Share to:

 

Rumah Adat Limbungan


Rumah adat Limbungan atau Bale Sasak Limbungan adalah rumah adat tradisional yang terdapat pada permukiman Suku Sasak di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat ini dicirikan dengan penggunaan bahan-bahan yang bersumber dari alam. Konstruksinya menggunakan kayu pada bagian tiang, dinding dengan anyaman bambu, dan alang-alang sebagai atap.[1] Bahan-bahan alami yang digunakan pada rumah adat Limbungan, baik atap, tiang, maupun dinding menjadikan konstruksi rumah ringan dan lentur yang tahan terhadap guncangan. Ratusan rumah adat di Limbungan masih berdiri kokoh walaupun diguncang serangkaian gempa pada Juli hingga Agustus 2018.[2]

Karakteristik

Rumah adat Limbungan merupakan salah satu jenis rumah tradisional Suku Sasak. Suku Sasak tersebar di beberapa daerah di Pulau Lombok. Selain Dusun Limbungan, daerah lain yang dihuni Suku Sasak yang memiliki permukiman rumah tradisional yakni Desa Sade di Lombok Tengah, Desa Bayan di Lombok Utara, dan Sembalun di Lombok Timur. Meski sekilas terlihat sama, terdapat perbedaan dari rumah adat Sasak di tiap daerah, baik itu dari bentuk maupun ritual-ritual yang dilakukan untuk merawat rumah.[3]

Permukiman rumah adat Suku Sasak di Limbungan tersebar di dua di dusun, yakni Limbungan Barat dan Limbungan Timur.[4][5] Letaknya berada perbukitan di ketinggian sekitar 750 meter dari permukaan laut, tepatnya di lereng Gunung Rinjani. Masing-masing permukiman memiliki area seluas dua hektare yang dikelilingi oleh sawah. Permukiman ditata membentuk blok menghadap ke arah timur atau terbitnya sinar matahari. Jarak blok satu dengan yang lain sekitar tiga meter. Setiap blok memiliki tujuh sampai sebelesan rumah yang berjajar dan saling membelakangi. Dalam satu blok, jarak rumah ke rumah sekitar satu meter.[6][7][8][5]

Di lokasi permukiman rumah adat Limbungan, tidak ditemukan berdirinya rumah permanen, seperti rumah yang menggunakan bahan bata, semen, asbes atau genteng, dan seng. Pasalnya, rumah permanen tidak diperbolehkan dibangun di lokasi permukiman. Jka ada yang hendak membangun rumah permanen, mereka ia harus keluar dan membangun di luar lokasi permukian. Hal ini mengakibatkan hampir seluruh penghuni rumah adat di Limbungan adalah golongan orang tua, dan bahkan renta. Jarang ada penghuni yang berusia muda dan jika ada biasanya karena tidak mampu atau tidak memiliki tanah untuk tempat membangun rumah.[9][10]

Konstruksi

Bahan-bahan yang digunakan sebagai material rumah adat Limbungan bersumber dari alam. Pondasinya hanya dibuat dengan memadatkan batu dan tanah.[11] Lantai rumah hanya berupa tanah yang dicampur kotoran sapi dan getah pohon kayu.[12] Penggunaan kotoran sapi dinilai dapat membersihkan rumah dari debu, menghaluskan lantai, dan membuat lantai lebih kokoh, sedangkan getah pohon kayu dinilai dapat menghindari rumah dari serangan serangga.[1] Sementara itu, dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam, yang sekaligus berfungsi sebagai sirkulasi udara.[13]

Atap rumah adat berbentuk limas, terbuat dari daun alang-alang kering yang dianyam menggunakan bambu. Atap ditegakkan oleh kerangka berbahan bambu. Untuk mengikat rangka atapm digunakan serat bambu yang sudah diraut sebagai tali. Tidak terdapat langit-langit atau loteng pada atap. Tinggi langit-langit sekitar dua meter dari permukaan lantai, mengakibatkan ruangan dalam rumah terasa sempit.[14][13]

Keseluruhan struktur atap ditopang oleh sejumlah tiang dengan ukuran 15 x 15 cm. Jumlah tiang bergantung dengan luas ruangan, dan ukurannya sama untuk seluruh tiang. Material tiang menggunakan kayu gali. Selain menopang atap, tiang sekaligus digunakan sebagai tempat berpegangnya dinding. Dinding terbuat dari ayaman bambu. Untuk mengikat dinding dengan tiang, digunakan rotan.[15][16]

