan area hutan, tidak adanya peraturan yang jelas dalam tata kelola hutan dan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah menjadi salah satu alasan kuat mengapa penebangan liar sangat sulit untuk dihilangkan. Selain itu kayu-kayu hasil dari penebangan liar sangat sulit untuk dilacak, menurut World Bank aktivitas penebangan liar merugikan pasar global senilai 10 Miliar Dollar setiap tahunnya dan merugikan pemerintah sebesar 5 Miliar Dollar.

Kondisi hutan di dunia yang kian memburuk karena penebangan liar merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak negara. Negara-negara anggota G8 telah membahas hal tersebut pada sebuah pertemuan yang diadaan pada 9 Mei 1998 dan diciptakannya sebuah insiatif bersama yang dinamakan Program Aksi Hutan / Action Programe on Forests. Pada April 2002 Komisi Eropa megadakan sebuah pertemuan internasional untuk mendiskusikan cara untuk melawan penebangan liar. Komisi Eropa mulai menunjukan sebuah komitmen kuat untuk untuk melawan penebangan liar dan perdagangan kayu illegal saat menghadiri Pertemuan Dunia untuk Pembangunan yang Berkelanjutan / World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diadakan di Johannesburg. Di bulan Mei tahun 2003 dibentuklah Rencana Aksi FLEGT sebagai dasar untuk menjalankan komitmen tersebut.[1]

Rencana Aksi FLEGT

Terdapat tujuh Rencana Aksi FLEGT dalam mencegah proses impor kayu ilegal ke beberapa negara yang termasuk dalam Uni Eropa. Pertama FLEGT mendukung negara-negara penghasil kayu, dengan cara memberikan dukungan teknis dan pendanaan kepada negara-negara yang memiliki komitmen untuk memberantas penebangan liar. Bantuan ini dapat membantu negara-negara tersebut untuk membangun sistem verifikasi legalitas kayu, mempromosikan transparansi, memperbaiki kebijakan, mengembangkan kapasitas lembaga pemerintah, perusahaan, LSM dan komunitas masyarakat terkait.

Salah satu unsur penting pada Rencana Aksi FLEGT dalam konteks perdagangan adalah dengan cara melibatkan negara-negara konsumen kayu dalam merumuskan langkah bersama dalam pembuatan kerangka kerja yang tepat untuk menghentikan impor kayu ilegal. Pembentukan kerjasama antara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang merupakan kunci utama karena negara-negara tersebut merupakan pasar besar bagi perdagangan kayu dunia. Dalam perkembangannya Rencana Aksi FLEGT juga berusaha untuk melibatkan negara lain yang menjadi pasar besar produk kayu yaitu Cina/RRT.

Sebuah skema kerjasama antara Uni Eropa dan negara produsen kayu dibutuhkan untuk memastikan hanya kayu legal yang dikirim ke pasar Eropa. VPA / Perjanjian Kerjasama Sukarela menjadi pengikat antara Uni Eropa dan negara produsen kayu yang juga berkomitmen untuk melawan penebangan liar. Dengan adanya VPA negara produsen kayu dapat menentukan aturan 'kayu legal' berdasarkan aturan dan undang-undang yang berlaku dan dapat menerapkan skema lisensi kayu. Secara otomatis kayu dengan lisensi FLEGT, bebas memasuki pasar Eropa karena memenuhi persyaratan EUTR / Regulasi Kayu Uni Eropa. Perjanjian ini membantu negara penghasil kayu untuk mencapai sasaran pembangunan dengan dalam kepastian para pekerja kayu, meningkatkan pendapatan pemerintah, menguatkan peran undang-undang dan memberikan kepastian hak bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan.[2]

Projek-projek infrastruktur publik yang mendapatkan dana dari negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu projek yang menyerap produk kayu dalam jumlah yang banyak. FLEGT memastikan projek tersebut hanya menggunakan kayu legal, terdapat aturan pengadaan barang dan jasa dimana pertimbangan dampak lingkungan diterapkan dalam menentukan pembelian barang. Hal ini dirumuskan pada Buku Hijau Pengadaan Barang dan Jasa yang dirumuskan oleh Komisi Eropa, buku ini menjabarkan bagaimana cara aparat publik memastikan proses pengadaan dalam membantu tujuan-tujuan keberlanjutan dalam taraf lokal, regional, nasional maupun internasional.

