Rumah FatmawatiRumah Fatmawati adalah salah satu tempat bersejarah yang berada di Bengkulu, tepatnya berada di Jalan Fatmawati, Kelurahan Penurunan, Kecamatan Ratu Samban. Rumah Fatmawati atau tempat kediaman Fatmawati istri ke-3 Soekarno ini ditetapkan Pemerintah Daerah Bengkulu menjadi aset sejarah. Rumah tersebut dilengkapi berbagai ornamen asli, rumah itu berukuran 92 meter persegi dan dibangun ulang sesuai konstruksi aslinya, yaitu berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Perabot yang ada seperti meja rias, tempat tidur, dan mesin jahit adalah peralatan asli. Menurut sejarah, dengan mesin jahit tadi, Fatmawati sempat membuat bendera Merah Putih, yang dikibarkan pada Proklamasi RI 17 Agustus 1945.[1] Rumah ini bukan hanya bercerita sebuah tempat tinggal kediaman Ibu Fatmawati yang berada di Bengkulu. Sebab, aset sejarah itu lebih bercerita banyak tentang keberadaan Bung Karno pada masa pengasingan, yang lokasinya tak jauh dari rumah tersebut. Rumah ini sempat sekali direnovasi total pada tahun 1990-an. Selebihnya, hanya dilakukan pemeliharaan saja. Dulunya ini adalah rumah tinggal orang tua Fatmawati pada tahun 1915. Kemudian pada tahun 1990-an, rumah ini direhab menjadi museum Fatmawati.[1] Rumah Fatmawati menerapkan tipologi rumah adat Bumbungan Lima, sehingga arsitektur ini tersusun dengan cara mengekspresikan harmoni dari seluruh aspek rumah adat Bumbungan Lima. Selain penerapan tipologi rumah Bumbunga Lima, rumah Fatmawati mempunyai keunikan ornamen yang mempunyai motif yang berbeda jenisnya. Motif tersebut ialah motif Pucuk Rebung, motif Lebah Bergayut, dan motif Bunga Soraja. Motif ini mempunyai keunikan tersendiri, seperti pada motif Lebah Bergayut yang memiliki makna sikap rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri, motif Pucuk Rebung mempunyai makna sebuah, pertumbuhan yang kokoh dalam suatu persatuan dan motif Bunga Soraja mempunyai makna selalu bersyukur atas kelebihan maupun kekuranga yang dimiliki. Keunikan ornamen tradisional rumah. Bumbungan Lima dari aspek makna, tata letak, dan motif ukiran harus tetap dilestarikan dan dikembangkan lagi agar ornamen Bumbungan Lima tidak lagi terancam eksistensinya di era sekarang.[2] SejarahRumah ini berdiri di atas tanah 500 meter persegi. Di dalam rumah ini, masih terdapat pakaian asli yang sering dipakai Fatmawati, sedangkan di ruang tamu, terpajang foto-foto Fatmawati bersama dengan Bung Karno serta anak-anak mereka, yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Di samping itu, tampak pula foto Fatmawati ketika melakukan berbagai kunjungan kenegaraan. Di sebelah pojok kanan ruang tamu terdapat mesin jahit bermerek Singer buatan tahun 1941 yang ia gunakan untuk menjahit Sang Saka Merah Putih. Rumah beraksitektur khas Bengkulu ini merupakan tempat Fatmawati belajar menjahit. Bahkan, menjahit sudah menjadi hobi Fatmawati. Kediaman ibu negara pertama yang lahir pada 5 Februari 1923 ini tak jauh dari rumah Soekarno saat diasingkan di Bengkulu dalam kurun 1938-1942, jaraknya sekitar 200 meter saja.