Bukaan

Sebagai penghubung masuk ke dalam ruangan, terdapat dua pintu atau disebut lawang, yaitu lawang sesangkok dan lawang dalem. Peletakkan lawang sesangkok terdapat di bagian depan rumah, sedangkan lawang dalem di tegah-tengah rumah. Pintu lawang dalam menjadi penghubung sesangkok dengan bale dalam. inggi lawang sekitar 150 sampai 160 cm. Lawang bale dalam lebih tinggi dibandingkan lawang sesangkok. Dalam pembuatan lawang, bahan yang digunakan meliputi bambu dan kayu.[17]

Rumah adat Limbungan tidak memiliki jendela. Ruang di dalam rumah mengandalkan cahaya yang masuk melalui celah-celah dinding atau melalui lawang. Menurut penelitian Rohmi Wir'aeni dari Universitas Negeri Yogyakarta, tidak terdapatnya jendela pada rumah adat ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya adalah untuk mengindari hawa dingin karena Dusun Limbungan terletak di area perbukitan kaki Gunung Rinjani.[11]

Tata ruang

Denas dasar rumah adat Sasak Limbungan secara umum berbentk persegi empat. Tata ruangnya dibagi atas sesangkok dan bale dalam. Sesangkok merupakan ruang yang terdapat pada bagian depan rumah, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu sesangkok kiri dan sesangkok kanan. Kedua bagian sesangkok mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai tempat untuk menerima tamu. Setelah melewati tangga dari ruang sesangkok, terdapat bale dalem sebagai ruangan yang digunakan sebagai tempat tidur, dapur, dan tempat menyimpan barang-barang berharga. Pemakain bale dalem dikhususkan untuk perempuan.[18]

Di rumah adat Limbungan, tidak terdapat kamar mandi. Untuk kebutuhan air, penghuni rumah harus ke sungai baik untuk mandi maupun keperluan lainnya seperti memasak. Masyarakat harus mengambil air dari sungai menggunakan periuq, wadah penyimpanan air yang terbuat dari tanah liat. Hal ini diyakini sebagai kebiasaan nenek moyang suku Sasak di Limbungan. Penampungan air dibolehkan di lingkungan rumah adat akan tetapi tidak boleh berukuran besar seperti kolam. Penampungan air harus ditampung dalam bong dan kegunaannya untuk kepentingan bersama.[19]

Bangunan pendukung

Di depan rumah adat Limbungan, terdapat lumbung yang disebut panteq. Posisi panteq dan rumah saling berhadapan. Bentuknya berupa rumah panggung yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas yang digunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, sedangkan bagian bawahnya berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Bangunan panteq terbuat dari kayu pada bagian lantai dan bambu yang dianyam pada bagian dinding.[7]

Selain panteq, terdapat bong sebagai tempat penampungan air yang tanah liat. Namun, tidak semua rumah mempunyai bong. Tidak seperti panteq, bong bukan milik peribadi. Bong digunakan untuk kebutuhan bersama anggota masyarakat lainnya. Bong diletak di sudut-sudut tertentu yang memungkinkan untuk digunakan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat.[19]

Destinasi wisata

Dibandingkan rumah adat Sade, rumah adat Limbungan belum terlalu dikenal sebagai tujuan wisata rumah adat. Hal ini dipengaruhi oleh akses menuju lokasi yang masih sulit untuk dijangkau menggunakan kendaraan pribadi dan kendaraan umum.[20] Jalan menuju Desa Perigi berupa jalur tanjakan dan tanah bebatuan yang belum beraspal.[21] Pembangunan jalan aspal menuju rumah adat Limbungan baru dilakukan pada akhir 2016. Jalan ke Desa Perigi kini sudah dibangun menggunakan aspal hotmix.[5]

Menurut Radar Lombok, sebanyak Rp2,5 miliar telah dianggarkan pemerintah kabupaten melalui APBD guna menata kawasan rumah adat yang berada di Limbungan Barat dan Timur. Pada 2017, dianggarkan sebesar Rp9,5 miliar, yang seluruhnya diperuntukkan bagi penataan fisik, perbaikan rumah, pembangunan jalan, serta pengadaan MCK umum.[5][22] Pemerintah Kabupaten Lombok Timur mengarahkan pengembangan permukiman rumah adat Limbungan sebagai tempat wisata. Namun, sejumlah wisatawan mengeluhkan minimnya fasilitas umum, terutama ketersediaan toilet dan air bersih.[23]

Rujukan

Catatan kaki
Daftar pustaka
Kembali kehalaman sebelumnya