Mendukung inisiatif pihak swasta juga menjadi salah satu rencana aksi FLEGT, Komisi Eropa menyediakan pendampingan teknis dan pendanaan untuk membantu sektor swasta dalam memastikan rantai suplai kayu yang bebas kayu ilegal. Lisensi FLEGT memastikan bahwa kayu dan produk turunannya legal dan berasal dari negara undang-undang kehutanan yang sudah disetujui oleh semua pihak. Selain itu lisensi FLEGT juga memastikan bahwa negara tersebut memiliki sistem yang kuat untuk menghentikan kayu ilegal masuk ke dalam rantai suplai dan sistem tersebut dapat diverifikasi dengan cara audit independen .

Investasi skala besar pada agrikultur dan infrastruktur di negara-negara penghasil kayu mendorong praktik penebangan liar yang bertujuan untuk mengubah fungsi hutan. FLEGT mendorong investor, bank dan lembaga keuangan lainnya untuk menerapkan prosedur uji kelayakan yang ketat pada investasi pada sektor kehutanan. Rencana Aksi FLEGT juga meminta investor untuk berhati-hati dalam berinvestasi pada lahan yang sedang dalam sengketa.

Pada tangal 3 Maret 2013 Komisi Eropa mensahkan sebuah aturan baru yang dinamakan Regulasi Kayu Uni Eropa / EUTR, aturan ini berlaku pada semua negara-negara anggota. EUTR melarang masuknya kayu yang ditebang secara ilegal ke pasar Eropa dan berlaku pada kayu dan produk turunannya yang diproduksi di negara Eropa maupun yang diimpor. Perusahaan yang membeli atau menjual produk kayu yang sudah masuk ke dalam rantai perdagangan, harus menyimpan dokumen-dokumen yang menunjukan asal kayu yang dijual ataupun beli. Khusus bagi perusahaan yang memasukan kayu ke pasar Eropa harus melakukan uji kelayakan dimana perusahaan harus dapat menunjukan bahwa produk kayu yang dimasukan bersifat legal. Kayu dan produk turunan yang mengantongi lisensi FLEGT atau CITES (Konvensi Perdagangan Ilegal Spesies Langka) dianggap telah memenuhi syarat peraturan yang ada.[2]

Di beberapa negara, konflik biasanya didanai dari keuntungan yang diperoleh kelompok bersenjata dengan cara menjual kayu secara legal ataupun ilegal. Seperti yang terjadi pada tahun 2000 di Liberia dimana hasil kayu curian digunakan untuk mendanai pemberontakan di Sierra Leone. Saat itu belum ada kesepakatan internasional tentang konflik kayu ataupun rencana untuk menyelesaikan konflik. Rencana Aksi FLEGT memasukan masalah tentang konflik kayu dan memastikan program bantuan yang dikembangkan Uni Eropa dapat berperan pada konflik hutan.

Uni Eropa merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi yang tinggi pada produk berbahan kayu. Banyak perusahaan yang membeli produk kayu dari para pemasok di negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan dimana hal ini memiliki dampak penting pada penebangan liar. Jika pemasok membeli dari penebang-penebang liar, secara langsung mereka memberikan keuntungan besar pada pasar gelap dan melemahkan hukum ekspor negara-negara penghasil kayu. Dibentuknya FLEGT diharapkan dapat mendorong perusahaan di Uni Eropa untuk membeli produk kayu dari sumber yang bertanggung jawab dan diakui oleh pemerintah.

