Rumah Hijau DenassaRumah Hijau Denassa[1] (Lontara Makassar: ᨑᨘᨆ ˙ᨖᨍᨕᨘ ᨉᨙᨊᨔ) adalah area konservasi lingkungan hidup dan edukasi swadaya yang terletak di Jalan Borongtala Nomor 58 A, Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rumah Hijau Denassa (RHD) juga dikenal sebagai taman ekologi atau area penyelamatan keanekaragaman hayati yang didirikan pada tahun 2007 oleh Darmawan Denassa.[2][3] RHD dikembangkan dengan tagline konservasi, edukasi, harmoni. RHD menyelamatkan keanekaragaman hayati dengan cara yang khas, karena selain menanam kembali tanaman lokal, endemik, dan langka, juga meyelamatkan kisah (cerita) tentang tanaman-tanaman itu dari persfektif budaya, sosiologi, ekologi, dan potensi ekonominya dalam kultur Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja serta cerita unik keanekaragaman hayati nusantara. RHD berjarak kurang lebih 19 Km sebelah selatan Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa atau 31 Km dari pusat Kota Makassar dengan jarak tempuh sekitar 60 menit. RHD telah menjadi salah satu tujuan ekowisata di Sulawesi Selatan, yang banyak dikunjungi siswa taman kanak-kanak (TK) hingga mahasiswa, komunitas, pemerintah, swasta, bahkan tamu dari puluhan negara sahabat untuk belajar lingkungan hidup, pangan lokal, budaya, tradisi, wisata berkelanjutan, dan literasi. Dengan kian tingginya minat berbagai pihak belajar dan peduli pada lingkungan hidup dan wisata berkelanjutan,[4] serta telah rapatnya tapak dan tajuk tanaman di RHD, Denassa kemudian mendirikan area konservasi baru penyelamatan keanekaragaman hayati yang dikenal dengan nama Kebun Denassa atau Denassa Botanical Garden dilahan bekas galian tambang batu bata dengan kegiatan utama konservasi, wisata, dan literasi.[5] KonservasiSulawesi sebagai pulau terbesar di gugusan Wallacea memiliki tingkat endemisitas keaneragaman hayati yang cukup tinggi. Beberapa jenis endemik itu bisa ditemukan di RHD seperti Kayu Hitam Sulawesi atau Eboni (Diospyros celebica), Kayu Kuku (Pericopsis mooniana), Bitti (Vitex cofassus), Uru atau Cempaka Hutan Kasar (Elmerrillia ovalis), Bayur Sulawesi (Pterospermum celebicum), beberapa jenis jambu-jambuan (Syzygium) antara lain Kalawasa, Pasui, Salam (Syzygium polyanthum), Jablang, dll. Tanaman endemik dari kawasan Wallacea dan Kalimantan juga menjadi koleksi di RHD seperti Kayu Cendana (Santalum album), Ulin (Eusideroxylon zwageri). Terdapat pula tanaman kultural bagi masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja seperti Katangka, Karunrung, Banga jenis palma bahan membuat tiang lumbung di Tana Toraja, Landi (Bombax ceiba L.) yang dikenal sebagai pohon madu dalam kultur Mandar, Tarung jenis perdu yang digunakan masyarakat Ammatoa (Kajang) mewarnai benang menjadi hitam.[6] Selain tumbuhan, beberapa jenis hewan endemik hidup dan berkembang di sekitar RHD antara lain Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense), Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum),[7] beberapa jenis serangga, katak, dan lainnya. Terdapat 17 area konservasi di RHD dengan konsep unik dan menarik antara lain Sulawesiana area konservasi yang ditanami tanaman-tanaman dari Sulawesi seperti Tippulu pohon yang digunakan membuat perahu Sandeq di tanah Mandar, Tarra pohon yang digunakan di Toraja memakamkan bayi yang meninggal sebelum giginya tubuh. Area Konservasi Black Spot untuk spesies tanaman yang ada kaitannya dengan hitam seperti Mangga Hitam (Taipa leleng dalam bahasa Makassar), Kayu Hitam, Temu hitam, Pulai Hitam, dan lainnya. EdukasiRHD digagas salah satunya untuk dijadikan sebagai kawasan edukasi, untuk mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup pada semua kalangan, pengembangan pembelajaran kontekstual, serta mengembalikan alam sebagai sumber dan media ajar yang inspiratif dan menyenangkan. Didahului dengan adanya Perpustakaan Denassa[8] yang berdiri tahun 1997, RHD mendorong kecintaan warga dan tamu pada buku agar gemar membaca dan cinta pada ilmu pengetahuan. Tahun 2009 mulai dilaksanakan diskusi warga, yang menjadi cikal bakal kegiatan rutin bernama Diskusi Tematik[9] program yang mengundang para champion lokal berbagi kisah membanggakan mereka melakukan perubahan di kampung atau daerahnya, pada warga yang diundang. Pada tahun 2011 dilaksanakan Outing Class[10] dengan mengajak peserta didik pada sekolah mitra The Gowa Center (TGC) belajar konstekstual dengan memanfaatkan potensi disekitar mereka sebagai sumber dan media ajar yang menyenangkan. Outing Class[11] kemudian berkembang menjadi kegiatan yang melibatkan lebih banyak sekolah dan pihak serta dilaksanakan ke berbagai kecamatan di Gowa hingga kabupaten lain di Sulsel, Sulbar, dan Sumut seperti Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Polewali Mandar, Deli Serdang, dll. Pada tahun 2011 pula RHD membuka Kelas Komunitas,[12] dengan fokus mengajak anak usia pra sekolah (PAUD/TK) hingga siswa SMA habit antre, tertib, jujur, literat, melestarikan permainan tradisional, interaksi positif, gotong royong, mengenal dan mencintai lingkungan hidup. Tahun 2014 dibuka English Forest School, pada 2016 dibentuk Kampung Literasi Borongtala.[13] Kegiatan-kegiatan RHD ini terus berlangsung hingga hari ini dan telah direplikasi berbagai pihak. Pelajar, mahasiswa, dan komunitas juga datang meneliti untuk tugas mata pelajaran, mata kuliah, proposal, skripsi, dan tesis.[14] Sarana EdukasiRHD dilengkapi dengan sarana dan fasilitas edukasi diantaranya dua pelataran (Mappasomba dan Karannuang)[15] area interaksi untuk diskusi outdoor, permainan tradisional, berkemah, kelas memasak (cooking class), dan belajar kelas komunitas serta English Forest School. Perpustakaan Denassa, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Denassa[16], Bimbi Room, Ruang Baca, dan Balla Rate (rumah panggung) untuk beragam kegiatan merupakan sarana yang dibuat untuk mendukung kegiatan edukasi di RHD. Referensi
Pranala luar |