[1][3] PendidikanPendidikan Fatmawati dimulai saat berusia 6 tahun di sekolah formal Angka II selama satu tahun, yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 1930, Fatmawati pindah ke Sekolah Angka I yang dikenal sebagai Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Jalan Peramuan, Kondisi ekonomi orang tua Fatmawati mendorong keluarga mereka untuk pindah ke Palembang ketika Fatmawati berada di kelas empat. Fatmawati kemudian disekolahkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah di Bukit Kecil.Di sekolah baru, Fatmawati menerima pelajaran tambahan seperti menjahit, mengatur meja makan, dan memasak selain pelajaran umum. Setelah tidak lama tinggal di Palembang, saat Fatmawati duduk di kelas lima, keluarganya pindah ke Curup. Tempat tinggalnya jauh dari kota dan sekolah, ditambah kondisi ekonomi yang kurang baik, membuat Fatmawati tidak bisa melanjutkan sekolah. Pada tanggal 14 Februari 1938, Soekarno tiba di Bengkulu dalam pengasingan bersama istri dan dua anak angkatnya. Hassan Din berkunjung ke rumah Soekarno, saling berbagi pengalaman perjuangan, dan Soekarno menawarkan Hassan Din untuk kembali berkunjung di masa mendatang.[4] PernikahanPertemuan Fatmawati dengan Soekarno berawal ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu. Pada saat elajar diasingkan di Bengkulu, Soekarno mengajar di sekolah kolah Muhammadiyah, dan Fatmawati menjadi salah satu diyah murid di sekolah tersebut. Soekarno melihat Fatmawati indah adalah anak yang pintar dan mampu memikat hati Soekarno. Suatu hari pada tahun 1938, Fatmawati bertemu dengan Soekarno. Malam itu Fatmawati tidak pulang ke Curup, kemudian Soekarno menawarkan Fatmawati untuk bersekolah di Rooms Katholik Vakschool bersama anak angkat Soekarno dan Inggit, yaitu Ratna Juami. anda, Dengan segala pertimbangan, akhirnya Fatmawati juga menyetujuinya dan Fatmawati pun tinggal satu rumah 1978). dengan Soekarno, Inggit Garnasih, dan Ratna Juami. Kehadiran Fatmawati dikediaman Soekarno indah membawa perubahan dalam kehidupan rumah tangga Soekarno dengan Inggit Garnasih. Perlahan-lahan, Cukup Soekarno mulai tertarik dan menaruh hati kepada Fatmawati. Hal itu dirasakan oleh Inggit, Inggit merasakan dan perasaan terdalam Soekarno kepada Fatmawati. Suatu Bukit hari ketika Inggit menanyakan perasaan Soekarno erima kepada Fatmawati, Soekarno membantahnya, tetapi Inggit bisa merasakannya, Pernikahan Fatmawati dengan Soekarno dimulai pada bulan Agustus 1938, ketika Fatmawati mulai tinggal bersama keluarga Soekarno di Bengkulu. Kedekatan Fatmawati dengan keluarga barunya, terutama dengan Soekarno, semakin erat, di mana Soekarno dianggapnya seperti seorang guru. Meskipun keakraban ini menimbulkan kecurigaan Inggit, yang merasa adanya rasa cinta di antara hubungan guru dan murid, Soekarno menjelaskan bahwa hubungan mereka hanyalah sebagian dari guru dan murid. Akhirnya, Fatmawati memutuskan untuk pindah ke rumah neneknya. Meskipun pindah, pertemuan antara Fatmawati dan Soekarno masih sering terjadi di rumah nenek Fatmawati, di mana Soekarno memberikan pelajaran tambahan bahasa Inggris. Ketika Fatmawati berusia 17 tahun, dia diminta menjadi menantu, dan dia mencari saran dari Soekarno mengenai lamaran tersebut. Setelah mendengar penjelasan dan pertanyaan Fatmawati, Soekarno terdiam sejenak, kemudian mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Fatmawati memutuskan menerima pinangan Soekarno dengan syarat bahwa Soekarno harus menceraikan Inggit dengan baik-baik karena Fatmawati tidak menerima poligami dan tidak ingin terlibat dalam persaingan antar istri. Syarat yang diajukan oleh Fatmawati tidak menjadi masalah bagi Soekarno, karena Inggit sendiri lebih memilih bercerai daripada menjadi bagian dari poligami. Perjalanan cinta Fatmawati dan Soekarno penuh dengan ketegangan dan romantika pada masa itu. Pada bulan Juli 1943, Fatmawati menerima telegram dari Soekarno dalam bahasa Jepang, yang berisi permintaan agar mereka menikah, diwakili oleh opseter Sarjono, dan Fatmawati segera berangkat ke Jakarta.[5] Referensi
|