Negara - negara Kerjasama VPA

Negara-negara yang sudah menerapkan kesepakatan VPA

  • Kamerun memiliki lebih dari 18 juta hektar hutan dimana luas tersebut mencakup 40% dari wilayah negara. Sebagian besar wilayah hutan di Kamerun sudah dialokasikan sebagai hutan produksi dan konservasi, dan menyisakan sebagian kecil area sebagai hutan adat untuk masyarakat sekitar hutan. Kamerun menandatangani kesepakatan VPA pada 6 Oktober 2010 dan pada 1 Desember 2011 kesepakatan tersebut diberlakukan.
  • Republik Afrika Tengah sudah menerapkan kesepakatan VPA bersama Uni Eropa pada 1 Juli 2012. Negara dengan luas hutan 5.4 juta hektar ini ingin memperbaki pengelolaan sektor hutan dengan cara meningkatkan transparansi penggunaan informasi publik dan mengedepankan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hasil hutan.
  • Ghana memiliki reputasi kuat dalam inovasi untuk memproses kayu, menghasilkan produk-produk yang cocok bagi pasar Eropa. Hampir sepertiga jumlah ekspor kayu Ghana dikirim ke Uni Eropa. 2.6 juta hektar hutan diperuntukan sebagai hutan produksi. Negara ini telah menerapkan kesepakatan VPA sejak 1 Desember 2009.
  • Indonesia merupakan salah satu negara eksportir produk-produk kayu tropis dimana hasil produksi tersebut dihasilkan dari aktivitas penebangan hutan alam, hutan industri dan hutan skala kecil yang dikelola masyarakat. Luas hutan di Indonesia mencapai 181.2 hektar yang tersebar di lebih dari 17000 pulau. Pada 2003 Indonesia memulai sebuah sistem pengawasan kayu untuk semua kayu yang diekspor, sistem ini disebut SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Sistem ini menjadi dasar kepastian legalitas kayu dibawah VPA antara Indonesia dengan Uni Eropa. Indonesia telah menerapkan kesepakatan VPA sejak 1 Mei 2014 dan telah menerapakan lisensi FLEGT pada 15 November 2016.
  • Selama perang yang terjadi di Liberia dari tahun 1999 sampai awal tahun 2000, pendapatan dari penjualan kayu digunakan untuk menyokong konflik. Pada tahun 2003 Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi pada kayu-kayu yang diekspor dari Liberia. Sanksi ini baru dicabut pada tahun 2006 setelah Liberia berkomitmen untuk mempebaiki tata kelola sektor kehutanan. Pada bulan Maret tahun 2009 Liberia memulai perundingan VPA dengan Uni Eropa dan kesepakatan tersebut diberlakukan pada 1 Desember 2013.
  • 65% wilayah negara Republik Kongo adalah hutan dan merupakan sumber daya yang alami yang bernilai tinggi selain minyak bumi. Dari total 21 juta hektar hutan sekitar 14 juta hektar diperuntukan sebagai hutan produksi yang hasil kayunya diekspor ke Cina, Asia Tenggara dan Uni Eropa. Republik Kongo telah menerapkan kesepakatan VPA sejak 1 Maret 2013.

Negara-negara yang sedang merundingkan kesepakatan VPA dengan Uni Eropa

  • Jumlah hutan di negara Pantai Gading menurun dari 16 juta hektar ke 3 juta hektar dalam satu abad, saat ini jumlah hutan alam hanya tersisa 500 ribu hektar. Alih fungsi hutan sebagian besar dikarenakan alih fungsi lahan untuk pertanian yang dilakukan secara ilegal. Walaupun hal tersebut terjadi hutan masih memberikan kontribus penting pada ekonomi Pantai Gading, dimana hutan menyediakan pekerjaan dan sumber kehidupan bagi masyarakat. Sebagain besar kayu yang dihasilkan merupakan komoditas untuk diekspor. Sebagai komitmen untuk memperbaiki aturan kehutanan negara ini memulai perundingan VPA dengan Uni Eropa pada tahun 2013.
  • Republik Demokratik Kongo memiliki 145 juta hektar hutan alam, 9.6 juta hektar diperuntukan untuk konsesi industri tetapi hanya sebgaian kecil yang dikelola untuk industri kayu. Pemberian hak ini hanya memperbolehkan kurang dari 5% untuk dipanen. Volume ekspor kayu menurun pada tahun-tahun terakhir, tercatat hanya 200,000 meter kubik per tahunnya. Pada Oktober 2010 Republik Demokratik Kongo memuai perundingan VPA degan Uni Eropa.
  • 85% dari wilayah negara Gabon merupakan hutan, atau sama dengan 22 juta hektar. Jenis kayu utama yang dihasilkan seperti kayu merah /redwood, eboni dan okoume. Ekspor kayu tercatat meningkat pada beberapa tahun terakhir dan 90% hasl produksi diekspor ke Cina dan Eropa. Gabon memulai perundingan VPA dengan Uni Eropa pada September 2010.
  • Jumlah hutan di Guyana seluas 21 juta hektar dan memberikan kontribusi besar pada perekonomian. 86% merupakan hutan negara yang dikelola oleh Komisi Kehutanan Guyana (GFC) dan 14% merupakan hutan masyarakat adat. Sebagain besar hutan masih alami dan merupakan salah satu hutan alam dunia yang tersisa karena menyangga kekayaan biodiveritas yang bernilai dimana. Terdapat lebih dari 8000 jenis tanaman dan 1000 jenis hewan endemik hidup di hutan Guyana. Hasil hutan yaitu kayu dan bukan kayu mendukung pertumbuhan perkembangan ekonomi Guayana, menyediakan hampir 20,000 lapangan kerja di wilayah pedesaan dan peguungan. Pada Desember 2012 Guayana memulai perundingan VPA dengan Uni Eropa.
  • Luas hutan di negara Honduras 5.4 juta hektar yang terdiri dari 52% hutan tropis, 31% hutan hujan, dan sisanya merupakan hutan kering dan hutan produksi. Sebagian besar hutan merupakan hutan dengan umur menengah dan tua dimana aktivitas penanaman ulang tidak cukup cepat untuk mengganti kerusakan yang ada. Sejak 2015 Honduras kehilangan sebanyak 12.5% hutan. Kerusakan hutan sebanyak 88% dikarenakan penyakit dan hama yang ditimbulkan perubahan iklim, 8% karena kebakaran dan 4% karena penebangan liar. Honduras merupakan negara pertama di benua Amerika yang memulai perundingan VPA dengan Uni Eropa di bulan Juni 2018.
  • 40% wilayah negara Laos merupakan hutan, pemerintah Laos ingin memperbaiki sektor kehutanan dengan cara mengurangi ekspor produ kayu dan kayu mentah yang berasal dari hutan alam dan meningkatkan perkebunan dan hutan industri. Dengan menyetujui perundingan VPA negara Laos berharap dapat memperbaiki industri kayu agar dapat mengakses pasar Eropa, membuat inovasi produk-produk kayu dan memperoleh pemasukan negara. Pemerintah Laos menyatakan tertarik untuk melakukan perundingan VPA pada Februari 2012.
  • Kayu merupakan produk eskpor penting bagi Malaysia yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Malaysia memiliki beragam jenis produk berbahan kayu dan merupakan salah satu pemasok utama produk kayu ke Uni Eropa. Malaysia merupakan salah satu negara awal yang memulai perundingan VPA, dan karena situasi politik malaysia yang cukup rumit proses perundingan menjadi tersendat dan berlarut-larut. Sebelas pertemuan kelompok kerja teknis dan enam pertemuan para ahli telah dilakukan antara 2007 sampai 2014 tetapi belum ada negosiasi kembali hingga saat ini.
  • Thailand memiliki 16.4 juta hektar hutan dimana 41% merupakan hutan alam, 35% merupakan hutan yang diperbaharui dan 24% hutan buatan.Hampir setengah perkebunan merupakan kebun karet yang dikelola pengusaha kecil. Penebangan di kawasan hutam alam dilarang sejak tahun 1989. Thailand merupakan pusat pembuatan produk kayu dimana kayu berkualitas diimpor dan produsen besar produk kayu karet. Thailand merupakan penyuplai furnitur dan produk berbahan kayu bagi pasar Asia seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan. Thailand telah melakukan perundingan VPA dengan Uni Eropa pada tahaun 2013 tetapi terhambat karena situasi politik walaupun kerja teknis tetap dilakukan. Pada Juni 2017 perundingan resmi pertama kali diadakan, Kementrian Sumber Daya Alam dan Lingkungan adalah pemimpin perudingan dari pihak Thailand.
  • Vietnam memiliki peran penting pada sektor kayu di Asia Tenggara, 45% daratannya dihutankan. Negara ini mengimpor kayu dari beberapa negara seperti Kamboja, Laos, Cina dan Malaysia. Hasil dari hutan produksi lokal digunaan dalam pembuatan produk-produk berbahan kayu dan kepingan kayu untuk kebutuhan ekspor. Furnitur dan produk yang dihasilkan sebagian besar menyasar pasar yang sadar lingkungan seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Pada 29 November 2010 perundingan VPA dimulai, pada Mei 2017 Vietnam dan Uni Eropa menyepakati perundingan.[3]

Hasil Evaluasi Rencana Aksi FLEGT

Komisi Uni Eropa mempublikasikan sebuah laporan evaluasi Rencana Aksi FLEGT pada 4 Mei 2016. Sebuah tim konsultan independen ditugaskan untuk menyusun laporan tersebut agar hasilnya tetap objektif. Laporan evaluasi ini membahas hasil kerja komunitas, kinerja kerja dan rencana untuk masa mendatang. Secara umum FLEGT Uni Eropa bergerak efektif dalam meningkatkan kesadaran terhadap masalah penebangan liar, berkontribusi dalam memperbaiki tata kelola hutan khususnya di negara -negara penghasil kayu dan menurunkan minat pasar Uni Eropa akan kayu ilegal. Hasil dari temuan dan rekomendasi laporan akan menjadi panduan bagi Komisi Eropa dalam memperbaiki efisiensi, efektivitas dan manfaat yang didapat ari dana yang telah dikeluarkan untuk menjalankan Rencana Aksi FLEGT Uni Eropa. Laporan evaluasi juga menjadi dasar bagi Komisi Eropa dalam menilai kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan utama alih fungsi hutan dan menjadi aksi lanjutan FLEGT untuk perubahan iklim global dan agenda MDGs (Cita-cita Pembangunan Berkelanjutan).[4]

Rencana ke Depan

Berdasarkan hasil dari laporan tersebut, Komisi Eropa, negara-negara anggota Uni Eropa dan pemangku kepentingan akan mempertimbangkan acuan tepat dalam memperbaiki efektivitas Rencana Aksi FLEGT Uni Eropa secara menyeluruh dan juga pilihan dalam menyelesaikan hambatan dan kegagalan yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya persiapan dari Panitia Staff Dokumen Kerja pada Evaluasi Rencana Aksi FLEGT Uni Eropa. Panitia tersebut juga mulai menggunakan hasil ulasan terakhir yang dibuat oleh Komisi Eropa tentang Undang-undang Kayu Uni Eropa dan hasil audit kinerja yang dikeluarkan oleh Pengadilan Auditor Eropa pada tahun 2015. Pemikiran Komisi Eropa dalam penguatan aksi melawan penebangan liar akan maju bersama dengan pendekatan Uni Eropa dalam mengurangi penebangan liar dan alih fungsi hutan. Dalam mendukung pemikiran tersebut, Direktorat Jenderal Lingkungan Komisi Eropa telah menyetujui sebuah kajian yang mengarah pada pilihan-pilihan pertimbangan dan penentuan kebijakan untuk meningkatkan aksi Uni Eropa dalam penggundulan dan alih fungsi hutan secara global.[5]

Sumber Luar

  1. ^ FLEGT Proposal for an EU Action Plan, 21 May 2003. Communication from the Commission to the Council and the European Parliament.
  2. ^ a b Regulation (EU) No 995/2010 of the European Parliament and of the Council of 20 October 2010 laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market Text with EEA relevance.
  3. ^ "FLEGT and VPA Countries". www.flegtlicense.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-17. 
  4. ^ "Staff Working Document On The Evaluation of the FLEGT Action Plan". www.ec.europa.eu. 2016. 
  5. ^ REPORT FROM THE COMMISSION Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the European Community Annual synthesis report for the year 2016
Kembali kehalaman sebelumnya